Ini Jenis Makhluk yang Sering Mengganggu Manusia (Hindu Bali). Maka dari Itu Kita Wajib Mesegehan Saat Kajang Kliwon

 

Ini Jenis Makhluk yang Sering Mengganggu Manusia (Hindu Bali). Maka dari Itu Kita Wajib Mesegehan Saat Kajang Kliwon

Kajeng Kliwon adalah peringatan hari turunnya para bhuta untuk mencari orang yang tidak melaksanakan dharma agama dan pada hari ini pula para bhuta muncul menilai manusia yang melaksanakan dharma.

Persembahan Saat Kajeng kliwon


Kapan Hari Kajeng Kliwon Rerainan Kajeng kliwon diperingati setiap 15 hari sekali yang pada saat itu kita menghaturkan segehan manca warna sebagaimana yang disebutkan dalam mitologi kajeng kliwon. 

Dalam mitologi tersebut juga dijelaskan maksud dan tujuan menghaturkan segehan manca warna ini yang merupakan perwujudan bhakti dan sradha kita kepada Hyang Siwa (Ida Sang Hyang Widhi Wasa) yang telah mengembalikan (Somya) Sang Tiga Bhucari.

Siapa Yang Disembah Saat Kajeng Kliwon Berarti dengan segehan tersebut, kita telah mengembalikan keseimbangan alam niskala dari alam bhuta menjadi alam dewa (penuh sinar), sedangkan Sekalanya kita selalu berbuat tri kaya parisuda dan Niskalanya menyomyakan bhuta menjadi dewa dengan harapan dunia ini menjadi seimbang. Sebagaimana dijelaskan pula bahwa, saat malam kajeng kliwon sering dianggap sebagai malam sangkep leak yang pada umumnya sebagaimana disebutkan, pada malam kajeng kliwon ini roh-roh jahat maupun para shakta aji pangliyakan akan berkumpul mengadakan puja bakti bersama untuk memuja Shiva, Durga dan Bhairawi. Hal ini biasanya dilaksanakan di Pura Dalem, Pura Prajapati atau di Kuburan.

Persembahan Saat Kajeng Kliwon Sehingga pada saat kajeng kliwon, dalam babad bali disebutkan agar dapat melaksanakan upacara yadnya yang hampir sama dengan upacara Keliwon biasanya, hanya saja segehan-segehannya bertambah dengan nasi-nasi kepel lima warna, yaitu: merah, putih, hitam, kuning, brumbun Tetabuhannya adalah tuak / arak berem. Di bagian atas, di ambang pintu gerbang (lebuh) harus dihaturkan, canang burat wangi, dan canang yasa. Semuanya itu dipersembahkan kepada Ida Sang Hyang Durgha Dewi. Di bawah / di tanah dihaturkan segehan, dipersembahkan kepada Sang Tiga Bhucari : Sang Butha Bucari, Sang Kala Bucari, dan Sang Durgha Bucari. Sehingga adanya peringatan dan upacara yadnya pada hari kajeng kliwon ini, dengan harapan bahwa baik secara sekala maupun niskala dunia ataupun alam semesta ini tetap menjadi seimbang.

Selain Sang Tigabhucari masih ada jenis bhuta / makhluk yang sering menganggu manusia dalam melaksanakan dharma agamanya. Para bhuta tersebut ada;

Berwujud manusia

  1. Bake : bertubuh hitam seperti manusia, selalu muncul tengah malam tingal disemak-semak.
  2. Bakis-botong : berwujud manusia kate, berkepala gundul, berkulit putih pucat, dia muncul siang hari, tinggal dirumah manusia yang kosong tanpa penghuni.
  3. Memedi : seperti manusia berambut merah seperti api, kulit menyala merah, muncul pada waktu tengah hari bertempat tinggal ditegalan kosong.
  4. Papengkah : berwujud manusia dengan perut gendut, besar dan buncit. Muncul pada waktu siang dan malam hari tinggal disembarang tempat.
  5. Raregek-tunggek : berwujud gadis cantik tetapi punggungnya terbuka tanpa tulang belakang dan tulang iga (di Jawa disebut Sundel Bolong) sehingga isi rongga dadanya dan isi perutnya kelihatan dari belakang. Dia tinggal di semak belukar, di air terjun, dekat danau, sumur, payau, kuburan sering muncul malam hari.
  6. Samar : berbentuk manusia tetapi tanpa lekukan pada bibir atas, berdiam di semak-semak, dan muncul sore hari. Biasanya berkumpul menjadi satu keluarga seperti manusia, sehingga sering disebut wong samar dan hidup seperti manusia tetapi tidak dapat dilihat oleh manusia awam. Sewaktu-waktu jika dia berkehendak dilihat oleh manusia dia akan memperlihatkan dirinya dan bergaul dengan manusia. Di Bali mayoritas wong samar ini bertempat tinggal di daerah Pulaki Buleleng. Pada umumnya wong samar ini bersifat baik.
  7. Tonya : berwujud manusia tinggi besar, berdiam di pohon yang rindang dan besar. Paling senang diam dipohon beringin, bunut, kepuh, rangdu dan sejenisnya. Tonya ini jarang berkeliaran tidak pernah pergi jauh dari pohon tempat tinggalnya. Sering muncul pada malam hari, jarang siang hari.

Berwujud bagian tubuh manusia

  1. 1. Kumangmang : hanya terdiri atas kepala saja dengan rambut seperti menyala. Bertempat tinggal dilapangan terbuka, di tegalan, juga di semak-semak. Jalannya mengelinding seperti kelapa terbakar, muncul siang hari juga malam hari.
  2. Lawean : berwujud badan manusia tanpa lengan tungkai dan kepala. Bertempat tinggal di semak belukar tetapi sering juga di rumah-rumah penduduk, muncul pada malam hari, kerap juga muncul siang hari.
  3. Tangan-tangan : hanya terdiri atas tangan saja. Jalannya terbang melayang diudara. Bertempat tinggal dirumah penduduk, tempat yang kosong atau semak-semak. Muncul pada waktu malam hari kadang siang hari.
  4. Enjek-pupu : terdiri atas paha sampai kaki, hanya sebelah tungkai saja tanpa badan. Kalau berjalan injakan tapak kakinya menimbulkan suara atau bunyi yang halus dan berirama, merindingkan bulu roma. Biasanya muncul malam hari, mengitari pekarangan rumah menyusuri tembok, bertempat inggal dirumah yang kosong.
  5. Katugtug : terdiri hanya dari lutut ke bawah. Karena suara atau bunyi injakan kakinya yang khas, yakni tug-tug-tug, maka bhuta ini disebut katugtug. Biasanya muncul pada malam hari, tinggal dirumah yang kosong.

Berwujud kerangka manusia 

Bhuta jenis ini disebut jerangkong yang terdiri dari rangka yang dapat bergerak, terutama malam hari tinggal ditempat rumah yang kosong.

Berwujud binatang

  1. Anja-anja : berwujud binatang berkaki empat berkepala seperti raksasa, mata melotot besar dengan mulut lebar bertaring panjang dan berambut terurai.

Banaspati-raja 

Berwujud macan. Sering dari badannya keluar api, sehingga seperti harimau terbakar.

Hanya manusia yang telah melaksanakan dharma dan selalu ingat lan eling ngastiti bhakti ring Dewa Siwa (Ida Sang Hyang Widhi Wasa) badannya tidak bisa dilekati oleh para bhuta-bhuti dan Panca Mahabhuta (Sri Durga Dewi / akasa / timur, Dadari Durga / teja / selatan, Sukri Dewi / bayu / barat, Raji Durga / apah / utara, Dewi Durga / pertiwi / dalam tanah). Kalau manusia kuat dan mampu mengendalikan lima bhuta ini maka mereka akan menjadi sahabat manusia, dan sehatlah manusia. 

Tetapi kalau manusia mencemari unsur Panca Mahabhuta ini maka dimusuhilah dan krodalah dia menjadi durga menyebabkan manusia menjadi sakit.

Cara Menghaturkan Canang yang Baik, Karena Canang Merupakan Segel Suci Niskala. Dan Canang Memiliki Kekuatan Kerjanya Sendiri, Rahayu Sekeluarga

Cara Menghaturkan Canang yang Baik, Karena Canang Merupakan Segel Suci Niskala. Dan Canang Memiliki Kekuatan Kerjanya Sendiri, Rahayu Sekeluarga

Jika menghaturkan canang sesuai dengan pengider-ideran Panca Dewata yang tepat maka Kerahayuan dan rejeki yang akan datang. 

Canang merupakan segel suci niskala yang memiliki kekuatan kerja-nya sendiri. Tapi kekuatannya akan menjadi lebih aktif jika segel suci niskala ini kita hidupkan dan gerakkan, dengan kekuatan mantra-mantra suci, tirtha (air suci), dupa dan kekuatan sredaning manah (kemurnian pikiran). Sehingga turunlah karunia kekuatan suci semua Ista Dewata, yang memberikan kebaikan bagi alam sekitar dan semua mahluk, yang utama pekarangan dan keluarga (keharmonisan).

Tata Cara Menghaturkan/Mebanten Canang yang Baik dan Benar
 
Tata Cara Menghaturkan/Mebanten Canang yang Baik dan Benar

Sebelum memulai Menghaturkan/Mebanten Canang (Persembahan), sebaiknya di mulai dengan memurnikan persembahan, seperti berikut ini;

Memurnikan Persembahan
a. Cakupkan tangan di dahi) ucapkan mantra:
OM AWIGNAM ASTU NAMO SIDDHAM
OM SIDDHIRASTU TAT ASTU ASTU SWAHA.
b. Ambil sekuntum bunga, Apit bunga dengan membentuk mudra amusti-karana atau mudra saat trisandya, ucapkan:
OM PUSPA DANTA YA NAMAH SWAHA,

OMKARA MURCYATE PRAS PRAS PRANAMYA YA NAMAH SWAHA.
c. Setelah selesai mengucapkan mantra, bunga kita lempar atau buang ke depan ke arah persembahan.

Selanjutnya...

d. Siratkan tirtha ke Canang, ucapkan mantra;
OM PRATAMA SUDHA, DWITYA SUDHA, TRITYA SUDHA, CATURTHI SUDHA, PANCAMINI SUDHA,
OM SUDHA SUDHA WARIASTU,
OM PUSPHAM SAMARPAYAMI,
OM DUPHAM SAMARPAYAMI,
OM TOYAM SAMARPAYAMI,
OM SARWA BAKTYAM SAMARPAYAMI.
Dengan demikian semua sarana persembahan telah tersucikan dan siap untuk kita haturkan.

Setelah proses pemurnian selesai, saudara bisa langsung menghaturkan persembahan canang maupun Banten pejati.

Tata Cara Menghaturkan Persembahan/Mebanten

a. Sebelum Unggah (menaruh canang) don kayu (alas) ucapkan mantra:
OM TA MOLAH PANCA UPACARA GURU PADUKA YA NAMAH SWAHA.
b. Unggah (menaaruh dupa) ucapkan mantra:
ONG ANG DUPA DIPA ASTRAYA NAMAH SWAHA.
c. Sirat/ketis tirtha ke canang ucapkan mantra;
ONG MANG PARAMASHIWA AMERTHA YA NAMAH SWAHA.
d. Ngayab dupa ucapkan mantra;
OM AGNIR-AGNIR JYOTIR-JYOTIR SWAHA
ONG DUPHAM SAMARPAYAMI SWAHA
e. Ngayab canang ucapkan mantra;
OM DEWA-DEWI AMUKTI SUKHAM BHAWANTU NAMO NAMAH SWAHA,
OM SHANTI SHANTI SHANTI OM.

Demikianlah tata cara menghaturkan canang yang baik agar kebaikan datang dari segala penjuru arah 🙏🏿
Om A no bhadraah kratavo yantu visvato
Semogaogaoga pikiran baik datang dari segala penjuru) OM SWAHA. 
Persembahan yang baik adalah persembahan yang memiliki kualitas kesucian. Karena dengan kualitas yang suci barulah persembahan bisa menjadi segel suci niskala yang terang cahaya-nya.

Ini adalah tata-cara dasar untuk menghaturkan persembahan ke luhur [ke alam-alam suci]. Sekali lagi bahwa cara ini tidak terbatas hanya untuk menghaturkan canang saja, tapi juga dapat digunakan untuk menghaturkan segala jenis persembahan ke alam-alam suci. Seperti misalnya pada saat kita tangkil ke sebuah pura dan kita menghaturkan pejati, dsb-nya.

Sebuah catatan penting untuk diperhatikan, yaitu nanti ketika kita menghaturkan canang sangat penting untuk meletakkan warna-warni bunga pada posisi arah mata angin yang tepat. Supaya sesuai dengan arah mata angin pengider-ideran Panca Dewata. Jangan diletakkan secara sembarangan agar canang sebagai segel suci niskala ini nantinya dapat bekerja secara maksimal.
  • Bunga berwarna putih diletakkan pada posisi arah timur, sebagai segel mengundang kehadiran Sanghyang Iswara untuk melimpahkan karunia tirtha sanjiwani yang memberikan kesucian sekala dan niskala.
  • Bunga berwarna merah diletakkan pada posisi arah selatan, sebagai segel mengundang kehadiran Sanghyang Brahma untuk melimpahkankarunia tirtha kamandalu yang memberikan kekuatan kebijaksanaan dan taksu.
  • Bunga berwarna kuning diletakkan pada posisi arah barat, sebagai segel mengundang kehadiran Sanghyang Mahadewa untuk melimpahkan karunia tirtha kundalini yang memberikan kekuatan intuisi dan kemajuan spiritual.
  • Bunga berwarna hitam [atau ungu tua] diletakkan pada posisi arah utara, sebagai segel mengundang kehadiran Sanghyang Wishnu untuk melimpahkan karunia tirtha pawitra yang melebur segala bentuk keletehan atau kekotoran sekala dan niskala.
  • Kembang rampe [irisan pandan-arum] diletakkan pada posisi di tengah-tengah, sebagai segel mengundang kehadiran Sanghyang Shiwa untuk melimpahkan karunia tirtha maha-amertha yang memberikan kekuatan moksha [pembebasan].
Sekali lagi bahwa ini adalah konsep paling ringkas [inti] atau paling mendasar. Tentunya para pembaca saudara-saudara se-dharma memiliki bentuk tradisi dan tattwa yang beragam di tempat masing-masing. 

Hendaknya tetaplah dijalankan sesuai tradisi dan tattwa masing-masing, agar sesuai dengan desa, kala, patra. Tapi hendaknya juga dilaksanakan dengan berlandaskan pengetahuan tentang tattwa.

Banyak yang Lupa Menjelang Nyepi, Natab Biakaon: Manka, Cara dan Waktu Mebiakaonan

 

Banyak yang Lupa Menjelang Nyepi, Natab Biakaon: Manka, Cara dan Waktu Mebiakaonan
Tak terasa Hari Raya Nyepi sudah semakin dekat ya, Semeton se-Dharma? Apakah sudah mempersiapkan Banten untuk Mebiakaonan?
 Apa sih tujuan dan makna Mebiakaonan? 
Masih banyak saudara kita yang belum tau, lupa, atau jarang menjalani upakara ini, maka dengan itu saya coba membuka buku dan sambil belajar membuat Banten Mebiakaonan saat hari suci Nyepi tiba, makna dan tujuan Mebiakaonan, dibawah ini. 

Natab Biakon atau biakala merupakan salah satu dari rangkaian panjang prosesi Ngesanga (perayaan Nyepi) yang dilakukan di halaman rumah, pada saat “sandikala”. 

Sarananya upakaranya sendiri terdiri dari,  “biakala, prasita (prayascita), sesayut lara melaradan”. Dimulai dengan “tepung tawar” (penawar / penetralisir) kekuatan negatif dalam “angga sarira” (badan). Dilanjutkan “kekosot/kekosok” yang terbuat dari pucuk pandan/alang-alang, dengan cara memutar di kedua belah telapak tangan. 

Maknanya adalah membersihkan kekotoran yang ada pada diri manusia secara lahir batin. Pemutaran kekosok ini diyakini menimbulkan angin kencang (ngelinus) secara niskala, untuk menghempaskan “mala” (kotor), “rogha” (penyakit), “lara” (derita) pada jasmani dan rohani.

Setelah itu mengikatkan benang “barak” (merah) di kaki, simbol “ngeseng” (membakar) “sehananing mala” secara lahir batin. Dilanjutkan natab, dimana ayunan tangan diarahkan ke kaki / bawah. Bermakna pelepasan mala kembali ke Pertiwi. Natab diarahkan ke kaki, karena kaki setiap saat kontak dengan pertiwi. Sehingga natab biakaon sering disebut “natab batis”.

Selanjutnya “meprasita”, memohon penyucian jasmani dan rohani. Didahului berkumur air “bungkak nyuh gading” dan minum tiga kali. Dilanjutkan “metirtha prasita” memakai “lis prasita” (janur berbentuk senjata dewata). “Ngelis” artinya “mengupas” semua kekotoran untuk menyucikan jasmani dan rohani. Selanjutnya “sesarik / sesedep” di kepala dan dahi sebagai simbol limpahan amerta, kesejahteraan, kemasyuran. Dilengkapi benang putih di kepala simbol kesucian rohani dan diikatkan di tangan simbol kesucian jasmani .

Selanjutnya natab Sesayut Lara Melaradan, memohon kepada Sanghyang Ibu Pertiwi agar dijauhkan dari “lara melaradan” (penderitaan berkepanjangan). Natab sesayut ini, ayunan tangan diarahkan ke badan.

Prosesi natab biakaon diakhiri dengan “ngukup”, kedua telapak tangan ditungkupkan di atas asap pengasepan, lalu diusapkan ke wajah tiga kali, ke dada tiga kali dan kaki tiga kali. Simbolisasi menyambut anugrah kesucian pikirian, perkatan, dan perbuatan.

Prosesi ini adalah simbol nyomia bhuta dalam ruang lingkup Bhuana Alit. Setelah penyucian diri, barulah mebuwu-buwu / ngerupuk dalam rangka nyomia bhuta di Bhuana Agung.

Mengapa natab biakala pada sandikala?

 Karena sandikala adalah waktu peralihan dari siang ke malam. Saat ini terjadi peralihan kekuatan unsur-unsur kosmik alam semesta. Waktu yang baik untuk pelepasan ma¬la (kotor) dan memohon pemarisuda. Itu pula mengapa ngerupuk dilakukan pada sandikala, atau mecaru dilakukan pada “tengai tepet”, waktu yang baik untuk penyupatan bhuta menjadi dewa.

Lalu… kenapa natab biakaon dilakukan di halaman?. Agar segala mala, roga, lara, kembali ke asalnya ke Ibu Pertiwi. Kira-kira demikian.

Jodoh Dalam Hindu adalah Karma, Kenapa? Ini Penjelasannya!

Jodoh Dalam Hindu adalah Karma, Kenapa? Ini Penjelasannya!
Ternyata Jodoh sejati yang Tuhan berikan kepada kita, yang merupakan hasil dari buah karma kita. 

Jika Orang itu baik, maka jodohnya akan baik, jika orang itu jujur, maka jodohnya pun akan orang jujur, dan jika orang itu penyayang maka jodohnya pun orang penyayang. 

Hanya Karma Wesana yang paling menentukan baik atau buruk jodoh orang tersebut. 

Manusia memilih, manusia berencana, namun yang menentukan takdir adalah Tuhan sendiri. 

Orang-orang yang sudah memiliki sifat-sifat pembawaan yang buruk di kehidupan ini, kalau mereka benar-benar cerdas sehingga tahap demi tahap mereka berusaha memperbaiki sifat buruknya itu, bukan malah dibiarkan, atau menunggu disaat yang tepat baru mulai, karena di kehidupan hari ini sudah jadi START nya.

Memperbaiki sifat pembawaan memang tidak mudah, butuh banyak pengorbanan dan waktu, namun apabila dengan ketabahan yang tulus ikhlas dapat melakukan ini maka Astungkara, Dharma selalu menjadi pedoman kita.

Berbuat Dharma dengan Ikhlas, tanpa mengharapkan jodoh yang baik adalah jawabannya.

Tuhan bersabda dalam sloka Bhagavad-Gita:

Barang siapa yang menyerahkan semua kegiatan kepada Ku, dan menyerahkan dirinya seutuhnya kepada Ku, maka akan Ku berikan yang tidak ia miliki, dan akan Ku jaga apa yang ia miliki.” .

 Selalulah berbuat baik. 

Ternyata Apa yang Menjadi Kekhawatiran Almarhum Ida Ratu Pedanda Made Gunung Kini Menjadi Nyata

Ternyata Apa yang Menjadi Kekhawatiran Almarhum Ida Ratu Pedanda Made Gunung Kini Menjadi Nyata

Akhir-akhir ini saya senang sekali mencari-cari video Dharma Wecana (Almarhum) sugra, Ratu Ida Pedanda Made Gunung, kangen suasana Dharma Wecana yang sangat menyejukkan dan penuh nuansa kedamaian. 

Saat ini mungkin masyarakat Bali tengah galau dengan berita agama, raja, politik bahkan sekarang Sulinggih muda yang lagi viral. Maka, dari itu... Teringat dengan Dharma Wecana Ratu Ida Pedanda Made Gunung, saya pribadi sangat kangen dengan video-video Dharma Wecana Ida... Sampai-sampai saya putar terus video-video Ida, hal hasik ketemu dengan salah satu video Dharma Wecana Ida tentang pulau Bali. 

Dalam video ini, Ida sangat terlihat sedih dengan suasana Bali. Coba tonton dulu video Ida dibawah ini; 

Ternyata yg menjadi kekhawatitan beliau almarhum ida pedanda gede made gunung kini menjadi realita, dumogi sami rahayu jagat lan seisinya🙏🏾

Posted by Putu Kompyang AR Kori on Sunday, February 28, 2021

Seberapa megahnya hotel dan restoran di Bali jika nggak ada tamu yang datang, bagaimana?! 

Ida juga takut Bali kembali ke tahun 1963 dimana Bali begitu miskin kembali makan nasi cacah... 

Semoga Pandemi cepat berlalu 🙏🏿 Cepat Pulih Baliku.

Ini Alasan Kenapa Orang Goblok Lebih Cepat Sukses Daripada Orang Pintar, Kutipan Bob Sadino

Ini Alasan Kenapa Orang Goblok Lebih Cepat Sukses Daripada Orang Pintar, Kutipan Bob Sadino

Saya coba kutip perkataan almarhum Bob Sadino tentang Orang yang Goblok itu lebih cepat sukses daripada orang yang pintar, kenapa terbalik pak? 

Tapi setelah saya telusuri perkataan beliau memang ada benarnya, karena kebanyakan memang orang pintar itu terlalu berpikir banyak untuk melakukan sesuatu, tapi orang yang goblok nggak buruk berpikir ia akan tancap gas saja, alias praktek langsung, alias belajar dari pengalamannya, kalau gagal ngulang lagi. Yuk simak sedikit kutipan kata orang goblok yang cepat sukses;

  • Orang goblok sulit dalam bekerja, akhirnya ia buka usaha sendiri. 
  • Saat bisnisnya berkembang orang goblok mempekerjakan orang pintar. 
  • Orang pintar maunya cepat berasil, namun semua orang tahu untuk mencapai semua itu butuh proses
  • Orang goblok hanya punya satu harapan, yaitu hari ini bisa makan 
  • Orang pintar selalu percaya diri bahwa dirinya tahu segala hal, namun kenyataannya banyak yang gagal juga 
  • Orang goblok berpikirnya simpel, yang penting produknya terjual 
  • Orang pintar merasa gengsi jika gagal di satu bidang, dan berpaling ke bidang yang lain 
  • Orang goblok itu nggak banyak berpikir, yang penting tetap melangkah 

Kalau saya teruskan jadi banyak ya.. intinya apapun yang kita lakukan, kerjakan dengan suka, hobi dan penuh tanggung jawab. Semoga rejekinya selalu lancar.

Ternyata Ada Makna Ular Kobra di Leher Dewa Siwa, Mari Kita Pelajari

Ternyata Ada Makna Ular Kobra di Leher Dewa Siwa, Mari Kita Pelajari
Om Swastyastu 

Saudara Hindu maupun non Hindu pasti bertanya-tanya kenapa Ular Kobra selalu berada di leher Dewa Siwa dan pasti berpikir pasti ada makna dan tujuannya! Mari kita pelajari, tetap baca sampai tuntas ya... 

India adalah rumah bagi beberapa binatang mematikan, ular berbisa, termasuk ular kobra. Kematian akibat gigitan ular adalah penyebab kematian paling umum di India. India juga dikenal dengan atraksi ular kobra. Obat ajaib dengan gigitan ular masih dipraktekkan di daerah terpencil di India. India kuno, Ular sangat ditakuti dan dihormati. Tradisi masih berlanjut. Umat Hindu menghormati ular di kuil serta di habitat alami dengan mempersembahkan susu, dupa, dan doa. Dalam agama Kristen ular melambangkan kejahatan atau Iblis. Dalam agama Hindu secara simbolis dimaknai jauh lebih kompleks. Dalam ritual Hindu dan tradisi spiritual, ular bukanlah makhluk jahat tetapi mewakili keabadian serta materialitas, kehidupan serta kematian,waktu serta keabadian. Ini melambangkan tiga proses penciptaan, yaitu penciptaan, kehidupan dan kematian.

Anda akan menemukan banyak referensi tentang dewa ular di cerita rakyat dan sastra Hindu. Umat Hindu disekitar sunga Sindu banyak menyembah ular. Mereka juga menghormati kedua Dewa Hindu; Wisnu dan Siwa dan beberapa dewa lainnya, termasuk Indra, yang mengendarai gajah disebut Nagendra atau penguasa ular. Dalam Purana menyebutkan ada beberapa dewa ular besar seperti Kadru, Manasa, Vinata dan Asitka. Vasuki (Naga Basuki), memainkan peran penting dalam proses pemutaran lautan.

Berikut ini adalah makna simbolik yang paling umum yang terkait dengan ular dalam agama Hindu.

1. Ananta, Tidak terbatas/Kekekalan

Dalam Bhagavadgita, Krishna mengatakan, “Di antara ular saya adalah Ananta.” Ananta atau Adisesha adalah ular ilahi yang tak terbatas dengan lilitan tak berujung  di lautan penciptaan, di mana Narayana (Brahman) duduk ditasnya. Ananta mewakili materialitas abadi yang tak terbatas atau energi dasar (Prakriti). Ananta juga dikenal dengan nama Adishesa. Oleh karena itu, Dewa Wisnu disebut Anantasayana (yang berbaring diatas naga Ananta)

2.Keinginan/Nafsu (Kama)

Dalam arti rohani, ular merupakan keinginan. Sama seperti orang-orang yang digigit ular rentan terhadap penderitaan dan kematian, mereka yang dipengaruhi oleh keinginan akan mengalami siklus kelahiran dan kematian. Penderitaan karena memenuhi keinginan-keinginan sama seperti racun ular. Anda akan aman jika Anda memegang racun yang ada di tenggorokan Anda seperti Dewa Siwa dan tidak membiarkannya mempengaruhi tubuh atau pikiran Anda. Lilitan ular melambangkan keinginan yang berubah-ubah dan membuat orang terikat karma mereka. Hasrat seksual sering dilambangkan sebagai Ular dalam agama Hindu.

3. Benang suci dan ornamen keilahian

Dalam gambar dewa-dewi Hindu, seperti Ganesha, ular digambarkan sebagai benang suci (upavitam) yang dikenakan di tubuh. Benang dalam bentuk ular mewakili kemurnian (sattvam) dari tubuh, pengetahuan Veda, kesempurnaan dalam perkataan, dan pengendalian diri. Dalam ikonografi Saivism, ular juga berfungsi sebagai ornamen untuk dewa dan dewi.

4. Energi Kundalini 

Energi Kundalini tersembunyi di Chakra muladhara disimbolkan seperti ular melingkar. Untuk mengaktifkan Kundalini dengan cara melakukan pertapaan, pemurnian dan praktek lainnya. Kemudian energi kundalini itu naik secara bertahap melalui chakra lebih tinggi hingga mencapai Sahasrara Cakra, dimana yogi mengalami pencerahan dan kebahagiaan tertinggi.

5. Tamas, kecenderungan destruktif

Dalam agama Hindu ada tiga jenis energi, energi penciptaan diwakili oleh raja, energi pemeliharaan diwakili oleh sattva, dan energi destruktif yang diwakili oleh tamas. Mereka juga dikenal sebagai kekuatan sentripetal, menyeimbangkan dan sentrifugal alam semesta. Semua gerak dan aktivitas di alam semesta muncul dari mereka. Ular menjadi salah satu binatang berbisa yang mematikan. Dewa shiva sebagai dewa pelebur alam semesta secara simbolis mewakili sifat tamas.

6. Perkataan yang menyakitkan.

Seperti ular, perkataan dapat menyakiti, penyebab rasa sakit, penderitaan dan kematian bahkan sumpah, kutukan dan nyanyian magis. Ular menghiasi leher Siwa merupakan simbol kekuatan perkataan yang berbisa. Sumber perkataan adalah tenggorokan. Dewa Siwa mengendalikan racun (perkataan beracun) dan mencegah keluar dan menyakiti orang lain.

7. Kemalangan

Gigitan ular membawa kesengsaraan dan penderitaan untuk keluarga karena kematian ternak atau anggota keluarga, ular berhubungan dengan nasib buruk atau kemalangan. Hal ini juga digambarkan dalam permainan ular tangga yang diciptakan di India kuno.

8. Naga

Kitab Hindu menyebutkan tentang Naga yang merupakan makhluk setengah ilahi  yang tinggal di dunia bawah tanah, yang dikenal sebagai Patala. Mereka melindungi harta tersembunyi di bumi dan memiliki kemampuan untuk mengasumsikan bentuk manusia. Secara alami mereka baik, tetapi mereka dapat menjadi destruktif dan dendam jika tidak dihargai atau tidak diperlakukan dengan baik. Hindu percaya bahwa beberapa jenis kutukan dan mantra yang timbul dari dewa ular dapat mengakibatkan kematian, sakit, musibah, kehilangan keturunan, atau tidak memiliki anak dan harus melakukan pemurnian dan ritual penebusan.

9. Kala,Waktu atau Kematian.

Ular mewakili kematian, kematian tak terduga atau kematian yang timbul dari kemalangan. Veda memuji Rudra atau Siwa sebagai penyembuh, dewa obat-obatan yang melindungi dan menyelamatkan para pemujanya dari kematian dan kehancuran yang disebabkan oleh gigitan ular. Ular dilambangkan sebagai panah, merusak dan mematikan yang digunakan dalam peperangan. Hindu percaya adanya Kala (Bhuta Kala) yang juga dikenal sebagai Waktu. Kala memakan segalanya. Semua eksistensi bagi-Nya adalah makanan. Ular melambangkan Kala atau Waktu.

10. Prana.

Naga sering digunakan dalam teks-teks Hindu, mengacu pada napas keluar (apana) atau yang yang dikeluarkan melalui mulut dan lubang lainnya dalam tubuh seperti bersendawa. Sama seperti ular bergerak di bagian bawah bumi, apana bergerak dalam tubuh melalui berbagai saluran dan melalui lubang di tubuh. Sama seperti napas yang keluar melalui mulut, ular juga kadang-kadang keluar dari bagian bawah tanah. Sebagai pemimpin dari indera, prana mendistribusikan makanan untuk semua organ. Karena itu ular sebagai simbol prana yang kekal dan tidak bisa dihancurkan.

Kata naga juga digunakan dalam literatur Hindu untuk menyebut orang-orang terkemuka (nagadhipa), nama-nama tempat tertentu, nama gajah perkasa (Nagendra), perempuan gajah (naganjana), Ganesha (naganana), pohon harum (nagakesara), bahan kimia (nagajam), batu-batu berharga (nagamani), festival (nagapancami), bunga (nagamalli), gajah penangkap (nagabandhaka), sebuah dunia bawah tanah (nagalokam), seorang gadis ular (nagakanya), dan sebagainya.

Demikianlah para pembaca, sedikit ulasan tentang makna simbol Ular dalam Hindu. Semoga bermanfaat dan menambah pengetahuan kita bersama. Swaha.

Pura Bali di Berlin, Penduduk Hindu Eropa ada Tempat Beribadah Lagi! Astungkara

Pura Bali di Berlin, Penduduk Hindu Eropa ada Tempat Beribadah Lagi! Astungkara

Setelah Pura Agung Shanti Buana di Belgia kini nambah lagi ada Pura di Berlin, Jerman. Bagi umat Hindu Indonesia yang tengah berada di Berlin, Jerman tak perlu khawatir tidak bisa beribadah. Sebab, Pemerintah Kota Berlin menyediakan tempat beribadah, Astungkara... Di sebuah taman buatan yang cantik bernama Gaerten der Welt. 

Semula, Pemkot Berlin membuat satu taman buatan dengan nuansa Bali bernama Balinesischer Garten atau Taman Bali. Di dalamnya terdapat koleksi tanaman tropis dan arsitektur bangunan Bali, seperti pura kecil dan satu ruangan multifungsi yang biasa disebut ‘Bale Dangin’. 

Pura Bali di Berlin, Penduduk Hindu Eropa ada Tempat Beribadah Lagi! Astungkara

Pura yang diberi nama Tri Hita Karana itu memiliki Padmasana dan Pelinggih Penglurah. Ide pembangunan ini datang Pemkot Berlin dan bekerja sama dengan Pemerintah Indonesia. Kemahsyuran Bali membuat mereka menciptakan bangunan tersebut.

Antusias pengunjung sejak tahun 2003 ke Taman Bali cukup besar. Alhasil, Pemkot Berlin harus memperluas area taman itu. Proses renovasi dimulai dari tahun 2015 lalu dan telah rampung pada April 2017.

Setelah direnovasi, Taman Bali itu berada di area rumah kaca yang lebih besar dan diberi nama Tropenhalle. Ketinggian bangunan mencapai 12 meter.

Bangunan rumah kaca itu juga memiliki pengatur suhu dan kelembaban, sehingga suasana tropis seperti Indonesia bisa tercipta. Di dalamnya juga terdapat kafe Bali. Sayangnya, kendati kafe itu menyediakan berbagai mebel dari Pulau Dewata, tetapi mereka tidak menyajikan makanan khas Bali atau Indonesia.

Duta Besar Indonesia untuk Jerman, Fauzi Bowo, turut berkontribusi dalam perluasan Taman Bali. Dia turut melobi Pemkot DKI agar turut menyumbang. Alhasil, di bawah kepemimpinan Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama, Pemkot DKI menyumbang satu Pelinggih Penunggun Karang. Maka, tak heran jika terdapat plakat dengan tanda tangan Ahok di rumah kaca itu.

Pria yang akrab disapa Foke itu berharap dengan keberadaan Taman Bali bisa mempererat hubungan kedua negara. 

"Saya berharap sumbangan Pelinggih Penunggun Karang dari Pemprov DKI ini diharapkan dapat mempererat persaudaraan dua kota yaitu Jakarta dan Berlin," ujar Foke dalam sambutannya pada Rabu, 10 Mei. 

Pemkot Berlin dan komunitas Indonesia sudah mengundang Ahok untuk ikut hadir dalam peresmian Taman Bali. Dia sudah sempat minatnya pada tahun lalu. Tetapi, kesibukan Pilkada membuat Ahok mengurungkan niat itu dan mengirimkan Plt Deputi Gubernur bidang Pariwisata dan Kebudayaan, Syahrul Effendi.

Sebelum digunakan, kelompok masyarakat Hindu yang ada di Berlin mengadakan upacara pencucian Pura atau Ngenteng Linggih. Upacara itu dipimpin oleh Pedanda Wayahan Bun dari Griya Sanur Pejeng didampingi Ida Pandita Mpu Jaya putra Pemuteran dari griya Penataran Renon.

Pura Bali di Berlin, Penduduk Hindu Eropa ada Tempat Beribadah Lagi! Astungkara

Acara tersebut diikuti oleh sekitar 125 warga Hindu Bali yang bermukim di Jerman dan beberapa negara di Eropa lainnya seperti Swiss, Italia dan Irlandia. Salah satu warga Indonesia di Berlin, Putri Suwija mengucapkan terima kasih atas dukungan semua pihak sehingga Taman Bali yang lebih luas bisa terwujud. 

Berdasarkan informasi yang diperoleh proses renovasi Taman Bali itu menelan biaya mencapai 4,5 juta Euro. Semua biaya ditanggung oleh Pemkot Berlin.

Kini, Taman Bali terlihat semakin asri di dalam rumah kaca. Selain Taman Bali, Gaerten der Welt juga menyediakan taman dengan nuansa Jepang dan Korea. Semua fasilitas itu menjadi salah satu program andalan pariwisata Festival Taman Internasional yang digelar mulai 13 April-15 Oktober 2017.

Melihat Keseluruhan Bangunan Pura Terbuat Dari Batu, Terasa di Bali Tapi Tidak! Ini di Belgia

Melihat Keseluruhan Bangunan Pura Terbuat Dari Batu, Terasa di Bali Tapi Tidak! Ini di Belgia

Artikel lama yang sudah saya tulis beberapa kali saat saya mengunjungi Pura agung Shanti Buana ini, Bisa baca disini

Melihat keseluruhan bangunan, Puranya terbuat dari Batu, secara sekilas orang mungkin akan mengatakan bahwa pura diatas adalah pura yang berlokasi di Bali ataupun berlokasi di Indonesia. Namun kalau di amati lebih detail, Pura diatas tidaklah berlokasi di Bali atau di daerah Indonesia lainnya melainkan berlokasi di daratan Eropa yaitu di negeri Belgia. Pura diatas bernama Pura Agung Santi Bhuwana dang berlokasi di taman wisata Parc Paradisio di kota Brugelete yang diresmikan pada hari Senin 18 mei 2009.

Melihat Keseluruhan Bangunan Pura Terbuat Dari Batu, Terasa di Bali Tapi Tidak! Ini di Belgia
Saat Hari Raya Galungan

Sungguh anugrah luar biasa dari Ida Sang Hyang Widi Wasa (Tuhan Yang maha Esa) yang di berikan kepada umat Hindu yang merantau di Eropa. Sebuah Pura yang di bangun di tengah lokasi wisata taman burung yang luasnya 55 hektar, di dirikan oleh orang belgia yang bernama ERIC DOMB. Adapun alasan beliau mendirikan Pura tersebut dikarenakan kecintaannya yang sangat luar biasa akan bali. Proses pembuatan Pura tersebut memang dilakukan secara bertahap dimana tahun lalu 30 orang Bali secara khusus didatangkan dari Bali ke Belgia untuk membangun Pura tersebut. Mereka datang bulan agustus sampai januari, dan melanjutkan pekerjaannya dari april 2008 hingga agustus 2008! Bahan-bahan khusus seperti paras batu , kayu jati, raab duk, yang diperlukan untuk pembangunan Pura didatangkan langsung dari Bali sampai 300 Container ! sungguh luar biasa dan sangat mengharukan melihat perjuangan orang-orang yang terlibat berkontribusi “ngayah” atau saling bantu membantu dalam penegakan Sanatana Dharma di bumi Eropa.

Bhuwana di Parc Paradisio 

Melihat Keseluruhan Bangunan Pura Terbuat Dari Batu, Terasa di Bali Tapi Tidak! Ini di Belgia
Saat musim panas 2018

Menurut penuturan petinggi Taman Wisata Parc Paradisio ini, mengatakan idea pertama dari pendirian Pura Hindu yang mirip atau sama persis dengan Pura yang ada di Bali ini adalah bermula dari kunjungan Mr. Eric Domb, CEO dan President yang juga pemilik dari Parc Paradisio ke Bali 30 tahun yang lalu bersama orang tuanya. Kemudian setelah memimpin Parc Paradisio, muncul keinginan untuk membuat Parc Paradisio tidak hanya menjadi sebuah Taman wisata Flora dan dan Fauna, yang menawarkan keakraban alam, tumbuhan, binatang, dan manusia tapi juga menawarkan informasi kebudayaan dunia yang memiliki karakter serta peradaban yang kuat yang masih ada di bumi ini serta bisa mendukung promosi permanen bagi pariwisata.

Melihat Keseluruhan Bangunan Pura Terbuat Dari Batu, Terasa di Bali Tapi Tidak! Ini di Belgia
Musim dingin berselimut salju

Teringat akan kunjungan ke Bali yang pernah dilakukan Mr. Eric Domb bersama orang tuanya ke Bali, Mr. Eric Domb kemudian mengunjungi Bali lagi untuk “Brain Storming” dengan mengelilingi seluruh pelosok Bali untuk mencari idea lebih lanjut. Kolaborasi antara agama, adat istiadat, budaya dan masyarakat balinya yang mendukung pariwisata di Bali serta bisa diterima oleh masyarakat dunia (universal), membuat Mr. Eric Domb jatuh cinta akan Bali pada khususnya dan Indonesia pada umumnya.

Sekembali Mr. Eric Domb dari Bali, beliau kemudian menceritakannya kepada jajaran direktur dan team yang ia pimpin. Ibarat Pucuk di cinta ulam tiba, dimana para direktur dari Parc Paradisio yang juga sering mengunjungi Bali, akhirnya seia sekata, dan gayung pun bersambut dengan melakukan kunjungan bersama ke Bali untuk merealisasikan idea membuat Indonesian Garden dengan bangunan utamanya Pura yang sama persis seperti di Bali. Sepulang dari Bali, proyek inipun di mulai pembangunannya di tahun 2006.

Pembangunan Kompleks Taman Indonesia yang di mulai dari pembangunan Pura ini, bukannya tanpa hambatan dari masyarakat Belgia ataupun pemerintah Belgia. Karena di lokasi Parc Paradisio terdapat kastil tua, yang di Belgia sendiri sungguh sangat di hormati keberadaannya. Pemerintah maupun masyarakat pun khawatir dengan berdirinya bangunan baru akan mengurangi makna dari keberadaan Kastil tua yang menjadi kebanggaan masyarakat Belgia ini. Mr. Eric Domb dengan ketulus hatiannya serta kecintaannya yang mendalam akan Bali dan tentunya dengan pengetahuannya yang luas akan segala seluk beluk tentang Bali dan Hindu, kemudian bisa meyakinkan Pemerintah Belgia beserta masyarakat Belgia sehingga pembangunan Pura Agung Santi Bhuwana ini bisa di wujudkan di taman Parc Paradisio.

Demikian juga ketika mendatangkan para pekerja langsung dari Bali, juga bukannya tanpa hambatan dari masyarakat Belgia ataupun departement tenaga kerja Belgia. Lagi-lagi Mr. Eric Domb, yang sepertinya memang sudah mendapatkan restu dari Tuhan Yang Maha Esa (Ida Sang Hyang Widi Wasa), tidak hanya bisa meyakinkan masyarakat Belgia , tapi juga bisa membuktikan kepada mereka bahwa keahlian para pemahat dan tukang ukir dari Bali dan Jawa tengah memang tidak tergantikan oleh masyarakat Belgia. Ketika tukang ukir dari Bali sedang bekerja memahat dan mengukir batu menjadi sebuah patung, masyarakat belgia memang di buatnya terkagum-kagum, mereka seolah-olah tidak percaya karena mereka terbiasa bekerja dengan mesin, sementara Tukang ukir dari Bali bisa merubah sebuah batu balok dengan pahat dan alat ukir lainnya yang berukuran kecil-kecil menjadi sebuah patung dengan nilai seni yang tinggi.

Proyek pembangunan Pura Agung Santi Bhuwana dimulai tahun 2006 dengan mendatangkan arsitek dari Bali. Selama dua tahun lebih bekerja siang dan malam dalam suasana berkabut dan bersalju. Untuk menjaga keaslian dan aroma magis ke-Indonesiaan, batu-batu untuk membangun pura besar dan seluruh lapisan tempat berjalan berasal dari Indonesia. Sekitar 320 kontainer batubatu candi diimpor dari lereng gunung Merapi, Jawa Tengah. bagi pengunjung yang mengunjungi kompleks Taman Indonesia ini, seperti terhipnotis dan merasakan seperti memang sedang berada di Indonesia di kompleks candi Prambanan dan candi Boroobudur di Jawa tengah, ataupun berada di kompleks Pura Besakih di Bali yang puranya juga terbuat dari Batu alam, walaupun sesungguhnya mereka sedang berada di Brugelette Belgia di Pura Agung Santi Bhuwana.

Peresmian Pura Hindu dan Taman Indonesia

Peresmian Pura tersebut merupakan bagian dari satu rangkaian acara Peresmian Taman Indonesia (The Kingdom of Ganesha ), yaitu sebuah Kompleks Taman Indonesia seluas 5 hektar di dalam area Taman Wisata Parc Paradisio yang berukuran 55 hektar. Peresmian acara itu di hadiri lebih dari 800 undangan, serta lebih dari 200 umat Hindu yang datang tidak hanya dari Belgia melainkan juga dari negara tetangga juga seperti Belanda, Jerman, dan Perancis. Setelah berakhirnya rangkaian upacara peresmian yang di langsungkan pada hari Senin 18 May 2009, Selanjutnya adalah giliran masyarakat bali yang berdomisili di belgia pada khususnya atau yang berdomisili di eropa untuk terus melestarikan keberadaan Pura ini melalui persembahyangan rutin sehingga spirit dan aura dari Pura Agung Santi Bhuwana ini terus bersinar. Walaupun sesungguhnya Pura ini adalah milik dari Mr. Eric Domb, namun di akhir proses upacara peresmian Mr. Eric Domb sempat berbincang-bincang dengan pemimpin agama yang meminpin jalannya upacara saat itu dan mengatakan “This (Temple) is for you” (Pura ini adalah untuk anda umat hindu di belgia / eropa). Oleh karenanya adalah kewajiban masyarakat bali ataupun umat hindu yang bermukim di Belgia atau di Eropa untuk melaksanakan ritual upacara setiap 6 bulan sekali, atau melakukan persembahyangan di bulan Purname setiap bulannya, sehingga spirit dan aura Pura tersebut terus terpancarkan.

Harapan

Akhir kata, Keberadaan Pura di Eropa ini sungguh sangat membantu mengobati kerinduan masyarakat Bali yang merantau di Eropa akan tempat kelahiran, tanah leluhur serta sanak saudara nun jauh di Bali. Seperti memang sudah suratan dan takdir bahwa masyarakat bali memang tidak bisa di pisahkan dari berkesenian, setiap kali melaksanakan ritual persembahyangan di Pura Belgia ini, tari tarian bali yang di iringi dengan irama gamelan bali selalu dipentaskannya, sehingga selalu menarik perhatian pengunjung Taman Wisata Parc Paradisio untuk berdesak desakan menonton tarian bali ini. Ibarat pepatan sambil menyelam minum air, buat masyarakat bali yang ada di Belgia, selain bisa melakukan persembahyangan mereka secara bersamaan bisa selalu berkontribusi mempromosikan Kesenian serta kebudayaan asli Indonesia kepada masyarakat Belgia atau masyarakat Eropa.

Ini 3 Jenis Ketu, Sesuai Tingkatan Sulinggih

Ini 3 Jenis Ketu, Sesuai Tingkatan Sulinggih

Siwa Karana /Budha Paksa Pakarana adalah  syarat mutlak yang harus dimiliki Sulinggih  dalam melakukan tugasnya memimpin dan mengantarkan umat Hindu didalam melaksanakan upacara. 

Dalam perangkat pemujaan , terdiri dari : rarapan, wanci kembang ura, wanci bhija, wanci samsam, wanci ghanda, pamandyangan, sesirat, pengasepan, pedamaran, patarana atau lungka-lungka, saab/kereb/tudung, genta (genta padma), bajra, canting, penastan.

Juga pada saat seorang Pandita sedang muput sebuah upacara, memakai atribut dan busana kepanditaan seperti : wastra, kampuh, kawaca, pepetet/petet, santog, sinjang, slimpet/sampet/paragi, kekasang, astha bharana/guduita, gondola, karna bharana, kanta bharana, rudrakacatan aksamala, gelangkana, angustha bharana, dan sebuah #amakuta atau yang lebih dikenal dengan nama Bhawa atau KETU.

Ketu ini ada 3 Warna sesuai dengan Tingkatan Sulinggih!

  1. Ketu Merah ,untuk Sulinggih sane wawu embas .
  2. Ketu Hitam , untuk Nabe .
  3. Ketu Putih , untuk Nabenya Nabe ( Sinuhun).

Semuanya ada tatanannya, tidak mau sendiri, ngancogin Tatanan.

Siap Jadi Sulinggih? Harus Siap Menjauhi Nafsu dan Duniawi

Siap Jadi Sulinggih? Harus Siap Menjauhi Nafsu dan Duniawi

Setiap agama pasti memiliki orang suci sebagai penuntun dan pencerah dalam pendakian spiritual masing-masing umat. Tidak terkecuali umat Hindu, yang juga memiliki orang suci dan biasa disebut sebagai sulinggih. Seseorang yang menjadi sulinggih telah melewati proses dwijati atau diksa yakni lahir untuk kedua kalinya. Lahir pertama secara biologis, dan lahir kedua secara spiritual.

Meski semua orang berhak menjadi seorang sulinggih, namun ternyata itu tidak mudah seperti yang dibayangkan. Mereka yang ditempatkan mulia di antara umat itu, memiliki tanggung jawab berat sebagai orang suci. Banyak pantangan yang harus diikuti, serta harus menjauhkan diri dari ikatan, nafsu dan duniawi.

Siap menjadi Sulinggih, harus siap menjauhi nafsu duniawi seperti penjelasan berikut ini;

1. Sulinggih adalah orang yang diberikan kedudukan mulia karena kesucian diri dan perilaku luhurnya

Sulinggih merupakan orang suci yang kedudukannya dimuliakan oleh umat Hindu. Jika ditilik berdasarkan arti katanya, Su berarti baik, mulia atau utama. Sedangkan linggih berarti tempat atau kedudukan. Sehingga sulinggih bermakna mendapat kedudukan mulia di masyarakat.

Mereka dimuliakan karena telah melalui proses upacara diksa atau dwijati, yakni lahir sebanyak dua kali. Lahir pertama adalah lahir secara biologis dari rahim ibu. Sedangkan lahir kedua adalah lahir dari proses spiritual. Lahir kedua ini dianggap sebagai penyucian lahir bathin, agar sulinggih disebut sebagai orang suci.

“Sulinggih sebenarnya seorang Brahmana (Salah satu golongan dari Catur Warna yang memiliki kecerdasan ilmu pengetahuan maupun pengetahuan Ketuhanan untuk mencerahkan spiritual umat Hindu). Nama sulinggih ada banyak. Seperti Ida Pedanda, Ida Pandita, Ida Dukuh, Ida Sri Mpu, Ida Rsi, Ida Bhagawan, dan sebagainya. Nama kesulinggihannya biasanya berkaitan dengan nama keluarga besarnya.

2. Sulinggih memiliki kewajiban dan tanggung jawab yang berat

Apabila seorang walaka (Manusia biasa) ingin meningkatkan diri menjadi sulinggih, harus menyadari betul tahap yang akan ditempuh dan kewajiban-kewajibannya setelah dikukuhkan menjadi seorang Brahmana. Hanya dengan kesadaran dan kedisiplinan yang tinggi pada dirinya, maka sulinggih bisa menjadi seorang Brahmana sejati.

Adapun beberapa kewajiban sulinggih, mengutip dari buku berjudul “Pedoman Calon Pandita dan Dharmaning Sulinggih (Wiku Sesana)” karya Gede Sara Sastra, yaitu:

  • Arcana: memuja Tuhan atau Ida Sang Hyang Widhi Wasa setiap hari, seperti Surya Sewana (Pemujaan setiap pagi saat matahari terbit)
  • Adhyaya: tekun belajar, mendalami Kitab Suci Weda, Tattwa, tutur-tutur dan sebagainya
  • Adhyapaka: mengajarkan tentang kesucian, kerohanian, keagamaan, kesusastraan, serta bimbingan rohani lainnya
  • Swadhyaya: rajin belajar sendiri mengulangi pelajaran-pelajaran terutama yang diberikan oleh Nabe-nya
  • Dhyana: merenungkan Brahman (Tuhan) dan hakikat yang dipuja.
Sulinggih memiliki beberapa tugas, di antaranya:

  • Surya Sewana, yaitu pemujaan kepada Sang Hyang Widhi setiap pagi (Saat matahari terbit)
  • Memimpin upacara Yadnya
  • Ngelokapalaraya, yakni membina dan menuntun umat di bidang agama dan spiritual
  • Melayani umat yang memerlukan tuntunan
  • Menerima punia dari umat
  • Memberi teladan dan contoh kepada umat.

3. Sebagaimana orang suci, sulinggih memiliki banyak pantangan. Mulai dari tidak boleh memamerkan kepandaian, mengadakan hubungan seks apabila bukan istrinya, hingga tidak boleh makan daging babi peliharaan

Masih mengutip dari buku yang sama karya Gede Sara Sastra, sulinggih memiliki banyak pantangan atau larangan perilaku dalam kehidupan sehari-harinya. Yaitu:

  1. Tidak membunuh
  2. Tidak berdusta dan memfitnah
  3. Tidak bertengkar
  4. Tidak memamerkan kepandaian
  5. Tidak mencuri atau memperkosa hak milik orang lain bila tidak mendapat persetujuann dari kedua belah pihak
  6. Tidak berkata-kata yang tidak selayaknya, kotor, dan pedas hingga menyakiti telinga
  7. Tidak boleh berkata-kata sambil memaki sumpah serapah
  8. Tidak boleh berhasrat jahat pada orang lain
  9. Tidak boleh mengadakan hubungan seks apabila bukan istrinya
  10. Tidak boleh mengadakan pertemuan dengan istrinya pada hari-hari terlarang
  11. Tidak boleh melakukan jual beli atau berdagang
  12. Tidak boleh terlibat hutang piutang
  13. Tidak boleh segala usaha mencari keuntungan
  14. Tidak boleh mengambil hak milik orang lain dengan memaksa
  15. Tidak boleh mementingkan diri sendiri
  16. Tidak boleh marah atau bersifat pemarah
  17. Tidak boleh ingkar dan mengabaikan kewajiban
  18. Tidak berzina (Selingkuh)
  19. Tidak boleh memerintahkan mencuri
  20. Tidak bersahabat dengan pencuri, tidak memberikan tempat pada pencuri, termasuk tidak memberikan makan dan minum, memberi pertolongan dan tidak menerima hasil pencurian
  21. Tidak boleh mengendarai sepeda motor atau mobil (Pegang setir sendiri)
  22. Tidak boleh makan daging babi peliharaan (Celengwanwa)
  23. Tidak boleh makan ayam di desa (Ayamwanwa)
  24. Tidak boleh makan daging binatang buas, binatang berkuku satu, dan binatang berjari lima
  25. Tidak boleh makan ikan yang terlalu besar dan ikan yang buas
  26. Tidak boleh makan sisa-sisa makanan yang telah dimakan, makanan yang disentuh atau diletakkan di bawah benda-benda yang tidak suci
  27. Tidak boleh minum minuman keras, semua jenis susu dari binatang buas, serta susu kental sisa sapi yang habis menyusui
  28. Dilarang menempati tempat atau tanah terlarang
  29. Tidak boleh mengadakan perjudian
  30. Tidak boleh mengunjungi tempat perjudian, rumah tukang potong, tempat pelacuran, dan tempat sejenis,
  31. Serta pantangan lainnya yang jauh dari kebenaran dan kesucian.

4. Berikut ini syarat-syarat menjadi sulinggih berdasarkan Ketetapan Sabha Parisadha Hindu Dharma Indonesia II Nomor V/Kep/PHDIP/68, dan Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-aspek Agama Hindu ke-14 Tahun 1986/1987 Tentang Pedoman Pelaksanaan Diksa:

Seseorang yang ingin menjadi sulinggih harus melalui proses berguru (Aguron-guron) lebih dulu. Ia berguru pada seorang nabe (Guru) yang sudah berstatus sulinggih. Biasanya sulinggih yang dijadikan nabe adalah sulinggih senior, pengetahuan agama dan Ketuhanannya sudah dalam, paham Weda, serta teguh melaksanakan Dharma Sadhana (Jasa, amal, dan kebajikan).

Namun nabe juga tidak akan sembarangan dalam menerima murid, karena tanggung jawabnya juga berat. Dalam Ketetapan Sabha Parisadha Hindu Dharma Indonesia II Nomor V/Kep/PHDIP/68, dan Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-aspek Agama Hindu ke-14 Tahun 1986/1987 Tentang Pedoman Pelaksanaan Diksa, adapun syarat-syarat mediksa yang diputuskan oleh PHDI, sekaligus juga berdasarkan Lontar Siwa Sasana adalah umat Hindu yang telah memenuhi syarat-syarat seperti di bawah ini:

  • Laki-laki yang sudah menikah dan yang tidak menikah (Sukla Bramhacari)
  • Perempuan yang sudah menikah dan yang tidak menikah (Kanya)
  • Pasangan suami istri
  • Minimal usia 40 tahun
  • Paham dengan Bahasa Kawi, Sansekerta, Indonesia, memiliki pengetahuan umum, dan pendalaman intisari ajaran-ajaran agama
  • Sehat lahir bathin dan berbudi luhur
  • Berkelakuan baik, tidak tersangkut perkara pidana
  • Tidak terikat pekerjaan sebagai pegawai negeri maupun swasta, kecuali bertugas untuk hal keagamaan
  • Mendapat tanda kesediaan dari calon nabenya yang akan menyucikan.

5. Dalam beberapa kasus ada juga sulinggih yang didiksa di usia muda

Meskipun dalam syarat-syarat tersebut menyebutkan minimal berusia 40 tahun, namun pada beberapa kasus ada juga sulinggih yang didiksa di usia muda.

“Itu tergantung keberanian nabenya. Apabila nabe memandang bahwa itu sudah cukup, maka siswa akan dilahirkan melalui upacara diksa atau dwijati. Kalau belum, akan sampai lama. Di sini nabe yang punya kewenangan.

Menurutnya, dalam Kitab Manawa Dharmasastra, proses siswa berguru pada nabenya paling lama 10 tahun. Namun paling cepat ada yang setahun atau dua tahun. Di sini, faktor nabe juga sangat menentukan. Itu sebabnya peran dan tanggung jawab nabe juga sangatlah berat.

“Nabe tidak mau menerima sembarang murid karena tanggung jawabnya berat. Apa yang menjadi kesalahan murid, kemudian berbagai hal yang berkaitan dengan tanggung jawabnya sebagai murid, nabe yang paling pertama bertanggung jawab bila murid melakukan kesalahan. Tanggung jawabnya adalah dengan membina atau mencabut kesulinggihannya. Itu nabe yang punya wewenang,” ungkapnya.

6. Jika dirasa sudah cukup, maka sang guru akan mengajukan muridnya untuk dilakukan upacara diksa menjadi sulinggih, dengan persetujuan dari keluarganya

Setelah proses bergurunya dianggap layak menjadi sulinggih, maka calon diksa mengajukan permohonan untuk melakukan upacara diksa. Prosedur administrasi untuk melakukan diksa ini ditujukan kepada PHDI setempat. Selambatnya tiga bulan sebelum melakukan upacara diksa. Syarat yang perlu dilengkapi harus sesuai dengan pedoman yang dikeluarkan oleh PHDI.

“Pertama harus ada persetujuan keluarga. Keluarga kecil dulu, setelah itu keluarga besar. Lalu syarat lainnya ada kelakuan baik, tidak pernah dihukum, tidak cacat. Tidak dalam status perkara atau masih ada status perkara. Paham tentang sastra, kitab suci dan teknologi. Wajib bisa baca tulis karena beliau nantinya harus nyastra,” kata Sudiana.

Setelah mendaftar, calon sulinggih wajib memiliki tiga nabe. Yakni Nabe Napak, Nabe Waktra, dan Nabe Saksi. Nabe Napak sebagai nabe yang melahirkan, Nabe Waktra yang memberi wejangan, dan Nabe Saksi yang mengamati serta menyaksikan proses kelahiran siswanya menjadi seorang sulinggih.

“Waktu mendaftar ke PHDI, calon diksa baru memiliki Nabe Napak saja. Setelah mengajukan permohonan ke PHDI, Nabe Napak selanjutnya menentukan dua nabe lainnya yang dikehendaki. Setelah permohonan diterima PHDI, kemudian PHDI yang koordinasi ke panitia untuk melaksanakan diksa pariksa. Semacam uji lisan baik dari sisi integritas, komitmen, kesungguhan, kesucian, perilaku, psikologi, semuanya dites,” papar Sudiana yang juga Rektor Universitas Hindu Negeri (UHN) I Gusti Bagus Sugriwa ini.

Dari proses diksa pariksa dan jawaban yang diberikan oleh calon diksa, ketiga nabe kemudian rembug untuk memutuskan apakah calon diksa layak didiksa atau ditunda karena kemampuannya dipandang belum cukup. Jika nabe memutuskan calon diksa layak untuk dilakukan upacara diksa, maka selanjutnya proses madiksa bisa dilakukan pada hari baik yang telah ditentukan.

“Jika misalnya calon diksa masih dinilai belum layak, maka untuk sementara ditunda sampai beliau bisa memenuhi syarat kembali. Berikutnya laksanakan lagi ulang diksa pariksa. Bila nabe berani memutuskan, maka hasilnya diumumkan kepada umat yang menyaksikan bahwa calon sulinggih sekarang ini bisa dilanjutkan untuk pelaksanaan upacara madiksa,” terangnya.

7. Setelah didiksa, akan diberikan SK oleh PHDI. Namanya kemudian diganti (abhiseka) dengan nama kesulinggihan yang diberikan oleh sang nabe

Setelah lulus diksa pariksa, kemudian calon diksa menjalani upacara pada hari baik yang telah ditentukan. Secara umum, pelaksanaannya dimulai dari berkunjung ke rumah nabe (Mapinton) dengan membawa upakara-upakara sebagaimana mestinya. Dilanjutkan dengan pamitan pada keluarga, serta melakukan pembersihan diri.

Pada upacara puncak, calon diksa akan menjalani proses seda raga (Mati raga) yang berlangsung sehari sebelum upacara diksa. Pada dinihari setelah menjalani amati raga, calon diksa kemudian dimandikan dan diberikan pakaian serba putih. Selanjutnya melakukan pemujaan yang dipimpin oleh nabe.

Begitu upacara diksa selesai, barulah diberikan Surat Keputusan (SK) bahwa benar yang bersangkutan telah menjalani proses diksa atau dwijati dan namanya terdaftar di PHDI. Sejak saat didiksa, namanya sudah berubah dari nama walaka (Nama sewaktu menjadi manusia biasa) menjadi nama sulinggih yang diberikan oleh nabenya.

“SK ini dibacakan oleh PHDI sekaligus memberikan dharma wacana. Setelah dibacakan keputusan itu, ada tembusannya kepada PHDI Kabupaten/Kota, Bali, dan Pusat, Kanwil Agama, Gubernur Bali, dan Bupati/Walikota se-Bali. SK itu dikirim dan nanti tercatat di bagian Kesra Kabupaten/Kota dan ditembuskan ke Provinsi,” kata Sudiana.

8. Sulinggih melakukan diksa wajib diketahui oleh PHDI.

Secara pasti apakah status kesulinggihannya dianggap sah atau tidak. Sebab menurutnya, PHDI bukan lembaga justice (Hukum). Tetapi berdasarkan penilaiannya, yang bersangkutan bisa saja disebut sulinggih namun tidak melalui mekanisme yang formal dan tidak tercatat di PHDI.

“Secara formal, lembaga yang berwenang hanya PHDI. Bila ada lembaga lain yang melakukan, ya tidak formal itu. Proses diksa wajib melalui PHDI. Apabila tidak melalui PHDI, ketika melakukan proses kesulinggihan itu bagaimana? Jika dijawab dengan sah dan tidak sah, agak berat. Tapi yang jelas, belum melalui mekanisme yang lengkap. PHDI tidak bertanggung jawab karena tidak tahu dan tidak dicatatkan di pemerintahan.”

9. Jika melakukan pelanggaran hukum dan pantangan, sang nabe berwenang untuk mencabut status kesulinggihannya

Seperti pernyataan di awal, menjadi sulinggih sangatlah berat. Karena sulinggih dianggap mewakili Tuhan dalam wujud sebagai orang suci. Sulinggih sudah menjauhi ikatan, nafsu, dan duniawi. Apabila tidak memiliki jiwa seperti itu, mungkin akan sangat berat.

Bagaimana jika sulinggih melakukan kesalahan atau melanggar pantangan-pantangan akibat ketidakmampuannya mengendalikan diri? Menurut Sudiana, status kesulinggihannya bisa dicabut oleh sang nabe.

“Dicabut kesulinggihannya karena ingin menikah lagi, berkaitan dengan hukum dan diputus di pengadilan. Misalnya sulinggih tersandung masalah hukum, kesalahannya sudah jelas, maka nabelah yang berwenang mencabut dan menyusul surat dari PHDI berdasarkan atas izin nabe. Pencabutan disaksikan oleh semuanya. Termasuk keluarga juga. Kalau belum siap, lebih baik jangan (Menjadi sulinggih), karena sangat berat.”

Namun nabe kemungkinan tidak melakukan pencabutan gelar kesulinggihan, tergantung dari besar kecilnya kesalahan siswanya.

“Bila tidak terlalu, mungkin akan dibina. Biasanya nabe pasti akan tegas dan mencabut. Belum sampai ada informasi ke kami kalau ada kasus pidana seperti pemerkosaan atau pelecehan. Yang ada baru masalah perkawinan, karena sulinggih memang tidak boleh menikah lagi,” katanya.

Bila setelah dilepaskan status kesulinggihannya, kemudian yang bersangkutan ingin menjadi sulinggih lagi, bisa saja diulang jika nabenya memang mau. Namun jika perbuatannya mengarah ke perbuatan pidana, dikhawatirkan masyarakat tidak respect lagi dengan sulinggih sebagai rohaniawan Hindu.

“Bila ada kasus yang melibatkan sulinggih, itu sangat sensitif. Apalagi kasusnya berat, kita khawatir nanti masyarakat tidak respect kepada sulinggih. Beliau adalah rohaniawan yang sangat dihormati. Jika masyarakatnya cerdas, tentu bisa memilah, tidak menggeneralisir (Menggeneralisasi).” Rahayu Baliku.

Wajib! Wanita Hindu Rambut Harus Diikat Saat ke Pura, Ini Alasannya!

Wajib! Wanita Hindu Rambut Harus Diikat Saat ke Pura, Ini Alasannya!Cerita tentang wanita dan rambut yang tergerai, dalam Hindu, sebetulnya punya sejarah yang panjang, mengingat kisah ini bermula dari satu dari dua epos mahakarya yang terus abadi hingga saat ini yaitu Mahabharata. Lebih tepatnya, pada kejadian di balairung istana, ketika Drupadi diseret oleh Dursasana dengan menjambak rambutnya, berusaha ditelanjangi olehnya sebagai budak taruhan yang baru saja mereka menangkan. Bab Sabha Parwa, sub bab Dyuta Parwa.

Potret Drupadi yang diambil hak-haknya, oleh iblis di depan suaminya sendiri yang (diam saja) ia anggap titisan dewa, adalah bentuk pemasungan perempuan yang paling terkenal di dalam sejarah. Kejadian ini pun sudah berulang kali dikupas dalam berbagai ulasan, kritik, dan karya sastra, dari sudut pandang yang berbeda. Dari sudut pandang perempuan yang pasrah, sampai perempuan yang menggugat.

Namun, satu hal dari cerita mahabarata tersebut yang sangat membekas di benak masyarakat Hindu adalah sumpah dari Drupadi.

Yang menyatakan bahwa ia tak akan menyisir, memotong, dan mengikat rambutnya sebelum rambut itu dibasuh dengan darah Dursasana.

Meskipun pada akhirnya sumpah itu terlaksana, tetapi wanita dengan rambut tergerai, dalam masyarakat Hindu, dipandang sebagai simbol kemarahan, kebencian, dan dendam. Inilah sebab mengapa seorang wanita yang berkunjung ke pura tidak diperkenankan untuk menggerai rambutnya. Siapa pun yang datang ke rumah Tuhan hendaknya berada dalam ketenangan dan kesucian. Bukan dengan dendam apalagi kemarahan, karena kemarahan seorang wanita itu kadang sampai tak terkatakan.

Contoh paling terkenal dalam sastra Hindu soal ini adalah ketika Parvati berubah menjadi Kali (bentuk Durga yang paling menyeramkan) dan membuat dunia kocar-kacir.Bahkan suaminya, Siwa, tak bisa menghentikannya, tak bisa membuat ia sadar. Tak ada kekuatan Siwa yang bisa menandingi seorang Parvati yang marah.

Tapi akhirnya Kali sadar dan kembali tenang, ketika ia menginjak suaminya sendiri. Siwa mengorbankan dirinya sendiri untuk diinjak, Syukurlah setelah itu amarah Kali mereda. Dan, di sinilah ada bentuk  yang paling sering muncul dalam arca-arca di Pura Dalem: Durga yang menjulurkan lidahnya yang merah, menggigitnya dengan gigi yang putih bersih. Maksudnya, sifat-sifat marah dan ganas (rajas) cuma bisa dihentikan dengan sifat-sifat yang putih, bersih, dan suci (satwam).

Apa kaitannya dengan rambut?

Ini terlihat dalam wujudnya sebagai Kali, rambutnya hampir selalu tergerai. Dan dalam beberapa sumber, Drupadi dianggap sebagai titisan Kali, sehingga bisalah kita simpulkan kalau dalam cerita-cerita itu, mereka berdua punya hubungan yang tak bisa kita abaikan.

Cuma memang sekarang imbauan ini jarang orang yang tahu, soal adab untuk tidak menggerai rambut di pura, jarang terlihat aturan itu terpampang di papan-papan petunjuk pura yang pernah saya datangi. Bagaimanapun, dari kebiasaan kecil ini sebenarnya panduannya ke sastra dan nilai agama itu besar sekali. Pelajaran yang sangat berharga dalam banyak hal . Pertama untuk memuliakan dan menghormati wanita. Kedua untuk tidak mengabaikan hal-hal kecil, apalagi ketika itu menyangkut adat dan kebiasaan yang baik. Karena sesungguhnya kitalah yang mestinya melestarikan adat itu, bukan menjadikannya musnah.

Semoga tulisan ini bermanfaat.

Pura Dalem Puri; Sedikit Cerita Tentang Sorga dan Neraka Hindu Bali

Letak Pura Dalem Puri ini kurang lebih satu kilometer di barat Pura Penataran Agung Besakih. Di pura ini divisualisasikan keberadaan sorga dan neraka sesuai dengan konsep ajaran Hindu Siwa Sidhanta.

Di areal Pura Dalem Puri di samping ada pelinggih atau bangunan suci tempat memuja Tuhan sebagai Batari Uma Dewi ada juga areal yang letaknya di luar pembatas pura yang disebut Tegal Penangsaran simbol Neraka Loka. Pura Dalemnya yang ada di jeroan atau dalam tembok pembatas pura simbol Sorga.

Neraka. Roh orang yang dalam kehidupannya di dunia ini lebih banyak berbuat sharma daripada adharma akan diterima di Pura Dalem Puri. Sedangkan roh orang yang selama hidupnya di dunia lebih banyak adharmanya akan masuk neraka yang disimbolkan atau divisualisasikan dengan Tegal Penangsaran. Roh atau Atman yang berada di Tegal Penangsaran dapat berpindah ke areal di dalam Pura Dalem Puri apabila keturunannya melakukan perbuatan-perbuatan baik untuk menebus dosa-dosa leluhur, keturunan dan diri sendiri haruslah dengan perbuatan dharma yang berguna bagi semua pihak.

Pura Dalem Puri ini adalah hulunya Pura Dalem Kahyangan Tiga di setiap desa pakraman di Bali. Kalau melangsungkan upacara Nuntun Dewa Pitara ke pura pemujaan keluarga yang disebut Merajan itu sesungguhnya tidak mutlak harus ke Pura Dalem Puri. Hal itu dapat dilakukan di Pura Dalem di Kahyangan Tiga di desa pakraman. Tetapi tidak salah juga kalau memang ada yang Nuntun Dewa Pitara-nya ke Pura Dalem Puri di Besakih.

Dewa Pitara yang distanakan di Merajan Kamulan itu dapat disembah sebagai Batara Hyang Guru oleh pratisentana-nya. Kata ”Batara” dalam bahasa Sansekerta artinya pelindung. Kata ”Batara” ini telah mewarga ke dalam bahasa Jawa Kuno dan bahasa Bali. Sedangkan kata ”Hyang” dalam bahasa Jawa Kuna artinya suci. Jadinya roh yang telah suci itulah yang dapat disembah sebagai Batara Hyang Guru.