Sesungguhnya setiap kelahiran, seorang manusia membawa perannya masing-masing. Manusia yang telah melakukan perenungan secara mendalam dengan pikiran yang jernih akan bertanya, apa sesungguhnya yang menjadi tujuan hidupnya. Ada dua macam tujuan hidup manusia yaitu tujuan duniawi dan tujuan spiritual. Tujuan duniawi berupa harta benda sebagai penopang kehidupan ini, sedangkan tujuan spiritual, yaitu keinginan untuk bersatu kepada yang hakekat dan asal yang sesungguhnya.
Dalam Hindu, tujuan hidup manusia dikemas dalam konsep Catur Purusartha, yaitu: Dharma, Artha, Kama dan Moksa. Konsep Dharma merupakan ajaran kebenaran, sebagai pandangan hidup, tuntunan hidup manusia. Artha yaitu yang berupa materi sebagai penopang kehidupan. Kama merupakan keinginan dan Moksa yaitu bersatunya sang diri atau Jiwatman dengan Paramaatman. Jadi jelas dalam hidup manusia selalu memerlukan artha, kama dan moksa.
Namun, kecenderungan manusia yang lupa terhadap tujuannya karena pengaruh kenikmatan duniawi telah mengubah prilaku manusia untuk menyimpang dari ajaran kebenaran. Kenikmatan duniawi tiada berkesudahan ini mempengaruhi perilaku manusia sehingga jalan apapun terkadang dihalalkan. Sesuai dengan tujuan yang mesti dicapai manusia yaitu suatu penyatuan kepada yang tertinggi, maka ini dibarengi dengan tindakan yang searah dengan tujuan tersebut.
Tujuan tersebut mustahil akan tercapai jika arah dan jalan yang ditempuh itu salah. Maka hal pertama yang menjadi tugas manusia adalah menjalankan Dharma dan menjalankan etika serta ajaran-ajaran yang mulai dilupakan maka keseimbangan dunia akan terganggu. Manusia memiliki tanggungjawab untuk menjaga keseimbangan tersebut. Dengan pikiran yang dimiliki, manusia mampu membuat kehidupan ini menjadi baik maupun hancur. Untuk itulah, tugas dan kewajiban utama manusia adalah mengamalkan dan melaksanakan ajaran Dharma (kebajikan yang utama), dengan melaksanakan berbagai yadnya demi terjaganya keseimbangan alam semesta.
Nah, dalam mewujudkan yadnya itu, manusia mengenal apa yang dikenal dengan istilah ekonomi, yang berasal dari bahasa Yunani, yaitu e6eio (oikos) yang berarti "keluarga, rumah tangga" dan uiio (nomos) yang berarti "peraturan, aturan, hukum". Secara garis besar, ekonomi diartikan sebagai "aturan rumah tangga" atau "manajemen rumah tangga." Secara lebih makro, konsep ekonomi tak bisa dipisahkan dengan barisan kata kesejahteraan dan kemakmuran. Dalam Kitab Sarasamuscaya, ekonomi itu sendiri adalah Artha, yang tentunya telah diketahui menjadi bagian dalam catur purusa artha bersama Dharma sebagai dasar, Kama sebagai motivasi, dan Moksa sebagai tujuan Akhir.
Sejak era Adam smith dalam menumbuhkan kata Kapitalisme sebagai keberlanjutan serta dekontruksi sosial atas mazhab Merkantilisme, maka hal terpenting dari ajaran Adam Smith, yaitu paham Kapital itu dengan perlakuan yang sesuai adalah akan memberikan pemerataan yang sesuai dari lapisan atas sampai pula ke lapisan terbawah. Jadi bahwa dengan pemerataan itu maka roda perekonomian dengan cara meningkatkan produksi di saat memiliki kapasitas produksi, kemudian akan berlanjut menuju kesejahteraan yang diusahakan secara merata baik diri sendiri, atau dengan berkelompok. Adam Smith juga mengajarkan moralitas dalam bentuk "kasih" yang dilaksanakan untuk menuju suatu perbaikan sampai pada kesejahteraan itu sendiri.
Kembali pada kata ekonomi sendiri, maka harus diingat prinsip ekonomi yang paling tua, yaitu 'keinginan manusia itu tida' terbatas, sementara sumber daya yang ada terbatas. Sepertinya hal itu sedikit kontradiksi jika dihadapkan pada dunia adalah sebuah persinggahan dan kemelekatan akan dunia menghambat 'santhi' atau menuju ke arah 'sunya' dalam kemoksaan. Lalu jika tanpa moralitas, maka apa yang terjadi adalah kelicikan, dan lobha (greed), yaitu sifat serakah atau keingin yang tidak terbatas.
Lobha artinya kerakusan. Artinya suatu sifat yang selalu menginginkan lebih melebihi kapasitas yang dimilikinya. Untuk mendapatkan kenikmatan dunia dengan merasa selalu kekurangan, walaupun ia sudah mendapatnya secara cukup. Seperti misal lobha dalam mendapatkan kekayaan seperti disebutkan dalam Sarasamuscaya 267, yang mengatakan:
Jatasya hi kule mukhye paravittesu grhdyatah lobhasca prajnamahanti prajna hanta hasa sriyam
(Yadyapin kulaja ikang wwang, yan engine ring pradrya-baharana, hilang kaprajnan ika dening kalobhanya, hilangning kaprajnanya, ya ta humilangken srinya, halep nya salwirning wibhawanya)
Artinya:
Biarpun orang berketurunan mulia, jika berkeinginan merampas kepunyaan orang lain;
Maka hilanglah kearifannya karena kelobhaanya; apabila telah hilang kearifannya itu itulah yang menghilangkan kemuliaannya dan seluruh kemegahannya.
Dalam ajaran Susila Dharma itu menjelma menjadi Trikaya Parisudha, yakni Manacika, Wacika, dan Kayika. Manacika adalah pikiran, secara umum kita dituntut untuk bisa berpikir yang baik dan benar. Dalam kajian yang lebih luas berpikir yang baik dan benar adalah berpikir positif, berpikir bersih, berpikir jernih, berpikir obyektif, dan berpikir yang bermanfaat.
Wacika adalah perkataan. Secara umum kita dituntut untuk bisa berkata atau berwacana yang baik dan benar. Dalam penjabaran yang lebih luas, yang dimaksudkan berkata yang baik dan benar adalah mengandung makna yang baik dan mulia, menggunakan kata dan kalimat yang sopan, diucapkan secara baik dan jelas, menggunakan suara yang dapat didengar secara jelas dan enak, terbatas pada hal-hal yang perlu saja, tidak menimbulkan kesalah pahaman dan kemarahan orang lain.
Kayika adalah perbuatan. Secara umum kita dituntut untuk bisa berbuat atau melakukan aktifitas yang baik dan benar. Dalam kajian yang lebih luas yang dimaksud dengan berbuat yang baik dan benar seperti melakukan sesuatu untuk keperluan memenuhi kewajiban, memberi manfaat, memperoleh kebajikan, mencapai kesejahteraan dan untuk keselamatan, mengacu pada nilai nilai agama, budaya, hukum dan alat istiadat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan nilai nilai lainnya, kepentingan diri sendiri dan orang lain diletakkan secara proporsional, adil dan bermartabat, dilakukan secara tertib, teratur dan sopan, serta dapat mencapai tujuan, tanpa melanggar aturan dan tidak menimbulkan gangguan dan kerugian.
Dalam masyarakat Hindu juga dikenal konsep Tat Twam Asi, yang artinya "Dia adalah kamu, saya adalah kamu, dan semua makhluk adalah sama, sehingga bila kita menolong orang lain berarti juga menolong diri kita sendiri". Dari konsep tersebut mengandung makna dan hakekat ekonomi Hindu yang ada dalam kearifan lokal di Bali, seperti Menyame Braye (saling menolong atau membantu, misalnya dalam permodalan), De memirat Dana (tidak mengemplang utang atau mengemplang kewajiban atas pinjaman), Pang Pade Payu (saling menguntungkan dan saling memberdayakan).
Secara detail praktek ekonomi dalam Hindu, tidaklah banyak. Berbeda dengan ajaran Islam yang sangat rinci mengaturnya, baik dalam tataran filosophi, maupun dalam tataran praktek. Namun ada beberapa konsep yang tampaknya bisa diterapkan dalam situasi merajalelanya paham kapitalisme seperti sekarang ini, diantaranya adalah tentang konsep bunga uang, yaitu vrdhim atau wrddhi grhiyad. Makna dari istilah vrdhim/wrddhi grhiyad adalah bunga uang yang boleh diambil kalau uang itu sudah berkembang. Konsep bunga uang ini termuat dalam kitab Manawa Dharma-sastra VIII. 142. Konsep wrddhi grhiyad cukup masuk akal dan sangat bisa diterima.
Bunga yang ditetapkan oleh si pemberi pinjaman (kreditor) itu baru dapat diambil bila uang yang dipinjamkan telah menghasilkan atau menguntungkan bagi pihak peminjam (debitor). Dengan demikiam, berarti konsep bunga uang dalam Hindu dibenarkan sepanjang sebagai suatu usaha produktif yang sama-sama menguntungkan bagi kedua belah pihak. Pengenaan bunga tersebut mesti disesuaikan dengan perjanjian antara pemilik uang atau lembaga keuangan dan peminjam. Pemberian pinjaman uang bertujuan untuk mengembangkan kesejahteraan ekonomi maupun untuk pengembangan suatu usaha. Perjanjian itu tentunya didasarkan atas perhitungan yang sangat cermat dan rasional sehingga tidak merugikan, baik bagi pihak pemberi pinjaman maupun pihak peminjam. Saat ini, konsep wrddhi grhiyad ini memang belum ada diterapkan dalam operasional bank atau pun lembaga keuangan Hindu.
Demikian juga dalam konsep pemanfaatan keuntungan, dalam Hindu ditemukan pengaturannya dalam Sarasamuscaya 262. Dalam sloka 262 ini, diatur bagaimana hendaknya keuntungan itu digunakan dalam menjalani sebuah lakon kehidupan:
Nuhan kramanyan pinatelu, ikang sabhaga, sadhana rikasiddhaning dharma,
ikang kaping rwaning bhaga sadhanari kasiddhaning artha ika, wrddhyakena muwah,
mangkana kramanya pinatiga, denika sang mahyun, manggihakenang hayu"
Artinya:
Demikian duduknya makan dibagi tiga (hasil usaha itu), satu bagian guna mencapai dharma, bagian yang kedua adalah untuk memenuhi kama, dan yang ketiga diuntukkan bagi melakukan kegiatan usaha di dalam bidang artha, agar ekonomi berkembang kembali, oleh karena ingin beroleh kebahagiaan.
Itulah beberapa bagian kecil gagasan konsep Hindukonomi. Masih banyak yang belum terungkap dan bisa dipraktekkan dalam kondisi kekinian, seperti bentuk kelembagaan perekonomian, pengawasan, penjaminan dan berbagai tata aturan lainnya. Namun secara makro, konsep Hindukonomi seperti roda, pusat atau porosnya adalah ajaran Hindu itu sendiri, sedangkan bagian luar atau rodanya adalah ekonomi. Vedanta dapat menjadi pedoman dalam mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran. Jika kita melakukan sesuatu yang terbaik untuk kebahagian orang lain maka kebahagian juga menjadi milik kita.
Kerja sebagai praktik karma yoga juga mencakup aspek ekonomi. Dalam berkerja pun kita mempunyai motif, namun dalam ajaran Hindu motif bekerja hanya untuk kekayaan, kedudukan, dan nama baik, akan tetapi untuk membantu pertumbuhan spiritual seseorang.
Source: Wartam, Prof. I B Raka Suardana