Hampir setiap rumah orang Hindu di Bali kini berisikan patung Ganesa. Yang dimaksud di sini adalah Ganesa versi India (untuk membedakan dengan Ganesa versi Bali yang disebut dengan Sanghyang Ganapati yang posisinya berdiri), sedangkan Ganesa versi India dalam posisi duduk.
Pemasangan dan pemajangan dari patung ganesa ini seolah olah menjadi trend dalam masyarakat Hindu Bali dalam lima tahun belakangan ini.
Fenomena ini bisa jadi diakibatkan oleh beberapa factor seperti:
- Semakin berkembang pengetahuan filsafat agamanya sehingga dengan sendirinya tumbuh pemahaman akan keberadaan dari Dewa Ganesa.
- Derasnya informasi dan dan tayangan mengenai kemuliaan dan kebesaran dari Dewa Ganesa melalui media sosial, media elektronik .
- Mudahnya untuk mendapatkan patung Dewa Ganesa baik yang terbuat dari batu, beton, plastik, atau bahan lainnya dengan harga yang relatif terjangkau. Derasnya aliran-aliran atau sekte kembali mewarnai kehidupan agama Hindu di Bali.
Penempatan patung Dewa Ganesa di kalangan umat Hindu di Bali seolah olah menjadi sebuah trend. Ada yang menempatkan patung Dewa Ganesa di pintu masuk rumah yang dalam bahasa Bali disebut dengan aling-aling dengan maksud sebagai penghalang kekuatan negatif memasuki areal rumah yang dapat mempengaruhi penghuni rumah.
Ada yang menempatkan patung Dewa Ganesa di tengah-tengah natah / halaman rumah, yang konon difungsikan sebagai pelindung pekarangan dan penghuni rumah dari hal hal yang negatif. Ada yang menempatkan patung Dewa Ganesa di pintu masuk pura atau merajan. Ada yang menempatkan Patung Dewaa Ganesa dalam sebuah altar (tempat pemujaan khusus). Ada pula yang menempatkan patung Dewa Ganesa di tengah ruangan rumah, di atas meja, di kamar suci, di plangkiran, dan sebagainya.
Sepertinya penempatan patung Dewa Ganesa tersebut disesuaikan dengan maksud dan tujuan dari umat. Dan hal ini menunjukkan bahwa Dewa Ganesa dipuja dalam berbagai fungsi serta ditempatkan untuk berbagai maksud dan tujuan. Hal ini pula secara tak langsung menunjukkan berbagai kemulyaan dan kemahakuasaan Dewa Ganesa. Dan keyakinan umat semakin kental dan semakin mantap ketika menonton beberapa versi tayangan film Dewa Ganesa di televisi. Dewa Ganesa menjadi trend, Dewa Ganesa kini menjadi Dewa yang sangat populer di kalangan umat Hindu Bali.
Trend memasang menempatkan patung Dewa Ganesa dan memuja Dewa Ganesa di Bali semakin menambah semarak praktek beragama Hindu di Bali. Praktek Hindu di Bali menjadi semakin kompleks. Fenomena ini pula memunculkan pertanyaan dikalangan masyarakat awam dan para pemerhati Hindu, pemerhati sejarah, dan para budayawan.
Dimanakah semestinya patung Dewa Ganesa ditempatkan?
Apa sebenarnya fungsi dari penempatan patung Dewa Ganesa di berbagai tempat tersebut? Apakah ini memang bebas ditempatkan, atau memang ada pakemnya seperti halnya dengan patung-patung dewa yang lainnya? Apa yang mesti dilakukan terhadap patung Dewa Ganesa yang telah ditempatkan?.
Sesaji apa yang mesti dipersembahkan?
Mendengar pertanyaan tersebut, tergelitik hati untuk mencoba merenungkan mengenai fenomena ini. Dewa Ganesa mau diapakan? Padahal di dalam mazab Hindu Bali yang berlandaskan Siwa Budha yang terwujud dalam tiga kekuatan yang disebut dengan Tri Sakti / Tri Murti, serta dalam prakteknnya kental dengan nuansa Bhairawa yang telah memiliki pakem-pakem yang sudah baku dan berlangsung turun temurun di Bali.
Misalnya saja untuk di aling-aling (penjaga pintu pekarangan) dalam Hindu Bali telah dikenal dengan Sanghyang Kala Raksa sebagai penjaga pintu pekarangan. Demikian juga dengan Sang Yaksa Yaksi sebagai penjaga pintu kanan kiri yang disebut dengan Sanghyang Apit Lawang. Di tengah natah sudah ditempatkan sanggah natah atau sanggah pengijeng yang merupakan linggih Sanghyang Catur Sanak Sakti yang tak lain adalah persatuan dari empat kekuatan saudara empat manusia (kanda pat) yang telah berwujud dewa, yang akan menjaga dan melindungi pekarangan rumah dan penghuninya. Sebab di dalam keyakinan Hindu Bali yang berbasiskan Tri Murti / Tri Sakti. Sakti adalah kekuatan yang disebut dengan Kala. Sehingga dengan demikian untuk fungsi-fungsi praktis seperti penjaga pekarangan rumah dan sebagainya diwujudkan dalam bentuk kekuatan sakti Tuhan yang disebut dengan Sanghyang Kala. Sanghyang Kala oleh para seniman Bali melahirkan patung berwujud aeng / berwibawa (bukan mengerikan !) seperti mata besar membelalak, membawa senjata, bertaring, berbadan kekar dan besar. Ini adalah perwujudan dari kala atau sakti atau kekuatan dewata.
Dimana sejatinya Dewa Ganesa ditempatkan, agar tidak terkesan latah apalagi ikut-ikut tak menentu, tanpa mengerti kesejatiannya. Agar tak terkesan melecehkan kesucian, kemulyaan dari Dewa Ganesa. Sebab Dewa Ganesa adalah dewa yang dimuliakan sebagai pelindung alam semesta dengan segala isinya. Dalam mitologinya, Dewa Ganesa sebagai putra Dewa Siwa ditugaskan menjaga kayangan Dewi Uma. Hal inilah yang membuat umat Hindu menjadi “salah kaprah” menempatkan Dewa Ganesa di depan pintu gerbang.
Semestinya patung Dewa Ganesa ditempatkan di depan pintu masuk pura yakni Pura Dalem, sebagai penjaga pintu masuk kayangan Dewa Siwa dan Dewi Uma. Namun di Pura Dalem (dalam mazab Hindu Bali) kedududkan Dewa Ganesa sebagai penjaga penjaga pintu kayangan telah diwujudkan sebagai Sanghyang Kala sebagai pemurtian dari Dewi Sakti / Dewi Uma dalam wujud Rangda. Karena Hindu Bali bernafaskan Siwa Bhairawa, yakni pemujaan kehadapan Tuhan (dewa Siwa) dalam wujud sakti beliau yakni Dewi Uma atau di Durga. Sehingga dengan demikian pura pura di bali terutama pura dalem kayangan dan prajapati serta tempat tempat lainnya senantiasa bernuansa angker. Hindu Bali mewujudkan pemujaan kehadapan Hyang Kuasa dalam wujud kekuatan Dewi Sakti. Sehingga wujud barong, rangda, rarung, sanghyang kala, dan wujud aeng lainnya tidak asing dalam Hindu Bali.
Kuatnya aliran Siwa Bhiarwa di Bali, maka Dewa Ganesa kurang menonjol. Bukan berarti tak ada, Dewa Ganesa dalam Hindu Bhairawa diwujudkan dalam bentuk Sanghyang Ganapati, kekuatan yang menetralisir, mengusir serta menghancurkan semua kekuatan negatif. Pada sasih kenem dimana sering terjadinya bencana, umat Hindu Bali menghaturkan sesaji dilengkapi dengan kober Sanghyang Ganapati, sebagai simbol pemujaan permohonan perlindungan kehadapan Sanghyang Ganapati agar terhindar dari segala bencana dan penyakit di dunia.
Dewa Ganesa juga dipuja oleh para sulinggih untuk menetralisir kekuatan negatif dalam upacara Caru Resi Gana.
Umat Hindu Bali juga memuliakan Dewa Ganesa dalam sebutan sebagai Sanghyang Gana sebagai simbol kekuatan kepintaran, kecerdasan serta ketekunan, sehingga kisah Mahabarata yang sangat panjang detail dapat ditulis dengan lengkap dan sempurna.
Lalu kembali ke masalah penempatan patung Dewa Ganesa yang menjadi trend. Dimuliakan dengan kalung bunga mitir, disuguhkan sesaji buah-buahan, kue, gula-gula, dan dan diberi nyala lilin 24 jam non stop.
Padahal kalau misalnnya patung tersebut akan dijadikan sarana pemujaan, maka menurut pakem Hindu, paling tidak patung Dewa Ganesa yang mulya tersebut dilakukan penyucian atau sakralisasi terlebih dahulu. Kalau dalam pakem Hindu Bali ada pengulapan, prasita, durmanggala, dan pemlaspas, sehingga menjadi suatu media suci yang layak sebagai media pemujaan. Mohon maaf, seolah-olah penempatan ini menjadi sebuah ajang untuk “pameran” spiritual.
Dimana orang yang menempatkan patung Dewa Ganesa seolah-solah sedang menapaki tigkatan spiritual tertentu. Atau mungkin bisa dianggap lebih maju dalam hal spiritual. Namun sepanjang pengamatan, banyak yang menempatkan patung Dewa Ganesa hanya karena ikut-ikutan, tak banyak mengerti secara filosofi. Semua masih rancu atau mungkin “kacau”. Hanya sebagai sebuah “trend”. Apalagi tayangan film Dewa Ganesa di televisi sangat kuat mempengaruhi semaraknya umat memasang patung Dewa Ganesa.
Termasuk pula teman-teman dari sampradaya yang “kurang” memahami Hindu Bali, gencar menyebarkan praktek aliran India ke komunitas umat Hindu Bali. Lalu “mengacaukan” pakem Hindu Bali yang telah mapan lebih dari seribu tahun. Maka ranculah jadinya.
Kalau memang serius ingin memuja Dewa Ganesa, silahkan untuk membuat sebuah pelinggih di merajan atau di pura, lalu linggihkan patung Dewa Ganesa secara layak. Dilakukan penyucian sebagaimana layaknya pakem dalam Hindu Bali seperti pemlaspas, ngelinggihin, dan ngaturang ayaban. Kemudian dilakukan pemujaan sesuai dengan pakem Hindu Bali.
Atau jika Patung Dewa Ganesa dipasang sebagai kelengkapan dari pura, maka patung Dewa Ganesa mesti diletakkan di ajeng atau di depan gedong linggih Hyang Dewi Uma atau di depan Gedong Dalem. Agar sesuai dengan filosofi yang melatarbelakangi keberadaan dari Patung Dewa Ganesa.
Maksud dari tulisan ini adalah untuk mengarahkan dari para kaum rohaniawan, tokoh umat Hindu untuk memberikan arahan bagaimana semestinya menempatkan patung Dewa Ganesa, dimana, bagaimana? seterusnya. Karena Dewa Ganesa adalah Dewa yang Mulia, Dewa Yang Agung, yang mestinya diitempatkan dalam posisi yang benar dan layak. Dengan harapan kekuatan beliau memancarkan memberikan perlindungan serta memberikan kecerdasan dan kebijaksaan dalam kehidupan manusia.
Seperti ungkapan para tetua Hindu Bali, “apang nawang unduk, apang nyak meunduk”. (arti bebasnya: Agar memahami perihalnya, agar paham dasar permasalahan).
Hal ini untuk menepis cibiran umat lainnya termasuk pula dari kalangan sampradaya yang sering mencibir bahwa praktek Hindu Bali sebagai praktek yang maksud dan tujuan tak jelas. Kurang lebih demikian. Mohon ampun jika kurang berkenan.
Om Shri Maha Ganesa Ya Namah, Terpujilah yang maha mulia Dewa Ganesa.