Iri dan Dengki Merupakan Sosok Sengkuni


Sangkuni


Sangkuni (Sengkuni) dalam tokoh pewayangan yang wataknya mungkin di sekitar kita, bahkan dalam diri kita sendiri.

Sengkuni adalah potret manusia yang picik penuh intrik dimana ia selalu mencari celah untuk keuntungan diri sendiri dengan mengorbankan orang lain. Ia lihai menyamar menjadi pribadi yang santun, religius, dan ramah namun menyembunyikan watak aslinya yang munafik, penuh dengki dan berlumur ambisi. Sengkuni yang asli tentu dapat kita jumpai dalam serial pewayangan, namun anak didik dan duplikatnya berseliweran di sekitar kita hari ini.

Tokoh Sengkuni sering dikambinghitamkan menjadi biang keladi, provokator, penjahat, terlicik, terbengis, tokoh buruk dalam pewayangan maupun di kehidupan nyata.

Kebanyakan dari kita menunjuk pribadi liyan tanpa mengetahui seperti apa sejarah hidup Sengkuni yang amat tragis dan serba dilematis. Sengkuni menjadi role model yang pas menjadi kambing hitam atas segala keburukan dan kebobrokan yang terjadi di dunia, dengan begitu naifnya mereka yang menyalahkan orang lain menjadi Sengkuni dan mendaku diri menjadi Pandawa.

Hampir di setiap jengkal kerusakan adalah ulah perilaku kita sendiri dan dengan entengnya kita mencari pembenaran diri. Tidak hanya iblis yang menjadi biang keladi, Sengkuni sekalipun dijadikan objek menyalahkan perilaku manusia jika ada perilaku buruk yang dilakukan oleh manusia lainnya. Kita sering melupakan motif penyebab mengapa Sengkuni dianggap menjadi biang kerok Perang Baratayudha. Masihkah kita sibuk menyingkap lembar demi lembar sejarah kehidupan dan bagaimana perjalanan hidup Sengkuni di masa dahulu.

Sengkuni menjadi tokoh yang terdzolimi atas ketidakcakapan kekuasaan kerajaan Astina yang memenjarakan Raja Gandhara yang merupakan seorang ayah, Ibu dan 100 saudaranya dalam penjara kerajaan. Mereka dipenjara hanya diberi sebulir nasi sehari, tentu lama kelamaan mereka akan mati satu demi satu karena kelaparan.

Oleh karena itu di dalam penjara Raja Gandhara harus mengambil keputusan siapa diantara anaknya yang layak untuk bertahan dan meneruskan pertalian darah keluarga. Keputusan tersebut diambil dengan ujian memasukkan benang ke dalam tulang dan yang lolos adalah Sengkuni. Oleh karena itu, Bapak dan ibu beserta semua saudaranya meyediakan diri untuk dikorbankan dimakan oleh Sengkuni berharap ia dapat meneruskan tampuk kepemimpinan dan kehidupan generasi kerajaan Gandhara.

Sengkuni dalam kisah ini bisa dikategorikan sebagai representasi salah satu aspirator dari sebuah prinsip dalam membangun keluarga yang memiliki daya juang yang tangguh untuk menomorsatukan martabat, kesejahteraan, dan keseimbangan sebuah keluarga. Begitu menderita dan tangguh lika-liku kehidupan yang dilakoni oleh Sengkuni.

Begitu tragis kepedihan yang harus ditanggung oleh Sengkuni, sebuah kepedihan yang tidak seorangpun sanggup untuk merasakannya dalam posisi tersebut. Maka tak heran mengapa Sengkuni memiliki alasan yang kuat untuk menjadi provokator Perang Baratayudha, sampai Pandawa dan Kurawa saling bunuh-membunuh.

Kisah heroik Mahabarata terfokus pada konflik antara Pandawa melawan Kurawa, mereka dua kubu yang saliang bersaudara. Cerita lampau ini seolah-olah sudah mengiyakan tokoh Pandawa sebagai kutub protagonis dan Kurawa kutub antagonis, padahal lebih dari itu. Peran Sengkuni dalam memantik perang tersebut begitu krusial, ia selalu dituduhkan berada pada kubu lawan yang penuh dengan kelicikan.

Perang Barathayuda mirip dengan polarisasi masyarakat Indonesia kini yang sewaktu-waktu bisa memantik konflik berdarah karena keterbelahan sikap sendiri. Setiap pendukung memosisikan diri sebagai mana baiknya Pandawa dan tentu menghindari klaim di belakang barisan Sengkuni. Setiap pendukung berambisi dan menghendaki diri menjadi sosok Pandawa, yang akan memenangi dalam perang Baratayuda nanti. Kedua pendukung sedang dipermainkan oleh siasat politik Sengkuni tanpa mereka sadari sebelumnya.

Jika masyarakat paham apa dan siapakah Sengkuni, serta kenapa Sengkuni menjadi begitu provokatif ingin melahirkan konflik berdarah terjadi di masyarakat. Dimana letak dalam diri kita sendiri yang tidak menjadi Sengkuni? Kita gagal paham mengidentifikasinya sejak awal. Merasa jadi Pandawa dengan gampangnya dan enggan menunjuk diri sendiri sebagai Kurawa. Walaupun perilaku kita juga tidak kalah buruknya dengan Kurawa, sementara kedengkian dan iri Sengkuni adalah sajian kehidupan kita sehari-hari dan menyesaki isi dada kita sendiri. Sengkunikah diri kita hari ini?

Arjuna, Pemeran Utama Bhagavad Gita


Arjuna, Pemeran Utama Bhagavad Gita

“Sang Kala atau Waktu, menurut Gita, adalah Pemusnah yang tak-tertandingi. Ia juga tak terhindari. Ia memusnahkan segalanya, kebaikan maupun keburukan, dan Ia melakukannya di saat yang sama. Ketika Ia memusnahkan keburukan/kejahatan, Ia juga sekaligus mengakhiri penderitaan mereka yang baik dan bijak. Rodanya berputar terus. Adakah cara untuk melepaskan diri dari cengkeramannya? Gita menjawab, ‘ya’. Dengan cara menjadi alat Sang Kala. Kemudian apa pun yang terjadi tidak lagi menimpa dirimu. Apa pun yang terjadi atas kehendak-Nya. Kamu hanyalah agen, penyalur. Saat ini, kata Krishna kepada Arjuna, adalah saat untuk mengakhiri kebatilan. Janganlah berpikir bahwa mereka yang melakukan kejahatan itu adalah kawan atau kerabat, pernah dekat denganmu. Itu dulu ketika kau berada di alam yang sama dengan mereka. Sekarang alammu lain. Kau berada di alam-Ku, menjadi alat-Ku. Maka, jadilah alat yang baik. Jadilah alat yang tajam, tidak tumpul. Akhiri mereka, karena itulah kehendak-Ku.” (Kutipan dari Bapak Anand Krishna dalam materi Neo Interfaith Studies pada program online One Earth College of Higher Learning.)

Arjuna bukan hanya berhasil sebagai pahlawan penegak dharma pada saat perang Bharatayuda, akan tetapi dia masih tetap diingat sebagai manusia utama yang mencerahkan banyak manusia sampai akhir jaman. Kesiapan dirinya sebagai "alat" Keberadaan dan perubahan dirinya dari manusia yang cemas menghadapi saling bunuh antar keluarga Bharata, sampai munculnya keyakinan diri bahwa dia berperang bukan untuk merebut kekuasaan akan tetapi sebagai alat untuk menegakkan dharma telah memberikan semangat manusia untuk mencapai kebebasan. Dua Pemeran Utama Bhagavad Gita, Sri Krishna, yang sekaligus merangkap sebagai Sutradara dan Arjuna, telah memberikan inspirasi bagi jutaan manusia untuk menjalani kehidupan yang lebih bahagia.

Pertemuan Pertama Arjuna dengan Krishna

Dalam Bhagavata Vahini disampaikan percakapan Parikshit cucu Arjuna dengan Vyasa kakek Arjuna tentang hubungan antara Pandawa, leluhur Parikshit dengan Sri Krishna. Vyasa berkata bahwa keingintahuan Parikshit yang sangat besar tersebut dapat menjadi bekal untuk memperoleh Kesadaran.

Raja Draupada ingin memperoleh menantu bagi putrinya Draupadi yang luhur budi dan cantik jelita melalui sayembara. Para Raja dan Pangeran dikumpulkan untuk mengadu keahlian memanah, membidik sasaran yang diletakkan pada roda yang berputar. Ketika para Raja dan Pangeran gagal menunjukkan kemampuannya, masuklah pemuda tampan berpakaian Brahmana ikut bertanding. Sang Brahmana berhasil memanah sasaran dan tentu saja berhak memperoleh sang Putri. Balarama memperhatikan Krishna yang terfokus pada pemuda tampan yang sebenarnya Arjuna, seakan-akan melihat masa lalu dan masa depan sang Brahmana dan berkata, “memang pemuda kualitas unggul!” perkataan Balarama disambut senyuman oleh Krishna. Para Raja dan Pangeran protes mengapa Brahmana dimenangkan dalam sayembara, akan tetapi seorang Brahmana tinggi besar menghalangi mereka dan mereka kalah kuat dibandingkan Brahmana tinggi besar tersebut dan segera membubarkan diri. Krishna segera mendatangi Raja Draupada dan memberitahu bahwa pemenangnya adalah Arjuna dari Pandawa dan ksatria yang mengusir mereka yang protes adalah Bhima, kakak kedua. Draupada senang mengetahui bahwa calon menantunya adalah Pandawa yang terkenal kesaktiannya yang diharapkan bisa membalaskan sakit hatinya atas tindakan sewenang-wenang Rsi Drona terhadap dirinya. Draupadi diserahkan kepada Arjuna untuk diajak menemui Kunti ibu Pandawa.

Krishna dan Balarama menemui Kunti di kediamannya dan memperkenalkan diri sebagai putra Basudewa, kakak kandung Kunti. Kunti adalah adik kandung Basudewa yang sejak kecil diambil sebagai Putri angkat Raja Kuntibhoja. Kunti sangat senang bertemu dengan Krishna, dalam hatinya dia begitu yakin pada kebijaksanaan sang keponakan tersebut. Krishna kemudian memperkenalkan diri dengan Pandawa dan kemudian asyik berbincang dengan Arjuna. Sejak saat itu dimulailah persahabatan Arjuna dengan Krishna. Mereka seakan-akan menjadi satu seperti dua bersaudara.

Rasa Takut Arjuna Pada Awal Bhagavad Gita

“Krishna akan berusaha untuk lebih dulu membebaskan Arjuna dari rasa takut. Rasa takut bagi Krishna adalah penyakit lama, penyakit yang kita warisi dari evolusi panjang kita sebagai binatang. Rasa takut adalah naluri dalam setiap makhluk hidup. Manusia semestinya mampu melampaui nalurinya, sehingga dapat meningkatkan lapisan-lapisan lain kesadarannya. Krishna juga tahu bahwa rasa takut disebabkan oleh:

1. Ketidak tahuan tentang potensi diri, potensi manusia, dan

2. Kemalasan atau keengganan untuk mengembangkan potensi itu.

3. Hilangnya rasa percaya diri.

Berarti rasa takut mempengaruhi tiga lapisan utama dalam diri manusia. Pertama: Lapisan Intelegensi, akal sehat atau pikiran jernih yang sesungguhnya tahu persis tentang potensi diri. Kedua: Lapisan Fisik yang malas dan enggan untuk mengembangkan potensi itu. Ketiga: Lapisan Rasa, yaitu induk dari percaya diri.” (Krishna, Anand. (2007). The Gita Of Management, Panduan bagi eksekutif muda berwawasan modern. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama)

Dengan indahnya, Bhagavad Gita memulai percakapan dengan rasa takut Arjuna. Rasa takut yang dipunyai oleh semua orang, yang juga dipunyai Arjuna walaupun dia adalah manusia unggul yang sudah waktunya meninggalkan rasa takut. Dengan demikian Bhagavad Gita dapat memandu orang yang masih mempunyai rasa takut, untuk melakukan transformasi, sehingga bisa melampaui rasa takut tersebut.

Arjuna menguasai ilmu bela diri dan ilmu peperangan yang handal. Arjuna telah menunjukkan ketabahan dalam menghadapi penderitaan selama masa pengasingan Pandawa. Arjuna juga menunjukkan kepatuhan terhadap ibundanya yang meminta Draupadi sebagai istri kelima Pandawa. Arjuna juga mendapat anugerah Dewa Siwa, senjata Pashupati, Raja Hewan, yang melambangkan pemiliknya sudah menguasai sifat hewani dalam diri. Toh Arjuna masih merasa takut menghadapi keperkasaan Kakek Agung Bhisma, Guru Drona dan takut membunuh saudara-saudaranya sendiri.

Takut Karena Salah Menentukan Identitas Diri

“Dalam keadaan gelisah itu, Arjuna tidak sadar bahwa sesungguhnya ia sudah berhadapan dengan jawaban dari setiap pertanyaan yang ada dalam benaknya. Dirinya mewakili seribu satu macam pertanyaan dan persoalan yang dihadapi oleh manusia. Sementara itu, Krishna mewakili jawaban tunggal yang dapat menyelesaikan segala macam persoalan, yaitu dengan kembali pada diri sendiri.” (Krishna, Anand. (2007). The Gita Of Management, Panduan bagi eksekutif muda berwawasan modern. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama)

Semua orang mengalami delusi sehingga ia terkena kesedihan, yang bertindak sebagai rem terhadap tindakannya. Arjuna, seorang pahlawan besar, yang sudah mampu melepaskan diri terhadap keterikatan, dan memiliki berbagai kebijaksanaan, toh ia masih juga diperdaya oleh rasa takut dan kesedihan yang menghambat perannya untuk menegakkan kebenaran. Pada awal Bhagavad Gita, Arjuna masih bingung akan identitas dirinya. Arjuna mencampur-adukkan sifat atma yang abadi dengan tubuh duniawi yang bersifat fana. Ini adalah tragedi yang bukan saja dialami oleh Arjuna, akan tetapi oleh seluruh umat manusia. Arjuna menjadi ‘murid’, patuh terhadap Sang Guru, dan itu adalah langkah awal menuju ‘Manusia Universal’ yang sudah bebas dari conditioning kotak-kotak identitas suku, ras, agama, profesi, genetika bawaan dan sebagainya. Sebagai manusia universal Arjuna bebas dari penghakiman terhadap tindakan orang lain, terhadap kepercayaan yang diyakini masing-masing orang. Walaupun tidak menghakimi, karena Arjuna masih hidup di dunia, maka dia tetap memilah mana yang dharma mana yang adharma. Dia tetap menilai apakah tindakan bala Kurawa itu dharma atau adharma. Dan Arjuna tetap pro penegakan dharma.

Dalam Geeta Vahini disampaikan bahwa Bhagavad Gita adalah perahu yang membawa seseorang menyeberang dari pantai perbudakan yang penuh ketakutan menuju pantai kebebasan yang alami. Orang dibawa dari kegelapan menuju penerangan, dari redup tanpa kilau menuju cerah gemerlap. Bhagavad Gita membuat manusia berdisiplin berkarya yang bebas dari noda-noda yang mengikatnya pada siklus kelahiran dan kematian tanpa henti. Singkatnya, manusia datang ke medan kerja dunia hanya untuk berkarya, bukan untuk memperoleh hasil dari kegiatan tersebut. Berkarya tanpa pamrih. Sepi ing pamrih rame ing gawe. Itulah pelajaran mendasar Bhagavad Gita. Bhagavad Gita adalah intisari dari semua Weda. Bhagavad Gita bernilai universal. Bhagavad Gita digunakan untuk berenang melintasi samudera ilusi.

Jadilah Arjuna

“Arjuna baru tersadarkan bila perang yang dihadapinya bukanlah untuk meraih kerajaan (pikiran itu berada dalam lingkupan waktu), tapi perang untuk menegakkan kebajikan dan keadilan, atau dharma. Kesadaran seperti itulah yang membebaskan kita dari cengkeraman Sang Kala dan menjadi bagian dari Sang Kala Hyang Maha Menyengkerami. Apa itu dharma, dan apa kewajiban alat, atau saya ingin tahu job-description alat baru mau jadi alat. Saya mau bereskan pikiran dan emosi dulu baru menjadi alat. Semua keraguan itu muncul karena kita belum yakin. Bukan saja belum yakin pada seorang, sesuatu atau Tuhan, tapi belum ‘punya keyakinan’. Orang yang punya keyakinan tidak bersikap seperti itu. Dia tahu persis bila Sang Kala bahkan tidak perlu diyakini. Ia bekerja terus, mau diyakini baik tidak pun baik. Maka menjadi alat Sang Kala sesungguhnya adalah demi kebaikannya. Supaya ia bebas dari cengkeraman Sang Kala. Jadilah alat yang baik.” (Kutipan dari Bapak Anand Krishna dalam materi Neo Interfaith Studies pada program online One Earth College of Higher Learning.)

Bapak Anand Krishna menekankan bahwa: Tuhan mempercayai kita, maka dilahirkanlah kita semua sebagai agen, (penyalur) duta besar penuh kuasa untuk ikut mengurusi dunia ini. Mari kita hormati kepercayaan-Nya. Kemudian ketika kita lupa akan peran kita, maka Ia pula yang mempertemukan kita dengan seseorang yang ahli dalam spiritual supaya cepat-cepat ingat kembali.

Babad Pasek Kayu Selem



BABAD KAYU SELEM

Babad Pasek Kayuselem ini merupakan turunan Saudara Wayan Pasek yang sumbernya dipetik dari koleksi Gedong Kirthya di Singaraja dan pada kesempatan ini, ingin pula disampaikan bahwa untuk mengetahui isi suatu babad kita harus lebih berhati hati apabila kita ingin menarik suatu kesimpulan yang termuat di dalamnya Kita harus menyadari karena pada umumnya ceritera yang disampaikan di dalam babad banyak diselingi Ceritera ceritera lain yang kadang kadang membingungkan si pembaca, Uraiannya putus putus tidak berurut dan tidak jarang pula ceritera yang disisipkan agak menyimpang dengan judul babadnya. Oleh karena mengingat hal tersebut, pada bagian ini terketuk pula hati Penulis untuk menyampaikan isi pokok babad Pasek Kayuselem secara lebih sistimatis dengan harapan Semogä apa yang dapat penulis simpulkan kiranya lebih mempermudah dan dapat dijadikan pegangan apabila kita ingin menuturkannya kepada Masyarakat lainnya. Sebagaimana halnya dengan babad babad lainnya pada bagian pembukaan babad ini diuraikan permohonan maaf sipenulis agar para leluhur, kawitan serta Ida Sanghyang Widhi Waça berkenan memaafkan serta nengampuni sipenulis atas keberaniannya menuturkan kembali Hyang Kawitan kepada masyarakat.

Selanjutnya dijelaskan paduka Bhatara Hyang Pasupati amat prihatin melihat pulau Bali yang selalu saling terantuk dengan Selaparang (Lombok).Oleh karena itu untuk menghindari hal tersebut Bhatara Hyang Paçupati dengan segala kekuatannya membongkar sebahagian gunung Mahameru di Jambudwipa untuk dipindahkan ke pulau Bali dan Selaparang sebagai penindih agar kedua pulau ini tidak mudah dihanyutkan serta terantuk oleh gelombang. Perpindahan gunung ini menyebabkan di Bali kita mengenal gunung Lokapala yaitu gunung Lempuyang , gunung Andakaça, gunung Watukau, gunung Beratan, gunung Mangu dan gunung Tulukbiyu. Setelah nusa Bali tenang dan tidak diombang ambingkan oleh gelombang, Bhatara Jagat Karana mengutuskan Bhatara Hyang Tiga yaitu, Bhatara Mahadewa, Bhatari Danuh serta Bhatara Ghnijaya turun ke Bali sebab pada saat itu pulau Bali .amat sunyi keadaannya. Berkat kesaktian beliau akhirnya Bhatara Hyang Tiga tiba dengan selamat dinusa Bali. Bhatari Danuh ditugaskan, bersemayam (aparhyangan) di Ulun Danu,.Bhatara Hyang Ghnijaya bersemayam di gunung Lempuyang sedangkan Bhatara Putrajaya bersemayam di Besakih. Dijelaskan rula pada waktu Bhatara Putrajaya türun ke Bali beliau diiringi oleh Bhatarà lainnya antara lain Bhatarà Tumuwuh yang selanjutnya bersemayam di gunung Watukaru, Bhatara Manik Kumayang yang bersemayam di gunung Beratan, Bhatara Hyang Manik Galang bersemayam di Pejeng $erta Bhatara Tugu bersemayam di gunung Andakaça Bhatara Hyang Ghnijaya dan Bhatara Hyang Mahadewa tidak henti-hentinya melakukan yoga semadi demi ketentraman serta kesejahteraan pulau Bali. Berkat ke mahiran beliau beryoga dari semadi Bhatará Hyang Ghni jaya lahirlah anak laki—laki yang cakap dan sempurna yang pada waktu lahirnya’ semuanya beralaskan daun pisang kaikik. Adapun putra—putra beliau adalah Sang Brahmandá Pandita, Mpu Mahameru, Mpu Gana,Mpu Kuturan, dan Mpu Pradhah. Kemudian atas kehendak beliau mereka berlima
diperintahkan ke Jambudwipa untuk memperdalam kesidhi ajnanan mereka masing— masing Ketika yoga mereka teláh masak Sang Brahmanda Pandita menikah dengan Bhatani Manik Gni, Putri Bhatara Hyang Mahadewa di Tolangkir dan berganti nama menjadi Mpu Ghnijaya. Dan pernikahan beliau menurunkan Mpu Ktek, Mpu Kananda, Mpu Wirajnana, Mpu Withadharma, Mpu Ragarunting, Mpu Preteka, Mpu Dangka yang kemudian dikenal dengap Pasek Sanak Pitu. Setelah beberapa lamanya dengan diiringi kedua adiknya yaitu Mpu Gana dan Mpu Kuturan. beliau menaiki daun kapu—kapu yang berlayarkan daun tehep kembali ke nusa Bali. Setibanya di Bali (di Silayukti) beliau langsung ke Besakih menghadap Bhetara Putra Jaya serta Ayahandanya Bhetara Ghnijaya di Gunung Lempuyang, serta Selanjutnya Mereka silih berganti ke Jawa dan ke Bali. Pada waktu itu diceritakan pula Pulau Bali amat tenangnya, namun para Bhetara yang bersemayam di Bali masih merasakan adanya kekurangan sebab walaupun telah banyak dibangun tempat-tempat suci ( Khayangan ), Bali masih amat lengang karena tidak ada manusia hidup di Bali yang menyungsung dan menghormati para Bhetara. Itulah sebabnya Bhetara Ghnijaya dan Bhetara Catur Purusha sepakat menghadap Bhetara Hyang Pasupati ke Jambu Dwipa untuk mengutarakan maksudnya. Oleh Bhetara Hyang Pasupati maksud diatas dipenuhi dan untuk ini Beliau disarankan menunggu di Besakih saja. Bhetara Hyang Pasupati ( Pramesti Guru ) dengan diiringi oleh para Dewata semua, Rsi Gana, Dewa Sanga serta seluruh yang ada di Sorga beramai-ramai turun ke Bali. Dalam perjalanan Beliau Bhatara Parameswara ( pasupati ) mengendarai Padma Manik Anglayang diapit Payung serta umbul-umbul. Sedangkan para Dewata lainnya mengndarai Wahana mereka masing-masing. Bergema suara gentanya serta bergemuruh suara diangkasa diiringi Keplug dan sebagainya. Setibanya di Tolangkir beliau dsambut oleh Bhetara Putra Jaya, Betara Ghnijaya serta Bhetara Catur Purusha sesuai dengan Penyambutan dan penghormatan yang berlaku lalu langsung menuju Tampurhyang. Kemudian Bhetara Pramestiguru bersabda : : “anakku Deata Semua sekarang siapkanlah segala keperluan agar segera tercipta Manusia yang kalian kehendaki, Kamu Hyang Iswara hendaknya menyusup di Otot, Hyang Mahadewa di Sumsum, Hyang Wisnu di Daging dan kamu Sangkara serta Rudra pada Pabwahan ( Ginjal )”. Ketika semua telah siap menghadap Perasapan (Kundagni), tiba tiba datanglah Bhetara Yamadipati berwujud seekor anjing hitam hendak menghalangi maksud Bhetara Pramesti guru yang dengan angkuhnya Anjing Jelamaan Bhetara Yamadipati berkata : “Hai Paduka Bhetara Pramesti Guru sekarang Paduka hendak menciptakan manusia dari tanah, Mustahil maksud tersebut akan terlaksana, Andaikata benar tercipta manusia, hamba sanggup makan kotorannya, Mendengar ucapan ini dengan murkanya lalu Bhatara Pramesti Guru menjawab : “Hai Yamadipati yang angkuh apa katamu ? Besar amat kesanggupanmu terhadapku, Yah andaikata maksudku tidak terlaksana, aku bukanlah dewa dan seluruh dewa—dewa, Patutlah diriku ditenggelamkan ke dalam kotoran”. Bhatara Pramesti Guru kemudian beryoga.. Api perasapan berkobar, asapnya keluar lalu terwujudlah muka manusia, Tetapi tiba—tiba penjelmaan manusia itu patah, diiringi dengan suara gonggongan sang anjing .... kong kong kong karena kegirangan. Bhatara mengulangi yoganya, Untuk kedua kalinya manusia ciptaan beliau patah, Sang anjing amat bergembiranya serta menggong—gong suaranya kong kong kong, Bhatara tidak
putus asa dan mengulangi yoganya, Untuk ketiga kalinya Bhatara Pramesti Guru gagal menciptakan manusia, disertai gonggongan sang anjing king... King... Sampai lima kali Bhatara beryoga selalu mengalami kegagalan, Akhirnya beliau merasa berang dikalahkan dan diejek o1eh anjing. Dengan segala kesaktiannya beliau menyatukan tiga dunia (Triloka). Api perasapan kembali berkobar, dunia bergoncang, keluarlah amerta disertai terjelmanya manusia ciptaannya. Ketika itu tercenganglah sang anjing terkejut menyaksikan manu sia ciptaan Bhatara. Bhatara Hyang Pramesti Guru : “Sekarang kalahlah kamu, hai anjing. Ingat mulai sekarang anjing harus memakan kotoran manusia”. Amatlah malunya Bhatara Yamadipati mendengar kutukan tersebut dan tanpa memberikan jawaban, menangis serta menyesal atas perbuatannya lalu pergi ke Yamadiloka. Di Yamadiloka ia mengumpulkan seluruh cikrabala terutama si Bhuta Kalika serta pàra Kingkara bala Lainnya dan berkata :“Hai para balaku semua aku perintahkan kamu agar turun ke madyaloka untuk menggantikan diriku memakan kotoran manusia mulai sekarang sampai seterusnya sebab aku kalah hertaruh dengan Bhatara Acintya, Itulah sebabnya aku memerintahkan kepadamu menggantikan diriku menjadi anjing di madyaloka”. Tetapi petuahku kepadamu, kelak apabila sudah saatnya manusia itu mati, disanalah kita bersama-sama menyiksa roh manusia yang berlaksana tidak pantas selama hidupnya di madyaloka. Itulah asal mula nya mengapa anjing memakan kotoran manusia. Selama Bhatara Hyang Pramesti Guru di Tampurhyang beliau juga menciptakan manusia dari serabut ( toktokan) kelapa gading sehingga terjelma dua orang manusia laki perempuan yaitu Ki Ketok Pita dan I Jenar. Oleb karena keduanya buncing ,mereka dikawinkan dan menurunkan keturunannya. Tidak hanya sampai di sini saja,Bhatara Pramesti Guru dengan yoga semadinya berusaha menciptakan manusia lainnya. Dan payogan beliau ini lahirlah dua orang manusia 1aki perempuan pula yaitu Ki Abang dan I Barak. Keduanya bersuami istri dan pindah, menetap di tepi danau yang sekarang disebut desa Abang. Ciptaan manusia yang berasal dari sumber yang berbeda beda ini melahirkan keturunannya dan menambah banyaknya manusia di Bali, namun biji mata mereka semuanya hitam tanpa ada putihnya. Mengingat makin banyaknya manusia diBali tetapi masih awam dan tidak dapat melakukan pekerjaan se patutnya, Bhatara Hyang Pramesti Guru mengutus para dewä lainnya untuk mengajarkan manusia membuat alat alat dan bercocok tanam. Hutan di Tampurhyang dibakar dan ditebang dijadikan ladang agar dapat ditanami oleh manusia. Bhatara Indra diutus mengajarkan manusia mesesanggingan (ukir mengukir). Bhagawan Wismakarma mengajar ngundaginin (membuat bangunan) dan sebagainya. Hubungan para Bhatara dengan manusia sangat eratnya. Mereka dapat bercakap dan saling melihat Sebagaimana kita melihat teman lainnya. Namun hubungan ini tidaklah terlaksana abadi sebab suatu godaan tiba tiba muncul saat itu. Diceriterakan bahwa sebagaimana biasanya para Bhatara sering berjalan jalan di Tampurhyang melihat dan mengawasi orang—orang desa dalam melaksanakan kewajibannya. Tidak jarang pula mereka be cakap—cakap dengan intimnya membicarakan situasi disekitarnya. Pada suatu senja Bhatara berkehendak pulaberjalan—jalan melihat tanam—tanaman yang dikerjakan manusia. Ditengah jalan beiiau bertemu dengan manusia. Manusia itu menyapa dengan hormatnya sambil buang air dan menanyakan hendak kemana paduka Bhatara di sore
hari. Kebetulan pada waktu itu si Balwan (Bunglon ) melihat peristiwa ini. Dengan marah dan angkuhnya si Balwan berkata : “Hai kamu manusia, sungguh kamu tidak senonoh, amat durhakamu, Benar—benar kamu tidak mengenal budi pekerti, Dimana kamu menemukan aturan yang menjelaskan bahwa kamu boleh menyapa Bhatara sambil buang air ? Pantaslah kamu manusia herasal dari tanah dikepal kepal”, Manusia itupun menjawab : “Ih kamu Balwan apa katamu ? mengungkap_ ungkap asal usulku, benar— benar kamu tidak tahu adat (nirgama), berpura—pura akhli dan taat kepada tata susila, Pantaslah asal usulmu kumatap—kumitip yang diselimuti oleh kotoran, Dasar kamu ini, berpura—ura alim, mengapa kamu keberatan sedangkan Bhatara sendiri tidak merasa tersinggung”. Si Balwanpun menjawab : “Hai kamu manusia yang dungu, moga—moga kamu menjadi hina dina, Semoga kamu menjadi orang dusun untuk seterusnya atas dosamu menyapa dewa, Amatlah dengkinya si Balwan seraya berkata kepada Bhatara dan mengasutnya, Bhatara lalu memanggil seluruh manusia yang ada dan setelah berada dihadapannya, mereka dipérintahkan mendelikkan matanya sambil memandang Bhatara. Mata mereka dicoret dengan kapur disertai kutukan : “Semoga hai kamu manusia, karena kamu bertindak yang tidak pantas kepadaku muiai saat ini kau tidak akan dapat melihat para dewata sampai seterusnya, atas dosamu menyapaku sambil buang air, Sapaku ini berlaku pula kepada keturunanmu, seandainya engkau ingin bertemu denganku, pada saat kematianmulah akan dapat meiihatku”. Demikianlah sapa Bhatara kepada manusia. Mereka menyembah kehadapan Hyang Bhatara yang tak henti—hentinya menyesali perbuatannya. Itulah sebabnya mengapa manusia di dunia tidak dapat melihat para dewata lagi. Diceriterakan bahwa ketika mereka kembali ke gubuknya di tengah jalan mereka bertemu dengan si Balwan, Terjadilah perdebatan antara si Balwan dengan manusia, Mereka berseru : “Berbahagialah aku bertemu denganmu di sini, Sekarang aku akan menyampaikan kepadamu bahwa mulai saat ini sampai seterusnya aku akan menjadi musuhmu dan setiap keturunanku bertemu dengan keturunanmu mereka akan membunuh keturunanmu, Si Balwan lalu menjawab : “Hai manusia aku tidak akan menolak permintaanmu, Baiklah kalau demikian, tetapi ada permintaanku kepadamu yaitu apabila keturunanku bertemu dengan keturunananmu pada waktu kajeng kliwon, keturunanku akan membunuh keturunanmu dengan menjilat badan serta mata kakinya” Baiklah kalau demikian mulai sekarang beritahukanlah seluruh keturunanmu agar mereka tetap waspada terhadap perjanjian ini, Itulah sebabnya si Balwan dapat merubah diri sesuai dengan keadaan disekitarnya lebih—lebih apabila berada di daun kayu. Pada salah satu bagian babad ini dijelaskan pula asal mula timbulnya pungkusan keturunan Tewel yang diuraikan sebagai penuturan di bawah ini. Seperti halnya para dewa—dewa lainnya Bhatara çiwa diutus oleh Bhatara Hyang Pramesti Guru untuk menuntun dan memberikan pelajaran kepada orang—orang yang ada di Bali, membuat bale papayon agar dapat ditiru ôleh orang—orang Baliaga. Dalam perjalanannya beliau menjumpai tuwed nangka sisa—sisa hutan yang terbakar waktu membuat lading, Melihat tuwed nangka ini lalu terbitlah keinginan beliau untuk memperbaik i dan memperhaluskannya sehingga berbentuk manusia, Bhatara çiwa dengan dibantu oleh Hyang Semara, beryoga dan menjelmakan manusia laki perempuan Sejumlah 1l9 orang. Mereka berpasang—pasangan dan menikah dengan saudaranya, Karena jumlah 119 salah seorang wanita diantaranya tidak mendapatkan jodoh dan tidak mau dimadu oleh
saudaranya, Dengan perasaan kesal dan sedih berjalanlah ia tanpa tujuan Sehingga akhirnya sampai di tempat tuwed nangka yang diperhalus oleh Bhatara çiwa, Wanita ini merasa tertarik / jatub cinta kepada togog nangka dan sambil dielus—elusnya iapun berkata “Wahai arca penjelmaan Mona, benar—benar terkesan dihati hamba, Yah seandainya tuanku (togog), menjadi manusia, hamba akan sanggup dan bersedia menghamba, Suka duka hamba akan selalu mendampingi serta memenuhi segala kehendak tuanku. Demikian ucapan wanita itu seraya mengurut togog tuwed nangka sehingga karena seolah—olah telah berhubungan dengannya keluarlah spermanya. Atas kehendak Hyang Bhatara akhirnya perempuan itupun hamil Namun ia tidak henti hentinya berujar bermohon kepada Bhatara agar apa yang dicita—citakan terlaksana. Selanjutnya datanglah Bhatära Brahma disertai Bhatara Semara seraya berkata “Hai kamu perempuan Baliaga dusun, apa kehendakmu sekarang ? Hendak bersuami dengan togog ? Perempuan itupun menjawab sambil menyembah “Wahai paduka Bhatara, hamba menyadari tetapi oleh karena besar kasih sayang hamba kepada tawulan ini, andaikata berkenan dihati Bhatara alangkah berbahagia perasaan hamba seandainya paduka Bhatara dapat menjelmakan tawulan ini menjadi manusia agar dapat hamba jadikan suami sampai seterusnya”. Bhatarapun menjawab “Hai kamu manusja andaikata demikian kehendakmu baiklah akan aku laksanakan segalanya”. Kemudian Bhatarapun beryoga sehingga tidak lama akhirnya tawuluan itu menjelma menjadi seorang pria yang amat tampan. Tidak terkatakan betapa gembiranya wanita dusun Baliaga itu, sebagai tidak di dunia perasaannya. Segera penjelmaan itu diayunnya, dipangku, dirangkul, dielus— elus karena suka citanya sehingga hampir saja keluar sanghyang tiga smaraturanya (sperma), Tercenganglah Bhatara melihat tingkah ]aku perempuan itu dan berkata : “Hai kamu manusia, amatlah tidak senonohmu, Sekarang terimalah kutukanku atas dosamu yang tidak tahu diri tidak sabar berkasih kasihan serta mengelus elus dihadapanku, Sedikitpun kamu tidak mengenal malu dan tidak mempunyai perasaan takut Semogalah kamu hai manusia selalu bertengkar, tidak serasi dalam keluargamu karena kawin dengan tuwed, Kelak apabila kandungan ini lahir semoga melahirkan gumatap—gumitip sejumlah 175 dan berbalik menjadi musuh manusia di dunia, Selanjutnya apabila kamu kembali melahirkan anak dengan si Tawulan dimanapun mereka berada agar bernama Ki Mangatewel sebab leluhurmu berasal dari kayu tuwed nangka.

 
Pada bahagian lain babad Pasek Kayuselem diselingi ceritra bertahtanya seorang raja bernama Detya Karna pati dengan abiseka çri Jayapangus yang berkeraton di Balingkang. Selama beliau memegang tampuk pemerintahan, Bali amat aman, tenteram dan segala usahanya selalu ber hasil, Sebaliknya ketika çri Jayapangus wafat, Bali kembali menjadi lengang sebab tidak ada raja yang membimbing penduduk Bali. Menyadari hal ini Bhatara Putra jaya, Bhatara Ghnijaya serta Hyang Catur Purusa bersama sama pergi ke Jambudwipa menghadap Bhatara Hyang Pramesti Guru untuk memohon, agar ada raja yang memerintah di Bali. Permohonan beliau dipenuhi dan sesuai dengan hasil pertemuan para dewa, diputuskan Mayadanawa turun ke Bali untuk memegang tampuk pemerintahan, Mayadanawa adalah anak Bhagawan Kasyapa yang kawin dengan Dyah Wyapara, Dari perkawinan ini lahir Mayadanawa yang menikah dengan Dewi Malini putri dan Hyang Anantabhoga dan beribu-kan Ni Dewi Danuka. Mayadanawa selama memerintah di Bedahulu didampingi seorang patih yang amat terkenal bernama Kala
Wong dan pusat pemerintahannya terletak di Batànar ( Pejeng). Pada awal pemerintahan Mayadanawa pulau Bali tidak jauh berbeda dengan masa pemerintahan çri Jaya pangus yang berkeraton di Balingkang. Namun hal ini tidaklah dapat berlangsung lama sebab sifat loba,tamak angkara murka serta “Nyapa kadi aku” makin menyelubungi hatinya. Prabu Mayadanawa tidak ingat akan dirinya sebagai seorang raja yang harus mengayomi dan melindungi seluruh rakyat, Mayadanawa tidak ingat akan kebesaran Tuhan yang telah menjadikannya, Bahkan dengan tegas Mayadanawa menghalangi dan melarang rakyat menghaturkan sembah dan pemujaan Ida Sanghyang Widhi Waça. Rakyat Bali tidak diperkenankan sujud kehadapanNya sebab Maya danawa berpendapat, tidak ada yang lebih kuasa, kuat dan berpengaruh selain dirinya, Oleh karena itu tidaklah ada gunanya menghaturkan sajian kepada Ida Sang hyang Widhi Waça kecuali kepada dirinya. Tindakan di atas amat merisaukan para dewata sebab sejak saat itu rakyat Bali tidak ada yang berani menghaturkan sembah dan bakti kepadaNya. Mereka takut melakukannya, khawatir serta cemas dikenakan hukuman ataupun siksaan oleh Mayadanawa, Kegelisahan para dewata makin tidak dapat dibendung lagi, Akhirnya para Bhatara dan dewata di Tolangkir menghadap Hyang Pra mesti Guru, memohon agar Prabu Maya danawa yang mencemaskan penduduk Bali dimusnahkan dari madyaloka. Hyang Pramesti Guru memerintahkan para dewata para resi dan tidak ketinggalan Bhatara Indra agar turun ke Bali untuk melenyapkan raja Mayadanawa, Se tibanya di Bali terjadilah pertempuran yang dasyat antara bala tentara Mayadanawa dengan para dewata, Korban diantara kedua belah pihak berjatuhan dan pertempuran tetap berkobar dengan sengitnya, Bala tentara Mayadanawa terdesak, tidak kuat melawan serangan para dewata yang dipimpin Bhatara Indra, Mayadanawa dan Patih Kala Wong melarikan diri tetapi walaupun menyamar menjadi berbagai bentuk, penyamarannya tetap diketahui Bhatara Indra. - Mula—mula Mayadanawa menjelma menjadi pohon timbul, kemudian lari ke sorga menjadi seorang bidadari tetapi diketahui juga dan tak henti—hentinya dikejar Bhatara Indra. Perlu kami sampaikan bahwa pada Usana Bali dijelaskan banyak nama— nama desa yang dihubungkan dengan penjelmaan Mayadanawa dalam menyelamatkan dirinya dari kejaran Bhatara Indra. Misalnya tempat Mayadanawa menjelma menjadi busung (daun kelapamuda),disebut desa Belusung, Tempat Mayadanawa menyamar menjadi pusuh ( jantung pisang) disebut desa Paburwan, tempat Maya danawa menyamar menjadi batu besar sekarang disebut desa Sebatu, Menjadi manuk (burung) disebut desa Manukaya Tempat Mayadanawa menyamar menjadi padi disebut desa Tampaksiring dan terakhir sampailah ia pada suatu tempat dan menjelma menjadi padas (paras), Pada penjelmaan inilah akhirnya Mayadanawa dipanah oleh Bhatara, Indra sehingga menemui ajalnya, Tempat terbunuhnya Mayadanawa dan Patih Kala Wong kini dikenal dengan nama desa Toya Dapdap dan Pangkung Petas. Sedangkan darah Mayadanawa yang terus mengalir menjelma menjadi sungai yang sekarang dikenal dengan nama sungai Petanu. Tersebutlah setelah Prabu Mayadanawa meninggal, arwahnya dapat kembali ke sorga sebab walaupun Maya— danawa telah berbuat jahat dan melarang orang—orang menghaturkan sembah kehadapan Sanghyang Widhi Waça pada waktu beliau di Madyaloka namun tetap dianggap sebagai seorang kesatria (puruseng rana) yang rela berkorban di medan pertempuran. Dewi Malini amat sedih ditinggalkan suaminya (Mayadanawa), Ia merasa ini sebab arwah suaminya dapat menetap di sorga dengan tenangnya, Itulah sebabnya Dewi Malini pergi ke Sapta Petala menghadap ibundanya Dewi Danuka, Mendengar pengaduan putrinya, Dewi Danuka tidak dapat memecahkan
permasalahan tersebut dan mereka berdua pergi menghadap Dewi Wyapara, Dewi Wyaparapun tidak dapat mengatasi persoalan di atas. Akhirnya mereka berdua(Dewi Wyapara dan Dewi Danuka) pergi ke Indraloka menghadap Bhatara ,Indra serta memohon agar Mayadanawa dapat kembali menjelma menjadi raja di Bali. Oleh Bhatara Indra permohonan mereka dikabulkan tetapi dengan persyaratan bahwa sebelum Mayadanawa menjelma Ia harus beryoga semadi untuk melenyapkan segala dosa yang pernah dibuatnya. Ketika yoganya selesai dan segala dosa—dosanya lenyap Mayadanawa diperintahkan menjelma menjadi raja di pulau Bali. Penjelmaan beliau buncing (kembar laki perempuan) dan berabiseka çri Aji Masula Masuli. Sejak saat kelahiran çri Aji Màsula Masuli, Bhatara Indra memberitahukan kepada seluruh penduduk Bali bahwa mereka tidak diperkenankan kawin dengan saudara kandungnya. Mereka tidak diperkenankan meniru (amada—mada) çri Aji Masula Masuli yang kawin dengan saudara kandungnya. Ditegaskan bahwa andaikata diantara mereka ada yang melanggar, mereka harus dibuang ke laut sebab dianggap mencemarkan negara (angletuhin gumi). Lebih—lebih apabila ada penduduk yang melahirkan anak laki perempuan (kembar buncing) seperti ke lahiran Dalem çri Aji Masula Masuli, mereka harus disingkirkan dan bertempat tinggal di dekat kuburan Selama 42 hari, serta untuk mengembalikan kesucian desa penduduk harus melaksanakan upakara pamalik sumpah, anyapuh untuk melenyapkan kekotoran (keletehan) desa. Lebih jauh diceriterakan bahwa dari çri Aji Masula Masuli ini lahirlah seorang putra yang tampan serta ahli menjalarkan weda mantra. ,Putra beliau bernama Tapolung (Tapaulung) yang kemudian menggantikan ayahnda-nya menjadi raja di Bali dengan didampingi dua otang patihrya yaitu Pasunggrigis dan Kebo Iwa, Selama pemerintahan raja Tapolung pulau Bali tetap aman Seperti pada masa pemerintahan Sri Aji Masula Masuli. Selanjutnya pada bagian akhir babad mi dijelaskan bahwa Bhatara Putrajaya memerintahkan agar : a. Mpu Ghnijaya beryoga di gunung Lempuyang bersama—sama Bhatara Kamimitan yaitu Bhatara Ghnijaya. b. Mpu Semeru beryoga di Besakih bersama— sama Bhatara Putrajaya. c. Bhatara Ghana beryoga di Dasar Bhuwana. d. Mpu Kuturan beryoga di silayukti. e. Mpu Bradah ke Jawa dan ke Bali (angajawa dan angabali). Mpu Ghnijaya menurunkan Sanak Pitu. Mpu Sumeru menurunkan Mpu Kamareka dan Mpu Ghana menurunkan Mpu Galuh. Setelah kita mengikuti beberapa garis besar isi babad Pasek Kayuselem yang merupakan uraian pelengkap babad ini, baiklah pada bagian ini kita mengalihkan pikiran untuk membicarakan bagaimana asal usul terjadinya Warga Pasek Kayuselem sesuai dengan
babad yang kami pakai dasar penyusunan tulisan ini. Tersebutlah pada waktu para dewata merabas dan membakar hutan di gunung Tampurhyang sebuah pohon asam( tuwed) tidak habis terbakar oleh api, Tuwed asam yang masih tersisa ini kelihatan sebagai orang yang sedang bersemadi (ngranasika). Penduduk Bali makin bertambah mengingat sudah banyaknya manusia di Bali. Bhatara Brahma diperintahkan oleh Hyang Pramesti Guru turun ke Bali untuk menciptakan manusia agar kelak ada keturunan Bhujangga di Bali. Ketika beliau sampai di Tampurhyang dijumpainya tuwed asam tersebut. Beliau amat tertarik melihat dan berkehendak memperbaikinya. Kemudian Hyang Brahma mengundang Bhagawan Wismakarma untuk memperbaiki dan memperhalus tuwed asam itu agar benar—benar menyerupai bentuk manusia. Untuk memenuhi maksud di atas serta agar beliau tidak dikenal oleh orang—orang Baliaga. Bhagawan Wismakarma menyamar menjadi seorang petani dusun, berbaju kotor dan bertopikan sebuah kuskusan datang ke tempat tuwed asam bekas pembakaran hutan di Tampurhyahg. Tuwed tersebut diperbaiki dengan saksama sehingga benar benar berbentuk wujud manusia yang tampan. Sebelum Bhagawan Wismakarma meninggalkan Tampurhyang beliau tidak lupa memberikan petunjuk kepada wong Baliàga, bagaimana cara membuat bangunan (ngundaginin) agar dapat dikembangkan dan diterapkan pada masa mendatang. Atas perintah Hyang Pramesti Guru, Bhatara Indra ditugaskan mengajar wong Baliaga agar mereka dapat mengerjakan pekerjaan yang berhubungan dengan ukir mengukir (sangging). Selama Bhatara Indra berada di Tampurhyang beliau tidak lupa menyempurnakan togog celagi yang telah diperhalus sebelumnya oleh Bhagawan Wismakarma. Demikian pula agar penduduk Baliaga mengenal perdagangan, Bhatara Hyang Pramesti Guru mengutus para Bidadari menyamar menjadi penjual keris serta kain agar dapat ditiru oleh wong Baliaga. Pada kesempatan ini para bidadari pergi ke tempat togog tuwed celagi dan mengenakan kain, destar,sampir, ikat pinggang serta menyisipkan sebuah keris di pundaknya. Keindahan togog makin bertambah serta orang—orang Bali aga tidak bosan—bosan menikmatinya. Siang malam mereka berbondong-bondong melihat sehingga tak ubahnya Seperti Sang Kresna di Dwarawati sedang dihadap para menteri dan rakyatnya. Kewibawaan togog makin cemerlang, sehingga banyak diantara mereka yang kagum dan tercengang menyaksikan. Bahkan banyak pula diantara nEreka mengeluarkan ucapan bahwa apabila tögog tersebut benar benar berwujud seorang manusia mereka akan sanggup menghamba selama hidupnya. *** Diceriterakan Mpu Mahameru turun ke Bali hendak menghadap Bhatara Putrajaya di Tolangkir dan Bhatara Ghnijaya di Lempuyang. Dalam perjalanannya menuju desa Kuntugladi beliau beristirahat sejenak di Tampurhyang. Di tempat itu Mpu Mahameru melihat air yang jernih Se hingga timbul hasrat beliau untuk mencuci muka. Ketika beliau mencuci muka terlihat olehnya tuwed clagi yang amat tampan dan berwibawa sedang dikerumuni oleh orang orang Baliaga. Terketuk hati beliau untuk menjelmakan togog tersebut menjadi seorang manusia. Mpu Mahameru beryoga dan dengan segala keahliannya dan terjelmalah togog itu menjadi seorang manusia. Tiba—tiba manusia penjelmaan togog (Kayureka) menjadi amat tercengang serta keheran heranan sebab tidak
mengetahui apa yang harus ia perbuat, seraya menghaturkan sembah dihadapan Sira Mpu ia pun bertanya : “Wahai Paduka Sang Mahamuni, siapakah yang telah menaruh belas kasihan kepada hamba sehingga hamba benar—benar menjelma menjadi seorang manusia ?“. Mpu Mabameru menjawab : “Hai Kayureka akulah yang menjelmakanmu menjadi manusia”. Kayukreka menyembah dan memeluk kaki beliau seraya bertanya : “Siapakah sebenarnya paduka yang masih kasihan kepada hamba ?“ Mpu Mahameru menjelaskan bahwa beliau adalah putra Bhatara Ghnijaya yang bersemayam di Adrikarang (Lempuyang). Mendengar penjelasan itu Kayureka berkata “Wahai Mpu ngku junjungan hamba, hamba merasakan seolah—olah mendapatkan amerta dari paduka. Apakah yang harus hamba pergunakan membayar hutang hamba kehadapan paduka yang tak ubahnya sebagai bumi dan akasa ini ?. Sekarang tuluskanlah belas kasihan paduka kepada hamba agar segala dosa—dosa yang ada pada diri hamba menjadi bersih seterusnya. Demikian juga apabila paduka berkenan hamba memohon agar hamba bisa jüga kiranya mengikuti jejak Sang Mahameru”. Mpu Mahameru menjawab : “Tidak boleh aku menganugrahkan Sanghyang Aji kepadamu sebab engkau bukanlah berasal dari manusia, Tidak sepatutnyalah Sanghyang Aji dianugrahkan kepadamu”. Mendengar jawaban itu Kayureka menangis, menyesali nasib nya yang malang serta berkata : “Wahai paduka Bhatara, seandainya paduka tidak ada belas kasihan kepada hamba, menganugrahkan Sanghyang Aji, baiklah kembalikan dirihamba kepada wujud semula yaitu berupa tuwed, Apakah gunanya hamba menjadi manusia tidak mengetahui tata laksana dan selalu akan dijadikan tertawaan orang ?“. Mpu Mahameru tertegun mendengar ucapan Kayureka Tiba tiba terdengar suara dari angkasa : “Anakku Sang Mpu, janganlah demikian, boleh juga anakku menganugrahkan Sanghyang Aji kepadanya sebab anakku jugalah yang menjelmakan Kayureka nenjadi manusia, Janganlah khawatir aku memperkenankan Sanghyang Aji diajarkan kepada— nya”. Mpu Mahameru berpikir dan berkata : “Wahai Kayu reka, benarlah kamu ini seorang dewata yang berganti rupa menjadi sebuah togog, Pantaslah kamu menjadi Wong lawu, Sekarang marilah mendekat képadaku, aku akan menganugrahimu”. Kayurékapun mendekat dan menunduk di hadapan Sang Adiguru. Sabda Sang Mahajati “Hai Kayu reka, dengarkanlah petuahku baik—baik dan janganlah engkau mengumbar—ambirkan serta meremehkannya, karena Sanghyang Aji yang akan aku anugrahkan amat keramat. Terimalah anugrahku semoga kamu dapat meresapkan ke dalam batinmu dan karena tidak adanya Bhujangga di Bali, mulai sekarang engkau diperkenankan menjadi Bhujangga (mujanggain) orang—orang Baliaga semuanya Janganlah lupa memberitahukan keturunanmu agar mereka selalu mengingat asal usulnya. Begitu pula kelak apa— bila lahir keturunan dari kakakku Mpu Ghnijaya, keturunanmu harus menghormat dan menyembahhya, Tetapi keturunanku tidak boleh menyembah keturunanmu sebab kamu aguru putra denganku lagi pula penjelmaanmu berbeda dengan kelahiranku. Ingatlah jangan lupa, amat’ berbahaya apabila engkau tidak mentaati petuahku, Ada pun anakku Kayureka oleh karena engkau sudah apodgala (dibaptis) mulai sekarang engkau bernama Mpu Bendesa Dryakah sebab engkau berasal dan tuwed pada mulanya. Engkau diperkenankan melaksanakan upakara kematian( pralina ngentas) tetapi yang boleh kamu selesaikan upakaranya hanyalah orang—orang Baliaga saja, Anakku Mpu Dryakah kelak apabila engkau sudah meninggal dan diupakarai oleh anak cucumu, upakaranya tidak boleh diselesaikan oleh Brahmana. Kamu cukup memohon di kawitanmu (kahyanganta) sebab asal usulmu bukanlah dari manusia. Apabila anak cucumu telah selesai
mengupakarai jasadmu, engkau diperkenankan melakukan pitra yadnya sebanyak tiga turunan, dan setelah tiga turunan barulah sang resi Siwa Bhudha diperkenankan menyelesaikan (muputang) upakaranya. Ingat dan beritahukanlah petuah—petuahku ini kepada seluruh keturunanmu karena amat berbahaya apabila kena kutukanku’. Demikianlah sabda Mpu Mahameru kepada sisyanya disertai sembah sujud Mpu Dryakah dihadapannya. Disamping itu Mpu Mahameru memperingatkan kepada orang Baliaga bahwa kelak apabila diantara mereka ada yang hendak melaksanakan upakara pitrayadnya, mereka diperkenankan membakar jasad, (mabya geseng ) dan setelah dibakar diperkenankan menanam kembali. Itulah yang disebut wangsa Krama Tambus yang penyelesaian upakaranya dilaksanakan oleh Mpu Dryakah. Sebagai kelanjutannya mereka diperkenankan juga melaksanakan upakara matres dan matuwun. Kepada keturunan Ki Barakan yang berasal dari tanah liat diperingatkan oleh Mpu Mahameru bahwa keturunan mereka diperkenankan membakar jasad dan menanamnya kembali. Keesokan harinya mereka diperkenankan melakukan upakara ngirim yaitu membuat symbohis orang—orangan di atas kuburannya dan apabila ada yang hendak melanjutkan dengan upakara matres dan matuwun tidak dihalangi. Mpu Mahameru menegaskan. apabila mereka hendak bercakap—cakap dengan Bhujangga Mpu Bendesa Dryakah, mereka harus menyebut beliau Jro Gede sebagai panggilan penghormatannya. Ditambahkannya setelah Mpu Mahameru memberikan penje1asan kepada Wong Baliaga, untuk lebih sempurnanya keutamaan (kahotaman) Mpu Bandesa Dryakah, Mpu Mahameru kembali menganugrahkan Sanghyang Aji Sehingga pikiran (ajnanan) Mpu Dryakah makin terang Sejak saat itu nama beliau diganti menjadi MpuKamareka. Tidak lama setelah menganugrahkan Sanghyang Aji serta memberikan petuah—petuah kepada Wong Bali aga, Mpu Mahameru meninggalkan Tampurhyang melanjutkan perjalanan menghadap Bhatara Putrajaya di Tolangkir serta Hyang Kamimitan Bhatara Ghnijaya di gunung Lempuyang. Selama di Bali dan bekerja sama dengan Bhatara Tri Purusa, Tolangkir, Lempuyang dan UlunDanu yang dibantu oleh Wong Baliaga di bawah pimpinan Mpu Kamareka, beliau membuat beberapa kahyangan-kahyangan lainnya. Hal inilah yang menyebabkan keberangkatan Mpu Mahameru ke Jawadwipa mengalami hambatan. Diceriterakan sepeninggal Mpu Mahameru diBali, Mpu Kamareka kembali beryoga di gunung Tampurhyang yaitu pada suatu tempat yang agak tinggi bernama Gwa Song. Beliau melaksanakan yoganya dengan taat dan tekun sesuai dengan petunjuk yang diterima dan Mpu Mahameru. Dalam melaksanakan tapa, beliau tidak makan maupun minum kecuali memusatkan pikiran (ngranasika ) menghadap ketimur selama satu tahun empat hari, menegakkan Sanghyang Ongkara Mantra di dalam hatinya. Berkat kekuatan yoganya maka turunlah paduka Bhatara Brahma dari alam sunya menganugrahi Mpu Kamareka. Bhatara Brahma bersabda “Hai kamu Mpu Kamareka sungguh amat kuat yoga semadimu menghormat kepadaku. Sekarang trimalah anugrahku kepadamu tatwa dyatmika, bentuk tak berbentuk. Begitu pula aku berpesan kepada mu bahwa apabila nanti ada seorang perempuan cantik datang kepadamu mencari tirtha kamandalu, banu pawitra, itulah anugrahku sebagai istrimu dan nanti apabila kamu melahirkan keturunan
dengannya berilah ia nama Mpu Ghnijaya Kayu Ireng. Demikianlah anugrah Bhatara Brahma maka Mpu Kamareka menghaturkan sembah. Tidak hanya sampai di sini bahkan setelah beliau menerima anugrah Bhatara Brahma, Mpu Kamareka kembali beryoga memusatkan pikiran dihadapan api perasapan, Asapnya membubung ke atas, bau yang harum sampai ke sorga. Gemparlah seluruh widyadara dan widyadari para dewata serta para resi gana yang ada di sorga. Dari awang—awang keluarlah Bhatara Sanghyang Acintya disertai hujan bunga dan bersabda : “Wahai Kamareka walaupun kamu seorang Mpu dan keturunan sudra (kula wangsa) tetapi tidak terhingga betapa teguh yoga Semadimu, Sekarang ada anugrahku kepadamu tirtha kamandalu, banu pawitra. Terimalah tetapi janganlah ditekeburkan, simpanlah baik—baik dalam hatimu.Tak lama kemudian lenyaplah Bhatara diiringi weda pujaan Mpu Kamareka. Bertambah tambah kegembiraan Mpu Kamareka berkat anugrah Sanghyang Aji yang telah sampaikan kepadanya. Diceriterakan Dadari Kuning diperintahkan Bhatara Indra ke Tampurhyang untuk menjadi jodoh Mpu Kamareka. Setibanya di Gwa Song Dadari Kuning dilihat oleh Mpu Kamareka seraya disapanya, “Wahai wanita cantik yang tak ubahnya seperti Dewi Gangga, dan manakah tuan putri sehingga sampai di sini di tengah hutan yang lebat serta siapakah sebenarnya tuan putri ini ? Siapakah orang tua anda,kalau boleh ceriterakanlah kepada hamba segera”. Menjawab Dadari Kuning, “ Hamba ini adalah seorang bidadari dan Indraloka, membuang— buang langkah ke Bali hendak mencari tirtha pawitra. Tetapi oleh karena hamba melihat sebuah sinar gemerlap, hamba memutuskan menuju sinar tersebut. Itulah sebabnya hamba sampai ke tempat ini”. Mpu Kamareka menjawab : “Baiklah hai wanita cantik yang tak ubahnya sebagai Dewi Ganggà. Apakáh maksud tuan putri mencari tirtha pawitra ? ”. Wahai Sang Maha Mpu dahulu pada waktu hamba di sorga loka hamba merasa khawatir terhadap para watek gandharwa yang selalu mendesak dan memaksa hamba untuk menjadi istrinya. Itulah sebabnya hamba pergi dan sorga, pergi tanpa tujuan untuk membersihkan diri dan akhirnya bertemulah hamba dengan Sang Mahamuni di sini. Mpu Kamareka berkata : “Báiklah andaikata demikian,apabila tuan putri tidak berkeberatan marilah kita bersama—sama menanggung kesengsaraan di hutan belantara ini. Dadari Kuning menjawab : “Aduhai Sang Mahamuni teringatlah hamba pada perintah Bhatara dahulu menyuruh hamba turun ke dunia, Mungkin benar inilah jodoh hamba, Yah apabila Maha muni tidak berkeberatan tuluskanlah belas kasihan Mpu ngku kepada hamba. Mpu Kamareka tertegun tidak bisa menjawab permohonan Dadari Kuning oleh karena suka citanya, pilu bagaikan disayat hatinya,Akhirnya beliau pun menjawab dengan gregetan : Aduhai buah hatiku tidak lain hambalah jodohmu, Teringat hamba kepada sabda Bhatara báhwa bidadarilah tuanku, tidak sabar sudah kakandamu menantikannya”. Dadari Kuning menunduk, dipangku, dibelai oleh Mpu Kamareka dengan gregetan seraya berkata : “Aduhai idaman hatiku, terus kanlah kasih sayangmu kepada hamba, bersama menderita di dalam hutan, Kakandamu tidak akan menentangmu walau pun sampai tujuh kali menjelma kanda akan selalu menyertaimu”. Dadari Kuning menjawab dengan berlinangkan air mata “Wahai Mpu-ngku janganlah demikian tergesa —gesa Mpungku. Siapakah yang tidak akan bergembira apabila Mpungku berbahagia bersama hamba. Tetapi permintaan hamba apabila perkawinan telah terlaksana Mpungku tidak boleh menolak segala permintaàn hamba sebab demikianlah tata krama di sorga loka. Menjawab Sang Mpu Kamareka “Baiklah kalau demikian,kanda akan mematuhi
permintaanmu, Janganlah ragu—ragu terhadap hamba. Kemudian merekapun kawin dan bersama sama mengecap kebahagiaan orang bersuami istri. Entah berapa lama mereka bersuami istri,lahir dua orang anak laki perempuán yang amat cantik rupanya. Tidak terhingga betapa gembiranya Mpu Kamareka beserta istrinya. Kedua putra putri beliau diupacarai sesuai dengan upakara yang telah berlaku. Kedua putra putrinya diberi nama Ki Kayu Ireng dan Ni Kayu Ayu Cemeng. Ketika keduanya telah dewasa Ki Kayu Ireng berkata pada ayahndanya “Wahai ayahnda oleh karena anaknda sudah dewasa dan di gunung demikian dinginnya ka1au boleh hamba ingin mencari seorang istri, ayah anda”. Sang Maha Mpu menjawab “Anakku Kayu Ireng baiklah tetapi yang patut engkau jadikan istrimu tidak lain adikmu Ni Kayu Ayu Cemeng sebab ialah jodohmu semenjak engkau berada di dalam perut. Hanya saja sekarang masih menunggu hari yang baik untuk melangsungkan upakaranya. Akhirnya ketika tiba waktunya Ki Kayu Ireng dikawinkan dengan Ni Kayu Ayu Cemeng serta setelab dibaptis (apodgala) Ki Kayu Ireng berganti nama Mpu Ghnijaya Mahireng. Selanjutnya pada .waktu Mpu Mahameru pergi ke Bali menghadap Bhatara Putrajaya di Besakih dan Bhatara Ghnijaya di Lempuyang beliaupun tidak lupa singgah di Tampurhyang menemui Mpu Kamareka. Beliau disambut Mpu Kamareka dan istrinya sesuai dengan penyambutan para pendeta yang lazim dilaksanakan. Pada kesempatan ini Mpu Kamareka diberi petuah agar tetap taat melaksanakan apa yang telah dianugrahkan kepadanya. Ditegaskan bahwa sejak saat itu Mpu Kamareka rumawak ksatriya Brahmana selama tiga keturunan saja dan setelah itu kembali menjadi kulawangsa (sudra). Para pratisentana Mpu Kamareka dimanapun mereka berada agar tetap menjaga gagaduhan yang telah dipaparkan.Sebaliknya apabila ada yang melanggar gagaduhan tersebut mereka dikutuk agar menjadi wong tani cingkrang Pada waktu meninggalnya tidak boleh upakaranya dilaksanakan oleh brahmana atau dibakar sebab mereka di anggap bukan ketürunan Mpu Kamareka. Sedangkan bagi mereka yang taat melaksanakan gagaduhan di atas disebut wong tani dan setelah tiga turunan menjadi Arya Pasek Kayuselem. Demikian pula mereka yang sudah dianggap akhli menjalankan tata agama diperkenankan mujanggain tetapi batasnya hanya tiga turunan dan Setelah itu surud kembali. Kelak apabila ada keturunanmu hendak membakar jasad leluhur apabila belum ada brahmana di Bali yang lahir dari keturunan Mpu Ghni jaya, keturunan beliau yang disebut Jro Gede diperkenan kan menyelesaikan upakaranya. Sekarang anakku diperkenankan melaksanakan penyelesaian (muputang) jasad orang—orang Baliaga semua, Sebelum Mpu Mahameru kemba1i ke Jawadwipa beliau tidak lupa menganugrahkan Sanghyang Aji kepada Mpu Kamareka. Sepeninggal Mpu Mahameru, Mpu Kamareka memberi petuah kepada putranya sesuai dengan petuah yang beliau terima dari Mpu Mahameru. Antara lain oleh karena telah banyaknya keturunan Mpu Kamareka ditekankan agar pratisentanan beliau tetap menjaga gagaduhan dan harus aguru sisya dengan keturunan Bhatara Ghnijaya yang disebut Sanak Pitu. Walaupun mereka bersaudara, oleh karena asal penjelmaan mereka berbeda maka ditegaskannya keturunan Mpu Kamareka harus menghormati dan menyembah keturunan Sanak Pitu. Keturunan Mpu Kamareka tidak diperkenankan saling ambil mengambil (silih alap) dengan ke— turunan Sanak Pitu. Tetapi apabila keturunan Sanak Pitu berkenan, mereka boleh mengambil keturunan Mpu Kamareka, Keturunan Sanak Pitu tidak diperkenankan menyembah keturunan Mpu Kamareka tetapi keturunan Mpu Kamareka harus menyembah keturunan Sanak Pitu sebab méreka pernahsisya dengan Bhatara Ghnijaya.
Seandainya keturunan Mpu Kamareka meninggal jasadnya tidak boleh dibakar agar asapnya tidak membubung lebih atas dan pura Panarajon, pura Ulun Danu, pura Tegeh serta gunung Tampurhyang.. Bhatara tidak menginginkan kahyangañ beliau diliputi asap mayat yang amat kotor (leteh). Untuk mengatasi hal ini mereka hanya diperkenankan melaksanakan upakara penguburan ( mabya tanem ). Disamping Mpu Ghnijaya Mahireng, Mpu Kamareka melahirkan pula tiga orang putra yaitu Sang Made Clagi, Sang Noman Taruan dan Sang Ketut Kayuselem yang setelah dibaptis (apodgala) masing—masing berganti nama menjadi Mpu Kaywan, Mpu Nyoman Tarunyan dan Mpu Badengan. Seperti halnya Mpu Ghnijaya Mahireng ketiga adik beliau inipun menjadi Bhujangga di Bali. Dari Goa Song mereka berpindah dan beryoga semadi mencari tempat masing—masing. Mpu Kaywan berpindah dan beryoga di Panarajon, Mpu Nyoman Tarunyan pindah ke gunung Tuluk biyu di Blong yang selanjutnya disebut desa Taruñyan. Sédangkan Mpu Badngan menetap di Gwa Song (Songan)’beserta kakaknya Mpu Ghnijaya Mahireng. Dan catur bhujangga ini melahirkan keturunan yang pada akhirnya saling ambil mengambil (silih alap) diantara mereka. Dunia berputar terus, usia Mpu Kamareka makin bertambah lanjut dan masanya kembali ke alam sunya makin mendekat, Kini Mpu Kamareka sudah wreda, beliau menyadari bahwa tidak lama beliau harus meninggalkan anak cucunya. Oleh karena itu beliau memanggil seluruh anak cucunya untuk menyampaikan bahwa pada purnamaning kartika. beliau akan meninggalkan mereka kembali kepada Sanghyang Acintya. Pada kesempatan itu beliau berpesan bahwa apabila beliau telah meninggal agar anak cucunya membuatkan kahyangan mengukuhkan (ngadegang ) Sanghyang Tri Purusa beserta Hyang Bhatara lainnya dan khusus baginya agar dibuatkan Sebuah bebaturan sebagai pelinggihnya. Kahyangan tersebut harus dipelaspas, anyapuh serta melaksanakan piodalannya pada hari tileming kadasa. Seluruh keturunannya (Warga Pasek Kayuselem) agar melaksanakan upacara di atas dengan hikmat dan tawakal. Mereka yang tidak mau patuh kepada petunjuk beliau akan kena kutukan yaitu banyak kerja tetapi tidak menemukan pahalanya. Segala tindak perbuatannya tidak akan menemukan kebahagiaannya serta setiap akan muncul di akhiri dengan kegagalan (sugih gawe kurang pangan salampah lakunya tan amangguhaken ayu, mentik—mentik punggel). Selanjutnya apabila pada kahyangan tersebut tumbuh pohon kayu yang hitam warñanya, hal itu suatu pertanda bahwa beliau (Mpu Kamareka) telah berbadan sakala niskala, telah beradá di sisi Sanghyang Jagat Karana serta sejak saat itu berilah nama kahyangan tersebut pura Kayuselem. Seandainya di sini (di Gwa Song) telah tumbuh pohon beringin hal itu suatu pertanda bahwa Mpu Kamareka di alam sunya telah atirta gamaña. Dan sanalah beliau mendoakan seluruh keturunannya (Warga Pasek Kayuselem) yang taat dan patuh terhadap petuahnya tidak akan kurang sesuatu apapun. Hidup dalam kebahagiaan serta kepada mereka yang telah ahli menjalankan weda mantra diperkenankan melaksanakan upakara (manditanin) dan patut dihormati seluruh keluarganya. Kini- tibalah purnamaning kartika, hari yang ditunggu—tunggu Mpu Kamareka bersiap —siap menuju sunya taya. Pada waktu itu seluruh wong Baliaga, para tamu terutama para warga Sanak Pitu diundang menghadiri dan menyaksikan perjalanan beliau ke alam niskala. Putra— putra beliau sang atur pandita yaitu Mpu Ghnijaya Mahireng, Mpu Panarajon, Mpu Tarunan serta Mpu Badng— an sibuk menyapa dan menyambut para
tamu yang datang menghadirinya. Dauh 5, rabu, madhura, byantara, dadi, mahulun wurukung, guru mandala, mnga pada waktu itulah saatnya”Mpu Kamareka mengenakan pakaian serba putih tanda kesuciannya. Seluruh persiapan upakara telah disiapkan yaitu dupa, menyan, astanggi, tile gandapati serta seluruh alat—alat pemujaan lainnya berada di tempatnya masing masing. Mpu Kamareka dengan tenang dan tabah dituntun para putranya keluar menjumpai para tamu yang diundang nya. Kepada para tamu Mpu Kamareka berkata dengan hormatnya : “Amatlah berbahagianya hati kami sebab Seluruh maha pendeta telah datang ketempat ini,meluangkan waktu untuk memenuhi undangan kami, menyaksikan dan memberikan doa restu sebagai pengantar kami menuju alam sunyata. Kesemuanya itu benar-benar mengharukan dan menggembirakan hati saya sebab segalanya menandakan bahwa para Mpu benar—henar tulus, ikhlas kepada hamba. Menjawab para Mpu serta sisya beliau : “ Wahai adikku Sang Mpu, andaikata demikian maafkanlah kami sebab seolah—olah lupa mematuhi kehendak Sang Mpu. Kini kami akan selalu bersedia memenuhi dan mentaati kehendak adik Sang Mpu”, Mpu Kamareka berkata kepada para sisyanya : Aduhai para sisyaku semua, dengarkanlah sekali lagi petuahku apabila keturunanmu telah berkembang beritahukan pula kepadanya bagaimana cara melaksanakan upakara berkenaan dengan upakara kematian (ngaben). Andaikata diantara keturunanmu belum ada yang bisa mujanggain, salah seorang dan keturunan Sanak Pitu yang telah menjadi Bhujangga diperkenankan melaksanakan upakara di atas sebab demikianlah petuah yang telah aku terima dari Bhatara junjungan kita Bhatara Mpu Mahameru. Ingatlab segala nasehat—nasehat ku’. Jikalau ada keturunanku yang tidak mau mematuhi petuah serta nasehatku semoga kena kutukan, merosot, bodoh, banyak kerja tetapi tidak menemukan pahalanya. Lagi pula pada waktu engkau melaksanakan upakara kematian (ngaben) tetapi belum ada Bhujangga di Bali engkau diperkenankan nuhur tirta pangentas di kahyangan saja. Tetapi sebelum engkau nuhur tirta,berdoa dan mohonlah kehadapan Bhatara Jagat Karana serta Sanghyang Tri Purusa. Namun sebelum melaksanakan hal di atas beritahukankanlah kepadaku dahulu,(anging manira astawa rutnuhun) aku akan datang dari alam sunya membantumu memohonkan tirtha pangentas dan pabersihan. Kemudian jika Bhatara Tri Purusa telah menganugrahkan tirtha beritahukan pula kepadaku segera sebab dari sana aku bersama—sama Bhatara akan menganugrahkan tirtha panglambus. Adapun cara memohonnya pergunakanlah sangku tembaga, bahem. slaka, batil besi, dengan rerajahannya masing—masing. Tempat Sanghyang tirta berupa 3 buah periuk (payuk anar) tempat tirta pabersihan”. Para sisya mendengarkannya dengan tekun dan meresapkan petuah—petuah beliau ke dalam hati seraya menghaturkan sembah kepada sang kawitan. Ketika telah selesai memberikan petüah Mpu Kamareka beryoga dan dengan tenang moksa menuju alam sunyata. Diceriterakan setelah Mpu Kamareka moksa Mpu Ghni jaya Mahireng beserta saudara— saudara dan cucunya berkumpul membicarakan petunjuk yang telah disampaikan Sang wuwus lepas yaitu agar segera melaksanakan upakara pitrayadnya Hari Rabu, mahadewa, kresna paksa ping 15, sasih badrawada mereka mengundang para pandita yang disebut Sanak Pitu agar datang ke Songan menyaksikan upakara pitrayadnya yang akan diselenggarakannya. Upakara berlangsung dengan meriah, gambelan selonding ditabuh sehingga menambah khikmatnya upakara tersebut. Mpu Ragarunting dan Mpu Kaywan mamutru. Mpu Ketek ayoga tasik wedana, Mpu Witadharmma melaksanakan reg weda, Mpu Panarajon ngastawa wedana. Amatlah meriahnya upakara di atas, suara genta
bergema bagaikan suara kumbang sedang mengisap bunga. Demikianlah suasana pitrayadnya yang dilaksanakan oleh Mpu Ghnijaya Mahireng dan setelah upacara berakhir para tamu pun kembali ke tempatnya masing—masing. Oleh karena upacara pitrayadnya telah dilaksanakan selanjutnya Mpu Ghnijaya Mahireng beserta anak cucunya membangun kahyangan sesuai dengan petuah sang wuwus lepas yaitu : 1. Di Jeroan. a. Sanggar agung pangastawan Bhatara Hyang Suci yang berabiseka Sanghyang Taya. b. Gedong Tn Purusa tumpang t1u, pangastawan Bhatara çiwa, Sada Siwa, Parama Siwa yang juga disebut Sanghyang Tiga Yadnya. c. Gdong tumpang dua, pangastawan Bhatara Hyang Brahma dan Hyang Wisnu. d. Kemulan rong telu, pangastawan Sanghyang Tn Purusa, Brahma Wisnu, Içwara rikala atma tiga. e. Bebaturan rong dua pangastawan Sanghyang Akasa bertemu dengan Sanghyang Ibu Pertiwi disebut juga, Ibu, Bapak yang menimbulkan amerta siwaiba ( Dwipala). 2. Di Madya : Pesamuhan agung untuk Bhatara semua. 3. Di Jabayan. a. Bebaturan rong dua, lanang wadon pangastawan Hyang Kawitan. b. Bebaturan rong t1u, pangastawan.Sanghyarig tiga sakti. c. Sedahan taksu apit lawang. Seluruh pelinggih kahyangan di atas selesailah sudah dibangun serta upakara anyapuh, pamelaspas, ngenteg linggih segera dilaksanakan. Tidak lama kemudian pohon asam hitampun tumbuh di kahyangan tersebut sehingga sejak saat itu pura tersebut dinamakan pura Kayu selem yang juga merupakan suatu pertanda Mpu Kamareka telah berbadan sakala niskala. Sesuai dengan petuah Hyang Kawitan oleh karena pelaksanaan upakara telah selesai, sebagai pertanda kebenaran (kesujatian) kahyangan dibangunnya, didirikan pula sebuah kahyangan disebut pura Jati yang menjadi junjungan penduduk pulau Bali.

Selesai.

Disadur dari : Buku Babad Pasek Kayu Selem yang ditulis oleh PUTU BUDIASTRA dan WAYAN WARDHA

Sejarah : Babad Pasek



Babad Pasek Mulai dari jaman Bahari di mana di Bali masih keadaan guncang maka Bhatara Pasupati memerintahkan putranya 3 orang untuk mengukuhkan Bali. Ketiga putra ini yang nantinya menurunkan para Brahmana dan para Mpu di Jawa dan Bali.

Diceriterakan di Majapahit diperintah oleh Sri Aji Majalangu dengan Maha patih Yang terkenal Kryan Gajah Mada. Pada suatu ketika Sang Prabu Majapahit didatangi oleh para Mpu untuk memohon Raja di Bali. Hal ini diterima dan dipikirkan agar kelak Bali menjadi kerajaan yang kuat dan berwibawa. Setelah itu Kryan Gajah Mada mengusulkan kepada Sri Aji Majalangu untuk diangkatnya putra-putra dari Mpu Kepakisan karena dipandang cocok dan penuh bijaksana. Hal ini diterima, lalu diangkatnya yang tertua di Blangbangan, yang kedua di Pasuruhan dan yang wanita di Sumbawa serta yang bungsu di Gelgel.

Putra yang bungsu bernama Sri Aji Kresna Kepakisan pergi ke Gelgel/ Samprangan dengan diiringkan oleh para Arya seperti Arya Kanuruhan, Arya Wang Bang, Arya Kenceng, Arya Dalancang, Arya Tan Wikan, Arya Kuta Waringin yang nantinya menurunkan para Ksatria di Bali. Dan juga tidak ketinggalan para Wesya seperti Tan Kawur, Tan Kober, Tan Mundur yang selalu setia kepada Dalem Gelgel sehingga mendapat kepercayaan. Setelah beberapa hari kemudian datang juga Arya Gajah Para dan bertempat di Tianyar. Memang sebelumnya di Bali telah dihuni oleh para Brahmana dan keturunan Ksatria dari Jawa. Sri Aji Kresna Kepakisan sangat bijaksana, semua para ksatria diberikan sawah dan wilayah serta dituntut untuk tetap bakti kepada Dalem. Lambat-laun Kiyai Pasek Agung Gelgel mengembang banyak yang mana telah berjanji/ bersumpah mengabdikan dirinya serta menjadi kaki tangan Dalem, maka diberikan tugas mengatur Bale Agung di pelosok desa di Bali.

Diceritakan De Gurun Pasek Gelgel mempunyai 2 orang anak yang bernama De Gurun Pasek Gelgel yang memerintah dan mengatur Bale Agung di desa Gelgel, dan adiknya De Pasek Togog mengatur di. Besakih dan bermukim di Muntig, kemudian De Gurun Pasek Gelgel mempunyai putra I Dukuh Ambengan, I Dukuh Subudi dan yang bungsu I Dukuh Bunga. Ada pun De Dukuh Ambengan menurunkan Ki Dukuh Prawangsa.
Lagi anak I Gusti Pasek Agung Gelgel yang lahir dari I Luh Tangkas Koriagung mempunyai 4(empat) orang laki-laki seperti I Tangkas Koriagung, I Nyoman Pasek Tangkas, I Bandesa Tangkas dan I Pasek Bandesa Tangkas Koriagung. Ada pun turunan I Pasek Agung Gelgel yang menjadi penghulu Bale Agung di desa-desa adalah I Pasek Budaga, De Pasek Sangkan Bhuwana, De Pasek Mandwang, De Pasek Aan, De Pasek Akah, De Pasek Gobleg, De Pasek Bebetin, dan De Pasek Depaa. Semua Pasek- Pasek ini menurunkan keturunan yang menyebar ke desa-desa seperti De Pasek Akah menurunkan 3 orang putra dan De Pasek Gelgel menurunkan De Pasek Muntig, De Pasek Babi, De Pasek Tista, De Pasek Denpasar, De Pasek Watudawa, De Pasek Tulamben, De Pasek Marga, dan De Pasek Kekeran. Tetapi De Pasek Toh Jiwa dan keturunannya menjaga bumi Tohjiwa.

Kini turunan Kyayi Pasek Subadra dipindahkan dari Gelgel dan diserahi tugas menyelenggarakan upacara di Silayukti. Dan De Pasek Dukuh Suladri menjadi pemangku di Pura Dalem di Suladri dan dari sana lah menyebar keturunannya.
Dan De Pasek Kusamba, De Pasek Baleagung Bangli dan saudara-saudaranya yang menurunkan keturunan Kiyai Pasek Agung Padang Subadra. Dan juga turunan-turunan De Pasek Tatar. Dengan demikian banyak keturunan Pasek di Bali yang memerintah dan memegang Kapasekan di Baleagung di seluruh Bali.
Kembali ke atas.

Diceriterakan kisah ekspedisinya Danghyang Nirartha dari Blangbangan ke Bali menuju Gelgel dan mendirikan ajaran agama serta parhyangan-parhyangan seperti Pura Pulaki.

Banyak para Brahmana yang datang ke Bali yang memang dari leluhurnya bersaudara seperti Danghyang Sidhimantra yang berputra Manik Angkeran yang selanjutnya menurunkan keturunan Brahmana di Bali.
Dengan pemerintahan Dalem Di Made di Gelgel, maka De Bandesa Pasek Tangkas diperintahkannya untuk menjadi Bandesa di seluruh desa-desa, Baleagung di Bali serta di berikan imbalan tanah (pelabaan desa). Mulai kini lah dibagikan wilayahnya Kapasekan kepada Pasek seperti di sebelah utara Gelgel Gunung Agung diberikan kepada De Pasek Tohjiwa dan duduk di Tulamben. Keempat putra dari De Pasek Padang Subadra di Banjar Carukcuk, I Wayan Gaduh di Banjar Batugiling. I Gede Tangkas Jaya di Banjar Sibetan, De Wayan Gelgel di Banjar Caniga sebelah Barat Laut Baleagung. De Pasek Kubakal di Banjar Dalundungan, De Wayan Kadangkan di Banjar Desa, De Pasek Tatar di Banjar Peken. Tetapi De Pasek Prateka melakukan tapa bratayoga samadi di Gunung Gamongan, serta Pasek Dukuh Belatung di desa Belatung sebagai tegal pegagaan.

Pada babad ini juga diceriterakan dan dipaparkan pemerintahan Dalem dengan para patih, Manca, Brahmana serta keturunannya sampai hancur dan runtuhnya Dalem. Di samping itu juga perselisihan di antara putra Dalem, para Ksatria, dan juga kepercayaan terhadap Brahmana dan pendeta yang semakin merosot.

Jangan Gunakan Saput Poleng Sembahyang di Pura Penataran Ped, Nusa Penida, Ini Alasannya!

Ulam Ageng Pelinggih di Pura Segara. Setiap pemedek mulai tahapan persembahyangan dari pura ini dilanjutkan ke Pura Taman, Pura Ratu Gede, terakhir di Pura Penataran Agung.


Payanadewa.com Sugra RATU, Dumogi panjak Ida rahayu. Share Apang pade uning. Salah satu pelinggih di Pura Penataran Ped yang memiliki daya tarik tersendiri bagi pengunjung adalah Pura Ratu Gede. Pura ini dipercaya sebagai tempat berstananya Ratu Gede Mas Mecaling, seorang raja yang pernah memimpin bumi Nusa Penida, Klungkung, Bali.

Menurut Jero Mangku Made Septarawan, Ida Bhatara Ratu Gede Mas Mecaling memiliki nama lain yakni Ratu Bhatara Gede Sakti.

Jika orang-orang menyebutnya seperti hal itu merupakan daya  tangkap rasa pemedek tersebut.

“Banyak orang yang menyebutkan Ida Bhatara Ratu Gede Mas Mecaling. Kita tidak bisa salahkan juga, kan sah-sah saja dalam hal penamaan,” jelasnya.

Selebihnya Jero Mangku tersebut tidak berkenan menjelaskan tentang siapa Ida Bhatara Ratu Gede Mas Mecaling tersebut.
Sebab, ada  purana Pura Penataran Ped yang dapat dijadikan referensi.

Berdasarkan Purana Pura Penataran Ped dikisahkan keberadaan Pura Panataran Ped yang dulunya disebut Pura Dalem Nusa, merupakan tempat I Gede Mecaling melaksanakan tapa brata.

Di sana I Gede Mecaling memuja Ida Bhatara Siwa memohon untuk menunggalkan bayu, sabdha dan idepnya.
Turunlah Hyang Bhatara disertai dengan angin kencang, kilat dan petir.
Saat itulah I Gede Mecaling dianugerahi oleh Bhatara Siwa berupa ajian Kandhasanga.

Tiba-tiba rupa I Gede Mecaling berubah. Badannya bertambah besar nan tinggi, kulitnya berwarna hitam, raut wajahnya menyeramkan.

Taringnya bertambah tajam dan panjang.
Suaranya pun menggetarkan dunia.
Kemudian diutuslah Bhatara Indra untuk menaklukkan I Gede Mecaling, akhirnya taringnya dipotong oleh Ida Bhatara Indra.
Kemudian I Gede Mecaling kembali melakukan tapa yoga di Ped memuja Ida Bhatara Ludra.

Karena ketekunannya, ia pun dianugerahi Panca Taksu oleh Ida Bhatara Ludra.
Kelima taksu tersebut ialah taksu kesakten (kesaktian), taksu balyan (dukun), taksu pangeger (guna-guna yang membuat orang mabuk cinta), taksu panulak grubug (penolak wabah penyakit), taksu anggawe bragala kamaranan (membuat para buta kala tersenum sendiri dan lupa diri).
Setelah mendapatkan penganugerahan dari Ida Bhatara Ludra, I Gede Mecaling menjadi penguasa di Pulau Nusa Penida diiringi oleh sejumlah wong samar.
Mulai saat itu beliau bergelar sebagai Papak Poleng.
Dalam hidupnya, I Gede Mecaling tak berhenti melakukan tapa yoga, dan menjelma bagaikan seorang dewa yang bergelar Ida Bhatara  Ratu Mas.

Kemudian, di tempat beliau, dibangun pura yang disebut sebagai Pura Penataran Ped dan merupakan salah satu pura Sad Kahyangan yang ada  di wilayah Nusa Penida.

Pura ini sebagai tempat pemuliaan Ida Bhatara Ratu Mas dan Ratu Gede.
Disebutkan, sekarang Ida Bhatara yang berstana di Pura Ratu Gede bergelar  Ida Bhatara Ratu Gede dan yang berstana di Pura Penatraan Ped beliau bergelar Ida Bhatara Ratu Mas.
Ida Bhatara Ratu Gede merupakan wujud Purusa dan Ida Bhatari Ratu Mas merupakan wujud Pradhana.

Ida Bhatara Ratu Gede yang berstana di Pura Ratu Gede dan Ida Bhatara Ratu Mas yang melinggih di Pura Penataran Ped.
Diyakini memiliki sifat angker, maha dahsyat, sakti, juga pemurah, pengasih, serta maha adil dan bijaksana.

Beliau memiliki 108 berupa ancangan wong samar yang bersemayam di area sekitar pura.

Sewaktu-waktu para wong samar ini dapat menyebarkan wabah panyakit.
Untuk itu, ada beberapa jenis upacara dan persembahan untuk menanggulangi  wabah penyakit tersebut.
Mulai sasih kapat saat anggara kasih pengempon banjar adat hadir untuk melakukan kegiatan Ngeduk Taman di Pura Taman.

Tabuh Rah berupa perang Sata untuk menangkal penyebaran penyakit oleh para wong samar. 

Di samping melakukan upacara tabuh rah, secara rutin tiap kajeng kliwon, mulai sasih kanem sampai sasih kaulu juga dilaksanakan upacara caru berupa bol celeng yang dipersembahkan kepada bala ancangan Bhatara Ratu Gede.

Serta mundut Ida tapakan berupa Ratu Gede, Ratu Mas berupa Barong ada juga berupa saselohan yang dianggap sacral, semisal kesenian gandrung, sanghyang dedari, dan lain sebagainya.
Dan, mohon tirta pakuluh Ida Bhatara untuk dilinggihkan bersamaan ngadegang Ida Tapakan masing-masing perempatan banjarnya.

Adapun yang perlu diingat jika pemedek bersembahyang ke Pura Penataran Ped yakni tidak diperbolehkan kencing berdiri di sekitaran area pura, tidak boleh menggunakan bunga pucuk di dekat pura, tidak boleh menggunakan saput poleng, dan tidak boleh menyanyikan gending janger.


Fakta! Orang Bali, Jual Tanah Beli Bakso


Tentu kita sangat hafal dengan goyunan "orang Jawa jual bakso untuk beli tanah, orang Bali jual tanah untuk beli bakso". Banyak pewacana yang secara ekstrem mengkhawatirkan bahwa suatu saat nanti orang Bali tak lagi memiliki tempat berpijak di desanya sendiri, orang Bali hanya jadi penyewa, orang Bali tak lagi menjadi bos di negerinya sendiri.

Gede Toya menulis bahwa orang Bali telah mengalami perubahan orientasi terhadap keberadaan tanah. Tanah secara tradisional memiliki kompleksitas makna bagi orang Hindu Bali yang hidup dengan kebudayaan agraris. Tanah adalah penghidupan ekonomi sekaligus Dewi Sri yang sakral. Seiring pesatnya pembangunan modern, orientasi ini perlahan bergeser ke arah nilai ekonomi semata, yang mana dapat dilihat dari semakin banyaknya tanah yang dijual, terutama tanah sawah.


Dari dua kasus di atas bisa dijadikan sampel bagaimana gejolak orientasi pemikiran, kebutuhan serta juga pandangan orang Bali terhadap tanah. Di satu sisi orang Bali tengah berjuang untuk "merebut" tanah, dan seakan paradoks di sisi lain orang Bali tengah "menyerahkan" tanahnya.

Secara nilai, tanah dalam kedua kasus ini berbeda. Yang pertama adalah tanah sétra yang bisa dikatakan tidak memiliki nilai produksi secara ekonomi. Ia adalah tanah yang lebih memiliki nilai religi, sakral, spiritual, tanah pijakan terakhir bagi manusia di dunia minimal secara badaniah. Sedangkan tanah yang kedua mengandung hampir segala potensi, baik ekonomi, sosiokultural, politik maupun religi.

Berhubungan dengan orientasi – dan kemudian karakter sikap – orang Bali terhadap keberadaan tanah, barangkali memang ada perubahan, paling tidak jika dilihaat dari pengaruh modernisme. Namun ditilik dari pengaruh yang sama (modernisme) barangkali pula ada yang tidak berubah sama sekali, dari generasi ke generasi.

Dari dua fenomena yang seakan paradoks di atas, yaitu "menyerahkan" dan "merebut" tanah, ada hal yang sama yang ingin dicapai atau dicita-citakan. Keduanya ingin meraih "sesuatu". Fenomena "menyerahkan" tentu saja ingin meraih uang sebagai ganti dari bidang tanah yang diserahkannya. Dan "merebut" tidak lain ingin meraih tanah.

Uang bagi orang Bali sekarang adalah nilai ekonomi semata. Ia untuk dibelanjakan. Untuk memenuhi konsumsi berbagai kebutuhan hidup. Walaupun kemudian ada untuk kebutuhan ritual, ia tetap diperhitungkan secara ekonomi – inilah yang berbeda dengan orientasi orang Bali dulu terhadap uang. Modernisme memang telah "mendidik" orang Bali untuk konsumtif dengan ukuran nilai uang. Konsumsi tidak dipandang dari nilai atau esensi yang terkandung dalam sesuatu yang dikonsumsi. Nilai atau esensi itu telah diuangkan, ditakar dengan nilai uang.

Ketika nilai suatu konsumsi ditakar dengan nilai uang, maka kemudian yang lahir bukan esensi konsumsi, namun citra, gaya, prestise, gengsi. Bergeserlah kemudian pandangan terhadap esensi itu sehingga perlahan tapi pasti esensi yang sebenarnya terkesampingkan dan tergantikan oleh citra. Pendeknya, citra diamini sebagai esensi itu sendiri. Lihatlah misalnya, ketika bangunan pura yang megah dicitrakan sebagai kemegahan iman para panyungsung-nya.

Modernisme memang lihai dalam menanamkan iman tentang citra. Citra adalah produk andalan dari modernisme. Citra yang sebenarnya merupakan esensi dari gaya hidup kemudian mengantarkan orang Bali yang menganutnya – secara terang-terangan atau diam-diam – untuk mengamini bahwa gaya hidup adalah pemaknaan terhadap kehidupan. Gaya hidup adalah hidup itu sendiri.

Beralih pada fenomena "merebut", yang tidak lain ingin meraih tanah, pun sebenarnya bisa diusut sehingga menemukan muara yang sama dengan kasus "menyerahkan", yaitu gaya hidup.

Sebuah konstruksi organisasi sosial, banjar sebagai contoh dalam fenomena ini, memerlukan perangkat-perangkat pemenuhan kebutuhan lahir dan batin para anggotanya. Sétra misalnya, merupakan suatu kebutuhan dalam konstelasi kehidupan adat dan agama orang Bali. Sétra diadakan untuk memenuhi tuntutan siklus alamiah kehidupan manusia, dalam hal ini kematian, yang kemudian oleh agama Hindu Bali diberikan struktur dan cara tertentu untuk mencapai pemaknaan spiritual.

Namun orang Bali kemudian tidak hanya ingin memenuhi struktur tersebut dengan "polos" atau hanya "sedemikian adanya" atau sekadar untuk mencapai esensinya saja. Kembali di sini pengaruh modernisme, dengan citra sebagai produk andalannya, mempengaruhi generasi orang Bali untuk "berkreativitas" sehingga segala sesuatunya mesti di-payasin dengan citra. Barangkali pengaruh modernisme ini lumayan mudah masuk ke diri orang Bali karena konon orang Bali terkenal kreatif dalam memberi pernik terhadap segala sesuatu di lingkungannya sehingga tampak nyeni.

Maka sétra sebagai salah satu perangkat adat dan agama dari organisasi banjar pun tak lepas dari citra. Memiliki sétra sendiri adalah gengsi yang tinggi dibandingkan menumpang di sétra banjar atau desa lain. Apalagi sétra itu luas. Hal ini menumbuhkan kebanggaan tertentu, prestise tersendiri, bagi anggota organisasi terutama dalam hal berhubungan antar-banjar, dan terkhusus lagi adalah persaingan gengsi antar-banjar. Ini mirip dengan persaingan terselubung antardesa dalam hal saling memegahkan bangunan tiga pura dalam konsep Tri Murti.

Sejarah kepemilikan tanah di Bali, sebagaimana juga di wilayah geografis lainnya di dunia, sebagian besar adalah sejarah perebutan citra. Lihatlah bagaimana konflik perebutan wilayah perbatasan. Merebut tanah beserta keuntungan ekonomi yang terkandung di dalamnya adalah perebutan yang bermuara pada pencapaian citra atau gaya hidup yang tinggi dalam kontestasi kehidupan modern. Selalu ada semangat yang luar biasa menggebu dalam hal perebutan tanah.

Citra, gengsi, prestise sebagai bagian dari gaya hidup adalah salah satu akar masalah dari berbagai kasus polemik yang terjadi di Bali.

Ini Makna Hari Raya Kuningan dan Waktu yang Tepat Untuk Sembahyang



Payanadewa.com
Hari Raya Kuningan merupakan bagian dari rangkaian Hari Raya Galungan dalam Hindu, yang jatuh pada 10 hari setelah Galungan, yaitu pada Saniscara (Sabtu) Kliwon Wuku Kuningan. Kata Kuningan memiliki makna “kauningan” yang artinya mencapai peningkatan spiritual dengan cara introspeksi agar terhindar dari mara bahaya.

Dikutip dari Bhagawan Dwija mengatakan makna dari Kuningan adalah mengadakan janji/pemberitahuan/nguningang baik kepada diri sendiri, maupun kepada Ida Sanghyang Parama Kawi, bahwa dalam kehidupan kita akan selalu berusaha memenangkan dharma dan mengalahkan adharma (antara lain bhuta dungulan, bhuta galungan dan bhuta amangkurat).
Pada Hari Raya Kuningan banten atau sesajen pada setiap desa belum tentu sama, karena memang banten itu beraneka ragam versinya. Tapi umumnya pada hari Raya Kuningan menggunakan upakara sesajen yang berisi simbul tamiang dan endongan, di mana makna tamiang memiliki lambang perlindungan dan juga juga melambangkan perputaran roda alam.

Endongan maknanya adalah perbekalan. Bekal yang paling utama dalam mengarungi kehidupan adalah ilmu pengetahuan dan bhakti (jnana). Sementara senjata yang paling ampuh adalah ketenangan pikiran. Sarana lainnya, yakni ter dan sampian gantung. Ter adalah simbol panah (senjata) karena bentuknya memang menyerupai panah. Sementara sampian gantung sebagai simbol penolak bala.

Mengenai waktu persembahyangan pada Hari Raya Kuningan, Bhagawan Dwija menjelaskan pada Hari Raya Kuningan, Ida Sanghyang Widhi Wasa memberkahi dunia dan umat manusia sejak jam 00 sampai jam 12. Jadi di saat itu sangat tepat kita datang menyerahkan diri kepada-Nya mohon perlindungan. Kenapa batas waktu sampai jam 12 siang, dikarenakan energi alam semesta (panca mahabhuta : pertiwi, apah, bayu, teja, akasa) bangkit dari pagi hingga mencapai klimaksnya di bajeg surya (tengah hari) jika lewat dari jam 12 Dewa Berung telah lewat bajeg surya disebut masa pralina (pengembalian ke asalnya) atau juga dapat dikatakan pada masa itu energi alam semesta akan menurun dan pada saat sanghyang surya mesineb (malam hari) adalah saatnya beristirahat (tamasika kala).

Pada Hari Raya Kuningan juga dibuat nasi kuning sebagai lambang kemakmuran dan dihaturkan sesajen-sesajen sebagai tanda terimakasih dan suksmaning idep kita sebagai manusia  menerima anugerah dari Sang Hyang Widhi.

Dapat diambil kesimpulan melalui perayaan Hari Raya Kuningan inilah kita ingatkan untuk selalu ingat menyamabraya, meningkatkan persatuan dan solidaritas sosial, dan umat diharapkan selalu ingat kepada lingkungan sehingga tercipta harmonisasi alam semesta beserta isinya serta tidak lupa akan ingat mengucap syukur kepada Tuhan, Ida Sang Hyang Widhi Wasa atas segala karunia-Nya.

Semoga artikel ini dapat bermanfaat untuk semeton. Jika terdapat penjelasan yang kurang lengkat atau kurang tepat mohon dikoreksi bersama. Suksma…

(Sumber: Berbagai Sumber)

Virus Corona, Inilah Ramalan Tetua Bali Menjadi Kenyataan

Virus Corona, Inilah Ramalan Tetua Bali Menjadi Kenyataan


VIRUS CORONA dan BHUTA DASANGKARA BHUMI
(ramalan tetua Bali yang menjadi kenyataan)
..............................................................................

Awal tahun 2020 disambut oleh cuaca ekstrim, panas membara bahkan hujan banjir, belum lagi berbagai isu penyakit yang bersumber dari virus.

Menurut perhitungan WARIGA bahwa awal tahun 2020 bertepatan dengan sasih Ala (musim yang dianggap kurang baik) mulai dari sasih Ka enem, kapitu, kaulu, dan kasanga, belum lagi bertepatan dengan siklus rahinan jagat Galungan-kuningan dan Tawur, Nyepi. Kedua hari raya besar ini disertai oleh turunnya berbagai kekuatan Bhuta-Kala yang membawa berbagai efek buruk.

Perhatikan bagaimana siklus “rerahinan Galungan” jatuh pada tanggal 19 februari 2020 pada rentang ini kekuatan Bhuta berwujud TIGA BHUCARI akan memberi pengaruh tidak baik, selama “uncal balung”. Dan bukan kebetulan hari raya Nyepi yang diawali dengan TAWUR SASIH KESANGA sebagai puncak kekuatan Buta-kala dan Nyepi sebagai tahun baru Isaka jatuh pada hari yang disebut Pegat Wakan, budha kaliwon pahang (masih pada rentang batas waktu galungan kuningan).

Jadi menurut hitungan wariga berbagai  cuaca buruk, virus penyakit, “grubug”yang melanda awal tahun ini disebabkan oleh siklus alam “pamigrahaning sasih” kemudian  diperparah oleh perilaku manusia yang tidak bersahabat dengan alam bahkan malah merusak alam.

 Lontar Bhasundari Tattwa menyebut berbagai ketidak seimbangan alam adalah akibat buruk dari KALA yang melahirkan BHUTA yang disebut BHUTA-DASANGKARA-BHUMI, yaitu manifestasi kala yang berwujud 10 rupa:

1. BHUTA MASTAKA: merasuki segala binatang yang memiliki mulut, memakan segala jenis, bagian tumbuh-tumbuhan. Menyebabkan tumbuhan tidak bisa dijaga, dirawat.

2. BHUTA ANGGA: merasuki segala binatang yang berjalan dengan dada, tubuh, MERACUNI (wisya) segala jenis tumbuhan.

3. BHUTA TANGAN: merasuki segala jenis binatang yang memiliki tangan, mampu mengambil lalu memakan segala jenis biji-bijian (sarwa wija), umbi-umbian.

4. BHUTA PUPU: merasuki segala jenis binatang yang memiliki kaki, menyebabkan rusak daun segala jenis tumbuhan.

5. BHUTA AMATA: merusak segala jenis tumbuhan yang memiliki SOCA (mata tunas pada batang), misalnya bambu dll, sehingga mati buku (mati ruas).

6. BHUTA TUTUK: merasuki segala jenis cacing (kermi), memakan bagian daun segala macam tumbuhan, sehingga daunya busuk.

7. BHUTA LET: memunculkan sejenis ANTIGA (telor, bibit) yang dapat merusak akar dan daun, sehingga tumbuh-tumbuhan menjadi mati.

8. BHUTA IRUNG: merasuki segala jenis bintang yang menghisap sari, hingga dapat menghancurkan bunga berbagai jenis tumbuhan.

9. BHUTA PURUS: merasuki segala jenis binatang yang dapat melakukan hubungan senggama, kemudian menetaskan telor kemudian menjadi ulat yang dapat merusak tumbuh-tumbuhan.

10. BHUTA TALINGA: merasuki segala jenis binatang yang berada didalam rongga tanah, hingga merusak umbi, akar berbagai tumbuhan.

Ketika berbagai tumbuhan, binatang telah dirasuki oleh kesepuluh wujud Kala, hingga menghasilkan WISYA (racun, bakteri, virus, penyakit), maka tentunya akan menyebabkan seluruh manusia yang bergantung pada “sarwa Prani”, berbagai mahluk hidup lainnya akan sengsara, sakit bahkan meninggal secara mengerikan.

Semacam siklus berantai, tumbuhan dirasuki Wisya para Bhuta (kala), kemudian binatang yang memakan tumbuhan akan sakit bahkan binasa, lalu manusia yang mengkonsumi, berinterakasi dengan mereka pun sangat mudah tertular WISYA Bhuta Dasangkara Bhumi, tiada lain manifestasi KALA.

Bisa jadi VIRUS CORONA yang berkembang sedemikian pesat beberapa minggu ini adalah akibat dari salah satu manifestasi KALA berwujud BHUTA ANGGA (merasuki binatang yang berjalan dengan dada yaitu Ular). Mengingat kesimpulan para ahli pada kasus “grubug” di Wuhan china salah satu penyebabnya diperkirakan akibat mengkonsumsi daging ular (alaku dada). Bhuta Angga salah satunya berwujud ular, pada tubuhnya terdapat benih WISYA (racun, penyakit) yang mampu meracuni tumbuhan, tentunya berefek kepada manusia yang mengkonsumsi tumbuhan apalagi mengkonsumsi daging ular secara LANGSUNG.

Ritus “caruning sasih” adalah salah satu upaya NISKALA yang sangat penting dilakukan agar terhindar dari pengaruh KALA berwujud Bhuta Dasangkara Bhumi tentu dilengkapi dengan berbagai upaya SEKALA (bersifat nyata) dengan selalu menjaga kebersihan, hindari merusak alam.

"Rahajeng nyanggra Galungan Kuningan lan tahun baru Isaka 1942, mari jadikan momentum langka ini sebagai jalan introspeksi diri, agar lebih bisa menjaga keseimbangan alam, hentikan segala upaya pengerusakan alam agar terbebas dari berbagai pengaruh buruk “pamigrahaning sasih”.
..............................................................................

Paramsuksma
IBM. Bhaskara.

Wanita Bali Perkasa, Ini 4 Faktanya


Perempuan Bali layak disebut sebagai wanita perkasa. Sebab mereka tidak hanya mengerjakan tugas sebagai seorang perempuan namun pekerjaan laki-laki juga.

Saat berwisata ke Bali, Urbanreaders jangan kaget kalo melihat perempuan bekerja sebagai tukang parkir, buruh bangunan, buruh angkut pasir, hingga pekerjaan berat lainnya.

Selain mengerjakan pekerjaan kasar itu, mereka juga tetap mengurusi rumah tangga.

Kegiatan upacara adat juga tidak dilupakan selain melakukan segudang aktivitas kewajiban tersebut.

Lantas kalau perempuan di Bali bekerja keras seperti itu, ke mana para kaum laki-laki? Itu pertanyaaan yang sering muncul guys.

Baca Juga: Hargai Dewa Indra, Akhir Juni Masyarakat Bali Gelar Perang Pandan

Sebenarnya, tugas laki-laki dan perempuan di Bali cukup seimbang.

Bali sendiri menganut sistem patrilineal, yakni mengikuti garis keturunan pria. Ketika menikah, maka wanita akan mengikuti sang suami dan tinggal di rumahnya.

Banyak orang melihat praktik selama ini perempuan Bali mengerjakan pekerjaan berat sementara sang suami hanya hidup santai.

Laki-laki Bali biasa digambarkan dengan suka minum-minuman keras dan berjudi.

Padahal, tidak semua berlaku demikian. Walaupun kenyataannya, ada beberapa laki-laki yang memang gemar melakukan aktivitas berjudi dan mabuk-mabukan.

Tetapi, bukan itu yang menjadikan alasan perempuan di Bali bekerja keras.

Baca Juga: Nasi Jinggo khas Bali: Nasi Penyelamat Netizen Low-Budget

Perempuan di Bali memang secara budaya telah diajarkan sejak kecil untuk bekerja keras.

Sejak kecil di keluarganya, mereka telah dibebankan untuk bisa menghaturkan sesajen, memasak, hingga bekerja.

Nah untuk lebih mengenal perempuan Bali, berikut fakta-fakta yang harus kalian simak, guys.

1. Perempuan Bali Pekerja Keras

Seperti yang dijelaskan di atas, perempuan Bali sangatlah bekerja keras karena mampu melakukan banyak kegiatan dalam sehari.

Mulai dari urusan rumah tangga, melakukan upacara adat, hingga melakukan pekerjaan berat layaknya pria.

Semua hal itu dilakukan secara ikhlas, sebab memang telah menjadi budaya bahwa perempuan di bali diajarkan tidak boleh malas-malasan.

2. Perempuan Bali Itu Setia

Nah, satu lagi yang menjadikan perempuan Bali patut diancungi jempol yakni kesetiaan.

Sistem patrilineal yakni garis keturunan berada pada laki-laki menjadikan perempuan bali harus meninggalkan keluarganya dan tinggal di rumah sang suami.

Di rumah aslinya, perempuan bali sudah tidak memiliki hak maupun kewajiban. Ketika menikah, perempuan bali akan mengabdikan diri pada suaminya.

Baca Juga: Festival Layang-Layang Tradisional Bali: Rasa Syukur Pada Dewi Sri

3. Memiliki kesenian tinggi dan kreatif

Hampir semua perempuan di Bali diwajinkan belajar menari.

Belajar menari seperti sudah menjadi kewajiban di Bali karena dalam setiap upacara adat akan disuguhkan tari-tarian.

Kalaupu tidak belajar menari, mereka juga diajarkan seni lain seperti menggambar maupun mengukir.

Tidak heran, jika sebagaian besar perempuan di Bali punya darah seni.

4. Sangat Religius

Perempuan Bali sejak kecil sudah diajarkan untuk beryadnya seperti elakukan persembahyangan maupun menghaturkan sesajen.

Dalam rumah tangga, kewajiban menghaturkan sejaken biasanya dilakukan oleh perempuan.

Gimana, masih menganggap remeh perempuan Bali?

Tidak Pernah Otonan dan Mebayuh? Ini Dampaknya


Tidak Pernah Otonan dan Mebayuh? Ini Dampaknya

Dalam tradisi Hindu di Bali terdapat upacara Mebayuh Otonan. Mebayuh Otanan memiliki makna untuk menyeimbangkan dualitas dari pengaruh-pengaruh hari kelahiran seorang anak, karena kita menyadari setiap kelahiran membawa dualitasnya masing-masing.
Menurut buku wariga agung, Mebayuh bisa diketegorikan dalam dua klasifikasi ;

Mebayuh yang bersifat reguler atau berkelanjutan yang dilaksanakan setiap perubahan status, misalnya dari staus anak – anak menjadi remaja, dari status remaja menjadi dewasa (menikah), dari status dewasa menjadi orang tua, dan dari status menjadi orang tua menjadi kakek atau nenek.

Mebayuh yang dilaksanakan karena kondisi tertentu, misalnya kelainan jiwa, terkena kesakitan, sering menemui ala atau kecelakanaan dan hal – hal yang bersifat marabahaya lainnya.

Menurut sastra Lontar Jyotisha mebayuh atau metubah atau mebebangan untuk mengurangi keburukan dan menambah kebaikan maka upacara itu dilakukan pada saat otonan yang bersangkutan menurut perhitungan: wuku, sapta wara, dan panca wara.

Untuk pelaksaan otonan menurut Ida Pandita Mpu, kalau otonan disertai dengan mebayuh otonan dilaksanakan di Hyang Guru.Kalau otonan banten ayabannya boleh dikurangi pakai ayaban tumpeng li atau ayaban tumpeng pitu,kalau belum tanggal gigi banten sambutannya dan banten janganannya harus tetep ada.
Apakah dampaknya jika selama hindu tidak pernah melakukan Otonan Mebayuh?

Dikutip dari Bhagawan Dwija di gedetoya.blogspot.com menyebutkan
Si anak bisa sakit-sakitan, hidupnya sial, tidak punya teman, suka bingung, gelisah, bahkan bisa meninggal. Semua upacara manusa yadnya adalah kewajiban ortu agar anaknya sehat sejahtera lahir-bathin.

Jika ingin mengetahui jenis mebayuh yang cocok, menurut Ida Pedanda Made Gunung  disarankan agar berkonsultasi langsung dengan pedanda atupun sulinggih yang lain. Disamping itu, agar tidak membingungkan dan tidak mengurangi keyakinan akan banten mebayuh tersebut, maka saat menanyakan mengenai banten mebayuh kepada pemangku atupun sulinggih, maka umat berhak menanyakan darimana sumber sastra/ lontarnya. Jika banten mebayuh tersebut sudah sesuai dengan salah satu sastra/lontar maka itu wajib diyakini kebenaranya.

Semoga artikel ini dapat bermanfaat untuk semeton. Jika terdapat penjelasan yang kurang lengkap atau kurang tepat, mohon dikoreksi bersama. Suksma…


Dikutip dari beberapa sumber inputbali.com sejarahhindubali