Bukan Untuk Pesta: Hanya Sehari! Lakukan Tujuan Nyepi yang Baik

Bukan Untuk Pesta: Hanya Sehari! Lakukan Tujuan Nyepi yang Baik

Menuju hari suci Nyepi banyak masyarakat Hindu di Bali mendatangi pasar, supermarket, mall untuk memenuhi kebutuhan mereka saat hari suci Nyepi. Sudah seperti Galungan atau Kuningan, dimana ada yang lebat (pesta). Mari lakukan dan laksanakan hari berata penyepian dengan baik.  

Hari Raya Nyepi adalah hari pergantian tahun Saka (Isakawarsa) yang dirayakan setiap satu tahun sekali yang jatuh pada sehari sesudah tileming kesanga pada penanggal 1 sasih Kedasa. Nyepi memiliki filosofi dimana umat Hindu memohon kepada Tuhan, Ida Sang Hyang Widhi Wasa, untuk melakukan penyucian Buana Alit (manusia) dan Buana Agung (alam dan seluruh isinya). Nyepi mengandung arti sepi atau sunyi, dan dirayakan setiap 1 tahun saka. 

Pada saat Nyepi tidak boleh melakukan aktifitas seperti pada umumnya, seperti keluar rumah (kecuali sakit dan perlu berobat), menyalakan lampu, bekerja dan sebagainya. Dan tujuannya adalah agar tercipta suasana sepi, sepi dari hiruk pikuknya kehidupan dan sepi dari semua nafsu atau keserakahan sifat manusia untuk menyucikan Bhuwana Agung (alam semesta) dan Bhuwana Alit (manusia). 

Sebelum hari raya Nyepi, dilaksanakan serangkaian upacara dan upakara yang bermaksud agar Penyucian Buana Alit dan Buana Agung berjalan dengan lancar. Rangkaian upacara tersebut berbeda-beda, tergantung dari Genius Local Wisdom dan urun rembug masing-masing daerah serta kebijaksanaan yang ditetapkan bersama. Hari Raya Nyepi khususnya di Bali memiliki beberapa tahapan. Dimulai dari Upacara Melasti, Mecaru, dan Pengerupukan. Kemudian diikuti oleh puncak Hari Raya Nyepi itu sendiri. Dan terakhir disebut dengan Ngembak Geni. 1.Melasti, Mecaru, dan Pengerupukan Melasti Upacara Melasti atau bisa disebut Melis diadakan beberapa hari sebelum Nyepi. Pada saat ini segala sesuatu atau sarana persembahyangan di Pura-pura di bawa kelaut untuk disucikan. Pada saat Melasti, berbagai pretima atau benda yang disakralkan atau dikeramatkan akan disucikan dengan cara dibawa ke laut, sungai atau segara. Pada jaman dahulu, berbagai benda ini diarak dengan diusung di atas kepala.

Melasti = melelasti = nganyudang malaning gumi ngamet Tirta Amerta. Menghanyutkan kekotoran alam menggunakan air kehidupan. Segara (laut) dianggap sebagai sumber Tirtha Amertha (Dewa Ruci, Pemuteran Mandaragiri). Namun kemudian, seiring dengan perkembangan jaman, kearifan akal budi manusia melakukan modifikasi dengan membuat Jempana. Jempana adalah sebuah tempat yang kemudian di beri roda agar mudah diarak menuju laut. Setelah pretima disucikan, kemudian akan disemayamkan di Pura Desa hingga sehari setelah hari raya Nyepi berlalu, untuk kemudian berbagai pretima ini kembali ditempatkan pada pura masing-masing. Selambat-lambatnya pada tilem sore, pelelastian harus sudah selesai secara keseluruhan, dan pratima yang disucikan sudah harus berada di bale agung.

Mecaru/Tawur Mecaru atau bisa disebut Tawur, dilaksanakan pada hari Tilem Sasih Kesange (Bulan mati ke 9) yaitu sehari sebelum Nyepi. Merupakan upacara yang dilaksanakan di setiap rumah atau keluarga, desa, kecamatan dan sebagainya. Dengan membuat sesajen yang ditujukan kepada para Bhuta Kala atau bisa disebut hal-hal negatif agar pada nantinya tidak mengganggu kehidupan manusia. 

Umat Hindu melaksanakan upacara ”Buta Yadnya” di perempatan jalan dan lingkungan rumah masing-masing, dengan mengambil salah satu dari jenis-jenis Caru (semacam sesajian). Buta Yadnya itu masing-masing bernama Pañca Sata (kecil), Pañca Sanak (sedang), dan Tawur Agung (besar). Tawur atau pecaruan sendiri merupakan penyucian/pemarisuda (Buta Kala), dan segala ”leteh” (kekotoran) diharapkan sirna semuanya. ”Caru” yang dilaksanakan di rumah masing-masing terdiri dari nasi manca (lima) warna berjumlah 9 tanding/paket beserta lauk pauknya, seperti Ayam Brumbun (berwarna-warni) disertai ”tetabuhan” arak/tuak. Buta Yadnya ini ditujukan kepada Sang Buta Raja, Buta Kala dan Batara Kala, dengan memohon supaya mereka tidak mengganggu umat.

Pengerupukan 

Upacara Pengerupukan dilaksanakan sesaat setelah Mecaru, yaitu dengan menyebar (nasi) tawur, yaitu dengan membuat api atau obor untuk mengobori lingkungan rumah, menyemburi rumah dan pekarangan dengan mesiu sejenis bahan makanan, serta membunyikan atau memukul benda-benda apa saja seperti kentongan untuk menghasilkan suara ramai dan kegaduhan. Tahapan ini dilakukan sehingga diharapkan untuk mengusir para Bhuta Kala dari lingkungan rumah, pekarangan, dan lingkungan sekitar. 

Pada tingkat desa diadakan arakan Ogoh-ogoh yang merupakan perwujudan dari Bhuta Kala yang memiliki sifat negatif. Diarak keliling desa kemudian di bakar, tujuannya agar hal-hal yang berbau negatif itu lenyap dan tidak mengganggu kehidupan manusia.

Nyepi 

Keesokan harinya, pada Tilem Kesanga, tibalah Hari Raya Nyepi, pada saat Nyepi khususnya di Bali, semua dalam keadaan sepi. Tidak ada aktifitas seperti biasanya, pada hari ini dilakukan puasa Nyepi, karena pada saat itu diadakan Catur Brata Penyepian yang terdiri dari: 

  1. Amati Geni, yaitu tidak boleh menggunakan atau menyalakan api serta tidak mengobarkan hawa nafsu. 
  2. Amati Karya, yaitu tidak melakukan kegiatan kerja jasmani melainkan meningkatkan kegiatan menyucikan rohani. 
  3. Amati Lelungan, yaitu tidak berpergian melainkan melakukan mawas diri. 
  4. Amati Lelanguan, yaitu tidak mengobarkan kesenangan/hiburan melainkan melakukan pemusatan pikiran terhadap Ida Sanghyang Widhi.. 

Brata ini mulai dilakukan pada saat matahari “Prabrata” fajar menyingsing sampai fajar menyingsing kembali keesokan harinya (24 jam). Menurut umat Hindu, segala hal yang bersifat peralihan, selalu didahului dengan perlambang gelap. Sehingga Hari Raya Nyepi dapat dikatakan mengandung makna hari penyucian diri (manusia) dan alam semesta. Membuang segala kotoran atau segala hal negatif yang telah lampau untuk menyongsong tahun baru (saka). Dan memulai tahun baru dengan sesuatu yang baru, sesuatu yang positif tentunya. Semangat yang baru untuk mengarungi kehidupan selanjutnya. 

Dalam kesenyapan hari suci Nyepi ini kita mengadakan mawas diri, menyatukan pikiran, serta menyatukan cipta, rasa, dan karsa, menuju penemuan hakikat keberadaan diri kita dan inti sari kehidupan semesta. Lakukan Berata penyepian upawasa (tidak makan dan minum), mona brata (tidak berkomunikasi), dan jagra (tidak tidur). 

Ngembak Geni 

Ngembak Geni yang jatuh sehari setelah Nyepi (Ngembak Api), sebagai rangkaian terakhir dari perayaan Tahun Baru Saka. Dilaksanakan dengan mengadakan kunjungan antar keluarga maupun para tetangga dan kenalan. Saling memaafkan satu sama lain dengan memegang prinsip Tattwam Asi yaitu “aku adalah kamu dan kamu adalah aku“. Posisi kita sama dihadapan Tuhan, walaupun kita berbeda agama atau keyakinan hendaknya kita hidup rukun dan damai selalu. 

Dengan suasana baru, kehidupan baru akan dimulai dengan hati putih bersih.

Ini yang Terjadi! Jika Upacara Taur Kesanga Tidak Dilakukan!

Ini yang Terjadi! Jika Upacara Taur Kesanga Tidak Dilakukan!

Dalam lontar Sundarigama, dijelaskan jika umat Hindu tidak melakukan upacara tawur beserta prosesi lainnya akan bisa menimbulkan kehancuran dan kerusakan di alam semesta ini.

Penyakit merajalela, manusia bertingkah laku aneh dan kejam akibat dirasuki roh-roh halus. Sehinggamenimbulkan huru-hara dimana-mana, tumbuh-tumbuhan meranggas dan mati, bencana alam dimana-mana serta pemerintah mengalami krisis.

Karena itu, umat Hindu perlu membuat upacara untuk menghadapi sekaligus menetralisasi kekuatan-kekuatan yang menyebabkan timbulnya hal aneh. Sehingga alam semesta kembali normal, manusia hidup selamat dan sempurna. Pasalnya pada Tilem Kesanga, yang jatuh pada Sabtu, 13 Maret 2021 nanti adalah hari sakral dan keramat (tenget). Umat Hindu meyakini, pada Tilem Kesanga bisa terjadi peristiwa atau hal yang aneh, serta ajaib akibat kegelapan pikiran manusia.

Tilem Kesanga dikatakan malam gelap yang keramat, karena disebabkan pandangan dan keyakinan akan Tilem sebagai simbol kegelapan dan angka 9 sebagai angka ganjil tertinggi dan bernilai keramat. Sehari setelah Tilem Kesanga, atau pada hari pertama (tahun baru Bali/Kalender Bali) paroh terang bulan kesepuluh disebut hari suci Nyepi.

Pada hari suci ini, umat Hindu dilarang mengambil pekerjaan, menyalakan api, tidak bepergian, atau membuat keributan. Sesuai Catur Brata Penyepian yang berarti sepi dan sunyi, guna mengetahui rahasia batin dengan melakukan yoga semadi saat Nyepi.

Makna Nyepi adalah penjernihan batin. Setelah umat Hindu berhasil menghadapi dan sekaligus mengatasi puncak keganjilan, dengan cara mengadakan upacara tawur serta melakukan yoga semadi pada Tilem Kesanga.

Selanjutnya dengan mengosongkan pikiran dari segala bentuk ikatan duniawi, terutama pengaruh tujuh lidah api di dalam diri.

Umat Hindu menuju keheningan dan kesucian (yoga ameneng). Dalam kekosongan untuk dapat bersatu atau manunggal dengan Tuhan (Ida Sang Hyang Widhi Wasa). Hal ini sesuai dengan lambang angka 10 (kadasa), yang mengindikasikan tunggal dalam kekosongan. Kata kadasa kerap dianalogikan sebagai sesuatu yang bersih, suci, atau kedas.

Sehingga saat Nyepi, umat Hindu merenungi serta mensyukuri kehidupan yang telah lampau. Lalu menatap masa depan yang lebih baik. Dengan pikiran, hati, dan batin yang suci dan bersih.

Umat Hindu mulai menapak hidup dan kehidupan baru, sehingga hari suci Nyepi juga disebut tahun baru Saka.

Guna mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan lahir batin (jagadhita dan moksa). Serta terbinanya kehidupan yang berlandaskan satyam (kebenaran). Kemudian siwam (kesucian) dan sundaram (keharmonisan/keindahan). Dimana Catur Brata Penyepian telah usai.

Dilanjutkan dengan Dharma Shanti yaitu mengunjungi sanak saudara untuk bersilaturahmi dan bersyukur atas apa yang telah diberikan oleh Ida Sang Hyang Widhi Wasa.

Di sinilah berlaku konsep ‘Tat Twam Asi’ yang bermakna, aku adalah kamu dan kamu adalah aku. Serta konsep ‘Waisudewa Khutumbhakam’ artinya kita adalah bersaudara.

Semuanya harus dilandasi dengan sradha atau keyakinan yang tinggi dalam memuja kekuatan Ida Sang Hyang Widhi Wasa.

Tuhan Yang Maha Esa, dalam upaya bersyukur dan mencapai keseimbangan alam semesta baik bhuana agung maupun bhuana alit.

Sehingga mencapai ‘Moksartham Jagadhita Ya Ca Iti Dharma.

Pura Melanting dan 5 Pura Tempat Memohon Rezeki di Bali

 

Pura Melanting dan 5 Pura Tempat Memohon Rezeki di Bali

Pura Melanting adalah salah satu pura Kahyangan Jagat di Bali, menempati posisi penting dalam deretan nama-nama pura yang ada di Bali yang terletak di kawasan Bali Utara, di Desa Banyupoh, Kec. Grokgak, Kab. Buleleng

Pura ini merupakan pura yang bersifat fungsional karena sebagai tempat untuk memuja Ida Bhatari Melanting atau Dewi Melanting untuk memohon kemakmuran, kesuburan, keselamatan dan agar dilancarkan dalam usaha dagang.

Biasanya orang yang kesini juga akan tangkil ke Pura Pulaki yang jaraknya tak jauh dari sini. Pura berstana ibundanya Danghyang Biyang Patni Keniten, istri dari Pendeta suci dari Jawa yang moksa di Pura Uluwatu. Dang Hyang Nirartha dikenal juga dengan gelar Dang Hyang Dwijendra dan Pedanda Sakti Wawu Rauh

Deretan 5 pura wajib dikunjungi menurut pewisik beserta makna yang tak banyak orang tau:

  1. Pura Melanting : Ijin dagang / usaha
  2. Pura Rambut Siwi : ijin / pemberkatan uangnya ( dari hasil usaha ) 
  3. 3lPura Petitenget: ijin peti / brangkas uang hasil usaha agar terkumpul
  4. Pura Uluwatu: ketenangan batin dan fikiran dalamm kehidupan 
  5. Pura Silayukti: setelah dpt ijin usaha, uang, peti, ketenangan dan hasil yg dirasa cukup / memuaskan baru bersila / mengucapkan rasa syukur berlebih kesini.

Urutan diatas tak wajib dilakukan dalam sehari penuh, mengingat jarak dan waktu. Biasanya dalam sehari / sekalian jalan, pemedak akan mengunjungi Pura Melanting ( + Pura Pulaki, Pura Pabean ), dan Pura Rambut Siwi. Barulah ke pura-pura berikutnya menurut waktu dan keikhlasan. 

Setelah semuanya merasa cukup, rezeki, usaha lancar, hati, fikiran tenang, barulah umat-umat Hindu melakukan persembahyangan ke pura-pura lain.

Ini Tujuan dan Prosesi Ngerupuk, 2021 Tanpa Ogoh-ogoh

 

Ini Tujuan dan Prosesi Ngerupuk 2021

Upacara ngerupuk tahun ini dilasanakan pada tanggal 13 Maret 2021, merupakan upacara yang dilakukan untuk mengusir Buta Kala atau kejahatan yang dilakukan sore hari (sandhyakala) setelah dilakukan upacara mecaru di tingkat rumah) sehari sebelum upacara Nyepi.

Seperti dijelaskan dalam Wikipedia, pengerupukan dilakukan dengan cara menyebar-nyebar nasi tawur, mengobori-obori rumah dan seluruh pekarangan, menyemburi rumah dan pekarangan dengan mesiu, serta memukul benda-benda apa saja (biasanya kentongan) hingga bersuara ramai/gaduh.

Tahapan ini dilakukan untuk mengusir Buta Kala dari lingkungan rumah, pekarangan, dan lingkungan sekitar.

Khusus di Bali, pengrupukan biasanya dimeriahkan dengan pawai ogoh-ogoh yang merupakan perwujudan Buta Kala yang diarak keliling lingkungan, dan kemudian dibakar. Tujuannya sama yaitu mengusir Buta Kala dari lingkungan sekitar.

Dalam Parisada Hindu Dharma Indonesia, upacara ngrupuk ini dilakukan pada saat sandhyakala setelah dilakukan upacara mecaru di tingkat rumah sehari sebelum Hari Raya Nyepi, lalu mengelilingi rumah membawa obor, menaburkan nasi tawur.

Sedangkan untuk di tingkat desa dan banjar, umat mengelilingi wilayah desa atau banjar tiga kali dengan membawa obor dan alat bunyi-bunyian.

Sejak tahun 1980-an, umat mengusung ogoh-ogoh yaitu patung raksasa. Ogoh-ogoh yang dibiayai dengan uang iuran warga itu kemudian dibakar.

Pembakaran ogoh-ogoh ini merupakan lambang nyomia atau menetralisir Bhuta Kala, yaitu unsur-unsur kekuatan jahat.

Meluasin/Nunas Baos Ucapan Balian yang Perlu Juga di Saring-saring! Kenapa? Ini Penjelasannya...

 

Meluasin/Nunas Baos Ucapan Balian yang Perlu Juga di Saring-saring! Kenapa? Ini Penjelasannya...
Masyarakat Bali masih sangat percaya dengan adanya roh leluhur, jalan satu-satunya untuk berkomunikasi dengan roh leluhur adalah meluasan. 

Meluasan, Nunas Baos, Nunas Beras atau Matuuan merupakan ritual pemecah masalah dan mencari solusi lewat Balian (Orang Pintar).

Mengenai kata Nunas Baos mempunyai arti "Nunas yang artinya Meminta" dan "Boas artinya Ucapan" jadi, Nunas Baos bisa diartikan meminta atau memohon petunjuk secara gaib kepada para leluhur atau roh seseorang yang telah meninggal. 

Dengan melaksanakan ritual ini tidak ada lain untuk mencari sebuah jawaban atas sebuah pertanyaan yang dilakukan secara gaib atau Niskala dengan perantara Balian atau seorang Jro Dasaran. 

Selain Balian ada juga Jro Dasaran yang dianggap mampu untuk berkomunikasi secara Niskala dengan roh-roh orang yang telah meninggal. 

 Ritual Nunas Baos ini biasanya dilakukan oleh sebuah keluarga, ketika keluarga tersebut mendapatkan atau tertimpa musibah, sakit atau mengetahui siapa yang mantuk pewayangan, kematian ataupun apabila akan mengadakan sebuah upacara adat yang besar dalam sebuah keluarga. Namun, yang lebih sering adalah apabila sebuah keluarga tertimpa musibah atau kematian. 

Begitu juga tentang isi petunjuk dari Jro Dasaran yang belum tentu akan kebenarannya. Dikatakannya, sudah biasa kalau banyak ucapan-ucapannya ternyata ngawur, meskipun dilain kesempatan juga banyak ucapan Balian sonteng itu benar dan dapat menyelesaikan segala masalah dalam keluarga. 

Disini kita perlu menyaring-nyaring ucapan Balian agar keluarga tetap harmonis. 

Ini 5 Tujuan Melasti/Mekiis, Salah Satunya Mengayutkan Penderitaan Masyarakat

 

Ini 5 Tujuan Melasti, Salah Satunya Mengayunkan Penderitaan Masyarakat

Upacara Melasti dilakasanakan setiap 1 tahun sekali, yang merupakan rangkaian dari Hari raya Nyepi di Bali. Melasti dalam sumber Lontar Sunarigama dan Sanghyang Aji Swamandala yang dirumuskan dalam bahasa Jawa Kuno menyebutkan ” Melasti ngarania ngiring prewatek dewata angayutaken laraning jagat, papa klesa, letuhing bhuwana”.

Ini 5 Tujuan Melasti/Mekiis, Salah Satunya Mengayutkan Penderitaan Masyarakat

Dari kutipan Lontar tersebut di atas, maka Melasti itu ada lima tujuannya yaitu:

1. Ngiring Prewatek Dewata

 Ini artinya upacara melasti itu hendaknya didahului dengan memuja Tuhan dengan segala manifestasinya dalam perjalanan melasti.

Tujuannya adalah untuk dapat mengikuti tuntunan para dewa sebagai manifestasi Tuhan. Dengan mengikuti tuntunan Tuhan, manusia akan mendapatkan kekuatan suci untuk mengelola kehidupan di dunia ini. Karena itu melasti agak berbeda dengan berbhakti kepada Tuhan dalam upacara ngodalin atau saat sembahyang biasa. Para dewata disimbolkan hadir mengelilingi desa, sarana pretima dengan segala abon-abon Ida Bhatara. Semestinya umat yang rumahnya dilalui oleh iring-iringan melasti itu menghaturkan sesaji setidak-tidaknya canang dan dupa lewat pintu masuknya kepada Ida Bhatara yang disimbolkan lewat rumah itu. Tujuan berbhakti tersebut agar kehadiran beliau dapat dimanfaatkan oleh umat untuk menerima wara nugraha Ida Bhatara manifestasi Tuhan yang hadir melalui melasti itu.

2. Anganyutaken Laraning Jagat 

Menghayutkan penderitaan masyarakat. Jadinya upacara melasti bertujuan untuk memotivasi umat secara ritual dan spiritual untuk melenyapkan penyakit-penyakit sosial. Penyakit sosial itu seperti kesenjangan antar kelompok, perumusuhan antar golongan, wabah penyakit yang menimpa masyarakat secara massal, dan lain-lain. Setelah melasti semestinya ada kegiatan-kegiatan nyata untuk menginventariskan berbagai persoalan sosial untuk dicarikan solusinya.

Dengan langkah nyata itu, berbagai penyakit sosial dapat diselesaikan tahap demi tahap secara niskala. Upacara melasti adalah langkah yang bersifat niskala. Hal ini harus diimbangi oleh langkah sekala. Misalnya melatih para pemuka masyarakat agar memahami pengetahuan yang disebut “manajemen konflik” mendidik masyarakat mencegah konflik.

3. Papa kelesa

Melasti bertujuan menuntun umat agar menghilangkan kepapanannya secara individual. Ada lima klesa yang dapat membuat orang papa yaitu; Awidya : Kegelapan atau mabuk, Asmita : Egois, mementingkan diri sendiri, Raga : pengumbaran hawa nafsu, Dwesa : sifat pemarah dan pendendam, Adhiniwesa : rasa takut tanpa sebab, yang paling mengerikan rasa takut mati. Kelima hal itu disebut klesa yang harus dihilangkan agar seseorang jangan menderita.

5.Letuhing Bhuwana

Alam yang kotor, maksudnya upacara melasti bertujuan untuk meningkatkan umat hindu agar mengembalikan kelestarian alam lingkungan atau dengan kata lain menghilangkan sifat-sifat manusia yang merusak alam lingkungan. Umat hindu merumuskan lebih nyata dengan menyusun program aksi untuk melestarikan lingkungan alam. Seperti tidak merusak sumber air, tanah, udara, dan lain-lain.

Ngamet sarining amerta ring telenging segara, artinya mengambil sari-sari kehidupan dari tengah lautan, ini berarti melasti mengandung muatan nilai-nilai kehidupan yang sangat universal. Upacara melasti ini memberikan tuntunan dalam wujud ritual sakral untuk membangun kehidupan spiritual untuk didayagunakan mengelola hidup yang seimbang lahir batin.

Dalam Babad Bali, Melasti, juga disebutkan merupakan rangkaian dari hari raya Nyepi dan Melasti juga disebut juga melis atau mekiyis bertujuan untuk :

Melebur segala macam kekotoran pikiran, perkataan dan perbuatan, serta memperoleh air suci (angemet tirta amerta) untuk kehidupan yang pelaksanaannya dapat dilakukan di laut, danau, dan pada sumber / mata air yang disucikan.

Bagi pura yang memiliki pratima atau pralingga seyogyanya mengusungnya ke tempat patirtan tersebut di atas. Pelaksanaan secara ini dapat dilakukan beberapa hari sebelum dilaksanakanya tawur kesanga untuk memohon kepada Tuhan untuk kesejahteraan alam lingkungan menjelang pergantian tahun saka.

Ini Manfaat Baik Menanam Bunga Jepun/Kamboja di Halaman Rumah. Salah Satunya Keberuntungan

 

Ini Manfaat Baik Menanam Bunga Jepun/Kamboja di Halaman Rumah. Salah Satunya Keberuntungan
Bunga Jepun yang juga disebut kamboja atau dengan nama Latin Plumeria, ditemukan oleh seorang botanis berkebangsaan Perancis yang bernama Charles Plumier. Bunga ini dulu hanya kita jumpai di tempat-tempat yang berbau religi dan mistis seperti Kuburan dan tempat-tempat lain. Namun, kini hal itu sudah berubah menjadi tanaman penghias dimana-mana. Bunga ini tidak mempunyai hubungan sama sekali dengan Negara Kamboja sebab bunga ini ternyata berasal dari Amerika Tengah yang meliputi Equador, Colombia, Cuba, Venezuela, dan Mexico.

Keberadaan atau masuknya bunga ini ke Indonesia hingga kini belum diketahui tepat waktunya. Namun, bunga kamboja diperkirakan pertama kali dibawa ke Indonesia oleh bangsa Portugis dan Belanda yang mana keduanya merupakan bangsa yang peduli terhadap lingkungan dan sangat menyukai alam tropis. Diperkirakan kamboja asli Indonesia adalah bunga kamboja yang berwarna putih dengan bagian dalam berwarna kuning di mana kuntumnya tidak terbuka penuh serta berukuran kecil. Bunga kamboja tumbuh subur di dataran rendah sampai pada ketinggian 700 meter namun, secara umum tanaman ini bisa tumbuh subur di semua tempat.

Pohon kamboja sangat baik ditanam di halaman rumah karena dipercaya untuk keberuntungan mendatangkan rezeki. 

Didalam fengshui, pohon kamboja dipercaya mampu menarik dan menciptakan chi serta memurnikan energi buruk yang ada di lingkungan rumah. Untuk perumahan, pohon kamboja sebaiknya di tanam di sektor bagian timur atau tenggara dari posisi rumah.

Menanam pohon kamboja dengan penempatan yang tepat mampu membawa rezeki untuk penghuni rumah. Selain itu, energi pohon kamboja juga dianggap dapat menetralisir Mikroba Negative karena pembusukan. Hal ini yang menjadi salah satu alasan mengapa pohon kamboja juga banyak di tanam di kuburan dapat menetralisir energi negatif.

Selain itu, bunga dari pohon kamboja juga sering dikonsumsi sebagai obat herbal dan dikatakan untuk memurnikan energi tubuh juga mengurangi bau keringat yang menyengat. Kalau dimakan, buang ujung dekat tangkai yang bergetah seperti kulit apel. Restoran Internasional di Bali sering menyiapkan bunga kamboja ini dalam menu-menunya yang disajikan seperti daun selada d3ngan dimakan mentah.

Pohon kamboja membawa perbaikan chi yang sangat baik dan bahkan yang terbaik untuk mendatangkan rezeki. Chi dari pohon kamboja meningkatkan kualitas chi yang ada di sekitarnmya. Jenis kamboja yang baik adalah dengan bunga merah, putih dan bungnya yang terbaik adalah jenis sudamala yang berwarna putih kekuningan.

Ini Tujuan Sulinggih Nyurya Sewana Setiap Pagi

 

Ini Tujuan Sulinggih Nyurya Sewana Setiap Pagi

Nyurya Sewana adalah upacara yang dilaksanakan oleh para sulinggih setiap pagi menjelang matahari terbit.

Dengan Bhatara Surya sebagai kekuatan dalam menjaga kestabilan dan keseimbangan matahari dengan pancaran sinarNya agar selalu dapat menyinari dan menjaga semua yang ada di alam ini.

Pemujaan Bhatara Siwa dalam manifesitasi Dewi Sawitri dengan Sawitri Mantram juga disebutkan sepenuhnya ditujukan untuk :

  1. Menjaga kebenaran alam semesta dan merawat kebaikan manusia. 
  2. Kebenaran, berupa prinsip-prinsip hukum alam (palemahan) dan kebaikan, berupa prinsip-prinsip moral (pawongan) memang menjadi landasan untuk mewujudkan : Keindahan dunia dan Kehidupan umat (parhayangan).

Begitulah sulinggih memenuhi kewajiban moral-religiusitasnya demi keselamatan semesta, menjaga ketenteraman alam dan melindungi kedamaian semua makhluk.

Sebagai tambahan juga disebutkan pula bahwa :

Ngastawa Sanghyang Tirtha melalui mantra weda Dewi Gangga disebutkan dengan kembang diiringi Genta yang awalnya berasal dari suaranya alam semesta.

Dan dengan tetap dilaksanakannya upacara Nyurwa Sewana oleh para sulinggih sampai saat ini, diharapkan agar tetap terjaga keselamatan semesta, ketenteraman alam dan kedamaian semua makhluk dalam perputaran cakrawala semesta dan hidup ini.

Ingat ke Dapur Setelah Pulang Dari Bepergian, Agar Tidak di Ikuti Bhuta Kala, Ini Penjelasannya

 

Ingat ke Dapur Setelah Pulang Dari Bepergian, Agar Tidak di Ikuti Bhuta Kala, Ini Penjelasannya

Pada waktu saya kecil dan sampai sekarang Orang Tua selalu menyuruh saya untuk ke dapur setelah pulang dari bepergian, entah itu siang maupun malam. Dapur dalam bahasa Bali disebut  Paon atau Puwaregan ini, tak hanya menjadi tempat memasak. Namun, punya fungsi khusus menurut keyakinan Hindu.

Seperti yang pembaca ketahui "untuk membuat olahan masakan adalah di dapur. Kata Paon sesungguhnya berasal dari istilah Pawon yang terdiri dari kata Pa dan Awuan yang artinya tempat abu. 

Dengan demikian sangat mengena dengan konsep memasak masyarakat Bali zaman dahulu. Selain dikenal sebagai tempat untuk memasak, dapur di Bali memiliki banyak makna, baik untuk upacara agama maupun sebagai tempat penyucian diri. Hal tersebut dikaitkan dengan Dapur sebagai Stana Dewa Brahma. Jadi, untuk memohon panglukatan kepada Dewa Brahma, masyarakat diharapkan memohon di pelangkiran dapur. 

Di dalam lontar Wariga Krimping disebutkan bahwa, Dewi Saraswati yang merupakan sakti dari Dewa Brahma sebagai dewa yang memberikan penyucian diri. Ketika seseorang mengalami sebel atau cuntaka setelah melakukan upacara Pitra Yajna, dapat memohon panglukatan kepada Dewa Brahma di pelangkiran dapur.

Selain sebagai tempat memasak atau pun tempat makan, ternyata dapur juga menetralisasi  ilmu hitam atau pun butha kala yang mengikuti sampai ke rumah. Pernyataan tersebut tertuang dalam Lontar Asta Kosala Kosali dan Asta Bumi.

Oleh karena itu, anggota keluarga yang berpergian hendaknya mengunjungi dapur terlebih dahulu, sebelum ke bangunan utama rumah ketika sudah pulang atau datang dari luar. 

Tak jarang di Bali muncul mitos bila  penghuninya tidak ke dapur terlebih dahulu, ketika sampai di rumah, maka bhuta kala atau segala ilmu hitam mengikutinya sampai di dalam kamar. 

Sampai akhirnya penghuni rumah tersebut mengalami perasaan tidak tenang (seperti dihantui) dan tiba-tiba jatuh sakit tanpa sebab yan pasti, Rahayu...

Kepongoran: Hukuman Kawitan dan Leluhur. Salah Satunya Mengabaikan Warisan

 

Kepongoran: Hukuman Kawitan dan Leluhur. Salah Satunya Mengabaikan Warisan
di kutip dari Buku Taksu
Kalau dipikir-pikir, orang Bali sebenarnya diikat oleh banyak hukum baik sekala maupun niskala. Hukum tersebut adalah, satu, hukum negara yang mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara. Dua, hukum karmapala yang merupakan landasan ajaran agama Hindu, hukum Tuhan yang tak terbantahkan, berisfat adil, rinci, menyangkut masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang. 


Tiga, hukum kawitan yang merupakan sebuah norma-norma yang diyakini berlaku dalam hubungan antara manusia yang hidup di dunia (pretisentana) dengan leluhur yang telah berada di alam sunya loka. Jadi dengan demikian paling tidak umat Hindu khususnya di Bali diikat oleh tiga hukuman. 

Paling menarik di sini adalah hukum kawitan yang mengatur pola hubungan sebab akibat antara pretisentana dengan leluhur yang telah tiada. 

Ada sebuah keyakinan bahwa baik buruk perilaku pretisentana di mercapada (dunia) akan mempengaruhi kehidupan leluhur di sunialoka. Ketika pretisentana dapat menjalankan kewajiban hidup dengan baik, hubungan harmonis dengan sesama manusia, menjaga warisan leluhur, maka para leluhur yang ada di sunialoka akan menemui kebahagiaan. Namun sebaliknya apabila pretisentana tidak menjalankan apa yang telah digariskan oleh leluhur, seperti selalu bertengkar dengan saudara, mengabaikan warisan leluhur, tidak memelihara kahyangan, tidak berbhakti kepada leluhur dan Ida Sanghyang Widhi Wasa maka leluhur akan mengalami kesedihan. Untuk itulah leluhur menyarankan kepada seluruh pretisentananya untuk melakukan perbuatan yang baik, sehingga akan menyebabkan leluhur mendapatkan kebahagiaan.

Semua hukum yang disampaikan leluhur tersebut tercatat dalam bhisama Ida Betara Kawitan. Masing-masing keluarga (soroh) di Bali memiliki kawitan tersendiri yang merupakan media untuk menghubungkan diri dengan leluhur yang telah tiada. Tata hubungan tersebut tersurat di dalam beberapa prasasti kawitan yang berisikan sejarah tentang leluhur, lelintihan (silsilah) leluhur dan berisi bhisama atau pesan/petuah/amanat leluhur.

Yang menarik dari semua itu adalah bhisama leluhur kepada pretisentana, sebagai pesan moral yang perlu ditaati. Disamping bersisi pesan, bhisama Ida Betara Kawitan juga memuat tentang sangsi yang diperoleh bila tidak mengikuti bhisama. Jadi dengan demikian bahwa bhisama mengandung nilai hukum, nasehat, dan sangsi. Yang lebih menarik bahwa sangsi yang dimuat dalam bhisama tersebut bukanlah sebuah sangsi yang dapat dibayar dengan hukum kurungan atau denda, namun sangsinya adalah bersifat niskala. Contoh bhisama, Sabda Betara Hyang Pasupati kepada Sang Panca Tirta, sebagai berikut:

Wahai cucuku semua, pasanglah telingamu baik-baik, jangan lupa melaksanakan kebajikan demi kesucian, kebesaran jiwa orang yang berhati mulia, tata cara untuk mencapai nirwana, dan juga tentang aji taskara, yang begini yang berwujud demikian, jelas dan sangat dalam anugrah Betara, seluk beluk aji taskara di bawah Sang Hyang Manu, tentang Tri Kaya Parisudha, dan juga tentang ilmu batin”.

Besok lusa bila ada keturunanmu, sampaikan juga sabdaku ini, agar selalu diingat sabdaku, yakni tentang kewajibannya, dan yang terpenting keutamaan seorang pendeta, jangan lalai. Bila ada keturunanku tidak hirau dan cuma nonton saja, kamu tidak mencintai sanak sudaramu seperti yang tercantum pada prasasti, itu tandanya bukan turunanku, semoga ia turun derajat menjadi kesatria”

Tambahan pula, mesti diingat menjaga serta memperbaiki Pura Pedharman Kamimitan yang ada di Bali, serta piodalannya untuk selama-lamanya”.

Demikian sabda Hyang Pasupati, menyembahlah Sang Panca Tirta, menghaturkan bhakti, yang timbul dari hati yang suci, karena bagaikan dibanjiri air kehidupan hati mereka.

Sebenarnya masih banyak bisama-bisama dari para leluhur yang disampaikan dahulu kepada para keturunan beliau. Sehingga semuanya tidak dapat disebutkan satu persatu. Namun dari bisama yang dikemukan di atas tampak pesan-pesan yang diamanatkan oleh para leluhur sangatlah luhur. 

Para leluhur selalu mengingatkan agar para turunan beliau menjadi orang yang baik dengan memegang teguh ajaran dharma, hidup dalam kesucian, selalu ingat dan sujud bhakti kehadapan Betara Kawitan, memelihara perahyangan beliau, dan lain-lainnya yang merupakan pesan yang berguna. Di samping itu, pula telah diamanatkan pula mengenai akibat yang dialami bila melanggar bisama atau melupakan Betara Kawitan.

Ini berarti bahwa selain nasehat, di dalamnya juga mengandung sangsi niskala yang mungkin dapat disetarakan dengan sebuah kutukan.  Sehingga apabila sudah terjerembab dalam jurang hukum niskala (kutukan), maka untuk membayarnya memang sulit, sehingga harus sampai pada masa akhir dari kutukan tersebut. Mungkin secara sekala dapat kita lakukan dengan menghaturkan guru piduka dan guru bendu sebagai pernyataan mohon ampun atas segala kelalaian dan kesalahan yang telah diperbuat. Namun hal tersebut tak membatalkan akibat kutukan tersebut, tapi mungkin akan mempercepat proses dari kutukan tersebut. 

Dengan demikian, sebelum sampai terkena hukum kawitan yang disebut dengan kepongor/salahang kawitan, salahan Dewa Hyang, alangkah baiknya memahami apa itu bhisama leluhur.

Kemudian timbul pertanyaan usil, kenapa hanya orang Bali yang beragama Hindu yang terkena hukum kawitan? Jawabannya sangat gampang. Karena hanya orang Bali Hindu yang mempercayai dan meyakini hukum tersebut, sehingga terlihat nyata hubungan antara manusia dengan para leluhurnya. 

Hubungan manusia Bali dengan leluhurnya sangat dekat. Hukum kawitan sama dengan hukum karmapala. Dipercaya atau tidak maka ia akan tetap berlaku untuk siapa saja. Tak mengenal waktu, tak mengenal siapa dia, agama apa dia, semuanya terikat. Bagi orang bukan agama Hindu yang tak meyakini ini, cepat atau lambat pasti akan menyadari, cepat atau lambat pastilah ia akan merasakan dampaknya apabila ia menyimpang dari garis kehidupan yang dipesankan oleh para leluhurnya terdahulu. 

Bagi mereka yang tak meyakini, mungkin sangsinya dalam bentuk lain atau mungkin mereka telah menerima sangsi namun tak disadari bahwa itu adalah kepongoran.

Inilah Alasannya Ada Merajan Dadia, Jangan Sampai Lupa!

 

Inilah Alasannya Ada Merajan Dadia, Jangan Sampai Lupa!

Dalam ajaran agama Hindu, pemujaan terhadap leluhur merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh pratisentana (keturunan).

Di dalam kitab Tri Dewa Bawa yang meliputi ibu (Mitri Dewa Bawa), peran seorang bapak dalam rumah tangga (Pitri Dewa Bawa), dan peran seorang guru dalam rumah tangga (Acarya Dewa Bawa) merupakan penjelmaan dewata.

Dalam rangka pemujaan terhadap leluhur ini ada tahapannya.

Hal itu tertuang dalam berbagai kitab, seperti Iti Prakerti, Siwa Gama, Putusan Bhagawan Manohari, dan Jajar Kemiri.

Inti daripada isi lontar tersebut, pertama, sesunggil karangan paumahan atau satu teritorial pekarangan rumah, berapapun kepala keluarga (KK) yang ada di dalamnya, itu wajib membangun Perihyangan yang disebut Sangar Kabuyutan, itu Kemulan Taksu.

Dalam lontar Siwa Gama, 10 atau lebih keluarga inti dalam satu pekarangan yang terdiri dari beberapa KK itu, harus membuat ikatan kekerabatan berdasarkan satu keturunan yang disebut Sanggah Gede/Merajan Agung atau disebut juga dengan istilah Merajan Pertiwi.

Bila nantinya kepala keluarga ini bertambah, tersebar di beberapa tempat, lalu mendirikan Sanggah Gede/Merajan Agung lebih dari satu, maka wenang ngwangun Paibon.

Bila nanti jumlah Pura Paibon bertambah minimal dua, selanjutnya wajib membangun Pura Panti.

Selanjutnya setelah beberapa Pura Panti didirikan oleh satu soroh keluarga tersebut, barulah membuat Pura Dadia.

Pura Paibon, Panti, dan Dadia itu tidak lain bertujuan untuk merekatkan persaudaraan kita dengan sesama, sebagai warih leluhur.

Cara Menetralisir Pekarangan Buruk dengan Pucuk Rejuna! Ini 11 Caranya

 

Cara Menetralisir Pekarangan Buruk dengan Pucuk Rejuna! Ini 11 Caranya

Raktakara Wira, Pucuk Bang, Pucuk Rejuna adalah sebutan berbeda merujuk ke bunga indah merah merekah ini. Dari sekian banyak bunga hanya jenis ini yang hampir mekar disetiap tahun. Seringkali digunakan untuk menghias gelung RAJA atau PATIH untuk menghadirkan GUNA-WIBAWA (kewibawaan) sekaligus simbol WIRA (keberanian), WISESA (kesaktian). 

Bagi penekun dunia halus, bunga merah ini sungguh lebih utama dibanding KAMALA (teratai tunjung). Pada pengarcaan sosok Kali di Bharata warsa, India,  maka bunga pucuk bang adalah sebagai Garland (kalung bunga) terfavorit Bhatari Bhadra kali (Dhurga) bersanding mundha-mala (kalung kepala manusia). 

Pada spektrum warna CHAKRA tubuh, pucuk bang mewakili warna merah darah MULADHARA (chakra dasar). Pusat energi microcosmic (jagat alit) segala bentuk unsur MATERIAL, pertumbuhan, awal kebidupan. Pada berapa sarana banten mengingat pentingnya penggunaan PUSPAM(bunga) maka bunga pucuk rejuna seringkali dipilih.

Terutama pada ritus-ritus kawisesan pucuk Bang tampaknya lebih populer dari bunga lain. Umpama pada banten pemanggilan SAUDARA EMPAT bunga merah ini adalah wajib disuntingkan pada banten PASUCIAN bersanding dengan TALUH ANGSA MAGULING. Pada ragam pemilahan purusha predhana, maka pucuk Bang adalah mewakili aspek MASKULIN lelaki. Sedangkan bunga cempaka mewakili wujud Wanita.

Aji penerangan pun rupanya kepincut dengan kemistisan pucuk bang sebagai penghalau hujan, dengan memancang pada keempat juru angin. Bagi yang berkehendak mendapat PANGIDEP ATI kecerdasan spiritual, campuran sari bunga merah ini, sebagai pemboooster. Saraswati konon adalah sakti dewa merah brahma. Pucuk rejuna yang dipetik diareal pekuburan berdampak magis kuat sebagai pemungkem jagat, membungkam seisi jagat. Pun demikian berbagai banten semisal PANGESENG LARA mewajibakan bunga merah ini untuk medatangkan api merah gaib pembakar segala penyakit. Menyematkan bunga pucuk Bang yang di hidupkan dengan mantra : ONG KARAWIRA JAYENG SATRU, JENG 3 x. Disebut mampu menghalau musuh, mendatangakan wibawa dari segenap sudut alam.

Pucuk Bang dapat pula digunakan untuk menetralisir karang panes karang angker dan memperkuat taksu karang. Pucuk rejuna dapat dijadikan tumbuhan HIAS wajib disetiap pekarangan KRAMA BALI selain sangat indah juga bermanfaat. Dibandingkan menanam tumbuhan yang tergolong ke-BANASPATI, misalnya BERINGIN, BUNUT, JEPUN, lebih bermanfaat  bunga pucuk Bang.  Mampu memancarkan energi kesucian disetiap pekarangan hingga mendatangkan berkah WAHYA-ADHYATMIKA (spiritual-material). Berikut ini Sebelas tahap tatacara menanam Kmebang Rejuna agar berfaedah:

  1. Pilihlah jenis pucuk bang dengan kualitas baik, DEWASA hari baik untuk menanam yaitu hari BUDA (rabu). Lokasi penanam dapat dipilih dimana saja, sangat disarankan ditanam langsung ketanah (bukan dipot) agar benar-benar terhubung dengan BUMI, pekarangan.
  2. DAUH (waktu) yang paling baik untuk menanam bunga ini adalah Dauh III: 9.00-10.30 pagi, Dauh IV: 10.30-11.30 pagi dan Dauh VII: 14.30-15.00 sore. Dauh (waktu) sangat penting dijadikan patokan ANANDUR karena berkaitan dengan SIKLUS ALAM, mencari celah KALA (waktu) terbaik.
  3. Siapkan lobang dengan ukuran seperlunya,  bersihkan diri,  dan sangat mantap jika sebelum menanam mengenakan pakaian adat madia, untuk menunjukan NIAT (ambeking idep), 
  4. Siapkan CELEBINGKAH (potongan gerabah, genteng tanah) tuliskan aksara suci ONGKARA-AMERTA dengan sepidol/pencil, letakan pada lobang yang telah disiapkan, pastikan ujung NADA (ongkara amerta) menghadap ketimur atau utara.
  5. Letakan canang atanding, sangat baik jika canang tersebut adalah “surudan”, lungsuran dari pelinggih utama di pamerajan.
  6. Mohonlah kehadapan IBU PERTIWI-BAPA AKASA agar bunga pucuk Bang diberikan URIP (kehidupan). Cukup dengan doa, saha, sesonteng. Dapat pula menggunakan mantra berikut: ONG ANG PERTIWI PRABHAWATI YANAMAH, ONG AH AKASA-NIRMALA  TATTWA YANAMAH. Terjemahan: Sembah sujud kehadapan Ibu Pertiwi dengan aksara suci ANG-KARA berwujud bunga bercahaya, sembah sujud kehadapan angkasa dengan aksara AH-KARA yang tanpa noda kekotoran.
  7. Saha Sasonteng: Sredah pakulun sira Bhatara Ibu Pretiwi mekadi Bhatara Bapa akasa titiang nunas lugra jaga nandur sarwa entik-entikan, ledang paduka Bhatara makakalih asung kertha wara nugraha amertha kahurin ring sarwa tinandur.
  8. Letakan perlahan, tumbuhan bunga pucuk Rejuna pada lobang, upayakan celebingkah, canang tepat berada pada akar bagian bawah. dikuti dengan memuja Bhatara wisnu sebagai penguasa tumbuhan berbunga, rafalkan mantra: ONG IDEP SANGHYANG WISNU.
  9. Timbunlah lobang dengan perlahan, setelahnya disiram dengan air bersih pada bagian akarnya, yang telah dimohonkan kehadapan Bhatara TRI-MURTI agar memberikan kehidupan. Boleh dilengkapi mantram berikut: ong ang ung mang, brahma angurip sarwa tinandur, wisnu angurip sarwa tumuwuh, Iswara angurip sarwa prani, wastu mahurip, Poma poma poma. Wus amantra turuhin wed nia. Terjemahan: Sembah sujud kehadapan Sanghyang widi berwujud aksara ONG ANG UNG MANG, Dewa Brahma Menghidupkan semua yang ditanam, Dewa Wisnu menghidupkan semua yang tumbuh, Dewa Iswara menghidupkan segala jenis kehidupan, semoga diberi kehidupan,  terjadilah, terjadilah, terjadilah.
  10. Penyiraman dengan air bersih yang telah dimohonkan kehadapan Bhatara Trimurti dapat dilakukan sesering mungkin, terutama saat hari SABTU. Menurut wariga hari SABTU sepatutnya digunakan untuk menata, menyiram tumbuhan. 
  11. RAJAH berikut ini dapat pula dilengkapi agar efek baik pada tumbuhaan Pucuk Bang benar-benar maksimal, terutama untuk menetralisir energi Buruk pada pekarangan. Dirajahkan pada Batang pohon Pucuk Rejuna (lampiran gambar).
  12. SURYA-Puja. Matahari adalah sumber utama AMERTA (daya Hidup) setiap kehidupan termasuk Sarwa Tinandur (tumbuh-tumbuhan) maka dari itu selain secara fisik Pucuk Bang perlu mendapat sinar matahari yang cukup, maka pemujaan khusus kepada Bhatara Surya juga diperlukan. Mengingat sinar MERAH pada matahari sebagai sumber kehidupan identik dengan warna Merah pada pucuk Bang (Rakta-kara Wira), maka pemujaan khusus kepada Surya patut dilakukan dengan memohon Tirta pembersih kepada Bhatara Surya. Sangat baik dilakukan pada saat OTON KAYU, tumpek uduh, Tumpek Wariga sebagai pelengkap banten yang dihaturkan. boleh dilakukan dengan bahasa sehari-hari ataupun dengan puja mantra Surya Gamana berikut:  “ONG YANG Iswara Aditya, Sudha surya namo namah swaha” Terjemahan: Sembah sujud kehadapan Hyang Widi dengan aksara suci YANG-KARA sebagai dewa Iswara dan Aditya,  engkaulah Matahari sebagai pembersih.
  13. Setelah segala upaya SEKALA-NISKALA dilakukan dengan penuh kemantapan maka  Pucuk Bang siap bertumbuh kembang memancarkan energi kebaikan keseluruh bagian rumah. Cahaya pekarangan yang tadinya gelap redup mulai bersinar semakin nyaman sejuk. pucuk Bang telah mulai bisa dimanfaat seperlunya (setelah abulan pitung dina, 42 hari, semenjak ditanam).

NB: penggunaan MANTRA ataupun SAHA dapat diganti dengan Bahasa sehari-hari, asalkan dengan niat kesungguhan hati.

MANFAAT LAIN:

  1. Petik sembilan lembar daun bunga Pucuk Bang, diremas halus dengan campuran air, balurkan pada rambut sebelum keramas, diamkan beberapa saat kemudian bilas. Bermanfaat menguatkan rambut, mengobati gejala awal kerontokan rambut.
  2. Remas sembilan lembar daun pucuk rejuna, dengan air bersih, hingga keluar lendir, campurkan madu asli, sari pati kunyit, jika diminum teratur dapat menggobati gangguan pencernaan.
  3. Sari bunga pucuk bang yang ditelan secara rutin setiap tiga hari menjelang menstruasi dapat menormalkan siklus mens, mengobati sakit berlebih saat datang bulan.
  4. Sari bunga pucuk Bang yang dioleskan pada dahi dapat memberikan perlindungan dari gangguan jahat, disertai pemujaan kehadapan Bhatara Surya.
  5. Lumatan halus bunga pucuk Bang dapat ditempelkan pada bagain tubuh yang digigit binatang berbisa, disertai pemujaan kepada Bhagawan Kasiapa dapat menetralkan racun. Dll.

Semoga bermanfaat

ONG SIDDHIRASTU

Ini Jenis Makhluk yang Sering Mengganggu Manusia (Hindu Bali). Maka dari Itu Kita Wajib Mesegehan Saat Kajang Kliwon

 

Ini Jenis Makhluk yang Sering Mengganggu Manusia (Hindu Bali). Maka dari Itu Kita Wajib Mesegehan Saat Kajang Kliwon

Kajeng Kliwon adalah peringatan hari turunnya para bhuta untuk mencari orang yang tidak melaksanakan dharma agama dan pada hari ini pula para bhuta muncul menilai manusia yang melaksanakan dharma.

Persembahan Saat Kajeng kliwon


Kapan Hari Kajeng Kliwon Rerainan Kajeng kliwon diperingati setiap 15 hari sekali yang pada saat itu kita menghaturkan segehan manca warna sebagaimana yang disebutkan dalam mitologi kajeng kliwon. 

Dalam mitologi tersebut juga dijelaskan maksud dan tujuan menghaturkan segehan manca warna ini yang merupakan perwujudan bhakti dan sradha kita kepada Hyang Siwa (Ida Sang Hyang Widhi Wasa) yang telah mengembalikan (Somya) Sang Tiga Bhucari.

Siapa Yang Disembah Saat Kajeng Kliwon Berarti dengan segehan tersebut, kita telah mengembalikan keseimbangan alam niskala dari alam bhuta menjadi alam dewa (penuh sinar), sedangkan Sekalanya kita selalu berbuat tri kaya parisuda dan Niskalanya menyomyakan bhuta menjadi dewa dengan harapan dunia ini menjadi seimbang. Sebagaimana dijelaskan pula bahwa, saat malam kajeng kliwon sering dianggap sebagai malam sangkep leak yang pada umumnya sebagaimana disebutkan, pada malam kajeng kliwon ini roh-roh jahat maupun para shakta aji pangliyakan akan berkumpul mengadakan puja bakti bersama untuk memuja Shiva, Durga dan Bhairawi. Hal ini biasanya dilaksanakan di Pura Dalem, Pura Prajapati atau di Kuburan.

Persembahan Saat Kajeng Kliwon Sehingga pada saat kajeng kliwon, dalam babad bali disebutkan agar dapat melaksanakan upacara yadnya yang hampir sama dengan upacara Keliwon biasanya, hanya saja segehan-segehannya bertambah dengan nasi-nasi kepel lima warna, yaitu: merah, putih, hitam, kuning, brumbun Tetabuhannya adalah tuak / arak berem. Di bagian atas, di ambang pintu gerbang (lebuh) harus dihaturkan, canang burat wangi, dan canang yasa. Semuanya itu dipersembahkan kepada Ida Sang Hyang Durgha Dewi. Di bawah / di tanah dihaturkan segehan, dipersembahkan kepada Sang Tiga Bhucari : Sang Butha Bucari, Sang Kala Bucari, dan Sang Durgha Bucari. Sehingga adanya peringatan dan upacara yadnya pada hari kajeng kliwon ini, dengan harapan bahwa baik secara sekala maupun niskala dunia ataupun alam semesta ini tetap menjadi seimbang.

Selain Sang Tigabhucari masih ada jenis bhuta / makhluk yang sering menganggu manusia dalam melaksanakan dharma agamanya. Para bhuta tersebut ada;

Berwujud manusia

  1. Bake : bertubuh hitam seperti manusia, selalu muncul tengah malam tingal disemak-semak.
  2. Bakis-botong : berwujud manusia kate, berkepala gundul, berkulit putih pucat, dia muncul siang hari, tinggal dirumah manusia yang kosong tanpa penghuni.
  3. Memedi : seperti manusia berambut merah seperti api, kulit menyala merah, muncul pada waktu tengah hari bertempat tinggal ditegalan kosong.
  4. Papengkah : berwujud manusia dengan perut gendut, besar dan buncit. Muncul pada waktu siang dan malam hari tinggal disembarang tempat.
  5. Raregek-tunggek : berwujud gadis cantik tetapi punggungnya terbuka tanpa tulang belakang dan tulang iga (di Jawa disebut Sundel Bolong) sehingga isi rongga dadanya dan isi perutnya kelihatan dari belakang. Dia tinggal di semak belukar, di air terjun, dekat danau, sumur, payau, kuburan sering muncul malam hari.
  6. Samar : berbentuk manusia tetapi tanpa lekukan pada bibir atas, berdiam di semak-semak, dan muncul sore hari. Biasanya berkumpul menjadi satu keluarga seperti manusia, sehingga sering disebut wong samar dan hidup seperti manusia tetapi tidak dapat dilihat oleh manusia awam. Sewaktu-waktu jika dia berkehendak dilihat oleh manusia dia akan memperlihatkan dirinya dan bergaul dengan manusia. Di Bali mayoritas wong samar ini bertempat tinggal di daerah Pulaki Buleleng. Pada umumnya wong samar ini bersifat baik.
  7. Tonya : berwujud manusia tinggi besar, berdiam di pohon yang rindang dan besar. Paling senang diam dipohon beringin, bunut, kepuh, rangdu dan sejenisnya. Tonya ini jarang berkeliaran tidak pernah pergi jauh dari pohon tempat tinggalnya. Sering muncul pada malam hari, jarang siang hari.

Berwujud bagian tubuh manusia

  1. 1. Kumangmang : hanya terdiri atas kepala saja dengan rambut seperti menyala. Bertempat tinggal dilapangan terbuka, di tegalan, juga di semak-semak. Jalannya mengelinding seperti kelapa terbakar, muncul siang hari juga malam hari.
  2. Lawean : berwujud badan manusia tanpa lengan tungkai dan kepala. Bertempat tinggal di semak belukar tetapi sering juga di rumah-rumah penduduk, muncul pada malam hari, kerap juga muncul siang hari.
  3. Tangan-tangan : hanya terdiri atas tangan saja. Jalannya terbang melayang diudara. Bertempat tinggal dirumah penduduk, tempat yang kosong atau semak-semak. Muncul pada waktu malam hari kadang siang hari.
  4. Enjek-pupu : terdiri atas paha sampai kaki, hanya sebelah tungkai saja tanpa badan. Kalau berjalan injakan tapak kakinya menimbulkan suara atau bunyi yang halus dan berirama, merindingkan bulu roma. Biasanya muncul malam hari, mengitari pekarangan rumah menyusuri tembok, bertempat inggal dirumah yang kosong.
  5. Katugtug : terdiri hanya dari lutut ke bawah. Karena suara atau bunyi injakan kakinya yang khas, yakni tug-tug-tug, maka bhuta ini disebut katugtug. Biasanya muncul pada malam hari, tinggal dirumah yang kosong.

Berwujud kerangka manusia 

Bhuta jenis ini disebut jerangkong yang terdiri dari rangka yang dapat bergerak, terutama malam hari tinggal ditempat rumah yang kosong.

Berwujud binatang

  1. Anja-anja : berwujud binatang berkaki empat berkepala seperti raksasa, mata melotot besar dengan mulut lebar bertaring panjang dan berambut terurai.

Banaspati-raja 

Berwujud macan. Sering dari badannya keluar api, sehingga seperti harimau terbakar.

Hanya manusia yang telah melaksanakan dharma dan selalu ingat lan eling ngastiti bhakti ring Dewa Siwa (Ida Sang Hyang Widhi Wasa) badannya tidak bisa dilekati oleh para bhuta-bhuti dan Panca Mahabhuta (Sri Durga Dewi / akasa / timur, Dadari Durga / teja / selatan, Sukri Dewi / bayu / barat, Raji Durga / apah / utara, Dewi Durga / pertiwi / dalam tanah). Kalau manusia kuat dan mampu mengendalikan lima bhuta ini maka mereka akan menjadi sahabat manusia, dan sehatlah manusia. 

Tetapi kalau manusia mencemari unsur Panca Mahabhuta ini maka dimusuhilah dan krodalah dia menjadi durga menyebabkan manusia menjadi sakit.