Teks Widhi Sastra Tapini menyuratkan :
Tingkah sang anukangin, aywa pangucap agangsul, wuwus menak juga kawedar, budhi dharma juga ginegenta, mwang aywa ngwangin anglewihin salwiring upakaraning tetandingan, muwah aywa maperih dana tan yogya, mwang ane tan wenang gawe, ujaring uji tinuten. Yan tan anut linging aji, ngurangin mwang ngalewihin, dahat nemu papa sang anukangin, matemahan dadi tiryak, sira alaku-laku dada, sumusup ring rat sira. Sebarinnya sira andadi jatma, yata dadi kekelingking jagat".
(Tingkah laku ia yang menjadi tukang banten, jangan berkata-kata keras dan kasar, kata-kata yang baik dan halus hendaknya diucapkan, pikiran selalu berpegang kepada kebenaran, dan lagi jangan mengurangi atau melebih-lebihi di dalam menatanya (metetandingan), dan juga jangan mementingkan pemberian (dana) yang tidak wajar, dan melaksanakan yang tidak patut dilaksanakan. Hendaknya tetap mengikuti petunjuk sastra agama. Bila tidak mengikuti sastra agama, mengurangi atau melebih-lebihi, akan berakibat menderita papa orang yang menjadi tukang banten itu, dan kelak akan menitis menjadi binatang tingkat rendah, yaitu berjalan dengan dada, berkeliaran di dunia. Seandainya menjelma menjadi manusia, tentu menjadi cemohan masyarakat).
Antara wiku tapini dan ia yang mempunyai pekerjaan yajña atau sang adruwe karya haruslah menjalin hubungan yang harmonis, bertanggung jawab, berdedikasi, berkesucian demi keberhasilan yajña yang mereka bangun. Ketiga unsur ini: yajamana, wiku tapini dan sang adruwe karya disebut "Trimanggalaning yajña". Tri Manggalaning Yajña dibantu oleh Mañcagra.
Wiku Tapini adalah wiku istri yang mempunyai tanggung jawab tertinggi atas segala upakara banten yang diperlukan di dalam yajña tersebut. Di dalam mempersiapkan upakara banten, beliau dibantu oleh lima jenis tukang disebut Mañcagra, yaitu tukang banten (serati banten), tukang olahan wewalungan, tukang wewagahan, tukang orten (sangging, meranggi), tukang gambel, dan pragina.
Pengertian Yadnya, kalau ditinjau secara ethimologinya, kata Yadnya berasal dari bahasa Sanskerta, yaitu dari kata "yaj" yang artinya memuja atau memberi penghormatan atau menjadikan suci. Kata itu juga diartikan mempersembahkan; bertindak sebagai perantara. Dari urat kata ini timbul kata yaja (kata-kata dalam pemujaan), yajata (layak memperoleh perhormatan), yajus (sakral, retus, agama) dan yajña (pemujaan, doa, persembahan) yang semuanya ini memiliki arti sama dengan Brahma.
Yadnya (yajña), dapat juga diartikan korban suci, yaitu korban yang didasarkan atas pengabdian dan cinta kasih. Pelaksanaan yadnya bagi umat Hindu adalah satu contoh perbuatan Hyang Widhi yang telah menciptakan alam semesta dengan segala isinya ini dengan yadnya-Nya. Yadnya adalah cara yang dilakukan untuk menghubungkan diri antara manusia dengan Hyang Widhi beserta semua manisfestasi-Nya untuk memperoleh kesucian jiwa dan persatuan Atman dengan Paramatman.
Yadnya juga merupakan kebaktian, penghormatan dan pengabdian atas dasar kesadaran dan cinta kasih yang keluar dari hati sanubari yang suci dan tulus ikhlas sebagai pengabdian yang sejati kepada Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa).
Dengan demikian jelaslah bahwa yadnya mempunyai arti sebagai suatu perbuatan suci yang didasarkan atas cinta kasih, pengabdian yang tulus ikhlas dengan tanpa pamrih. Kita beryadnya, karena kita sadar bahwa Yang Widhi menciptakan alam ini dengan segala isinya termasuk manusia dengan yadnya-Nya pula. Penciptaan Hyang Widhi ini didasarkan atas korban suci-Nya, cinta dan kasih-Nya sehingga alam semesta dengan segala isinya ini termasuk manusia dan makhluk-makhluk hidup lainnya menjadi ada, dapat hidup dan berkembang dengan baik. Hyang Widhilah yang mengatur peredaran alam semesta beserta segala isinya dengan hukum kodrat-Nya, serta perilaku kehidupan makhluk dengan menciptakan zat-zat hidup yang berguna bagi makhluk hidup tersebut sehingga teratur dan harmonis. Jadi untuk dapat hidup yang harmonis dan berkembang dengan baik, maka manusia hendaknya melaksanakan yadnya, baik kepada Hyang Widhi beserta semua manifestasi-Nya, maupun kepada sesama makhluk hidup. Semua yadnya yang dilakukan ini akan membawa manfaat yang amat besar bagi kelangsungan hidup makhluk di dunia.
Di dalam pelaksanaan upacara yadnya, hal-hal yang patut diperhatikan adalah Desa, Kala dan Patra. Desa adalah menyesuaikan diri dengan bahan-bahan yang tersedia di tempat bersangkutan, di tempat mana upakara yadnya itu dibuat dan dilaksanakan, karena biasanya antara tempat yang satu dengan yang lainnya mempunyai cara-cara yang berbeda. Kala adalah penyesuaian terhadap waktu untuk beryadnya, atau kesempatan di dalam pembuatan dan pelaksanaan yadnya tersebut. Sedangkan Patra adalah keadaan yang harus menjadi perhitungan di dalam melakukan yadnya. Orang tidak dapat dipaksa untuk membuat yadnya besar atau yang kecil. Yang penting di sini adalah upakara dan upacara yang dibuat tidak mengurangi tujuan yadnya itu dan berdasarkan atas bakti kepada Hyang Widhi, karena di dalam bakti inilah letak nilai daripada yadnya tersebut.
Source : andira.puspitasharma
OM Shanti, Shanti, Shanti Om