Jadilah Hindu Bali, Jangan Sampai Pura Hindu Menjadi Kenangan Seperti Zaman Majapahit
Baik, Buruk Hidup Ini adalah Salah Satu Dari Karma Perbuatan Kita
Bahagia dan sengsara kehidupan seorang manusia ditentukan oleh perbuatannya sendiri. Percayalah karma itu ada dia berjalan bersama waktu.
Kita petik apa yang kita tanam. Tidak mungkin menanam jagung akan tumbuh padi. Pepatah Bali mengatakan bahwa jagung ditanam jagung dipetik, padi ditanam padi dituai. Jika tidak berbuat baik, mana mungkin akan mendapatkan kebaikan dari orang lain.
Ada penyakit tentu ada penyebabnya, demikian pula penderitaan itu, pasti ada sebab musababnya. Tetapi kita harus yakin bahwa penyakit atau penderitaan tersebut pasti dapat diatasi. Seseorang tidak bisa menghindari hasil perbuatannya, apakah baik atau pun buruk, sehingga seseorang tidak boleh iri jika melihat orang lain hidupnya bahagia atau lebih baik. Demikian pula sebaliknya, seseorang tidak perlu menyesali nasibnya, karena apa yang ia terima merupakan tanggung jawabnya. Ini harus disadari, bahwa penderitaan di saat ini adalah akibat dari perbuatan kita sendiri, baik yang sekarang maupun yang telah lampau. Namun kita harus sadar pula bahwa suatu saat penderitaan itu akan berakhir asal kita selalu berusaha untuk berbuat yang baik. Perbuatan baik yang dilakukan saat ini akan memberikan kebahagiaan baik sekarang maupun pada masa yang akan datang.
Jelasnya dengan itu seseorang tidak perlu sedih atau menyesali orang lain karena mengalami penderitaan dan tidak perlu sombong karena mengalami kebahagiaan, karena hal itu adalah hasil karma. Satu hal yang perlu diingat, bahwa hukum karmaphala itu tidak terlepas dari kekuasaan Tuhan Yang Maha Kuasa. Tuhanlah yang menentukan pahala dari karma seseorang. Beliaulah yang memberi ganjaran sesuai dengan Hukum Karma.
Ini Tujuan Pelinggih Menjangan
Sering kita lihat Pelinggih Menjangan di Merajan Gede ( Sanggah Gede) apa sih tujuannya?
Payanadewa, Tujuan Pelinggih Menjangan. Menjangan merupakan simbul kemuliaan. Dalam Sejarah Hindu, Kemuliaan merupakan tahapan yang sudah melampaui kesucian untuk mencapai kesempurnaan.
Melalui pengabdian kita memperoleh kesucian, dengan kesucian kita mendapatkan kemuliaan, dengan kemuliaan kita mendapatkan kehormatan, dengan kehormatan kita mendapatkan kebenaran, (Yayur Weda, XIX, 30).
Menjangan Saluang adalah Pelinggih untuk menghormati para leluhur yang telah menata Bali dan yang sudah mencapai kemuliaan, karena telah menguasai Jnana tiganya yaitu Bayu, Sabda, dan Idep.
Begitulah cara orang Bali menghormati para leluhur yang sudah mencapai kemuliaan, bukan seperti sampradaya import yg menghormati Guru posternya dgn mengangkatnya atau menobatkannya menjadi Tuhan pencipta alam semesta.
Prinsip Nak Melu Keto, Agama Hindu Tidak Pernah Memiskinkan Umatnya ( Ida Pedanda Made Gunung)
Sugra Ratu Bhatara 🙏🏿 |
Ida Ratu Pedanda Made Gunung memang sudah Lebar (tidak ada/meninggal) namun spirit almarhum masih sangat melekat pada masyarakat Hindu terutama Hindu Bali.
Dharma Wecana Ida sangat masyarakat rindukan, dimana masyarakat Bali kangen dengan wejangan tentang spiritual, salah satu tentang beragama Hindu yang sarat dengan bisnis Banten dan mahalnya upakara/upacara keagamaan.
Hindu itu fleksibel, gengsi yang membuat segalanya serba wah... Simak tutur Ida dibawah ini!
Kalau aji (ayah) meninggal nanti, tolong jangan buatkan upacara yang besar. Tanpa bade. Layon aji cukup diusung anak-anak menuju perabuan, pebasmian (tempat kremasi)." — Almrhum. Ida Pedanda Made Gunung.
Menurut Ida Pedanda Made Gunung, agama Hindu tidak pernah memiskinkan umatnya. Atas dasar itulah, beliau mengingatkan agar setiap umat tidak terpaku melaksanakan upacara keagamaan yang berdasarkan prinsip nak mule keto (memang begitu). "Umat kita di Bali tidak hentinya melaksanakan upacara keagamaan dan bahkan makin lama kian besar, namun sayangnya berbagai sendi kehidupan masyarakat justru menunjukkan keadaan kian merosot dan terjadi degradasi moral," katanya.
Sikap ini dipertahankan sampai akhir hayat beliau. "Kalau aji (ayah) meninggal nanti, tolong jangan buatkan upacara yang besar. Tanpa bade. Layon aji cukup diusung anak-anak menuju perabuan, pebasmian (tempat kremasi)." begitu wasiat Ida Pedanda Made Gunung kepada keluarganya.
तद्विद्धि प्रणिपातेन परिप्रश्नेन सेवया ।
उपदेक्ष्यन्ति ते ज्ञानं ज्ञानिनस्तत्त्वदर्शिनः ॥ ३४ ॥
tad viddhi praṇipātena
paripraśnena sevayā
upadekṣyanti te jñānaṁ
jñāninas tattva-darśinaḥ
"Cobalah mempelajari kebenaran dengan cara mendekati seorang guru kerohanian. Bertanya kepada beliau dengan tunduk hati dan mengabdikan diri kepada beliau. Orang yang sudah insaf akan dirinya dapat memberikan pengetahuan kepadamu karena mereka sudah melihat kebenaran itu." (Bhagavad-gītā. 4.34)
Ini Arti dan Dasyatnya Mantra Om Namaḥ Śivāya
Meskipun ada banyak mantra, tidak ada yang seperti mantra suci yang diucapkan oleh Śadāśiva Parameśvara. Veda dan Śāstra beserta dengan batang tubuh lainnya mereka muncul bersama dari mantra 6 suku kata ini (Oṁ Namaḥ Śivāya). Oleh karena itu tidak ada mantra lain yang setara dengannya.
बहुत्वेपि हि मंत्राणां सर्वज्ञेन शिवेन यः ।
प्रणीतो विमलो मन्त्रो न तेन सदृशः क्वचित् ॥ ३० ॥
सांगानि वेदशास्त्राणि संस्थितानि षडक्षरे ।
न तेन सदृशस्तस्मान्मन्त्रो ऽप्यस्त्यपरः क्वचित् ॥ ३१ ॥
— Śiva Mahāpurāṇa: Vāyavīya Saṁhitā 2.12.30-31
Namaḥ Śivāya adalah mantra yang diambil dari hymne Śrī Rudram pada Kṛṣṇa Yajurveda (Taittirīya Saṁhitā 4.5, 4.7). "Namaḥ Śivāya" berarti salam (namaḥ) pada yang Maha Beruntung (śiva), atau "sembah kami pada Tuhan Śiva".
Namaḥ Śivāya disebut Pañchākṣarī Mantra karena terdiri dari 5 suku kata (Na, Ma, Śi, Vā, Ya) atau di Bali disebut Akṣara Pañca Tīrtha (Na, Ma, Si, Wa, Ya). Namaḥ Śivāya berubah menjadi mantra 6 suku kata jika didahului awalan Oṁ di depannya — menjadi Oṁ Namaḥ Śivāya.
"Oleh karena itu, apa gunanya banyak mantra dan berbagai Śāstra pada seseorang yang hatinya teguh pada mantra 'Oṁ Namaḥ Śivāya'? Seseorang yang teguh pada japa dan mantra lima suku kata segera dilepaskan dari sangkar doṣa apakah dia seorang śūdra, kelahiran rendah, bodoh, atau orang yang terpelajar sekalipun. Ini dijawab oleh Śiva ketika diminta oleh Pārvatī, untuk kepentingan bersama."
— Śiva Mahāpurāṇa: Vāyavīya Saṁhitā 2.12.34, 37-38
Mantra Pemujaan Rong Tiga di Merajan
Selain sebagai tempat memuja Ida Sanghyang Widhi Wasa, Rong Tiga/Sanggah Kemulan juga tempat untuk memuja dan menstanakan roh suci lelulur tentu melalalui proses upacara Ngunggahang Dewapitara.
Untuk kita ketahuin bahwa yang bersthana pada sanggah kamulan adalah Sang Hyang Triatma sesuai dengan lontar dibawah ini.
Lontar Usana Dewa, Lembar 4 berbunyi sebagai berikut:
- Ring kamulan ngaran Ida Sanghyang Atma,
- Ring kamulan tengen bapa ngaran Sang Paratma,
- Ring kamulan kiwa ibu ngaran Sanghyang Sivatman,
- Ring kamulan tengah ngaran Raganyam tu Brahma dadi meme papa, meraga Sanghyang Tuduh.
Artinya:
Padang sanggah kamulan beliau Sanghyang Atma, pada ruang kamulan kanan ayah, namanya Sanghyang paratma, pada kamulan kiri ibu disebut Sivatma. Pada kamulan ruang tengan diri-Nya itu Brahma , menjadi purusa pradana berwujud Sanghyang Tuduh(Tuhan yang menakdirkan).
Lontar Gond Wesi lembar 4b juga menyebutkan hal yang sama:
..ngaran isa Sang Atma ring kamulan tengen bapanta, nga Sang Paratma, ring kamulan kiwa ibunta, nga Sang Sivatman, ring kamulan madya raganta, Atma dadi meme bapa ragane mantuk ring dalem dadi Sanhyang Tunggal, nunggalang raga
Artinya:
nama beliau Sang Atman, pada ruang kamulan kanan bapakmu, yaitu Sang Paratma, Pada ruang kamulan kiri ibumu yaitu Sang Sivatman, pada ruang kamulan tengah adalah menyatu menjadi Sanghyang Tunggal menyatukan wujud.
Pada sekte Siwa Sidanta yang dimaksud dengan Tri Atma adalah Am; Atma dewanya Brahma, Antara Atma dewanya Wisnu dengan wijaksarannya Um, dan Paratma dewannya adalah Iswara dengan wijkasarananya adalah Mang.
Ketiga Dewa tersebut disebut Tri Murti (Tiga manifestasi Tuhan dalam aspek horizontal) yang merupakan roh alam semesta. Sebagai roh alam semesta beliau bergelar Tri Purusa atau Tri Lingga (Tiga manifestasi Tuhan dalam aspek vertikal).
Makna dan Filosofi Angkul-angkul. Zaman Sekarang Tak Lagi Ada Membandingkan Mana Kori Agung - Mana Angkul-angkul
Seiring perkembangan zaman dan dinamika sosial di Bali, kemutlakan ketentuan jenis dan bentuk pamesuan, sebagaimana masa lampau, makin mengalami pergeseran nilai.
Pamesuan, dari kata kerja ‘pesu’ (bahasa Bali) berarti ‘keluar’. Dengan mendapatkan awalan ‘pa’ dan akhiran ‘an’, kata ini menjadikan kata benda, pamesuan. Pamesuan yakni bangunan gerbang depan rumah pekarangan/tempat tinggal orang Bali adalah bangunan sarat makna. Bukan semata sebagai akses keluar – masuk, dari dan keluar rumah, atau sebaliknya. Bukan pula, akses yang penghubungkan empunya rumah dengan masyarakat di luar pekarangan.
Namun pamesuan memiliki arti dan makna lebih dari sekadar tempat keluar - masuk sang pemilik rumah.
Pamesuan Menunjukkan Indentitas, Siapa Penghuninya
Sosok bentuk pamesuan, menjadi salah satu untuk menakarnya. Selain mengatakan, pamesuan memang bisa dipakai semacam referensi untuk mengetahui indentitas siapa pemilik sebuah rumah atau pekarangan. Pada masa lampau di zaman agraris, pamesuan dalam bentuk angkul-angkul adalah untuk masyarakat kebanyakan.
Bentuknya sederhana, bahan atau material strukturnya hanya tanah liat dan alang atau jerami sudah cukup. Tidak boleh melebihi. “Dalam masyarakarat agraris dulu semua seragam.
Kemudian ada pamesuan yang disebut ‘Bintang Aring’ dan ‘Kori Agung’. Material atau bahannya juga berkelas. Mulai dari tanah cetakan sampai batu bata. Strukturnya lebih rumit dan tentu saja lebih megah. Plus ragam hias yang menyesuaikan.
Pamesuan Bintang Aring dan Kori Agung ini pada masyarakat agraris zaman dulu, memang terbatas untuk kelompok masyarakat tertentu, penguasa atau bangsawan saja. Atau trah, klan tertentu saja.
Seiring perkembangan zaman dan dinamika sosial di Bali, kemutlakan ketentuan jenis dan bentuk pamesuan, sebagaimana masa lampau, makin mengalami pergeseran nilai. Apa yang pantang dan tabu pada masa lalu, tidak mutlak lagi. Semua menjadi lebih cair. Sekat batas peruntukkan pamesuan yang sempat baku mulai baur.
Sehingga pamesuan dalam bentuk Bintang Aring dan bahkan Kori Agung, tidak lagi hanya boleh untuk kelompok masyarakat tertentu saja, sebagaimana pada masa lampau yang murni agraris. “Sekarang kan ada yang pengusaha, ada yang pejabat. Mereka juga merepresentasikan diri lewat arsitektur. Salah satunya dengan bangunan pamesuan yang megah.
Contoh lain, candi bentar yang pada awalnya merupakan pamesuan untuk bangunan atau tempat suci, kini banyak dipakai sebagai batas atau pintu keluar - masuk di perkantoran, hotel, atau tempat lainnya.
Namun apapun itu pamesuan memiliki fungsi sekala-niskala. Secara sakala sebagai bagian dari batas luar (termasuk tembok penyengker) menjaga privasi yang empunya rumah, sehingga memberi rasa aman kepada penghuninya. Demikian juga secara niskala.
Karena itulah pembangunan pamesuan dilakukan dengan perhitungan-perhitungan tertentu dengan filosofi dan harapan. Misalnya bagaimana agar penghuninya aman, murah rejeki dan harapan positif lainnya.
Jarak lokasi pamesuan, ukuran ruang pintu dengan tembok penyengker dan aling-aling ada hitungannya. Dulu secara tradisional ukuran untuk pintu masuk pamesuan adalah panyengking. Juga sanan padi (bambu galah alat memikul padi) digunakan sebagai ukuran untuk menentukan, kelayakan bangunan pamesuan.
Dikutip dari situs NusaBali.com dimana Ida Pedanda Istri Putri Jelantik Kemenuh dari Griya Kemenuh Tri Gading Banjar Tegehe Buleleng menyatakan hal senada. Pamesuan pada zaman dulu sangat erat dengan symbol atau identitas penghuninya/ pemiliknya. “Kalau pemiliknya petani korinya disebut angkul-angkul,” ujar Ida Pedanda yang juga akademisi FT Unud ini.
Bentuknya sederhana, bahannya dari tanah popolan dan atap alang-alang. Meningkat lagi (strata sosial) sebagai pedagang, pamesuannya disebut bintang aring. “Ini jarang dibicarakan sekarang,” jelas Ida Pedanda. Hiasannya patra punggel. Ada tempat untuk mebanten. Sampai dengan pamesuan yang disebut kori agung yang megah dengan tembok tinggi dan tebal, menunjukkan keagungan sekaligus benteng digunakan oleh kaum bangsawan.
Dengan melihat pamesuannya saja, lanjut Ida Pedanda sudah diketahui siapa yang empunya rumah. Pamesuan juga berdimensi aman secara niskala. Hal itu ditandai dengan adanya palinggih pengapit lawang. Secara niskala dimaksudkan untuk memohon yang empunya atau penghuni rumah terhindarkan dari marabahaya. “Jadi tak hanya secara sakala menjaga privasi penghuninya, namun pamesuan juga berdimensi aman secara niskala,” jelas Ida Pedanda. *nata
Dewasa Ayu Nganten, Hari Baik Pawiwahan Berdasarkan Wuku, Sasih, dan Penanggal
Dewasa Ayu Nganten atau Hari baik Pawiwahan (Upacara Pernikahan Hindu Bali) dimana dalam melakukan ritual/Pawiwahan ini selalu menggunakan dewasa ayu (hari baik).
Pernikahan Hindu Bali selalu mempertimbangkan dan menggunakan pedoman Dewasa Ayu Nganten (Nikah Adat Bali) adalah Wuku, Sasih, Penganggal/Pangelong, Ingkel, jejepan, Triwara, Tika (kala temah dan kala kingkingan). Untuk pati paten, kala Tampak, kala Mertyu, Naga Naut, Sampar Wangke dan Geni Agung, masih diabaikan, sehubungan dengan proses perumusan.
Dewasa Ayu Nganten, Hari Baik Pawiwahan Berdasarkan Wuku, Sasih, dan Penanggal;
Wuku
Berdasarkan Wuku, ada 3 (tiga) kelompok wuku yang dihindari dalam memilih dewasa ayu nganten, diantaranya:
- Rangda Tiga, yang artinya Cerai dan menjanda/menduda hingga tiga kali.
- Carik walangati, carik yang bermakna selesai, masalah keluarga akibat pihak ketiga, fitnah, dan/atau tidak memiliki anak/keturunan.
- Tanpa Guru, yang artinya anak/keturunan sering menentang orang tua, seperti tidak memiliki orang tua (guru).
- Uncal Balung, yang artinya keluarga yang dibangun bersama (suami-istri dan keturunannya) menemui sengsara, seperti halnya tulang yang dihancurkan.
Pada WUKU diatas, itu hanya wuku-wuku yang HALA (berdampak buruk).
Sasih
Sasih yang baik untuk melaksanakan upacara perkawinan:
- Sasih Katiga (bulan ke-3), banyak anak/keturunan
- Sasih Kapat (bulan ke-4), banyak harta dan sahabat
- Sasih Kalima (bulan ke-5), banyak rejeki
- Sasih Kapitu (bulan ke-7), mendapatkan keselamatan
- Sasih Kadasa (bulan ke-10), hidup rukun bahagia
Sedangkan, Sasih yang dihindari diantaranya:
- Sasih Kasa (bulan ke-1), anak/keturunan sengsara
- Sasih Karo (bulan ke-2), miskin
- Sasih Kaenem (bulan ke-6), tiada pasangan, janda/duda
- Sasih Kawulu (bulan ke-8), miskin
- Sasih Kasanga (bulan ke-9), sengsara, lara-pati
- Sasih Jyesta (bulan ke-11), mendapatkan malu
- Sasih Sadha (bulan ke-12), kesakitan, sengsara
Penganggal/Pangelong
Penanggal yang baik untuk melaksanakan upacara perkawinan:
- Penanggal 1, Selamat sentosa
- Penanggal 2, disayang sanak keluarga
- Penanggal 3, banyak anak
- Penanggal 5, selamat sentosa
- Penanggal 7, hidup bahagia
- Penanggal 10, kaya dan disegani
- Penanggal 13, hidup senang
Penanggal yang dihindari:
- Penanggal 4, janda/duda
- Penanggal 6, susah dan sengsara
- Penanggal 8, sering mendapatkan halangan
- Penanggal 11, kesulitan, sulit mendapatkan kaselamatan
- Penanggal 12, hidup sengsara
- Penanggal 14, bertengkar, cerai
- Penanggal 15, hidup sengsara
Itulah Dewasa Ayu Nganten dari Wuku, Sasih dan Penanggal yang Baik. Semoga bermanfaat.
Ngaben Swastha
Ngabenan sederhana, dengan tingkat terkecil karena tidak dengan pengaskaran. Berarti tidak menggunakan kajang, otomatis tanpa upacara Pengajuman Kajang. Tidak menggunakan bale paga, damar kurung, damar layon, damar angenan, petulangan, tiga sampir, baju antakesuma dan payung pagut. Hanya menggunakan peti jenasah dan Pepaga/penusangan untuk mengusung ke setra. Pelaksanaan upacara di setra saja. Pengabenan Swastha Geni ini sering rancu dengan pengabenan Geni Pranawa.
Swasta asal katanya “su” (luwih, utama). Astha berasal dari Asthi (tulang, abu). Dengan demikian Swastha berarti pengabenan kembali ke intinya tapi tetap memiliki nilai utama. Pengabenan swstha terdiri dua jenis:
- Pengabenan Swastha Geni. Penyelesaian di setra dengan cara membakar jenasah maupun tanpa jenasah. Hanya ada pelaksanaan “pengiriman” setelah dibuatkan bentuk sekah tunggal, kemudian dilanjutkan dengan upacara nganyut. Setelah itu selesai.
- Pengabenan Swastha Bambang. Semua runtutan pelaksanaannya upakaranya dilaksanakan di atas bambang penguburan jenasah. Kwantitas upakaranya sama dengan pengabenan Swastha Geni hanya saja dalam upakaranya ditambah dengan “pengandeg bambang”. Pengabenan swastha bambang ini tidak disertakan upacara pengerekan dan penganyutan , karena tidak dilakukan pembakaran melainkan dikubur. Sedangkan “pengelemijian” dan pengerorasan tetap dilaksanakan seperti ngaben biasa. Pengabenan Swastha Geni atau Swastha Bambang termasuk pengabenan nista utama, tidak memakai bale paga, tidak melaksanakan pengaskaran dan pada saat ke setra memakai tumpang salu saja.
- Pengabenan Kerthi Parwa. Termasuk pengabenan tingkat nistaning utama. Dilakukan pada umat Hindu yang gugur di medan perang. Tidak dilakukan pengaskaran, hanya upacara ngentas dan pengiriman saja. Pelaksanaanya seperti pengabenan Swastha Geni.
- Pengabenan Ngelanus. Sebenarnya tidak termasuk bagian dari jenis pengabenan.
- Ngelanus Tandang Mantri. Pengabenan dan pemukuran diselesaikan dalam satu hari. Pengabenan ini mengacu pada sastra agama “Lontar Kramaning Aben Ngelanus”. Disebut juga dengan Pemargi Ngeluwer. Pengabenan ini hanya untuk para Wiku, tidak diperkenankan untuk walaka.
- Ngelanus Tumandang Mantri. Dilakukan untuk walaka dalam kurun waktu satu sampai dua hari untuk para walaka . Upakara dan upacaranya tergantung kwantitas upakara dan upacaranya.
Upacara Ngaben Pranawa
Pengabenan dengan sarana upakaranya ditujukan kepada 9 lobang yang ada pada diri manusia. Pranawa berasal dari kata Prana (lobang, nafas, jalan) dan Nawa (artinya 9). Kesembilan lobang yang dimaksud adalah:
- Udana(lobang kening), mempengaruhi baik buruknya pikiran
- Kurma (lobang mata) mempengaruhi budhi baik atau buruk , terobos ke dasendriya
- Krkara (lobang hidung), pengaruh Tri Kaya, jujur atau tidak
- Prana (mulut). Dosa bersumber dari mulut (Tri Mala Paksa)
- Dhananjya (kerongkongan). Kekuatan mempengaruhi manah – sombong dan durhaka
- Samana (lobang pepusuhan), pengaruh jiwa menjadi loba dan serakah.
- Naga (lobang lambung) pengaruh karakter yang berkaitan dg Sad Ripu
- Wyana (lobang sendi) pengaruhi perbuatan memunculkan Subha Asubha Karma.
- Apana (pantat kemaluan) pengaruhi kama yang berkaitan denga Sapta Timira.
Kesembilan lobang manusia ini dapat mengantar manusia kelembah dosa. Pengabenan Pranawa juga diikuti dengan upacara pengaskaran.
Ada lima jenis Pengabenan Pranawa
- Sawa Pranawa: Disertai jenasah atau watang matah
- Kusa Pranawa : dg watang matah atau hanya dengan adegan saja. Adegannya disertakan pengawak dari 100 katih ambengan. Memakai upacara pengaskaran.
- Toya Pranawa. Sama dg Kusa Pranawa, hanya didalam adegannya berisi payuk pere, berisi air dan dilengkapi dengan eteh2 pengentas. Juga memakai Pengaskaran.
- Gni Pranawa. Sama dengan pranawa lainnya, juga melakukan pengaskaran tapi pengaskaran nista yang dilakukan di setra setelah sawanya menjadi sekah tunggal. Tanpa uperengga seperti Damar kurung, tumpang salu, pepelengkungan, ancak saji, bale paga, tiga sampir, baju antakesuma, paying pagut. Hanya memakai dammar layon, peti jenasah dan pepaga/penusangan.
- Sapta Pranawa. Upaca ini dilakukan dirumah, menggunakan damar kurung dan pengaskaran. Tapi tidak menggunakan Bale Paga pd waktu mengusung jenasah ke setra. Hanya menggunakan pepaga/penusanganb. juga dilaksanakan langsung di setra tapi pelaksanaan pengabenannya mapendem, serta pelaksanaan pengentasnya diata bambang.
Jenis-Jenis Ngaben Awangun (Budaya Bali)
Semua organ tubuh (sebagai awangun) memperoleh material upakara sehingga upakaranya banyak. Ngaben jenis ini diikuti dengan Pengaskaran.
Ada dua jenis Ngaben Awangun:
1. Upacara Pengabenan mewangun Sawa Pratek Utama, ada jenasah atau watang matah.
2. UpacaraPengabenan mewangun Nyawa Wedana, tidak ada jenasah tetapi disimbulkan dengan adegan kayu cendana yang digambar dan ditulis aksara sangkanparan.
Nyawa Wedana berasal dari kata Nyawa atau nyawang (dibuat simbul). Wedana = rupa atau wujud.
Dengan demikian Nyawa Wedana artinya dibuatkan rupa2an (simbolis manusia).
Tata Cara Nyiraman Layon
Kali ini tentang tata cara nyiraman Layon...
1. Persiapan sarana
Tirta
- Tirta penglukatan pebersihan dari wiku
- Tirta peleletan dari wiku
- Tirta Pekuluh dari mrajan.
- Tirta khusus
Untuk Tirta Khusus;
- Tirta Pengentas Bangbang: selesai atiwa-tiwa jika jenasah akan dikubur atau mekingsan di Gni, sebaiknya menggunakan tirta diatas agar sewaktu-waktu bisa ngaben. Jika tidak maka sebelum setahun tidak boleh ngaben.
- Tirta SH Prajapati: bila jenasah dikubur atau mekingsan di Gni mempergunakan tirta ini, krn tirta ini memiliki kekuatan pengembalian ke sumbernya. SH Prajapati bersifat Mulaning Mula (wit = sumber). Prajapati adalah tempat kehidupan bermula.
2. Persiapan Sarana Pebersihan
Toya kumkuman, Sisig ambuh, Sisir dan petat, Minyak rambut, Wastra pesalin sepradeg, Boreh kuning, Kain pengusap rai, Kain pengusap raga.
3. Persiapan Sarana Penyucian:
- Gegaleng 1 ijas pisang kayu 9 atau 11 bulih, belayag berisi uang kepeng 225/250 biji, tebu ratu mesurat sangka paran, semuanya dibungkus kain putih. Ada juga yang menyebut Bantal Segi Tiga sebagai gegaleng.
- Momon (cincin mirah Windhusara) utk ngerajah dan momon. Simbul menetralkan sifat serakah manusia (momo) semasa hidupnya. Juga untuk mencegah bau busuk. Secara niskala simbul Jiwatma yang telah meninggalkan jenasah.
- Beberapa lembar kain putih yang dirajah huruf Modre (kajang).
- Simbul penyucian organ tubuh sensitif yang menimbulkan kama dan indriya selama hidupnya. Penukup yang dimaksud ialah: Penukup Siwa dwara (ubun-ubun), Penukup dua daun telinga, Penukup lambe (mulut), Penukup muka atau prerai, Penukup purus atau baga (kemaluan).
- Sebatang tebu ratu dan batang kayu sakti, disurat sbg Panca Datunya.
- Wewalungan (tulang belulang) yang dirangkai diletakkan diatas layon.
- Umbi skapa diiris-iris (usapang pada setiap persendian jenasah, sbg simbul penyucian wyana dari dasa prana).
- Daun intaran (simbul ardha Chandra). Kuncup kembang melati (pusuh menuh) untuk lubang hidung simbul SH Waruna. Bunga teleng putih (slagan alis)
- Daun delem (untuk telinga) sbg simbul SH Kwera.
- Malem 2 pulung (untuk lubang telinga), simbul apah, simbul Sang Blegode.
- Keramas (santen berisi air dapdap). Blonyoh putih (beras kencur), blonyoh kuning (beras kencur temutis). Juga bebek anget-anget. Kapas.
- Pecahan cermin 2 buah untuk kedua netranya. Simbul Teja (SH Surya Candra).
- Tali penyalin secukupnya
- Bebek (serbuk cendana) secukupnya. Taburi seluruh tubuh sbg simbul Pertiwi (SH Carman).
- Sebidang daun tunjung berisi kain hitam dan semburan (boreh) rempah-rempah utk sedaka lanang. Sedaka istri memakai sebidang daun tuwung bolo 3 lembar dilapisi kain hitam berisi rempah2 (anget2) pada kemaluan, simbul SH Smara.
- Pisau “sudha mala” atau pemutik untuk mekerik (lanang), pisau mejejahitan untuk istri. Pisau Sudha Mala (ujungnya tri sula) utk menetralisir kekuatan Sadripu dan Sapta Timira yang kelak mempengaruhi perbuatan (karmanya). Dari Tatwa: penyucian Dewa Kuku (SH Kenaka Manik) yang telah dikotori perilaku manusia (lontar Tutur Agastyaprana).
- Dua untai benang tetebus (benang putih) untuk ituk-ituk. Untuk ikat ibu jari kaki dan tangan. Simbul penyatuan Panca Budhindriya dengan Panca Karmendriya agar menyatu dengan manah untuk kembali ke Ahamkara.
- Sebuah ante dari bambu, ditulisi aksara suci di bagian kepala, ulu hati dan kaki. Sebidang tikar plasa yang sudah dirajah
- Tiga buah kereb Sinom. Kereb Sinom dibuat dari daun enau muda dan bunga pinang (blangsah buah) dianyam 10-15 Cm, panjang 75-90 cm. Kereb Sinom adalah simbul Tri Kaya, bahwa Rokh mendapat sorga tergantung hasil Tri Kayanya (Karma Wasana).
- Upakara Beyakala, jejaritan Bale Gading dan lis degdeg.
- Kain putih untuk menggulung. Kain putih melelancing dengan lapis kain 11 lapis (untuk kajang solas)
- Dua lempeng perak dibungkus tiga helai daun kayu sakti sebagai pegembelnya. Kepingan waja 4 tebih (untuk gigi) simbul Bayu, simbul dari SH Bayu.
- Peti jenasah yang sudah diupacarai, tumpang salu, pepelengkungan. Ancak saji: pagar tempat jenasah dibaringkan.
- Kain putih berisi sesuratan dedayang sebagai sarana ulon.
- Sebuah pelepah Pisang Udang Sabha (warga Pasek sesuai Bhisama menggunakan daun biyu kaikik), nantinya ditindih oleh jenasah. Ditulis huruf “Rwa Bhinneda”. Kata Udang = Uda + Ang. (Uda = air = Wisnu = Ung) (Ang = Ah = Sunia). Daun Pisang Udang Saba bermakna: “karmanyalah menentukan sorga (sunya loka) atau tidak.
4. Persiapan Tempat Pebersihan yaitu Pepaga atau Pandyusangan atau Penusangan
Pemandian sawa sebagai simbul bumi, dibuat dengan kawat mas, perak tembaga (tridatu). Diberi alas tikar dan pandan berduri sebelum dipakai. Pepaga (penusangan) dibuat dari bambu (kalau bisa bambu kuning), bertiang empat tingginya 175 Cm, ujung atas dari tiang dipasangi leluwur. Pepaga dibuat setinggi puser sang “yajamana” (pemilik upacara), dipasangi leluwur. Pojok timur laut dari tiang dipasang 11 uang kepeng sebagai simbul tingkatan alam sunia yg dituju. Panjang bambu dua jengkal lebih dari ukuran jenasah dengan lebar 80 Cm atau sesuai lebar jenasah. Galarnya menggunakan perhitungan “Ante” (cekur, pinggang, nyawan, galar, ante, guling). Etika pemasangan: jika laki tengahnya menengadah lainnya tengkurep, wanita sebaliknya.
5. Persiapan peti jenasah (simbul kekuatan maya SHW)
Pada bagian kaki dilubangi sebesar “aguli” (ajari tengah) sebagai jalannya Panca Maha Butha keluar dari maya menuju alam “Sapta Petala”. Lubang dibagian kepala adalah jalan keluar jiwatma menuju Sapta Sunia.
6. Upakara Ayaban
Setelah melelet diletakkan diwulu tempat layon (luanan), baik nista, utama atau madya. Contoh: Banten ayaban tumpeng 27, hulunya daksina gede sarwa 4 lengkap dengan banten sucinya, Banten Saji Tarpana, Banten Pulegembal, Banten Pengulapan, prayascita, bayekawonan.
7. Seember
Air antiseptic (air + daun intaran/daun base, atau air diisi bahan kimia antiseptic yang dibeli ditoko) untuk cuci tangan orang ikut ngeringkes.
8. Tata Cara Upacara Ngelelet
- Mengikuti subha dewasa peleletan, menunggu kesiapan krama banjar (perintah Klian banjar)
- Penurunan layon dari Bale Gede, dilakukan sanak keluarga, diserahkan kpd krama banjar dicacapan bale, keluarga tetap memopong bagian kepala. Menuju pepaga, posisi kaki layon tetap lebih dahulu.
- Pada waktu memandikan, layon tidak langsung ditelanjangi. Busana hanya dibuka bagian dada saja dulu.
- Wiku nyurat sastra diraga dengan cincin mirah. (AH – Nabi; Dasaksara – perut; Mang = ulu hati; Ang = bahu kiri; Ung = bahu kanan; Adu muka = selagan alis; Ang = ubun2.)
- Pertama kali keramas dengan toya ambuh, mesisig, bilas air bersih, bilas air kumkuman. Mantra ngeramasi: Om banyu klemukan, banyu pawitra pangilanging papa klesa, danda upata atemahan sudha nirmala yns. Ong2 angurah candra dimuka yns
- Keringkan rambut dan muka dengan kain putih. Rambut dipetat dan disisir. Pusung gelung gota (irtri) pusungan mudra lingga (lanang)
- Setelah keramas barulah busana dibuka seluruh, keluarga menutup bagian kemaluannya.
- Seluruh badan dibilas air biasa , gosok dg blonyoh (boreh kuning), dibilas. Setelah bersih barulah disirami air kumkuman secara merata, keringkan dengan kain. Mantra memandikan: Om sarira suda yns. Om gangga paripurna yns.
- Memakai busana kewikuan. Tirta Bayekala di kakinya saja, perciki tirta pebersihan dengan bale gading dan lis degdeg.
- Wiku memercikkan tirta kekuluh merajan (tirta aswapada Hyang Guru), dengan posisi tangan layon memegang sebuah kwangen berisi 11 pis bolong.
- Sanak keluarga mohon restu ke SH Raditya dg kwangen, posisi tangan di selagan alis, dan kwangen diletakkan di kaki layon. Mantra: Om Swargantu, Om Suniantu, Om Moksantu, Om Mursantu, Om Ksama Sampurna yenamah swaha. Sembahyang:
- Tangan puyung (utpeti sembah)
- Ke surya (SH Siwa Raditya) dg kewangen: mohon banugerah kekuatan widya kepada Sang Lina (Stiti sembah)
- Sembah ke Sang Lina sbg pengaksama agar sang lina melepas tresnanya kpd keluarga yg ditinggalkan.
Selesai pebersihan (pebersihan hidup), dilanjutkan dengan penyucian atau Pengeringkesan sebagai berikut:
- Memasang gegaleng di kepala layon
- Wiku memercikkan tirta pengeringkesan ke seluruh tubuh
- Pengerikan kuku (dg pisau sudamala atau pisau banten). Kerikan kuku dibungkus tiga helai daun kayu sakti diletakkan di kaki layon.
- Memasang sarana Panca Dathu sbb:
- Wewalungan di atas dada layon
- Cermin di dua mata (simbul teja)
- Daun intaran pada kedua alis (ardha Chandra)
- Lempeng waja di gigi (SH Bayu)
- Bunga celeng putih selagan alis
- Malem pada lubang telinga
- Daun delem pada daun telinga
- Tali itik-titik pada dua ibu jari tangan dan kaki
- Penyolasan pada setiap persendian
- Kwangen jari: setiap kwangen berisi lima tubungan (diplintir sekecil2nya ujungnya diisi irisan bawang putih (lambing kuku). Juga kwangen jari kaki. Total membuat 20 tubungan.
- Memasang kwangen isi 33 kepeng pd panggul
- Kwangen di ulu hati: menghadap keatas berisi 2 kepeng, menghadap kebawah berisi 2 kepeng.
Total semua uang kepeng yang digunakan 225 biji
- Penangkeb baga atau purus
- Memasang tebu yg sudah ditulis pd tulang punggungnya.
- Memasang sepotong kayu sakti yg sudah ditulis pd tulang dada
- Memasang momon pada rongga mulut.
- Memasang kajang (angkeb rai, karna, siwa dwara, cangkem, prana)
- Layon digulung dengan kaun penggulung, kemudian tikar, ante yang sudah disurat di bagian kepala–uluhati-kaki, ikat dg tali ketekung (tali rotan) yang sudah disurat, dipasang melingkar di bagian kepala, uluati, panggul. Tali lingkaran kepala dihubungkan ke bagian ulu hati dan bagian panggul. Tali rotan adalah simbul “melepaskan diri dari ikatan tali samsara (panumitisan). Maka perbaikilah karmamu yang asubakarma menjadi subakarma.
- Digotong ke bale gede dg posisi kaki layon didepan. Masuk peti, petinya sudah berada diatas tumpang salu.
- Memasang pelengkungan, diatasnya kain putih melelancing dengan lapis kain 11 lapis (kajang solas).
- Tiga buah kereb Sinom. Kereb Sinom dibuat dari daun enau muda dan bunga pinang (blangsah buah) dianyam 10-15 Cm, panjang 75-90 cm. Kereb Sinom adalah simbul Tri Kaya, bahwa Rokh mendapat sorga tergantung hasil Tri Kayanya (Karma Wasana).
- Setelah ngayab, dilanjutkan “Upacara Pepegatan”
- w) Wiku memuja ngaturang Saji Tarpana (Narpana Saji).
- Persiapan Sarana Pebersihan
- Air bersih dan air kumkuman
- Air keramas, sisig, minyak wangi
- Berbagai jenis bunga harum
- Pakaian seperadeg/pesaluk/pesehan (pakaian sembahyang lengkap)
- Pesaluk hidup laki (kain, saput udeng)
- Pesaluk hidup wanita (tapih, kain, sabuk, kamben cerik
- Pesaluk mati, laki perempuan sama, kain putih untuk yang sudah kawin, kain kuning bagi yang belum kawin.
- Pakaian untuk ngulung dan kain putih.
- Tikar
- Samsan atau sekarura: beras kuning ditambah irisan daun temen diisi 33 pis bolong, ditempatkan dalam wakul yng dibungkus kain putih.
- TirtaPenglukatan dan Pebersihan (untuk menghilangkan mala petaka atau pembersihan jenasah.
- Tirta Aswapada Betara Hyang Guru
- Tirta Pengresikan
- Tirta sesuhunan keluarga (pura2, kawitan, kemulan). Maksud: trita restu agar perjalana lancar.
- Tirta Kahyangan: pakeling bahwa sang atma akan menghadap ke kahyangan
- Tirta pengulung: diperecikkan pd waktu ngulung mayat.
- Tirta penembak: memandikan jenasah membersihkan kotoran lahir bathin.
- Tirta pengentas: tirta pemutus hubungan (memutuskan ikatan purusa. Tiuk pengentas adalah pisau untuk memutus hubungan.
- Tirta manah toya ning: adalah petitis keneh (manah).
- Tirta prelina atma: agar jiwatma yang meninggal pergi kealam asalnya, tideak ngrebeda.
Sama dengan Wiku, hanya ngambuhin bagian duur dapat dilakukan penglingsir.
Pebersihan 10 prana sebagai dosa manusia sebagai “dasa mala”. Sepuluh prana itu ialah:
- Prana (lubang mulut)
- Udana (lobang kepala/kening)
- Samana (lobang pepusuhan)
- Wyana (lobang persendian)
- Kurma (lobang mata)
- Krkara (lobang hidung)
- Dewa Data (lobang bibir)
- Dhananya (lobang tenggorokan)
- Naga (lobang lambung)
- Apana (lobang dubur dan kelamin)
Suasana Hati, 6 Pendekatan Seseorang Dalam Berelasi Kepada Tuhan
Seorang anak dari sebuah keluarga Bule yang mengunjungi Pura Tirta Empul, Tampaksiring Gianyar, Bali untuk berlibur. Namun, setelah menuju ke area melukat anak ini justru Mencakupkan tangannya sejajar dengan kepalanya sambil berdoa/memohon kepada Ida Sesuhunan (Tuhan) yang beristana di Pura Tirta Empul, sungguh menakjubkan.
Dalam bhakti-yoga (jalan pengabdian), ada berbagai bhāva (suasana hati) pendekatan seseorang dalam berelasi kepada Tuhan yang disebut svarūpa-siddhi, yaitu:
- Vātsalya-bhāva = mencintai Tuhan sebagai orang tua;
- Mādhurya-bhāva = mencintai Tuhan sebagai kekasih;
- Dāsya-bhāva = mencintai Tuhan sebagai tuan / maha-kuasa;
- Śiṣya‐bhāva = mencintai Tuhan sebagai guru;
- Ātmā-bhāva = mencintai Tuhan sebagai diri sendiri;
- Śākhya-bhāva = mencintai Tuhan sebagai kawan / sahabat.
Terutama jika seseorang adalah penganut Āgama Śiva / Tantra, ia bisa mendekati Tuhan melalui pendekatan sebagai orang tua, guru, & tuan. Karena dalam fungsinya Ida Bhaṭāra Dalem (Tuhan) turun sebagai orang tua sekaligus guru dari alam semesta ini, bergelar Bhaṭāra Guru (Śiva).
Namun seseorang tidak dapat mendekati aspek Śakti sebagai kekasih karena Beliau adalah Ibu kita, Pativratā, yaitu Bhaṭārī Durgā hanya milik Śiva. Śiva-Śakti adalah Ādī-dampattī, pasangan terpurba di alam semesta. Dengan demikian satu-satunya pribadi yang dapat mendekati Bhāgavatī Umā sebagai kekasih adalah Mahādeva.
Sedangkan jika seseorang adalah penyembah Viṣṇu (vaiṣṇava-bhakti), ia bisa mendekati-Nya sebagai kekasih (seperti para gopī mencintai Kṛṣṇa), sebagai putra (seperti ibu Yaśodā mencintai Kṛṣṇa), sabahat (seperti Arjuna mencintai Kṛṣṇa), & tuan (seperti rakyat Dvārakā mencintai Kṛṣṇa).
Jalan dharma yang sejati adalah totalitas kepada Tuhan melakukan pengabdian dengan diiringi kesadaran bahwa Dialah penguasa tertinggi, sehingga pelayanan yang dilakukan oleh praktisi bhakti bersifat spontan.