Bahan Bahan Banten Pejati

Om Swastyastu
Bahan bahan Banten Daksina


Kali ini saya akan membagikan bahan bahan untuk membuat Banten Pejati yang terdiri dari:

1. Peras
2. Ajuman
3. Daksina

Peras:

  • Tumpeng
  • Kulit Peras
  • Pisang
  • Buah
  • Jaje
  • Sampian Pusung
Ajuman :

  • Pendek
  • Buah
  • Pisang
  • Jaje
  • Kepetan Ajuman

Daksina :

  • Beras
  • Kelapa
  • Telor Bebek
  • Kojong Lima
  • Biu
  • Enteban
  • Gantusan
  • Base Tampel
  • Benang


Itulah bahan bahan untuk Membuat Banten Daksina.

Silakan tonton Video Cara Membuat Banten Upakara Bali di Bawah.

Upacara Untuk Yang Menggugurkan Kandungan (Warak Keruron atau Pengepah Ayu)

Upacara Untuk Yang Menggugurkan Kandungan (Warak Keruron atau Pengepah Ayu)
Upacara Warak Keruron atau Pengepah Ayu (Keguguran) ini mungkin sangat jarang kita dengar dan jarang pernah kita lihat implementasinya karena berbagai alasan. Tetapi, sebagai umat Hindu yang percaya dengan keberadaan Sang Hyang Atma hingga sangatlah penting untuk melaksanakan upacara terhadap si cabang bayi yang mengalami keguguran (keruron), meskipun belum berwujud, agar tidak menyebabkan kekacauan (ngrubeda) dalam keluarga, melalui upacara yang disebut dengan upacara "Pengepah Ayu" akibat keguguran (Warak Keruron) atau mengugurkan kandungan (Dhanda Bharunana). 

Silakan baca: Cara Agar Cepat Hamil

Adapun pelaksanaan upakara ini berdasarkan Lontar Tutur Lebur Gangsa dan Sunari Gama, sebagai berikut : 

1. Proses pelaksanaan upakara ini dilaksanakan di laut/segara. Akan tetapi, sebelum pelaksanaan upacara di laut, pertama kali wajib mengadakan upacara Pakeling dan Upacara Guru Piduka di Kemulan, kemudian nunas tirta untuk dibawa ke laut, dengan upakara : Upakara Meguru Piduka di Kemulan : Daksina Pejati, Ketipat, Pras dan runtutannya.

2. Persembahan Banten Guru yaitu: Mealed Taledan, raka-raka sarwa galahan, tumpeng guru, kojong rangkadan dan sampian jeet guak.

3. Sesayut Guru Piduka/Bendu Piduka : taledan kulit sesayut, raka-raka jangkep, tumpeng putih meklongkang plekir, kojong rangkadan, limang tebih jaja bendu, suci, kwangen 1 buah, sampyan naga sari, penyeneng, wadah uyah, pebersihan dan runtutannya. Upakara di tempat keguguran dilakukan pecaruan Sapuh Awu. 

4. Berikut, upakara di pinggir laut/di pasir pantai, dilakukan dengan prosesi : 

  • Membuat pempatan agung menggunakan kain (kasa) putih.
  • Nanceb sanggah cucuk : upasaksi ke Surya munggah banten daksina, katipat pras, punjung serta runtutannya dan ring sor sanggah : segehan gede asoroh


Untuk di Natar Segara, Bantenya Sebagai Beeikut:

1) Banten yang dipakai untuk roh bayi : bunga pudak, bangsah pisang, kereb sari, punjung dan banten bajang. 

2) Banten untuk ngulapin roh bayi : sorohan, pengulapan-pengambeyan, peras, daksina, ketipat, kelungah nyuh gading disurat ong kara (genah ngadegan roh bayi), kemudian dilakukan pemujaan (mengembalikan kepada sanghyang sankan paraning pemadi) ruh bayi tersebut, dan kemudian bangtiangcruh bayi tersebut untuk mendapatkan tempat yang baik.

Setelah itu klungah nyuh gading dan semua banten yang digunakan dihanyutkan ke laut.

Yang terakhir pemuput Upacara pengepah ayu ini bisa dilakukan oleh pemangku yang di yakini atau khususnya pemangku kayangan tiga atau Dalem lan Mrajapati. 

Semoga Bermanfaat, silakan simak artikel payanadewa.com untuk tulisan lainnya. 
Om Santhi, Santhi, Santhi Om

Kuningan Kesempurnaan Karma dan Kebenaran


AUM AWIGHNAM ASTU NAMO SIDHAM KUNINGAN KESEMPURNAAN DHARMA KEBENARAN 


Perjalanan umat manusia tak pernah henti berjalan terus menyusuri Sang waktu pekat kelam muncul timbul tenggelam ... Sarat penuh makna mengarungi hamparan suka dan duka menghitung lambaian tangan memukau menyambut Sang waktu. Entah disadari atau tidak klimaks perjuangan hidup ini bagaikan putaran CAKRA SUDARSANA KRISHNA menggelinding merecord benar salah baik buruk menjadi Kharma dari hukum sebab akibat yg didalilkan.


Diakui atau tidak Kebenaran tetap ditegakkan bukan perkara siap atau tidak kita haruslah mengakui tiba saatnya keabsahanya mewakili kata hati dari sekumpulan insan manusia bahwa harus diakui siapapun dia Tirani kehidupan adalah suatu yg mutlak dan patut diakui saatnya akan memberikan bayangan hasil yg sudah pasti  adakah waktu dan kesempatan berkelit walau kemampuan kita merasa tak kan pernah usang? Patut diakui dimanapun kita berpijak tak ada sejengkal pun luput dari kekuasaanNya . ibarat kita bisa melewatinya disaat semua sudah tiba Sang waktu akan menutup semua cita dan perjuangan kita. Sungguh tiada alasan kita hanya kepadaNya lah proses ini berlangsung dan kita tak pernah tau karena lilitan Sang cakra sudarsana menghabiskan tali kuncinya sampai habis hambanya tak berkutik . 


Ajaran yg paling dibenarkan atas Nya adalah perjalanan fase waktu yg menghantarkan kita yg mengerti sementara waktu. Dimanakah sesungguhnya dia yg paling benar diakui kebenaranya? Berbagai kemampuaNya belum mampu kita menolaknya hanya karena kasihNya semuanya bisa ditawar untuk mengurangi kesalahan yg perlu pengampunan. Kepastian yang didapat memerlukan pengakuan yang abadi bilamana belum dianggap sempurna. Sungguh mulianya perjuangan ini yg tak pernah henti mengais memilah dari kepribadian seorang anak Tuhan yang berakhlak mulia. Perlu waktu sangat panjang untuk meniti ibarat secangkir gula dan kopi bila telat mengaduknya ibarat ampas yang akan membuat hidup ini sia dan sia. 


Manusia dapat kesempatan paling longgar diantara makhluk lainya. Adakah waktu tanpa berharga yang harus sia-sia lewat begitu saja? Mungkin kita perlu banyak cara yang mampu dan jitu meretas bayangan kelam akhir dari sebuah karma yang tentu membuahkan hasil yang baik walau belum sempurna. Diyakini atau tidak sisa sang waktu ini tetap akan mencatat SANCITHA KARMA WASANA yang akan berbuah manis bila waktu yang masih tersisa kita menimbun segumpal ke arah perbaikan. Sungguh mulianya dilahirkan sebagai manusia tanpa cela tanpa cacat yang lebih leluasa berbuat untuk berlomba atas nama kebaikan. 


Ada satu ajakan mulia bila kita mengakui hidup ini tidaklah berasa apa-apa, kosong bagaikan kentongan suara kental bergema saatnya menjauh suara nyaring kosong ditelan waktu. Sungguh mulianya harapan ini kita lalui tanpa batas yang akhirnya menghantarkan konsekuensi kehidupan ini yg membawa berkah terekam dari puncaknya volume kharma yang tidak pernah lepas ..... Satu perwujudan kata suci dan mulia berakhir untuk menatap proses sesungguhnya kita tidak pernah sadar untuk apa sesungguhnya jalan hidup yang kita cari semuanya memiliki Rekaman pasti yang akan menghantarkan puncak karma wasana yang kita torehkan .... 


Dumogi tujuan kesempurnaan hidup lahir mencapai MOKSARTHAM JAGADHITA YA CA ITI DHARMAH benar memberi inspirasi dari semua jalan terjal yg sdh kita lewati ..... AWIGHNAM ASTU.

Makna Hari Raya Kuningan dan Mengapa Upakara Harus Dihaturkan Sebelum Jam 12 Siang

Makna Hari Raya Kuningan dan Mengapa Upakara Harus  Dihaturkan Sebelum Jam 12 Siang

Apa Sesungguhnya Hari Raya Kuningan? Dan apa simbol Upakara yang harus dihaturkan sebelum jam 12 siang? silahkan simak tulisan payanadewa.com dimana Anda akan menemukan jawabannya.


Kuningan merupakan rangkaian Hari Raya Galungan yang jatuh pada hari Saniscara Kliwon Wuku Kuningan, yang memiliki makna Keuningan dengan arti tercapainya tingkatan spiritual dengan cara intropeksi diri agar terhindar dari mara bahaya. Dan juga mengandung makna Jani, Pemberitahuan, Nguningayang, baik pada diri sendiri maupun kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan yang Maha Esa.


Simbol Upakara/Banten:


  1. Tamiang, simbol perlindungan dan perputaran roda alam semesta
  2. Endongan/Selagi, simbol dari perbekalan, bekal terutama ilmu pengetahuan (jnana) untuk mengarungi kehidupan
  3. Ter, simbol panah atau 
  4. Sampian Gantung, simbol penolak bala
  5. Nasi Kuning/Penek Kuning, simbol kemakmuran



Pada hari raya Kuningan Ida Sanghyang Widi Wasa memberkahi umatnya darivjam 00pagi sampai jam 12.00siang, karena energivalam semesta. Pertiwi, Apah, Bayu, Teja dan Akasa  (Panca Maha Butha) bangkit pada puncaknya sampai jam 12.00 siang, lewat pada waktu itu disebut Pralina/kembali le asal/ngeluur kealam ara Dewa/Dewa Loka.


Kesimpulan


Kita harus ingat menyama braya, persatuan, solidaritas sosial, selalu ingat dengan lingkungan, sehingga terciptanya keharmonisan alam beserta isinya, serta tidak lupa mengucapkan rasa syukur kehadapan Ida,Sang Hyang ParamaKawi  atas karunianya. 

Kuningan dan “Dewa Berung”

Kuningan dan “Dewa Berung”
Ilustrasi photo via prempuanbali.asia

Kuningan sejatinya adalah hari tumpek (Tumpek Kuningan) yang jatuh pada saniscara kliwon wara kuningan. Kuningan secara filosofi terlepas dari rangkaian Galungan. Tapi karena harinya berdekatan sehingga tampak sebagai sebuah rangkaian dan dirayakan sebagai Galungan - Kuningan. 

Tumpek Kuningan sebagai hari pemujaan khusus kehadapan Dewa (Betara) dan Leluhur (Pitara). Sebagaimana juga kekhususan tumpek yang lain seperti tumpek kandang untuk binatang, tumpek wariga untuk tumbuhan, tumpek landep untuk senjata, tumpek wayang untuk kekuatan supranatural / pasupati / taksu, tumpek krulut untuk suara. Sebagai tonggak pemujaan khusus, Tumpek Kuningan bahkan lebih “rumit” dan “rimit” dibandingkan dengan Galungan. Seperti sarana tebog, selangi, ceniga dengan daun kayu sedikitnya lima macam, tamiang, ter, endongan, sampian gantung dengan bentuk khusus, tumpeng kuning, nasi kuning, sodan, segehan, dll. 


Dan semua sarana tersebut sebelum dihaturkan mesti dikuningkan dan disucikan dengan sarana gerusan / tumbukan daun intaran dan kunyit yang diisi air. Dalam cakepan Sunar Igama, pada hari Saniscara Kliwon wara Kuningan Ida Hyang Siwa Mahadewa diikuti oleh para Dewa dan Pitara (leluhur) turun dari “kayangan” menuju “mercapada” untuk “mesuci” dan “amukti sarining banten”. Oleh karena itu, sang gama tirtha di mercapada menyambut kehadiran “Betara” dan “Pitara” dengan persembahan pesucian, canang wangi, disertai “selangi”, “tebog”, haturan sesaji, dan segehan, sebagai simbol tapa dan ketulusan memuja Hyang Maha Suci untuk memohon amerta, kemakmuran, kepradnyanan / kebijaksanaan. Pada hari Kuningan bangunan agar “mesawen” dipasangi “tamiang” (tameng / pelindung) sebagai tanda kemeriahan dan keindahan menyambut kehadiran Betara dan Pitara di mercapada.


Kuningan  selalu menautkan Tamiang, yang mana sebagai simbol memohon perlindungan dan keselamaran kehadapan Ida Bethara dan Pitara. 
Sang Gama Tirtha juga melaksanakan “prayascita” memohon penyucian diri kehadapan Betara dan Pitara dengan sesayut prayascita disertai hening “adnyana” / bhatin. Ditetapkan bahwa pada hari Kuningan, Ida Betara dan Pitara turun ke dunia pada pagi hari. Setelah memberkati anugrah semua haturan, maka pada tengah hari Ida Betara dan Pitara kembali ke kayangan. 

Oleh karena itu pemujaan Kuningan dilakukan pada pagi hari. Tidak boleh “kelangkaran surya” (dilangkahi matahari / lewat tengah hari). Apabila pemujaan Kuningan lewat tengah hari, maka yang akan dihaturkan pemujaan adalah “Dewa Berung” yakni sosok dewa yang kotor, borok, dan bau. Mitologi Dewa Berung ini dinarasikan oleh para leluhur agar pemujaan Kuningan sesuai dengan ketentuan, agar tidak sia-sia. Demikian leluhur mewariskan.