Showing posts with label Sejarah. Show all posts
Showing posts with label Sejarah. Show all posts

Baik, Buruk Hidup Ini adalah Salah Satu Dari Karma Perbuatan Kita

 

Baik, Buruk Hidup Ini, Salah Satu Dari Karma Perbuatan Kita

Bahagia dan sengsara kehidupan seorang manusia ditentukan oleh perbuatannya sendiri. Percayalah karma itu ada dia berjalan bersama waktu.

Kita petik apa yang kita tanam. Tidak mungkin menanam jagung akan tumbuh padi. Pepatah Bali mengatakan bahwa jagung ditanam jagung dipetik, padi ditanam padi dituai. Jika tidak berbuat baik, mana mungkin akan mendapatkan kebaikan dari orang lain.

Ada penyakit tentu ada penyebabnya, demikian pula penderitaan itu, pasti ada sebab musababnya. Tetapi kita harus yakin bahwa penyakit atau penderitaan tersebut pasti dapat diatasi. Seseorang tidak bisa menghindari hasil perbuatannya, apakah baik atau pun buruk, sehingga seseorang tidak boleh iri jika melihat orang lain hidupnya bahagia atau lebih baik. Demikian pula sebaliknya, seseorang tidak perlu menyesali nasibnya, karena apa yang ia terima merupakan tanggung jawabnya. Ini harus disadari, bahwa penderitaan di saat ini adalah akibat dari perbuatan kita sendiri, baik yang sekarang maupun yang telah lampau. Namun kita harus sadar pula bahwa suatu saat penderitaan itu akan berakhir asal kita selalu berusaha untuk berbuat yang baik. Perbuatan baik yang dilakukan saat ini akan memberikan kebahagiaan baik sekarang maupun pada masa yang akan datang.

Jelasnya dengan itu seseorang tidak perlu sedih atau menyesali orang lain karena mengalami penderitaan dan tidak perlu sombong karena mengalami kebahagiaan, karena hal itu adalah hasil karma. Satu hal yang perlu diingat, bahwa hukum karmaphala itu tidak terlepas dari kekuasaan Tuhan Yang Maha Kuasa. Tuhanlah yang menentukan pahala dari karma seseorang. Beliaulah yang memberi ganjaran sesuai dengan Hukum Karma.

Ini Tujuan Pelinggih Menjangan

 

Ini Tujuan Pelinggih Menjangan
Sering kita lihat Pelinggih Menjangan di Merajan Gede ( Sanggah Gede) apa sih tujuannya? 

Payanadewa, Tujuan Pelinggih Menjangan. Menjangan merupakan simbul kemuliaan. Dalam Sejarah Hindu, Kemuliaan merupakan tahapan yang sudah melampaui kesucian untuk mencapai kesempurnaan.

Melalui pengabdian kita memperoleh kesucian, dengan kesucian kita mendapatkan kemuliaan, dengan kemuliaan kita mendapatkan kehormatan, dengan kehormatan kita mendapatkan kebenaran, (Yayur Weda, XIX, 30).

Menjangan Saluang adalah Pelinggih untuk menghormati para leluhur yang telah menata Bali dan yang sudah mencapai kemuliaan, karena telah menguasai Jnana tiganya yaitu Bayu, Sabda, dan Idep.

Begitulah cara orang Bali menghormati para leluhur yang sudah mencapai kemuliaan, bukan seperti sampradaya import yg menghormati Guru posternya dgn mengangkatnya atau menobatkannya menjadi Tuhan pencipta alam semesta.

Prinsip Nak Melu Keto, Agama Hindu Tidak Pernah Memiskinkan Umatnya ( Ida Pedanda Made Gunung)

Prinsip Nak Melu Keto, Agama Hindu Tidak Pernah Memiskinkan Umatnya ( Ida Pedanda Made Gunung)
Sugra Ratu Bhatara 🙏🏿

 Ida Ratu Pedanda Made Gunung memang sudah Lebar (tidak ada/meninggal) namun spirit almarhum masih sangat melekat pada masyarakat Hindu terutama Hindu Bali. 

Dharma Wecana Ida sangat masyarakat rindukan, dimana masyarakat Bali kangen dengan wejangan tentang spiritual, salah satu tentang beragama Hindu yang sarat dengan bisnis Banten dan mahalnya upakara/upacara keagamaan. 

Hindu itu fleksibel, gengsi yang membuat segalanya serba wah... Simak tutur Ida dibawah ini! 

Kalau aji (ayah) meninggal nanti, tolong jangan buatkan upacara yang besar. Tanpa bade. Layon aji cukup diusung anak-anak menuju perabuan, pebasmian (tempat kremasi)." — Almrhum. Ida Pedanda Made Gunung.

Menurut Ida Pedanda Made Gunung, agama Hindu tidak pernah memiskinkan umatnya. Atas dasar itulah, beliau mengingatkan agar setiap umat tidak terpaku melaksanakan upacara keagamaan yang berdasarkan prinsip nak mule keto (memang begitu). "Umat kita di Bali tidak hentinya melaksanakan upacara keagamaan dan bahkan makin lama kian besar, namun sayangnya berbagai sendi kehidupan masyarakat justru menunjukkan keadaan kian merosot dan terjadi degradasi moral," katanya.

Sikap ini dipertahankan sampai akhir hayat beliau. "Kalau aji (ayah) meninggal nanti, tolong jangan buatkan upacara yang besar. Tanpa bade. Layon aji cukup diusung anak-anak menuju perabuan, pebasmian (tempat kremasi)." begitu wasiat Ida Pedanda Made Gunung kepada keluarganya.

तद्विद्धि प्रणिपातेन परिप्रश्न‍ेन सेवया ।

उपदेक्ष्यन्ति ते ज्ञानं ज्ञानिनस्तत्त्वदर्शिनः ॥ ३४ ॥

tad viddhi praṇipātena

paripraśnena sevayā

upadekṣyanti te jñānaṁ

jñāninas tattva-darśinaḥ

"Cobalah mempelajari kebenaran dengan cara mendekati seorang guru kerohanian. Bertanya kepada beliau dengan tunduk hati dan mengabdikan diri kepada beliau. Orang yang sudah insaf akan dirinya dapat memberikan pengetahuan kepadamu karena mereka sudah melihat kebenaran itu." (Bhagavad-gītā. 4.34)

Ini Arti dan Dasyatnya Mantra Om Namaḥ Śivāya

 

Ini Arti dan Dasyatnya Mantra Om Namaḥ Śivāya

Meskipun ada banyak mantra, tidak ada yang seperti mantra suci yang diucapkan oleh Śadāśiva Parameśvara. Veda dan Śāstra beserta dengan batang tubuh lainnya mereka muncul bersama dari mantra 6 suku kata ini (Oṁ Namaḥ Śivāya). Oleh karena itu tidak ada mantra lain yang setara dengannya.

बहुत्वेपि हि मंत्राणां सर्वज्ञेन शिवेन यः ।

प्रणीतो विमलो मन्त्रो न तेन सदृशः क्वचित् ॥ ३० ॥

सांगानि वेदशास्त्राणि संस्थितानि षडक्षरे ।

न तेन सदृशस्तस्मान्मन्त्रो ऽप्यस्त्यपरः क्वचित् ॥ ३१ ॥

— Śiva Mahāpurāṇa: Vāyavīya Saṁhitā 2.12.30-31

Namaḥ Śivāya adalah mantra yang diambil dari hymne Śrī Rudram pada Kṛṣṇa Yajurveda (Taittirīya Saṁhitā 4.5, 4.7). "Namaḥ Śivāya" berarti salam (namaḥ) pada yang Maha Beruntung (śiva), atau "sembah kami pada Tuhan Śiva".

Namaḥ Śivāya disebut Pañchākṣarī Mantra karena terdiri dari 5 suku kata (Na, Ma, Śi, Vā, Ya) atau di Bali disebut Akṣara Pañca Tīrtha (Na, Ma, Si, Wa, Ya). Namaḥ Śivāya berubah menjadi mantra 6 suku kata jika didahului awalan Oṁ di depannya — menjadi Oṁ Namaḥ Śivāya.

"Oleh karena itu, apa gunanya banyak mantra dan berbagai Śāstra pada seseorang yang hatinya teguh pada mantra 'Oṁ Namaḥ Śivāya'? Seseorang yang teguh pada japa dan mantra lima suku kata segera dilepaskan dari sangkar doṣa apakah dia seorang śūdra, kelahiran rendah, bodoh, atau orang yang terpelajar sekalipun. Ini dijawab oleh Śiva ketika diminta oleh Pārvatī, untuk kepentingan bersama."

— Śiva Mahāpurāṇa: Vāyavīya Saṁhitā 2.12.34, 37-38

Mantra Pemujaan Rong Tiga di Merajan

 

Mantra Pemujaan Rong Tiga di Merajan

Selain sebagai tempat memuja Ida Sanghyang Widhi Wasa, Rong Tiga/Sanggah Kemulan juga tempat untuk memuja dan menstanakan roh suci lelulur tentu melalalui proses upacara Ngunggahang Dewapitara.

Untuk kita ketahuin bahwa yang bersthana pada sanggah kamulan adalah Sang Hyang Triatma sesuai dengan lontar dibawah ini.

Lontar Usana Dewa, Lembar 4 berbunyi sebagai berikut:

  1. Ring kamulan ngaran Ida Sanghyang Atma,
  2. Ring kamulan tengen bapa ngaran Sang Paratma,
  3. Ring kamulan kiwa ibu ngaran Sanghyang Sivatman,
  4. Ring kamulan tengah ngaran Raganyam tu Brahma dadi meme papa, meraga Sanghyang Tuduh.

Artinya: 

Padang sanggah kamulan beliau Sanghyang Atma, pada ruang kamulan kanan ayah, namanya Sanghyang paratma, pada kamulan kiri ibu disebut Sivatma. Pada kamulan ruang tengan diri-Nya itu Brahma , menjadi purusa pradana berwujud Sanghyang Tuduh(Tuhan yang menakdirkan).

Lontar Gond Wesi lembar 4b juga menyebutkan hal yang sama:

..ngaran isa Sang Atma ring kamulan tengen bapanta, nga Sang Paratma, ring kamulan kiwa ibunta, nga Sang Sivatman, ring kamulan madya raganta, Atma dadi meme bapa ragane mantuk ring dalem dadi Sanhyang Tunggal, nunggalang raga

Artinya: 

nama beliau Sang Atman, pada ruang kamulan kanan bapakmu, yaitu Sang Paratma, Pada ruang kamulan kiri ibumu yaitu Sang Sivatman, pada ruang kamulan tengah adalah menyatu menjadi Sanghyang Tunggal menyatukan wujud.

Pada sekte Siwa Sidanta yang dimaksud dengan Tri Atma adalah Am; Atma dewanya Brahma, Antara Atma dewanya Wisnu dengan wijaksarannya Um, dan Paratma dewannya adalah Iswara dengan wijkasarananya adalah Mang. 

Ketiga Dewa tersebut disebut Tri Murti (Tiga manifestasi Tuhan dalam aspek horizontal) yang merupakan roh alam semesta. Sebagai roh alam semesta beliau bergelar Tri Purusa atau Tri Lingga (Tiga manifestasi Tuhan dalam aspek vertikal).

Makna dan Filosofi Angkul-angkul. Zaman Sekarang Tak Lagi Ada Membandingkan Mana Kori Agung - Mana Angkul-angkul

 

Makna dan Filosofi Angkul-angkul. Zaman Sekarang Tak Lagi Ada Membandingkan Mana Kori Agung - Mana Angkul-angkul

Seiring perkembangan zaman dan dinamika sosial di Bali, kemutlakan ketentuan jenis dan bentuk pamesuan, sebagaimana masa lampau, makin mengalami pergeseran nilai.

Pamesuan, dari kata kerja ‘pesu’ (bahasa Bali) berarti ‘keluar’. Dengan mendapatkan awalan ‘pa’ dan akhiran ‘an’, kata ini  menjadikan kata benda, pamesuan. Pamesuan yakni bangunan gerbang depan rumah pekarangan/tempat tinggal orang Bali adalah bangunan sarat makna. Bukan semata sebagai akses keluar – masuk, dari dan keluar rumah, atau sebaliknya. Bukan pula, akses yang penghubungkan empunya rumah dengan masyarakat di luar pekarangan.

Namun pamesuan memiliki arti dan makna lebih dari sekadar tempat keluar - masuk sang pemilik rumah.

Pamesuan Menunjukkan Indentitas, Siapa Penghuninya

Sosok bentuk pamesuan, menjadi salah satu untuk menakarnya. Selain mengatakan, pamesuan memang bisa dipakai semacam referensi untuk mengetahui indentitas siapa pemilik sebuah rumah atau pekarangan. Pada masa lampau di zaman agraris, pamesuan dalam bentuk angkul-angkul adalah untuk masyarakat kebanyakan. 

Bentuknya sederhana, bahan atau material strukturnya hanya tanah liat dan alang atau  jerami sudah cukup. Tidak boleh melebihi. “Dalam masyarakarat agraris dulu semua seragam.

Kemudian ada pamesuan yang disebut ‘Bintang Aring’ dan ‘Kori Agung’. Material atau bahannya juga berkelas. Mulai dari tanah cetakan sampai batu bata. Strukturnya lebih rumit dan tentu saja lebih megah. Plus ragam hias yang menyesuaikan.

Pamesuan Bintang Aring dan Kori Agung ini pada masyarakat agraris zaman dulu, memang terbatas untuk kelompok masyarakat tertentu, penguasa atau bangsawan saja. Atau trah, klan tertentu saja.

Seiring perkembangan zaman dan dinamika sosial di Bali, kemutlakan ketentuan jenis dan bentuk pamesuan, sebagaimana masa lampau, makin mengalami pergeseran nilai. Apa yang pantang dan tabu pada masa lalu, tidak mutlak lagi. Semua menjadi lebih cair. Sekat batas peruntukkan pamesuan yang sempat baku mulai baur.

Sehingga pamesuan dalam bentuk Bintang Aring dan bahkan Kori Agung, tidak lagi hanya boleh untuk kelompok masyarakat tertentu saja, sebagaimana pada masa lampau yang murni agraris. “Sekarang kan ada yang pengusaha, ada yang pejabat. Mereka juga merepresentasikan diri lewat arsitektur. Salah satunya dengan bangunan pamesuan yang megah.

Contoh lain, candi bentar yang pada awalnya merupakan pamesuan untuk bangunan atau tempat suci, kini banyak dipakai sebagai batas atau pintu keluar - masuk di perkantoran, hotel, atau tempat lainnya.

Namun apapun itu pamesuan memiliki fungsi sekala-niskala. Secara sakala sebagai bagian dari batas luar (termasuk tembok penyengker) menjaga privasi yang empunya rumah, sehingga memberi rasa aman kepada penghuninya. Demikian juga secara niskala.

Karena itulah pembangunan pamesuan dilakukan dengan perhitungan-perhitungan tertentu dengan filosofi dan harapan. Misalnya bagaimana agar penghuninya aman, murah rejeki dan harapan positif lainnya.

Jarak lokasi pamesuan, ukuran ruang pintu dengan tembok penyengker dan aling-aling ada hitungannya. Dulu secara tradisional ukuran untuk pintu masuk pamesuan adalah panyengking. Juga sanan padi (bambu galah alat memikul padi) digunakan sebagai ukuran untuk menentukan, kelayakan bangunan pamesuan.

Dikutip dari situs NusaBali.com dimana Ida Pedanda Istri Putri Jelantik Kemenuh dari Griya Kemenuh Tri Gading Banjar Tegehe Buleleng menyatakan hal senada. Pamesuan pada zaman dulu sangat erat dengan symbol atau identitas penghuninya/ pemiliknya. “Kalau pemiliknya petani korinya disebut angkul-angkul,” ujar Ida Pedanda yang juga akademisi FT Unud ini. 

Bentuknya sederhana, bahannya dari tanah popolan dan atap alang-alang. Meningkat lagi (strata sosial) sebagai pedagang, pamesuannya disebut bintang aring. “Ini jarang dibicarakan sekarang,” jelas Ida Pedanda. Hiasannya patra punggel. Ada tempat untuk mebanten. Sampai dengan pamesuan yang disebut kori agung yang megah dengan tembok tinggi dan tebal, menunjukkan keagungan sekaligus benteng digunakan oleh kaum bangsawan.

Dengan melihat pamesuannya saja, lanjut Ida Pedanda sudah diketahui siapa yang empunya rumah. Pamesuan juga berdimensi aman secara niskala. Hal itu ditandai dengan adanya palinggih pengapit lawang. Secara niskala dimaksudkan untuk memohon yang empunya atau penghuni rumah terhindarkan dari marabahaya.  “Jadi tak hanya secara sakala menjaga privasi penghuninya, namun pamesuan juga berdimensi aman secara niskala,” jelas Ida Pedanda. *nata

Dewasa Ayu Nganten, Hari Baik Pawiwahan Berdasarkan Wuku, Sasih, dan Penanggal

 

Dewasa Ayu Nganten, Hari Baik Pawiwahan Berdasarkan  Wuku, Sasih, dan Penangga

Dewasa Ayu Nganten atau Hari baik Pawiwahan (Upacara Pernikahan Hindu Bali) dimana dalam melakukan ritual/Pawiwahan ini selalu menggunakan dewasa ayu (hari baik). 

Pernikahan Hindu Bali selalu mempertimbangkan dan menggunakan pedoman Dewasa Ayu Nganten (Nikah Adat Bali) adalah Wuku, Sasih, Penganggal/Pangelong, Ingkel, jejepan, Triwara, Tika (kala temah dan kala kingkingan). Untuk pati paten, kala Tampak, kala Mertyu, Naga Naut, Sampar Wangke dan Geni Agung, masih diabaikan, sehubungan dengan proses perumusan.

Dewasa Ayu Nganten, Hari Baik Pawiwahan Berdasarkan  Wuku, Sasih, dan Penanggal;

Wuku

Berdasarkan Wuku, ada 3 (tiga) kelompok wuku yang dihindari dalam memilih dewasa ayu nganten, diantaranya:

  • Rangda Tiga, yang artinya Cerai dan menjanda/menduda hingga tiga kali.
  • Carik walangati, carik yang bermakna selesai, masalah keluarga akibat pihak ketiga, fitnah, dan/atau tidak memiliki anak/keturunan.
  • Tanpa Guru, yang artinya anak/keturunan sering menentang orang tua, seperti tidak memiliki orang tua (guru).
  • Uncal Balung, yang artinya keluarga yang dibangun bersama (suami-istri dan keturunannya) menemui sengsara, seperti halnya tulang yang dihancurkan.

Pada WUKU diatas, itu hanya wuku-wuku yang HALA (berdampak buruk).

Sasih

Sasih yang baik untuk melaksanakan upacara perkawinan:

  • Sasih Katiga (bulan ke-3), banyak anak/keturunan
  • Sasih Kapat (bulan ke-4), banyak harta dan sahabat
  • Sasih Kalima (bulan ke-5), banyak rejeki
  • Sasih Kapitu (bulan ke-7), mendapatkan keselamatan
  • Sasih Kadasa (bulan ke-10), hidup rukun bahagia

Sedangkan, Sasih yang dihindari diantaranya:

  • Sasih Kasa (bulan ke-1), anak/keturunan sengsara
  • Sasih Karo (bulan ke-2), miskin
  • Sasih Kaenem (bulan ke-6), tiada pasangan, janda/duda
  • Sasih Kawulu (bulan ke-8), miskin
  • Sasih Kasanga (bulan ke-9), sengsara, lara-pati
  • Sasih Jyesta (bulan ke-11), mendapatkan malu
  • Sasih Sadha (bulan ke-12), kesakitan, sengsara

Penganggal/Pangelong

Penanggal yang baik untuk melaksanakan upacara perkawinan:

  • Penanggal 1, Selamat sentosa
  • Penanggal 2, disayang sanak keluarga
  • Penanggal 3, banyak anak
  • Penanggal 5, selamat sentosa
  • Penanggal 7, hidup bahagia
  • Penanggal 10, kaya dan disegani
  • Penanggal 13, hidup senang

Penanggal yang dihindari:

  • Penanggal 4, janda/duda
  • Penanggal 6, susah dan sengsara
  • Penanggal 8, sering mendapatkan halangan
  • Penanggal 11, kesulitan, sulit mendapatkan kaselamatan
  • Penanggal 12, hidup sengsara
  • Penanggal 14, bertengkar, cerai
  • Penanggal 15, hidup sengsara

Itulah Dewasa Ayu Nganten dari Wuku, Sasih dan Penanggal yang Baik. Semoga bermanfaat.

Suasana Hati, 6 Pendekatan Seseorang Dalam Berelasi Kepada Tuhan

 

Suasana Hati, 5 Pendekatan Seseorang Dalam Berelasi Kepada Tuhan

Seorang anak dari sebuah keluarga Bule yang mengunjungi Pura Tirta Empul, Tampaksiring Gianyar, Bali untuk berlibur. Namun, setelah menuju ke area melukat anak ini justru Mencakupkan tangannya sejajar dengan kepalanya sambil berdoa/memohon kepada Ida Sesuhunan (Tuhan) yang beristana di Pura Tirta Empul, sungguh menakjubkan. 

Dalam bhakti-yoga (jalan pengabdian), ada berbagai bhāva (suasana hati) pendekatan seseorang dalam berelasi kepada Tuhan yang disebut svarūpa-siddhi, yaitu:⁣

  1. Vātsalya-bhāva = mencintai Tuhan sebagai orang tua;⁣
  2. Mādhurya-bhāva = mencintai Tuhan sebagai kekasih;⁣
  3. Dāsya-bhāva = mencintai Tuhan sebagai tuan / maha-kuasa;⁣
  4. Śiṣya‐bhāva = mencintai Tuhan sebagai guru;⁣
  5. Ātmā-bhāva = mencintai Tuhan sebagai diri sendiri;⁣
  6. Śākhya-bhāva = mencintai Tuhan sebagai kawan / sahabat.⁣

Terutama jika seseorang adalah penganut Āgama Śiva / Tantra, ia bisa mendekati Tuhan melalui pendekatan sebagai orang tua, guru, & tuan. Karena dalam fungsinya Ida Bhaṭāra Dalem (Tuhan) turun sebagai orang tua sekaligus guru dari alam semesta ini, bergelar Bhaṭāra Guru (Śiva).

Namun seseorang tidak dapat mendekati aspek Śakti sebagai kekasih karena Beliau adalah Ibu kita, Pativratā, yaitu Bhaṭārī Durgā hanya milik Śiva. Śiva-Śakti adalah Ādī-dampattī, pasangan terpurba di alam semesta. Dengan demikian satu-satunya pribadi yang dapat mendekati Bhāgavatī Umā sebagai kekasih adalah Mahādeva.

Sedangkan jika seseorang adalah penyembah Viṣṇu (vaiṣṇava-bhakti), ia bisa mendekati-Nya sebagai kekasih (seperti para gopī mencintai Kṛṣṇa), sebagai putra (seperti ibu Yaśodā mencintai Kṛṣṇa), sabahat (seperti Arjuna mencintai Kṛṣṇa), & tuan (seperti rakyat Dvārakā mencintai Kṛṣṇa).⁣

Jalan dharma yang sejati adalah totalitas kepada Tuhan melakukan pengabdian dengan diiringi kesadaran bahwa Dialah penguasa tertinggi, sehingga pelayanan yang dilakukan oleh praktisi bhakti bersifat spontan. ⁣

Banten Semakin Menjadi Ladang Bisnis, Bagi Sebagian Oknum! Yang Suka Bisnis Banten Coba Baca Ini!

 

Banten Semakin Menjadi Ladang Bisnis, Bagi Sebagian Oknum! Yang Suka Bisnis Banten Coba Baca Ini!

Teks Widhi Sastra Tapini menyuratkan :

Tingkah sang anukangin, aywa pangucap agangsul, wuwus menak juga kawedar, budhi dharma juga ginegenta, mwang aywa ngwangin anglewihin salwiring upakaraning tetandingan, muwah aywa maperih dana tan yogya, mwang ane tan wenang gawe, ujaring uji tinuten. Yan tan anut linging aji, ngurangin mwang ngalewihin, dahat nemu papa sang anukangin, matemahan dadi tiryak, sira alaku-laku dada, sumusup ring rat sira. Sebarinnya sira andadi jatma, yata dadi kekelingking jagat".

(Tingkah laku ia yang menjadi tukang banten, jangan berkata-kata keras dan kasar, kata-kata yang baik dan halus hendaknya diucapkan, pikiran selalu berpegang kepada kebenaran, dan lagi jangan mengurangi atau melebih-lebihi di dalam menatanya (metetandingan), dan juga jangan mementingkan pemberian (dana) yang tidak wajar, dan melaksanakan yang tidak patut dilaksanakan. Hendaknya tetap mengikuti petunjuk sastra agama. Bila tidak mengikuti sastra agama, mengurangi atau melebih-lebihi, akan berakibat menderita papa orang yang menjadi tukang banten itu, dan kelak akan menitis menjadi binatang tingkat rendah, yaitu berjalan dengan dada, berkeliaran di dunia. Seandainya menjelma menjadi manusia, tentu menjadi cemohan masyarakat).

Antara wiku tapini dan ia yang mempunyai pekerjaan yajña atau sang adruwe karya haruslah menjalin hubungan yang harmonis, bertanggung jawab, berdedikasi, berkesucian demi keberhasilan yajña yang mereka bangun. Ketiga unsur ini: yajamana, wiku tapini dan sang adruwe karya disebut "Trimanggalaning yajña". Tri Manggalaning Yajña dibantu oleh Mañcagra.

Wiku Tapini adalah wiku istri yang mempunyai tanggung jawab tertinggi atas segala upakara banten yang diperlukan di dalam yajña tersebut. Di dalam mempersiapkan upakara banten, beliau dibantu oleh lima jenis tukang disebut Mañcagra, yaitu tukang banten (serati banten), tukang olahan wewalungan, tukang wewagahan, tukang orten (sangging, meranggi), tukang gambel, dan pragina.

Pengertian Yadnya, kalau ditinjau secara ethimologinya, kata Yadnya berasal dari bahasa Sanskerta, yaitu dari kata "yaj" yang artinya memuja atau memberi penghormatan atau menjadikan suci. Kata itu juga diartikan mempersembahkan; bertindak sebagai perantara. Dari urat kata ini timbul kata yaja (kata-kata dalam pemujaan), yajata (layak memperoleh perhormatan), yajus (sakral, retus, agama) dan yajña (pemujaan, doa, persembahan) yang semuanya ini memiliki arti sama dengan Brahma.

Yadnya (yajña), dapat juga diartikan korban suci, yaitu korban yang didasarkan atas pengabdian dan cinta kasih. Pelaksanaan yadnya bagi umat Hindu adalah satu contoh perbuatan Hyang Widhi yang telah menciptakan alam semesta dengan segala isinya ini dengan yadnya-Nya. Yadnya adalah cara yang dilakukan untuk menghubungkan diri antara manusia dengan Hyang Widhi beserta semua manisfestasi-Nya untuk memperoleh kesucian jiwa dan persatuan Atman dengan Paramatman.

Yadnya juga merupakan kebaktian, penghormatan dan pengabdian atas dasar kesadaran dan cinta kasih yang keluar dari hati sanubari yang suci dan tulus ikhlas sebagai pengabdian yang sejati kepada Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa).

Dengan demikian jelaslah bahwa yadnya mempunyai arti sebagai suatu perbuatan suci yang didasarkan atas cinta kasih, pengabdian yang tulus ikhlas dengan tanpa pamrih. Kita beryadnya, karena kita sadar bahwa Yang Widhi menciptakan alam ini dengan segala isinya termasuk manusia dengan yadnya-Nya pula. Penciptaan Hyang Widhi ini didasarkan atas korban suci-Nya, cinta dan kasih-Nya sehingga alam semesta dengan segala isinya ini termasuk manusia dan makhluk-makhluk hidup lainnya menjadi ada, dapat hidup dan berkembang dengan baik. Hyang Widhilah yang mengatur peredaran alam semesta beserta segala isinya dengan hukum kodrat-Nya, serta perilaku kehidupan makhluk dengan menciptakan zat-zat hidup yang berguna bagi makhluk hidup tersebut sehingga teratur dan harmonis. Jadi untuk dapat hidup yang harmonis dan berkembang dengan baik, maka manusia hendaknya melaksanakan yadnya, baik kepada Hyang Widhi beserta semua manifestasi-Nya, maupun kepada sesama makhluk hidup. Semua yadnya yang dilakukan ini akan membawa manfaat yang amat besar bagi kelangsungan hidup makhluk di dunia.

Di dalam pelaksanaan upacara yadnya, hal-hal yang patut diperhatikan adalah Desa, Kala dan Patra. Desa adalah menyesuaikan diri dengan bahan-bahan yang tersedia di tempat bersangkutan, di tempat mana upakara yadnya itu dibuat dan dilaksanakan, karena biasanya antara tempat yang satu dengan yang lainnya mempunyai cara-cara yang berbeda. Kala adalah penyesuaian terhadap waktu untuk beryadnya, atau kesempatan di dalam pembuatan dan pelaksanaan yadnya tersebut. Sedangkan Patra adalah keadaan yang harus menjadi perhitungan di dalam melakukan yadnya. Orang tidak dapat dipaksa untuk membuat yadnya besar atau yang kecil. Yang penting di sini adalah upakara dan upacara yang dibuat tidak mengurangi tujuan yadnya itu dan berdasarkan atas bakti kepada Hyang Widhi, karena di dalam bakti inilah letak nilai daripada yadnya tersebut.

Source : andira.puspitasharma

OM Shanti, Shanti, Shanti Om

Makna Ngembak Geni, Sehari Sehabis Nyepi

 

Makna Ngembak Geni, Sehari Sehabis Nyepi
Rahajeng Rahina Ngembak Geni. 

Sehari sesudah Hari Raya Nyepi merupakan Ngembak Geni, dimana dalam Bahasa Bali memiliki arti Ngembak yaitu, Bebas dan Geni adalah Api. Jadi, Ngembak Geni jika dirangkai bermakna bebas menyalakan api (dalam pengertian luas terbebas dan kembali beraktifitas seperti biasanya). 

Ngembak Geni Merupakan salah satu tahapan pelaksanaan Hari Raya Nyepi yaitu sehari setelah Nyepi. 

Pada hari Ngembak Geni Setiap Umat Hindu melakukan persembahyangan memohon kepada Ida Sang Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa) untuk di dipermudah segala sesuatu di tahun saka berikutnya, kebaikan dan Kerahayuan. 

Saat Hari Ngembak Geni juga dilakukan Dharma Santhi (berkunjung ke sanak keluarga), saudara, teman dan masyarakat. 

Untuk saling menyapa dan saling maaf-memaafkan, untuk tahun baru saka yang damai dan Shanti. 

Bukan Untuk Pesta: Hanya Sehari! Lakukan Tujuan Nyepi yang Baik

Bukan Untuk Pesta: Hanya Sehari! Lakukan Tujuan Nyepi yang Baik

Menuju hari suci Nyepi banyak masyarakat Hindu di Bali mendatangi pasar, supermarket, mall untuk memenuhi kebutuhan mereka saat hari suci Nyepi. Sudah seperti Galungan atau Kuningan, dimana ada yang lebat (pesta). Mari lakukan dan laksanakan hari berata penyepian dengan baik.  

Hari Raya Nyepi adalah hari pergantian tahun Saka (Isakawarsa) yang dirayakan setiap satu tahun sekali yang jatuh pada sehari sesudah tileming kesanga pada penanggal 1 sasih Kedasa. Nyepi memiliki filosofi dimana umat Hindu memohon kepada Tuhan, Ida Sang Hyang Widhi Wasa, untuk melakukan penyucian Buana Alit (manusia) dan Buana Agung (alam dan seluruh isinya). Nyepi mengandung arti sepi atau sunyi, dan dirayakan setiap 1 tahun saka. 

Pada saat Nyepi tidak boleh melakukan aktifitas seperti pada umumnya, seperti keluar rumah (kecuali sakit dan perlu berobat), menyalakan lampu, bekerja dan sebagainya. Dan tujuannya adalah agar tercipta suasana sepi, sepi dari hiruk pikuknya kehidupan dan sepi dari semua nafsu atau keserakahan sifat manusia untuk menyucikan Bhuwana Agung (alam semesta) dan Bhuwana Alit (manusia). 

Sebelum hari raya Nyepi, dilaksanakan serangkaian upacara dan upakara yang bermaksud agar Penyucian Buana Alit dan Buana Agung berjalan dengan lancar. Rangkaian upacara tersebut berbeda-beda, tergantung dari Genius Local Wisdom dan urun rembug masing-masing daerah serta kebijaksanaan yang ditetapkan bersama. Hari Raya Nyepi khususnya di Bali memiliki beberapa tahapan. Dimulai dari Upacara Melasti, Mecaru, dan Pengerupukan. Kemudian diikuti oleh puncak Hari Raya Nyepi itu sendiri. Dan terakhir disebut dengan Ngembak Geni. 1.Melasti, Mecaru, dan Pengerupukan Melasti Upacara Melasti atau bisa disebut Melis diadakan beberapa hari sebelum Nyepi. Pada saat ini segala sesuatu atau sarana persembahyangan di Pura-pura di bawa kelaut untuk disucikan. Pada saat Melasti, berbagai pretima atau benda yang disakralkan atau dikeramatkan akan disucikan dengan cara dibawa ke laut, sungai atau segara. Pada jaman dahulu, berbagai benda ini diarak dengan diusung di atas kepala.

Melasti = melelasti = nganyudang malaning gumi ngamet Tirta Amerta. Menghanyutkan kekotoran alam menggunakan air kehidupan. Segara (laut) dianggap sebagai sumber Tirtha Amertha (Dewa Ruci, Pemuteran Mandaragiri). Namun kemudian, seiring dengan perkembangan jaman, kearifan akal budi manusia melakukan modifikasi dengan membuat Jempana. Jempana adalah sebuah tempat yang kemudian di beri roda agar mudah diarak menuju laut. Setelah pretima disucikan, kemudian akan disemayamkan di Pura Desa hingga sehari setelah hari raya Nyepi berlalu, untuk kemudian berbagai pretima ini kembali ditempatkan pada pura masing-masing. Selambat-lambatnya pada tilem sore, pelelastian harus sudah selesai secara keseluruhan, dan pratima yang disucikan sudah harus berada di bale agung.

Mecaru/Tawur Mecaru atau bisa disebut Tawur, dilaksanakan pada hari Tilem Sasih Kesange (Bulan mati ke 9) yaitu sehari sebelum Nyepi. Merupakan upacara yang dilaksanakan di setiap rumah atau keluarga, desa, kecamatan dan sebagainya. Dengan membuat sesajen yang ditujukan kepada para Bhuta Kala atau bisa disebut hal-hal negatif agar pada nantinya tidak mengganggu kehidupan manusia. 

Umat Hindu melaksanakan upacara ”Buta Yadnya” di perempatan jalan dan lingkungan rumah masing-masing, dengan mengambil salah satu dari jenis-jenis Caru (semacam sesajian). Buta Yadnya itu masing-masing bernama Pañca Sata (kecil), Pañca Sanak (sedang), dan Tawur Agung (besar). Tawur atau pecaruan sendiri merupakan penyucian/pemarisuda (Buta Kala), dan segala ”leteh” (kekotoran) diharapkan sirna semuanya. ”Caru” yang dilaksanakan di rumah masing-masing terdiri dari nasi manca (lima) warna berjumlah 9 tanding/paket beserta lauk pauknya, seperti Ayam Brumbun (berwarna-warni) disertai ”tetabuhan” arak/tuak. Buta Yadnya ini ditujukan kepada Sang Buta Raja, Buta Kala dan Batara Kala, dengan memohon supaya mereka tidak mengganggu umat.

Pengerupukan 

Upacara Pengerupukan dilaksanakan sesaat setelah Mecaru, yaitu dengan menyebar (nasi) tawur, yaitu dengan membuat api atau obor untuk mengobori lingkungan rumah, menyemburi rumah dan pekarangan dengan mesiu sejenis bahan makanan, serta membunyikan atau memukul benda-benda apa saja seperti kentongan untuk menghasilkan suara ramai dan kegaduhan. Tahapan ini dilakukan sehingga diharapkan untuk mengusir para Bhuta Kala dari lingkungan rumah, pekarangan, dan lingkungan sekitar. 

Pada tingkat desa diadakan arakan Ogoh-ogoh yang merupakan perwujudan dari Bhuta Kala yang memiliki sifat negatif. Diarak keliling desa kemudian di bakar, tujuannya agar hal-hal yang berbau negatif itu lenyap dan tidak mengganggu kehidupan manusia.

Nyepi 

Keesokan harinya, pada Tilem Kesanga, tibalah Hari Raya Nyepi, pada saat Nyepi khususnya di Bali, semua dalam keadaan sepi. Tidak ada aktifitas seperti biasanya, pada hari ini dilakukan puasa Nyepi, karena pada saat itu diadakan Catur Brata Penyepian yang terdiri dari: 

  1. Amati Geni, yaitu tidak boleh menggunakan atau menyalakan api serta tidak mengobarkan hawa nafsu. 
  2. Amati Karya, yaitu tidak melakukan kegiatan kerja jasmani melainkan meningkatkan kegiatan menyucikan rohani. 
  3. Amati Lelungan, yaitu tidak berpergian melainkan melakukan mawas diri. 
  4. Amati Lelanguan, yaitu tidak mengobarkan kesenangan/hiburan melainkan melakukan pemusatan pikiran terhadap Ida Sanghyang Widhi.. 

Brata ini mulai dilakukan pada saat matahari “Prabrata” fajar menyingsing sampai fajar menyingsing kembali keesokan harinya (24 jam). Menurut umat Hindu, segala hal yang bersifat peralihan, selalu didahului dengan perlambang gelap. Sehingga Hari Raya Nyepi dapat dikatakan mengandung makna hari penyucian diri (manusia) dan alam semesta. Membuang segala kotoran atau segala hal negatif yang telah lampau untuk menyongsong tahun baru (saka). Dan memulai tahun baru dengan sesuatu yang baru, sesuatu yang positif tentunya. Semangat yang baru untuk mengarungi kehidupan selanjutnya. 

Dalam kesenyapan hari suci Nyepi ini kita mengadakan mawas diri, menyatukan pikiran, serta menyatukan cipta, rasa, dan karsa, menuju penemuan hakikat keberadaan diri kita dan inti sari kehidupan semesta. Lakukan Berata penyepian upawasa (tidak makan dan minum), mona brata (tidak berkomunikasi), dan jagra (tidak tidur). 

Ngembak Geni 

Ngembak Geni yang jatuh sehari setelah Nyepi (Ngembak Api), sebagai rangkaian terakhir dari perayaan Tahun Baru Saka. Dilaksanakan dengan mengadakan kunjungan antar keluarga maupun para tetangga dan kenalan. Saling memaafkan satu sama lain dengan memegang prinsip Tattwam Asi yaitu “aku adalah kamu dan kamu adalah aku“. Posisi kita sama dihadapan Tuhan, walaupun kita berbeda agama atau keyakinan hendaknya kita hidup rukun dan damai selalu. 

Dengan suasana baru, kehidupan baru akan dimulai dengan hati putih bersih.

Ini yang Terjadi! Jika Upacara Taur Kesanga Tidak Dilakukan!

Ini yang Terjadi! Jika Upacara Taur Kesanga Tidak Dilakukan!

Dalam lontar Sundarigama, dijelaskan jika umat Hindu tidak melakukan upacara tawur beserta prosesi lainnya akan bisa menimbulkan kehancuran dan kerusakan di alam semesta ini.

Penyakit merajalela, manusia bertingkah laku aneh dan kejam akibat dirasuki roh-roh halus. Sehinggamenimbulkan huru-hara dimana-mana, tumbuh-tumbuhan meranggas dan mati, bencana alam dimana-mana serta pemerintah mengalami krisis.

Karena itu, umat Hindu perlu membuat upacara untuk menghadapi sekaligus menetralisasi kekuatan-kekuatan yang menyebabkan timbulnya hal aneh. Sehingga alam semesta kembali normal, manusia hidup selamat dan sempurna. Pasalnya pada Tilem Kesanga, yang jatuh pada Sabtu, 13 Maret 2021 nanti adalah hari sakral dan keramat (tenget). Umat Hindu meyakini, pada Tilem Kesanga bisa terjadi peristiwa atau hal yang aneh, serta ajaib akibat kegelapan pikiran manusia.

Tilem Kesanga dikatakan malam gelap yang keramat, karena disebabkan pandangan dan keyakinan akan Tilem sebagai simbol kegelapan dan angka 9 sebagai angka ganjil tertinggi dan bernilai keramat. Sehari setelah Tilem Kesanga, atau pada hari pertama (tahun baru Bali/Kalender Bali) paroh terang bulan kesepuluh disebut hari suci Nyepi.

Pada hari suci ini, umat Hindu dilarang mengambil pekerjaan, menyalakan api, tidak bepergian, atau membuat keributan. Sesuai Catur Brata Penyepian yang berarti sepi dan sunyi, guna mengetahui rahasia batin dengan melakukan yoga semadi saat Nyepi.

Makna Nyepi adalah penjernihan batin. Setelah umat Hindu berhasil menghadapi dan sekaligus mengatasi puncak keganjilan, dengan cara mengadakan upacara tawur serta melakukan yoga semadi pada Tilem Kesanga.

Selanjutnya dengan mengosongkan pikiran dari segala bentuk ikatan duniawi, terutama pengaruh tujuh lidah api di dalam diri.

Umat Hindu menuju keheningan dan kesucian (yoga ameneng). Dalam kekosongan untuk dapat bersatu atau manunggal dengan Tuhan (Ida Sang Hyang Widhi Wasa). Hal ini sesuai dengan lambang angka 10 (kadasa), yang mengindikasikan tunggal dalam kekosongan. Kata kadasa kerap dianalogikan sebagai sesuatu yang bersih, suci, atau kedas.

Sehingga saat Nyepi, umat Hindu merenungi serta mensyukuri kehidupan yang telah lampau. Lalu menatap masa depan yang lebih baik. Dengan pikiran, hati, dan batin yang suci dan bersih.

Umat Hindu mulai menapak hidup dan kehidupan baru, sehingga hari suci Nyepi juga disebut tahun baru Saka.

Guna mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan lahir batin (jagadhita dan moksa). Serta terbinanya kehidupan yang berlandaskan satyam (kebenaran). Kemudian siwam (kesucian) dan sundaram (keharmonisan/keindahan). Dimana Catur Brata Penyepian telah usai.

Dilanjutkan dengan Dharma Shanti yaitu mengunjungi sanak saudara untuk bersilaturahmi dan bersyukur atas apa yang telah diberikan oleh Ida Sang Hyang Widhi Wasa.

Di sinilah berlaku konsep ‘Tat Twam Asi’ yang bermakna, aku adalah kamu dan kamu adalah aku. Serta konsep ‘Waisudewa Khutumbhakam’ artinya kita adalah bersaudara.

Semuanya harus dilandasi dengan sradha atau keyakinan yang tinggi dalam memuja kekuatan Ida Sang Hyang Widhi Wasa.

Tuhan Yang Maha Esa, dalam upaya bersyukur dan mencapai keseimbangan alam semesta baik bhuana agung maupun bhuana alit.

Sehingga mencapai ‘Moksartham Jagadhita Ya Ca Iti Dharma.

Pura Melanting dan 5 Pura Tempat Memohon Rezeki di Bali

 

Pura Melanting dan 5 Pura Tempat Memohon Rezeki di Bali

Pura Melanting adalah salah satu pura Kahyangan Jagat di Bali, menempati posisi penting dalam deretan nama-nama pura yang ada di Bali yang terletak di kawasan Bali Utara, di Desa Banyupoh, Kec. Grokgak, Kab. Buleleng

Pura ini merupakan pura yang bersifat fungsional karena sebagai tempat untuk memuja Ida Bhatari Melanting atau Dewi Melanting untuk memohon kemakmuran, kesuburan, keselamatan dan agar dilancarkan dalam usaha dagang.

Biasanya orang yang kesini juga akan tangkil ke Pura Pulaki yang jaraknya tak jauh dari sini. Pura berstana ibundanya Danghyang Biyang Patni Keniten, istri dari Pendeta suci dari Jawa yang moksa di Pura Uluwatu. Dang Hyang Nirartha dikenal juga dengan gelar Dang Hyang Dwijendra dan Pedanda Sakti Wawu Rauh

Deretan 5 pura wajib dikunjungi menurut pewisik beserta makna yang tak banyak orang tau:

  1. Pura Melanting : Ijin dagang / usaha
  2. Pura Rambut Siwi : ijin / pemberkatan uangnya ( dari hasil usaha ) 
  3. 3lPura Petitenget: ijin peti / brangkas uang hasil usaha agar terkumpul
  4. Pura Uluwatu: ketenangan batin dan fikiran dalamm kehidupan 
  5. Pura Silayukti: setelah dpt ijin usaha, uang, peti, ketenangan dan hasil yg dirasa cukup / memuaskan baru bersila / mengucapkan rasa syukur berlebih kesini.

Urutan diatas tak wajib dilakukan dalam sehari penuh, mengingat jarak dan waktu. Biasanya dalam sehari / sekalian jalan, pemedak akan mengunjungi Pura Melanting ( + Pura Pulaki, Pura Pabean ), dan Pura Rambut Siwi. Barulah ke pura-pura berikutnya menurut waktu dan keikhlasan. 

Setelah semuanya merasa cukup, rezeki, usaha lancar, hati, fikiran tenang, barulah umat-umat Hindu melakukan persembahyangan ke pura-pura lain.

Ini Tujuan dan Prosesi Ngerupuk, 2021 Tanpa Ogoh-ogoh

 

Ini Tujuan dan Prosesi Ngerupuk 2021

Upacara ngerupuk tahun ini dilasanakan pada tanggal 13 Maret 2021, merupakan upacara yang dilakukan untuk mengusir Buta Kala atau kejahatan yang dilakukan sore hari (sandhyakala) setelah dilakukan upacara mecaru di tingkat rumah) sehari sebelum upacara Nyepi.

Seperti dijelaskan dalam Wikipedia, pengerupukan dilakukan dengan cara menyebar-nyebar nasi tawur, mengobori-obori rumah dan seluruh pekarangan, menyemburi rumah dan pekarangan dengan mesiu, serta memukul benda-benda apa saja (biasanya kentongan) hingga bersuara ramai/gaduh.

Tahapan ini dilakukan untuk mengusir Buta Kala dari lingkungan rumah, pekarangan, dan lingkungan sekitar.

Khusus di Bali, pengrupukan biasanya dimeriahkan dengan pawai ogoh-ogoh yang merupakan perwujudan Buta Kala yang diarak keliling lingkungan, dan kemudian dibakar. Tujuannya sama yaitu mengusir Buta Kala dari lingkungan sekitar.

Dalam Parisada Hindu Dharma Indonesia, upacara ngrupuk ini dilakukan pada saat sandhyakala setelah dilakukan upacara mecaru di tingkat rumah sehari sebelum Hari Raya Nyepi, lalu mengelilingi rumah membawa obor, menaburkan nasi tawur.

Sedangkan untuk di tingkat desa dan banjar, umat mengelilingi wilayah desa atau banjar tiga kali dengan membawa obor dan alat bunyi-bunyian.

Sejak tahun 1980-an, umat mengusung ogoh-ogoh yaitu patung raksasa. Ogoh-ogoh yang dibiayai dengan uang iuran warga itu kemudian dibakar.

Pembakaran ogoh-ogoh ini merupakan lambang nyomia atau menetralisir Bhuta Kala, yaitu unsur-unsur kekuatan jahat.

Meluasin/Nunas Baos Ucapan Balian yang Perlu Juga di Saring-saring! Kenapa? Ini Penjelasannya...

 

Meluasin/Nunas Baos Ucapan Balian yang Perlu Juga di Saring-saring! Kenapa? Ini Penjelasannya...
Masyarakat Bali masih sangat percaya dengan adanya roh leluhur, jalan satu-satunya untuk berkomunikasi dengan roh leluhur adalah meluasan. 

Meluasan, Nunas Baos, Nunas Beras atau Matuuan merupakan ritual pemecah masalah dan mencari solusi lewat Balian (Orang Pintar).

Mengenai kata Nunas Baos mempunyai arti "Nunas yang artinya Meminta" dan "Boas artinya Ucapan" jadi, Nunas Baos bisa diartikan meminta atau memohon petunjuk secara gaib kepada para leluhur atau roh seseorang yang telah meninggal. 

Dengan melaksanakan ritual ini tidak ada lain untuk mencari sebuah jawaban atas sebuah pertanyaan yang dilakukan secara gaib atau Niskala dengan perantara Balian atau seorang Jro Dasaran. 

Selain Balian ada juga Jro Dasaran yang dianggap mampu untuk berkomunikasi secara Niskala dengan roh-roh orang yang telah meninggal. 

 Ritual Nunas Baos ini biasanya dilakukan oleh sebuah keluarga, ketika keluarga tersebut mendapatkan atau tertimpa musibah, sakit atau mengetahui siapa yang mantuk pewayangan, kematian ataupun apabila akan mengadakan sebuah upacara adat yang besar dalam sebuah keluarga. Namun, yang lebih sering adalah apabila sebuah keluarga tertimpa musibah atau kematian. 

Begitu juga tentang isi petunjuk dari Jro Dasaran yang belum tentu akan kebenarannya. Dikatakannya, sudah biasa kalau banyak ucapan-ucapannya ternyata ngawur, meskipun dilain kesempatan juga banyak ucapan Balian sonteng itu benar dan dapat menyelesaikan segala masalah dalam keluarga. 

Disini kita perlu menyaring-nyaring ucapan Balian agar keluarga tetap harmonis. 

Ini 5 Tujuan Melasti/Mekiis, Salah Satunya Mengayutkan Penderitaan Masyarakat

 

Ini 5 Tujuan Melasti, Salah Satunya Mengayunkan Penderitaan Masyarakat

Upacara Melasti dilakasanakan setiap 1 tahun sekali, yang merupakan rangkaian dari Hari raya Nyepi di Bali. Melasti dalam sumber Lontar Sunarigama dan Sanghyang Aji Swamandala yang dirumuskan dalam bahasa Jawa Kuno menyebutkan ” Melasti ngarania ngiring prewatek dewata angayutaken laraning jagat, papa klesa, letuhing bhuwana”.

Ini 5 Tujuan Melasti/Mekiis, Salah Satunya Mengayutkan Penderitaan Masyarakat

Dari kutipan Lontar tersebut di atas, maka Melasti itu ada lima tujuannya yaitu:

1. Ngiring Prewatek Dewata

 Ini artinya upacara melasti itu hendaknya didahului dengan memuja Tuhan dengan segala manifestasinya dalam perjalanan melasti.

Tujuannya adalah untuk dapat mengikuti tuntunan para dewa sebagai manifestasi Tuhan. Dengan mengikuti tuntunan Tuhan, manusia akan mendapatkan kekuatan suci untuk mengelola kehidupan di dunia ini. Karena itu melasti agak berbeda dengan berbhakti kepada Tuhan dalam upacara ngodalin atau saat sembahyang biasa. Para dewata disimbolkan hadir mengelilingi desa, sarana pretima dengan segala abon-abon Ida Bhatara. Semestinya umat yang rumahnya dilalui oleh iring-iringan melasti itu menghaturkan sesaji setidak-tidaknya canang dan dupa lewat pintu masuknya kepada Ida Bhatara yang disimbolkan lewat rumah itu. Tujuan berbhakti tersebut agar kehadiran beliau dapat dimanfaatkan oleh umat untuk menerima wara nugraha Ida Bhatara manifestasi Tuhan yang hadir melalui melasti itu.

2. Anganyutaken Laraning Jagat 

Menghayutkan penderitaan masyarakat. Jadinya upacara melasti bertujuan untuk memotivasi umat secara ritual dan spiritual untuk melenyapkan penyakit-penyakit sosial. Penyakit sosial itu seperti kesenjangan antar kelompok, perumusuhan antar golongan, wabah penyakit yang menimpa masyarakat secara massal, dan lain-lain. Setelah melasti semestinya ada kegiatan-kegiatan nyata untuk menginventariskan berbagai persoalan sosial untuk dicarikan solusinya.

Dengan langkah nyata itu, berbagai penyakit sosial dapat diselesaikan tahap demi tahap secara niskala. Upacara melasti adalah langkah yang bersifat niskala. Hal ini harus diimbangi oleh langkah sekala. Misalnya melatih para pemuka masyarakat agar memahami pengetahuan yang disebut “manajemen konflik” mendidik masyarakat mencegah konflik.

3. Papa kelesa

Melasti bertujuan menuntun umat agar menghilangkan kepapanannya secara individual. Ada lima klesa yang dapat membuat orang papa yaitu; Awidya : Kegelapan atau mabuk, Asmita : Egois, mementingkan diri sendiri, Raga : pengumbaran hawa nafsu, Dwesa : sifat pemarah dan pendendam, Adhiniwesa : rasa takut tanpa sebab, yang paling mengerikan rasa takut mati. Kelima hal itu disebut klesa yang harus dihilangkan agar seseorang jangan menderita.

5.Letuhing Bhuwana

Alam yang kotor, maksudnya upacara melasti bertujuan untuk meningkatkan umat hindu agar mengembalikan kelestarian alam lingkungan atau dengan kata lain menghilangkan sifat-sifat manusia yang merusak alam lingkungan. Umat hindu merumuskan lebih nyata dengan menyusun program aksi untuk melestarikan lingkungan alam. Seperti tidak merusak sumber air, tanah, udara, dan lain-lain.

Ngamet sarining amerta ring telenging segara, artinya mengambil sari-sari kehidupan dari tengah lautan, ini berarti melasti mengandung muatan nilai-nilai kehidupan yang sangat universal. Upacara melasti ini memberikan tuntunan dalam wujud ritual sakral untuk membangun kehidupan spiritual untuk didayagunakan mengelola hidup yang seimbang lahir batin.

Dalam Babad Bali, Melasti, juga disebutkan merupakan rangkaian dari hari raya Nyepi dan Melasti juga disebut juga melis atau mekiyis bertujuan untuk :

Melebur segala macam kekotoran pikiran, perkataan dan perbuatan, serta memperoleh air suci (angemet tirta amerta) untuk kehidupan yang pelaksanaannya dapat dilakukan di laut, danau, dan pada sumber / mata air yang disucikan.

Bagi pura yang memiliki pratima atau pralingga seyogyanya mengusungnya ke tempat patirtan tersebut di atas. Pelaksanaan secara ini dapat dilakukan beberapa hari sebelum dilaksanakanya tawur kesanga untuk memohon kepada Tuhan untuk kesejahteraan alam lingkungan menjelang pergantian tahun saka.

Ini Tujuan Sulinggih Nyurya Sewana Setiap Pagi

 

Ini Tujuan Sulinggih Nyurya Sewana Setiap Pagi

Nyurya Sewana adalah upacara yang dilaksanakan oleh para sulinggih setiap pagi menjelang matahari terbit.

Dengan Bhatara Surya sebagai kekuatan dalam menjaga kestabilan dan keseimbangan matahari dengan pancaran sinarNya agar selalu dapat menyinari dan menjaga semua yang ada di alam ini.

Pemujaan Bhatara Siwa dalam manifesitasi Dewi Sawitri dengan Sawitri Mantram juga disebutkan sepenuhnya ditujukan untuk :

  1. Menjaga kebenaran alam semesta dan merawat kebaikan manusia. 
  2. Kebenaran, berupa prinsip-prinsip hukum alam (palemahan) dan kebaikan, berupa prinsip-prinsip moral (pawongan) memang menjadi landasan untuk mewujudkan : Keindahan dunia dan Kehidupan umat (parhayangan).

Begitulah sulinggih memenuhi kewajiban moral-religiusitasnya demi keselamatan semesta, menjaga ketenteraman alam dan melindungi kedamaian semua makhluk.

Sebagai tambahan juga disebutkan pula bahwa :

Ngastawa Sanghyang Tirtha melalui mantra weda Dewi Gangga disebutkan dengan kembang diiringi Genta yang awalnya berasal dari suaranya alam semesta.

Dan dengan tetap dilaksanakannya upacara Nyurwa Sewana oleh para sulinggih sampai saat ini, diharapkan agar tetap terjaga keselamatan semesta, ketenteraman alam dan kedamaian semua makhluk dalam perputaran cakrawala semesta dan hidup ini.

Ingat ke Dapur Setelah Pulang Dari Bepergian, Agar Tidak di Ikuti Bhuta Kala, Ini Penjelasannya

 

Ingat ke Dapur Setelah Pulang Dari Bepergian, Agar Tidak di Ikuti Bhuta Kala, Ini Penjelasannya

Pada waktu saya kecil dan sampai sekarang Orang Tua selalu menyuruh saya untuk ke dapur setelah pulang dari bepergian, entah itu siang maupun malam. Dapur dalam bahasa Bali disebut  Paon atau Puwaregan ini, tak hanya menjadi tempat memasak. Namun, punya fungsi khusus menurut keyakinan Hindu.

Seperti yang pembaca ketahui "untuk membuat olahan masakan adalah di dapur. Kata Paon sesungguhnya berasal dari istilah Pawon yang terdiri dari kata Pa dan Awuan yang artinya tempat abu. 

Dengan demikian sangat mengena dengan konsep memasak masyarakat Bali zaman dahulu. Selain dikenal sebagai tempat untuk memasak, dapur di Bali memiliki banyak makna, baik untuk upacara agama maupun sebagai tempat penyucian diri. Hal tersebut dikaitkan dengan Dapur sebagai Stana Dewa Brahma. Jadi, untuk memohon panglukatan kepada Dewa Brahma, masyarakat diharapkan memohon di pelangkiran dapur. 

Di dalam lontar Wariga Krimping disebutkan bahwa, Dewi Saraswati yang merupakan sakti dari Dewa Brahma sebagai dewa yang memberikan penyucian diri. Ketika seseorang mengalami sebel atau cuntaka setelah melakukan upacara Pitra Yajna, dapat memohon panglukatan kepada Dewa Brahma di pelangkiran dapur.

Selain sebagai tempat memasak atau pun tempat makan, ternyata dapur juga menetralisasi  ilmu hitam atau pun butha kala yang mengikuti sampai ke rumah. Pernyataan tersebut tertuang dalam Lontar Asta Kosala Kosali dan Asta Bumi.

Oleh karena itu, anggota keluarga yang berpergian hendaknya mengunjungi dapur terlebih dahulu, sebelum ke bangunan utama rumah ketika sudah pulang atau datang dari luar. 

Tak jarang di Bali muncul mitos bila  penghuninya tidak ke dapur terlebih dahulu, ketika sampai di rumah, maka bhuta kala atau segala ilmu hitam mengikutinya sampai di dalam kamar. 

Sampai akhirnya penghuni rumah tersebut mengalami perasaan tidak tenang (seperti dihantui) dan tiba-tiba jatuh sakit tanpa sebab yan pasti, Rahayu...

Kepongoran: Hukuman Kawitan dan Leluhur. Salah Satunya Mengabaikan Warisan

 

Kepongoran: Hukuman Kawitan dan Leluhur. Salah Satunya Mengabaikan Warisan
di kutip dari Buku Taksu
Kalau dipikir-pikir, orang Bali sebenarnya diikat oleh banyak hukum baik sekala maupun niskala. Hukum tersebut adalah, satu, hukum negara yang mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara. Dua, hukum karmapala yang merupakan landasan ajaran agama Hindu, hukum Tuhan yang tak terbantahkan, berisfat adil, rinci, menyangkut masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang. 


Tiga, hukum kawitan yang merupakan sebuah norma-norma yang diyakini berlaku dalam hubungan antara manusia yang hidup di dunia (pretisentana) dengan leluhur yang telah berada di alam sunya loka. Jadi dengan demikian paling tidak umat Hindu khususnya di Bali diikat oleh tiga hukuman. 

Paling menarik di sini adalah hukum kawitan yang mengatur pola hubungan sebab akibat antara pretisentana dengan leluhur yang telah tiada. 

Ada sebuah keyakinan bahwa baik buruk perilaku pretisentana di mercapada (dunia) akan mempengaruhi kehidupan leluhur di sunialoka. Ketika pretisentana dapat menjalankan kewajiban hidup dengan baik, hubungan harmonis dengan sesama manusia, menjaga warisan leluhur, maka para leluhur yang ada di sunialoka akan menemui kebahagiaan. Namun sebaliknya apabila pretisentana tidak menjalankan apa yang telah digariskan oleh leluhur, seperti selalu bertengkar dengan saudara, mengabaikan warisan leluhur, tidak memelihara kahyangan, tidak berbhakti kepada leluhur dan Ida Sanghyang Widhi Wasa maka leluhur akan mengalami kesedihan. Untuk itulah leluhur menyarankan kepada seluruh pretisentananya untuk melakukan perbuatan yang baik, sehingga akan menyebabkan leluhur mendapatkan kebahagiaan.

Semua hukum yang disampaikan leluhur tersebut tercatat dalam bhisama Ida Betara Kawitan. Masing-masing keluarga (soroh) di Bali memiliki kawitan tersendiri yang merupakan media untuk menghubungkan diri dengan leluhur yang telah tiada. Tata hubungan tersebut tersurat di dalam beberapa prasasti kawitan yang berisikan sejarah tentang leluhur, lelintihan (silsilah) leluhur dan berisi bhisama atau pesan/petuah/amanat leluhur.

Yang menarik dari semua itu adalah bhisama leluhur kepada pretisentana, sebagai pesan moral yang perlu ditaati. Disamping bersisi pesan, bhisama Ida Betara Kawitan juga memuat tentang sangsi yang diperoleh bila tidak mengikuti bhisama. Jadi dengan demikian bahwa bhisama mengandung nilai hukum, nasehat, dan sangsi. Yang lebih menarik bahwa sangsi yang dimuat dalam bhisama tersebut bukanlah sebuah sangsi yang dapat dibayar dengan hukum kurungan atau denda, namun sangsinya adalah bersifat niskala. Contoh bhisama, Sabda Betara Hyang Pasupati kepada Sang Panca Tirta, sebagai berikut:

Wahai cucuku semua, pasanglah telingamu baik-baik, jangan lupa melaksanakan kebajikan demi kesucian, kebesaran jiwa orang yang berhati mulia, tata cara untuk mencapai nirwana, dan juga tentang aji taskara, yang begini yang berwujud demikian, jelas dan sangat dalam anugrah Betara, seluk beluk aji taskara di bawah Sang Hyang Manu, tentang Tri Kaya Parisudha, dan juga tentang ilmu batin”.

Besok lusa bila ada keturunanmu, sampaikan juga sabdaku ini, agar selalu diingat sabdaku, yakni tentang kewajibannya, dan yang terpenting keutamaan seorang pendeta, jangan lalai. Bila ada keturunanku tidak hirau dan cuma nonton saja, kamu tidak mencintai sanak sudaramu seperti yang tercantum pada prasasti, itu tandanya bukan turunanku, semoga ia turun derajat menjadi kesatria”

Tambahan pula, mesti diingat menjaga serta memperbaiki Pura Pedharman Kamimitan yang ada di Bali, serta piodalannya untuk selama-lamanya”.

Demikian sabda Hyang Pasupati, menyembahlah Sang Panca Tirta, menghaturkan bhakti, yang timbul dari hati yang suci, karena bagaikan dibanjiri air kehidupan hati mereka.

Sebenarnya masih banyak bisama-bisama dari para leluhur yang disampaikan dahulu kepada para keturunan beliau. Sehingga semuanya tidak dapat disebutkan satu persatu. Namun dari bisama yang dikemukan di atas tampak pesan-pesan yang diamanatkan oleh para leluhur sangatlah luhur. 

Para leluhur selalu mengingatkan agar para turunan beliau menjadi orang yang baik dengan memegang teguh ajaran dharma, hidup dalam kesucian, selalu ingat dan sujud bhakti kehadapan Betara Kawitan, memelihara perahyangan beliau, dan lain-lainnya yang merupakan pesan yang berguna. Di samping itu, pula telah diamanatkan pula mengenai akibat yang dialami bila melanggar bisama atau melupakan Betara Kawitan.

Ini berarti bahwa selain nasehat, di dalamnya juga mengandung sangsi niskala yang mungkin dapat disetarakan dengan sebuah kutukan.  Sehingga apabila sudah terjerembab dalam jurang hukum niskala (kutukan), maka untuk membayarnya memang sulit, sehingga harus sampai pada masa akhir dari kutukan tersebut. Mungkin secara sekala dapat kita lakukan dengan menghaturkan guru piduka dan guru bendu sebagai pernyataan mohon ampun atas segala kelalaian dan kesalahan yang telah diperbuat. Namun hal tersebut tak membatalkan akibat kutukan tersebut, tapi mungkin akan mempercepat proses dari kutukan tersebut. 

Dengan demikian, sebelum sampai terkena hukum kawitan yang disebut dengan kepongor/salahang kawitan, salahan Dewa Hyang, alangkah baiknya memahami apa itu bhisama leluhur.

Kemudian timbul pertanyaan usil, kenapa hanya orang Bali yang beragama Hindu yang terkena hukum kawitan? Jawabannya sangat gampang. Karena hanya orang Bali Hindu yang mempercayai dan meyakini hukum tersebut, sehingga terlihat nyata hubungan antara manusia dengan para leluhurnya. 

Hubungan manusia Bali dengan leluhurnya sangat dekat. Hukum kawitan sama dengan hukum karmapala. Dipercaya atau tidak maka ia akan tetap berlaku untuk siapa saja. Tak mengenal waktu, tak mengenal siapa dia, agama apa dia, semuanya terikat. Bagi orang bukan agama Hindu yang tak meyakini ini, cepat atau lambat pasti akan menyadari, cepat atau lambat pastilah ia akan merasakan dampaknya apabila ia menyimpang dari garis kehidupan yang dipesankan oleh para leluhurnya terdahulu. 

Bagi mereka yang tak meyakini, mungkin sangsinya dalam bentuk lain atau mungkin mereka telah menerima sangsi namun tak disadari bahwa itu adalah kepongoran.

Inilah Alasannya Ada Merajan Dadia, Jangan Sampai Lupa!

 

Inilah Alasannya Ada Merajan Dadia, Jangan Sampai Lupa!

Dalam ajaran agama Hindu, pemujaan terhadap leluhur merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh pratisentana (keturunan).

Di dalam kitab Tri Dewa Bawa yang meliputi ibu (Mitri Dewa Bawa), peran seorang bapak dalam rumah tangga (Pitri Dewa Bawa), dan peran seorang guru dalam rumah tangga (Acarya Dewa Bawa) merupakan penjelmaan dewata.

Dalam rangka pemujaan terhadap leluhur ini ada tahapannya.

Hal itu tertuang dalam berbagai kitab, seperti Iti Prakerti, Siwa Gama, Putusan Bhagawan Manohari, dan Jajar Kemiri.

Inti daripada isi lontar tersebut, pertama, sesunggil karangan paumahan atau satu teritorial pekarangan rumah, berapapun kepala keluarga (KK) yang ada di dalamnya, itu wajib membangun Perihyangan yang disebut Sangar Kabuyutan, itu Kemulan Taksu.

Dalam lontar Siwa Gama, 10 atau lebih keluarga inti dalam satu pekarangan yang terdiri dari beberapa KK itu, harus membuat ikatan kekerabatan berdasarkan satu keturunan yang disebut Sanggah Gede/Merajan Agung atau disebut juga dengan istilah Merajan Pertiwi.

Bila nantinya kepala keluarga ini bertambah, tersebar di beberapa tempat, lalu mendirikan Sanggah Gede/Merajan Agung lebih dari satu, maka wenang ngwangun Paibon.

Bila nanti jumlah Pura Paibon bertambah minimal dua, selanjutnya wajib membangun Pura Panti.

Selanjutnya setelah beberapa Pura Panti didirikan oleh satu soroh keluarga tersebut, barulah membuat Pura Dadia.

Pura Paibon, Panti, dan Dadia itu tidak lain bertujuan untuk merekatkan persaudaraan kita dengan sesama, sebagai warih leluhur.