Mantra Pemujaan Rong Tiga di Merajan

 

Mantra Pemujaan Rong Tiga di Merajan

Selain sebagai tempat memuja Ida Sanghyang Widhi Wasa, Rong Tiga/Sanggah Kemulan juga tempat untuk memuja dan menstanakan roh suci lelulur tentu melalalui proses upacara Ngunggahang Dewapitara.

Untuk kita ketahuin bahwa yang bersthana pada sanggah kamulan adalah Sang Hyang Triatma sesuai dengan lontar dibawah ini.

Lontar Usana Dewa, Lembar 4 berbunyi sebagai berikut:

  1. Ring kamulan ngaran Ida Sanghyang Atma,
  2. Ring kamulan tengen bapa ngaran Sang Paratma,
  3. Ring kamulan kiwa ibu ngaran Sanghyang Sivatman,
  4. Ring kamulan tengah ngaran Raganyam tu Brahma dadi meme papa, meraga Sanghyang Tuduh.

Artinya: 

Padang sanggah kamulan beliau Sanghyang Atma, pada ruang kamulan kanan ayah, namanya Sanghyang paratma, pada kamulan kiri ibu disebut Sivatma. Pada kamulan ruang tengan diri-Nya itu Brahma , menjadi purusa pradana berwujud Sanghyang Tuduh(Tuhan yang menakdirkan).

Lontar Gond Wesi lembar 4b juga menyebutkan hal yang sama:

..ngaran isa Sang Atma ring kamulan tengen bapanta, nga Sang Paratma, ring kamulan kiwa ibunta, nga Sang Sivatman, ring kamulan madya raganta, Atma dadi meme bapa ragane mantuk ring dalem dadi Sanhyang Tunggal, nunggalang raga

Artinya: 

nama beliau Sang Atman, pada ruang kamulan kanan bapakmu, yaitu Sang Paratma, Pada ruang kamulan kiri ibumu yaitu Sang Sivatman, pada ruang kamulan tengah adalah menyatu menjadi Sanghyang Tunggal menyatukan wujud.

Pada sekte Siwa Sidanta yang dimaksud dengan Tri Atma adalah Am; Atma dewanya Brahma, Antara Atma dewanya Wisnu dengan wijaksarannya Um, dan Paratma dewannya adalah Iswara dengan wijkasarananya adalah Mang. 

Ketiga Dewa tersebut disebut Tri Murti (Tiga manifestasi Tuhan dalam aspek horizontal) yang merupakan roh alam semesta. Sebagai roh alam semesta beliau bergelar Tri Purusa atau Tri Lingga (Tiga manifestasi Tuhan dalam aspek vertikal).

Makna dan Filosofi Angkul-angkul. Zaman Sekarang Tak Lagi Ada Membandingkan Mana Kori Agung - Mana Angkul-angkul

 

Makna dan Filosofi Angkul-angkul. Zaman Sekarang Tak Lagi Ada Membandingkan Mana Kori Agung - Mana Angkul-angkul

Seiring perkembangan zaman dan dinamika sosial di Bali, kemutlakan ketentuan jenis dan bentuk pamesuan, sebagaimana masa lampau, makin mengalami pergeseran nilai.

Pamesuan, dari kata kerja ‘pesu’ (bahasa Bali) berarti ‘keluar’. Dengan mendapatkan awalan ‘pa’ dan akhiran ‘an’, kata ini  menjadikan kata benda, pamesuan. Pamesuan yakni bangunan gerbang depan rumah pekarangan/tempat tinggal orang Bali adalah bangunan sarat makna. Bukan semata sebagai akses keluar – masuk, dari dan keluar rumah, atau sebaliknya. Bukan pula, akses yang penghubungkan empunya rumah dengan masyarakat di luar pekarangan.

Namun pamesuan memiliki arti dan makna lebih dari sekadar tempat keluar - masuk sang pemilik rumah.

Pamesuan Menunjukkan Indentitas, Siapa Penghuninya

Sosok bentuk pamesuan, menjadi salah satu untuk menakarnya. Selain mengatakan, pamesuan memang bisa dipakai semacam referensi untuk mengetahui indentitas siapa pemilik sebuah rumah atau pekarangan. Pada masa lampau di zaman agraris, pamesuan dalam bentuk angkul-angkul adalah untuk masyarakat kebanyakan. 

Bentuknya sederhana, bahan atau material strukturnya hanya tanah liat dan alang atau  jerami sudah cukup. Tidak boleh melebihi. “Dalam masyarakarat agraris dulu semua seragam.

Kemudian ada pamesuan yang disebut ‘Bintang Aring’ dan ‘Kori Agung’. Material atau bahannya juga berkelas. Mulai dari tanah cetakan sampai batu bata. Strukturnya lebih rumit dan tentu saja lebih megah. Plus ragam hias yang menyesuaikan.

Pamesuan Bintang Aring dan Kori Agung ini pada masyarakat agraris zaman dulu, memang terbatas untuk kelompok masyarakat tertentu, penguasa atau bangsawan saja. Atau trah, klan tertentu saja.

Seiring perkembangan zaman dan dinamika sosial di Bali, kemutlakan ketentuan jenis dan bentuk pamesuan, sebagaimana masa lampau, makin mengalami pergeseran nilai. Apa yang pantang dan tabu pada masa lalu, tidak mutlak lagi. Semua menjadi lebih cair. Sekat batas peruntukkan pamesuan yang sempat baku mulai baur.

Sehingga pamesuan dalam bentuk Bintang Aring dan bahkan Kori Agung, tidak lagi hanya boleh untuk kelompok masyarakat tertentu saja, sebagaimana pada masa lampau yang murni agraris. “Sekarang kan ada yang pengusaha, ada yang pejabat. Mereka juga merepresentasikan diri lewat arsitektur. Salah satunya dengan bangunan pamesuan yang megah.

Contoh lain, candi bentar yang pada awalnya merupakan pamesuan untuk bangunan atau tempat suci, kini banyak dipakai sebagai batas atau pintu keluar - masuk di perkantoran, hotel, atau tempat lainnya.

Namun apapun itu pamesuan memiliki fungsi sekala-niskala. Secara sakala sebagai bagian dari batas luar (termasuk tembok penyengker) menjaga privasi yang empunya rumah, sehingga memberi rasa aman kepada penghuninya. Demikian juga secara niskala.

Karena itulah pembangunan pamesuan dilakukan dengan perhitungan-perhitungan tertentu dengan filosofi dan harapan. Misalnya bagaimana agar penghuninya aman, murah rejeki dan harapan positif lainnya.

Jarak lokasi pamesuan, ukuran ruang pintu dengan tembok penyengker dan aling-aling ada hitungannya. Dulu secara tradisional ukuran untuk pintu masuk pamesuan adalah panyengking. Juga sanan padi (bambu galah alat memikul padi) digunakan sebagai ukuran untuk menentukan, kelayakan bangunan pamesuan.

Dikutip dari situs NusaBali.com dimana Ida Pedanda Istri Putri Jelantik Kemenuh dari Griya Kemenuh Tri Gading Banjar Tegehe Buleleng menyatakan hal senada. Pamesuan pada zaman dulu sangat erat dengan symbol atau identitas penghuninya/ pemiliknya. “Kalau pemiliknya petani korinya disebut angkul-angkul,” ujar Ida Pedanda yang juga akademisi FT Unud ini. 

Bentuknya sederhana, bahannya dari tanah popolan dan atap alang-alang. Meningkat lagi (strata sosial) sebagai pedagang, pamesuannya disebut bintang aring. “Ini jarang dibicarakan sekarang,” jelas Ida Pedanda. Hiasannya patra punggel. Ada tempat untuk mebanten. Sampai dengan pamesuan yang disebut kori agung yang megah dengan tembok tinggi dan tebal, menunjukkan keagungan sekaligus benteng digunakan oleh kaum bangsawan.

Dengan melihat pamesuannya saja, lanjut Ida Pedanda sudah diketahui siapa yang empunya rumah. Pamesuan juga berdimensi aman secara niskala. Hal itu ditandai dengan adanya palinggih pengapit lawang. Secara niskala dimaksudkan untuk memohon yang empunya atau penghuni rumah terhindarkan dari marabahaya.  “Jadi tak hanya secara sakala menjaga privasi penghuninya, namun pamesuan juga berdimensi aman secara niskala,” jelas Ida Pedanda. *nata

Dewasa Ayu Nganten, Hari Baik Pawiwahan Berdasarkan Wuku, Sasih, dan Penanggal

 

Dewasa Ayu Nganten, Hari Baik Pawiwahan Berdasarkan  Wuku, Sasih, dan Penangga

Dewasa Ayu Nganten atau Hari baik Pawiwahan (Upacara Pernikahan Hindu Bali) dimana dalam melakukan ritual/Pawiwahan ini selalu menggunakan dewasa ayu (hari baik). 

Pernikahan Hindu Bali selalu mempertimbangkan dan menggunakan pedoman Dewasa Ayu Nganten (Nikah Adat Bali) adalah Wuku, Sasih, Penganggal/Pangelong, Ingkel, jejepan, Triwara, Tika (kala temah dan kala kingkingan). Untuk pati paten, kala Tampak, kala Mertyu, Naga Naut, Sampar Wangke dan Geni Agung, masih diabaikan, sehubungan dengan proses perumusan.

Dewasa Ayu Nganten, Hari Baik Pawiwahan Berdasarkan  Wuku, Sasih, dan Penanggal;

Wuku

Berdasarkan Wuku, ada 3 (tiga) kelompok wuku yang dihindari dalam memilih dewasa ayu nganten, diantaranya:

  • Rangda Tiga, yang artinya Cerai dan menjanda/menduda hingga tiga kali.
  • Carik walangati, carik yang bermakna selesai, masalah keluarga akibat pihak ketiga, fitnah, dan/atau tidak memiliki anak/keturunan.
  • Tanpa Guru, yang artinya anak/keturunan sering menentang orang tua, seperti tidak memiliki orang tua (guru).
  • Uncal Balung, yang artinya keluarga yang dibangun bersama (suami-istri dan keturunannya) menemui sengsara, seperti halnya tulang yang dihancurkan.

Pada WUKU diatas, itu hanya wuku-wuku yang HALA (berdampak buruk).

Sasih

Sasih yang baik untuk melaksanakan upacara perkawinan:

  • Sasih Katiga (bulan ke-3), banyak anak/keturunan
  • Sasih Kapat (bulan ke-4), banyak harta dan sahabat
  • Sasih Kalima (bulan ke-5), banyak rejeki
  • Sasih Kapitu (bulan ke-7), mendapatkan keselamatan
  • Sasih Kadasa (bulan ke-10), hidup rukun bahagia

Sedangkan, Sasih yang dihindari diantaranya:

  • Sasih Kasa (bulan ke-1), anak/keturunan sengsara
  • Sasih Karo (bulan ke-2), miskin
  • Sasih Kaenem (bulan ke-6), tiada pasangan, janda/duda
  • Sasih Kawulu (bulan ke-8), miskin
  • Sasih Kasanga (bulan ke-9), sengsara, lara-pati
  • Sasih Jyesta (bulan ke-11), mendapatkan malu
  • Sasih Sadha (bulan ke-12), kesakitan, sengsara

Penganggal/Pangelong

Penanggal yang baik untuk melaksanakan upacara perkawinan:

  • Penanggal 1, Selamat sentosa
  • Penanggal 2, disayang sanak keluarga
  • Penanggal 3, banyak anak
  • Penanggal 5, selamat sentosa
  • Penanggal 7, hidup bahagia
  • Penanggal 10, kaya dan disegani
  • Penanggal 13, hidup senang

Penanggal yang dihindari:

  • Penanggal 4, janda/duda
  • Penanggal 6, susah dan sengsara
  • Penanggal 8, sering mendapatkan halangan
  • Penanggal 11, kesulitan, sulit mendapatkan kaselamatan
  • Penanggal 12, hidup sengsara
  • Penanggal 14, bertengkar, cerai
  • Penanggal 15, hidup sengsara

Itulah Dewasa Ayu Nganten dari Wuku, Sasih dan Penanggal yang Baik. Semoga bermanfaat.

Ngaben Swastha

 

Ngaben Swastha

Ngabenan sederhana, dengan tingkat terkecil  karena tidak dengan pengaskaran. Berarti tidak menggunakan kajang, otomatis tanpa upacara Pengajuman Kajang. Tidak  menggunakan bale paga, damar kurung, damar layon, damar angenan, petulangan, tiga sampir, baju antakesuma dan payung pagut. Hanya menggunakan peti jenasah  dan Pepaga/penusangan untuk mengusung ke setra. Pelaksanaan upacara di setra saja. Pengabenan Swastha Geni ini sering rancu dengan pengabenan Geni Pranawa.

Swasta asal katanya “su” (luwih, utama). Astha berasal dari Asthi (tulang, abu). Dengan demikian Swastha berarti pengabenan kembali ke intinya tapi tetap memiliki nilai utama. Pengabenan swstha terdiri dua jenis:

  1. Pengabenan Swastha Geni. Penyelesaian di setra dengan cara membakar jenasah maupun tanpa jenasah. Hanya ada pelaksanaan “pengiriman” setelah dibuatkan bentuk sekah tunggal, kemudian dilanjutkan dengan upacara nganyut. Setelah itu selesai.
  2. Pengabenan Swastha Bambang. Semua runtutan pelaksanaannya upakaranya dilaksanakan di atas bambang penguburan jenasah. Kwantitas upakaranya sama dengan pengabenan Swastha Geni hanya saja dalam upakaranya ditambah dengan “pengandeg bambang”. Pengabenan swastha bambang ini tidak disertakan upacara pengerekan dan penganyutan , karena tidak dilakukan pembakaran melainkan dikubur. Sedangkan “pengelemijian” dan pengerorasan tetap dilaksanakan seperti ngaben biasa. Pengabenan Swastha Geni atau Swastha Bambang termasuk pengabenan nista utama, tidak memakai bale paga, tidak melaksanakan pengaskaran dan pada saat ke setra memakai tumpang salu saja.
  3. Pengabenan Kerthi Parwa. Termasuk pengabenan tingkat nistaning utama. Dilakukan pada umat Hindu yang gugur di medan perang. Tidak dilakukan pengaskaran, hanya upacara ngentas dan pengiriman saja. Pelaksanaanya seperti pengabenan Swastha Geni.
  4. Pengabenan Ngelanus. Sebenarnya tidak termasuk bagian dari jenis pengabenan.
Hanya teknisnya yang dibuat cepat. Ada dua jenis:

  1. Ngelanus Tandang Mantri. Pengabenan dan pemukuran diselesaikan dalam satu hari. Pengabenan ini mengacu pada sastra agama “Lontar Kramaning Aben Ngelanus”. Disebut juga dengan Pemargi Ngeluwer. Pengabenan ini hanya untuk para Wiku, tidak diperkenankan untuk walaka.
  2. Ngelanus Tumandang Mantri. Dilakukan untuk walaka dalam kurun waktu satu sampai dua hari untuk para walaka . Upakara dan upacaranya tergantung kwantitas upakara dan upacaranya.
Itulah ngaben Swastha... semoga bermanfaat.

Upacara Ngaben Pranawa

 

Upacara Ngaben Pranawa

Pengabenan dengan sarana upakaranya ditujukan kepada 9 lobang yang ada pada diri manusia. Pranawa berasal dari kata Prana (lobang, nafas, jalan) dan Nawa (artinya 9). Kesembilan lobang yang dimaksud adalah:

  1. Udana(lobang kening), mempengaruhi baik buruknya pikiran
  2. Kurma (lobang mata) mempengaruhi budhi baik atau buruk , terobos ke dasendriya
  3. Krkara (lobang hidung), pengaruh Tri Kaya, jujur atau tidak
  4. Prana (mulut). Dosa bersumber dari mulut (Tri Mala Paksa)
  5. Dhananjya (kerongkongan). Kekuatan mempengaruhi manah – sombong dan durhaka
  6. Samana (lobang pepusuhan), pengaruh jiwa menjadi loba dan serakah.
  7. Naga (lobang lambung)  pengaruh karakter yang berkaitan dg Sad Ripu
  8. Wyana (lobang sendi) pengaruhi perbuatan memunculkan Subha Asubha Karma.
  9. Apana (pantat  kemaluan) pengaruhi kama yang berkaitan denga Sapta Timira.

Kesembilan lobang manusia ini dapat mengantar manusia kelembah dosa. Pengabenan Pranawa juga diikuti dengan upacara pengaskaran.

Ada lima jenis Pengabenan Pranawa

  1. Sawa Pranawa: Disertai jenasah atau watang matah
  2. Kusa Pranawa :  dg watang matah atau hanya dengan adegan saja. Adegannya disertakan pengawak dari 100 katih ambengan. Memakai upacara pengaskaran.
  3. Toya Pranawa. Sama dg Kusa Pranawa, hanya didalam adegannya berisi payuk pere, berisi air dan dilengkapi dengan eteh2 pengentas. Juga memakai Pengaskaran.
  4. Gni Pranawa. Sama dengan pranawa lainnya, juga melakukan pengaskaran tapi pengaskaran nista yang dilakukan di setra setelah sawanya menjadi sekah tunggal. Tanpa uperengga seperti Damar kurung, tumpang salu, pepelengkungan, ancak saji, bale paga, tiga sampir, baju antakesuma, paying pagut. Hanya  memakai dammar layon, peti jenasah dan pepaga/penusangan.
  5. Sapta Pranawa. Upaca ini dilakukan dirumah, menggunakan damar kurung dan pengaskaran. Tapi tidak menggunakan Bale Paga pd waktu mengusung jenasah ke setra. Hanya menggunakan pepaga/penusanganb.  juga dilaksanakan langsung di setra tapi pelaksanaan pengabenannya mapendem, serta pelaksanaan pengentasnya diata bambang.

Jenis-Jenis Ngaben Awangun (Budaya Bali)

 

Jenis-Jenis Ngaben (Budaya Bali)

Semua organ tubuh (sebagai awangun) memperoleh material upakara sehingga upakaranya banyak. Ngaben jenis ini diikuti dengan Pengaskaran. 

Ada dua jenis Ngaben Awangun: 

1. Upacara Pengabenan mewangun Sawa Pratek Utama, ada jenasah atau watang matah.

2. UpacaraPengabenan mewangun Nyawa Wedana, tidak ada jenasah tetapi disimbulkan dengan adegan kayu cendana yang digambar dan ditulis aksara sangkanparan. 

Nyawa Wedana berasal dari kata Nyawa atau nyawang (dibuat simbul). Wedana = rupa atau wujud. 

Dengan demikian Nyawa Wedana artinya dibuatkan rupa2an (simbolis manusia).

Tata Cara Nyiraman Layon

Sugra. Untuk pembaca yang saya hormati, khususnya yang memeluk Agama Hindu, Disni akan kami tulis tuntas tata-titi dalam Pelaksanaan penganbenan. Anda bisa buka di link biru ini = tata-titi penganbenan

Kali ini tentang tata cara nyiraman Layon...

1. Persiapan sarana

Tirta

  1. Tirta penglukatan pebersihan dari wiku
  2. Tirta peleletan dari wiku
  3. Tirta Pekuluh dari mrajan.
  4. Tirta khusus

 Untuk Tirta Khusus; 

  • Tirta Pengentas Bangbang: selesai atiwa-tiwa jika jenasah akan dikubur atau mekingsan di Gni, sebaiknya menggunakan tirta diatas agar sewaktu-waktu bisa ngaben. Jika tidak maka sebelum setahun tidak boleh ngaben.
  • Tirta SH Prajapati: bila jenasah dikubur atau mekingsan di Gni mempergunakan tirta ini, krn tirta ini memiliki kekuatan pengembalian ke sumbernya. SH Prajapati bersifat Mulaning Mula (wit = sumber). Prajapati adalah tempat kehidupan bermula.

2. Persiapan Sarana Pebersihan

Toya kumkuman, Sisig ambuh, Sisir dan petat, Minyak rambut, Wastra pesalin sepradeg, Boreh kuning, Kain pengusap rai, Kain pengusap raga.

3. Persiapan Sarana Penyucian:

  • Gegaleng 1 ijas pisang kayu 9 atau 11 bulih, belayag berisi uang kepeng 225/250 biji, tebu ratu mesurat sangka paran, semuanya dibungkus kain putih. Ada juga yang menyebut Bantal Segi Tiga sebagai gegaleng.
  • Momon (cincin mirah Windhusara) utk ngerajah dan momon. Simbul menetralkan sifat serakah manusia (momo) semasa hidupnya. Juga untuk mencegah bau busuk. Secara niskala simbul Jiwatma yang telah meninggalkan jenasah.
  • Beberapa lembar kain putih yang dirajah huruf Modre (kajang).
  • Simbul penyucian organ tubuh sensitif yang menimbulkan kama dan indriya selama hidupnya. Penukup yang dimaksud ialah: Penukup Siwa dwara (ubun-ubun), Penukup dua daun telinga, Penukup lambe (mulut), Penukup muka atau prerai, Penukup purus atau baga (kemaluan).
  • Sebatang tebu ratu dan batang kayu sakti, disurat sbg Panca Datunya.
  • Wewalungan (tulang belulang) yang dirangkai diletakkan diatas layon.
  • Umbi skapa diiris-iris (usapang pada setiap persendian jenasah, sbg simbul penyucian wyana dari dasa prana).
  • Daun intaran (simbul ardha Chandra). Kuncup kembang melati (pusuh menuh) untuk lubang hidung simbul SH Waruna. Bunga teleng putih (slagan alis)
  • Daun delem (untuk telinga) sbg simbul SH Kwera.
  • Malem 2 pulung (untuk lubang telinga), simbul apah, simbul Sang Blegode.
  • Keramas (santen berisi air dapdap). Blonyoh putih (beras kencur), blonyoh kuning (beras kencur temutis). Juga bebek anget-anget. Kapas.
  • Pecahan cermin 2 buah untuk kedua netranya. Simbul Teja (SH Surya Candra).
  • Tali penyalin secukupnya
  • Bebek (serbuk cendana) secukupnya. Taburi seluruh tubuh sbg simbul Pertiwi (SH Carman).
  • Sebidang daun tunjung berisi kain hitam dan semburan (boreh) rempah-rempah utk sedaka lanang. Sedaka istri memakai sebidang daun tuwung bolo 3 lembar dilapisi kain hitam berisi rempah2 (anget2) pada kemaluan, simbul SH Smara.
  • Pisau “sudha mala” atau pemutik untuk mekerik (lanang), pisau mejejahitan untuk istri. Pisau Sudha Mala (ujungnya tri sula) utk menetralisir kekuatan Sadripu dan Sapta Timira yang kelak mempengaruhi perbuatan (karmanya). Dari Tatwa: penyucian Dewa Kuku (SH Kenaka Manik) yang telah dikotori perilaku manusia (lontar Tutur Agastyaprana).
  • Dua untai benang tetebus (benang putih) untuk ituk-ituk. Untuk ikat ibu jari kaki dan tangan. Simbul penyatuan Panca Budhindriya dengan Panca Karmendriya agar menyatu dengan manah untuk kembali ke Ahamkara.
  • Sebuah ante dari bambu, ditulisi aksara suci di bagian kepala, ulu hati dan kaki. Sebidang tikar plasa yang sudah dirajah
  • Tiga buah kereb Sinom. Kereb Sinom dibuat dari daun enau muda dan bunga pinang (blangsah buah) dianyam 10-15 Cm, panjang 75-90 cm. Kereb Sinom adalah simbul Tri Kaya, bahwa Rokh mendapat sorga tergantung hasil Tri Kayanya (Karma Wasana).
  • Upakara Beyakala, jejaritan Bale Gading dan lis degdeg.
  • Kain putih untuk menggulung. Kain putih melelancing dengan lapis kain 11 lapis (untuk kajang solas)
  • Dua lempeng perak dibungkus tiga helai daun kayu sakti sebagai pegembelnya. Kepingan waja 4 tebih (untuk gigi) simbul Bayu, simbul dari SH Bayu.
  • Peti jenasah yang sudah diupacarai, tumpang salu, pepelengkungan. Ancak saji: pagar tempat jenasah dibaringkan.
  • Kain putih berisi sesuratan dedayang sebagai sarana ulon.
  • Sebuah pelepah Pisang Udang Sabha (warga Pasek sesuai Bhisama menggunakan daun biyu kaikik), nantinya ditindih oleh jenasah. Ditulis huruf “Rwa Bhinneda”. Kata Udang = Uda + Ang. (Uda = air = Wisnu = Ung) (Ang = Ah = Sunia). Daun Pisang Udang Saba bermakna: “karmanyalah menentukan sorga (sunya loka) atau tidak.

4. Persiapan Tempat Pebersihan yaitu Pepaga atau Pandyusangan atau Penusangan

Pemandian sawa sebagai simbul bumi, dibuat dengan kawat mas, perak tembaga (tridatu). Diberi alas tikar dan pandan berduri sebelum dipakai. Pepaga (penusangan) dibuat dari bambu (kalau bisa bambu kuning), bertiang empat tingginya 175 Cm, ujung atas dari tiang dipasangi leluwur. Pepaga dibuat setinggi puser sang “yajamana” (pemilik upacara), dipasangi leluwur. Pojok timur laut dari tiang dipasang 11 uang kepeng sebagai simbul tingkatan alam sunia yg dituju. Panjang bambu dua jengkal lebih dari ukuran jenasah dengan lebar 80 Cm atau sesuai lebar jenasah. Galarnya menggunakan perhitungan “Ante” (cekur, pinggang, nyawan, galar, ante, guling). Etika pemasangan: jika laki tengahnya menengadah lainnya tengkurep, wanita sebaliknya.

5. Persiapan peti jenasah (simbul kekuatan maya SHW)

Pada bagian kaki dilubangi sebesar “aguli” (ajari tengah) sebagai jalannya Panca Maha Butha keluar dari maya menuju alam “Sapta Petala”. Lubang dibagian kepala adalah jalan keluar jiwatma menuju Sapta Sunia. 

6. Upakara Ayaban 

Setelah melelet diletakkan diwulu tempat layon (luanan), baik nista, utama atau madya. Contoh: Banten ayaban tumpeng 27, hulunya daksina gede sarwa 4 lengkap dengan banten sucinya, Banten Saji Tarpana, Banten Pulegembal, Banten Pengulapan, prayascita, bayekawonan.

7. Seember 

Air antiseptic (air + daun intaran/daun base, atau air diisi bahan kimia antiseptic yang dibeli ditoko) untuk cuci tangan orang ikut ngeringkes.

8. Tata Cara Upacara Ngelelet

  • Mengikuti subha dewasa peleletan, menunggu kesiapan krama banjar (perintah Klian banjar)
  • Penurunan layon dari Bale Gede, dilakukan sanak keluarga, diserahkan kpd krama banjar dicacapan bale, keluarga tetap memopong bagian kepala. Menuju pepaga, posisi kaki layon tetap lebih dahulu.
  • Pada waktu memandikan, layon tidak langsung ditelanjangi. Busana hanya dibuka bagian dada saja dulu.
  • Wiku nyurat sastra diraga dengan cincin mirah. (AH – Nabi; Dasaksara – perut; Mang = ulu hati; Ang = bahu kiri; Ung = bahu kanan; Adu muka = selagan alis; Ang = ubun2.)
  • Pertama kali keramas dengan toya ambuh, mesisig, bilas air bersih, bilas air kumkuman. Mantra ngeramasi: Om banyu klemukan, banyu pawitra pangilanging papa klesa, danda upata atemahan sudha nirmala yns. Ong2 angurah candra dimuka yns
  • Keringkan rambut dan muka dengan kain putih. Rambut dipetat dan disisir. Pusung gelung gota (irtri) pusungan mudra lingga (lanang)
  • Setelah keramas barulah busana dibuka seluruh, keluarga menutup bagian kemaluannya.
  • Seluruh badan dibilas air biasa , gosok dg blonyoh (boreh kuning), dibilas. Setelah bersih barulah disirami air kumkuman secara merata, keringkan dengan kain. Mantra memandikan: Om sarira suda yns. Om gangga paripurna yns.
  • Memakai busana kewikuan. Tirta Bayekala di kakinya saja, perciki tirta pebersihan dengan bale gading dan lis degdeg.
  • Wiku memercikkan tirta kekuluh merajan (tirta aswapada Hyang Guru), dengan posisi tangan layon memegang sebuah kwangen berisi 11 pis bolong.
  • Sanak keluarga mohon restu ke SH Raditya dg kwangen, posisi tangan di selagan alis, dan kwangen diletakkan di kaki layon. Mantra: Om Swargantu, Om Suniantu, Om Moksantu, Om Mursantu, Om Ksama Sampurna yenamah swaha. Sembahyang:
  • Tangan puyung (utpeti sembah)
  • Ke surya (SH Siwa Raditya) dg kewangen: mohon banugerah kekuatan widya kepada Sang Lina (Stiti sembah)
  • Sembah ke Sang Lina sbg pengaksama agar sang lina melepas tresnanya kpd keluarga yg ditinggalkan.

Selesai pebersihan (pebersihan hidup), dilanjutkan dengan penyucian atau Pengeringkesan sebagai berikut:

  • Memasang gegaleng di kepala layon
  • Wiku memercikkan tirta pengeringkesan ke seluruh tubuh
  • Pengerikan kuku (dg pisau sudamala atau pisau banten). Kerikan kuku dibungkus tiga helai daun kayu sakti diletakkan di kaki layon.
  • Memasang sarana Panca Dathu sbb:
  • Wewalungan di atas dada layon
  • Cermin di dua mata (simbul teja)
  • Daun intaran pada kedua alis (ardha Chandra)
  • Lempeng waja di gigi (SH Bayu)
  • Bunga celeng putih selagan alis
  • Malem pada lubang telinga
  • Daun delem pada daun telinga
  • Tali itik-titik pada dua ibu jari tangan dan kaki 
Memasang kwangen:

  • Penyolasan pada setiap persendian
  • Kwangen jari: setiap kwangen berisi lima tubungan (diplintir sekecil2nya ujungnya diisi irisan bawang putih (lambing kuku). Juga kwangen jari kaki. Total membuat 20 tubungan.
  • Memasang kwangen isi 33 kepeng pd panggul
  • Kwangen di ulu hati: menghadap keatas berisi 2 kepeng, menghadap kebawah berisi 2 kepeng.

Total semua uang kepeng yang digunakan 225 biji

  • Penangkeb baga atau purus
  • Memasang tebu yg sudah ditulis pd tulang punggungnya.
  • Memasang sepotong kayu sakti yg sudah ditulis pd tulang dada
  • Memasang momon pada rongga mulut.
  • Memasang kajang (angkeb rai, karna, siwa dwara, cangkem, prana)
  • Layon digulung dengan kaun penggulung, kemudian tikar, ante yang sudah disurat di bagian kepala–uluhati-kaki, ikat dg tali ketekung (tali rotan) yang sudah disurat, dipasang melingkar di bagian kepala, uluati, panggul. Tali lingkaran kepala dihubungkan ke bagian ulu hati dan bagian panggul. Tali rotan adalah simbul “melepaskan diri dari ikatan tali samsara (panumitisan). Maka perbaikilah karmamu yang asubakarma menjadi subakarma.
  • Digotong ke bale gede dg posisi kaki layon didepan. Masuk peti, petinya sudah berada diatas tumpang salu.
  • Memasang pelengkungan, diatasnya kain putih melelancing dengan lapis kain 11 lapis (kajang solas).
  • Tiga buah kereb Sinom. Kereb Sinom dibuat dari daun enau muda dan bunga pinang (blangsah buah) dianyam 10-15 Cm, panjang 75-90 cm. Kereb Sinom adalah simbul Tri Kaya, bahwa Rokh mendapat sorga tergantung hasil Tri Kayanya (Karma Wasana).
  • Setelah ngayab, dilanjutkan “Upacara Pepegatan”
  • w)   Wiku memuja ngaturang Saji Tarpana (Narpana Saji).
Tata cara diatas juga merupakan tata cara untuk meraga wiku. Sedikit penyederhanaan untuk ngelelet layon meraga welaka adalah sebagai berikut:
  • Persiapan Sarana Pebersihan
  • Air bersih dan air kumkuman
  • Air keramas, sisig, minyak wangi
  • Berbagai jenis bunga harum
  • Pakaian seperadeg/pesaluk/pesehan (pakaian sembahyang lengkap)
  • Pesaluk hidup laki (kain, saput udeng)
  • Pesaluk hidup wanita (tapih, kain, sabuk, kamben cerik
  • Pesaluk mati, laki perempuan sama, kain putih untuk yang sudah kawin, kain kuning bagi yang belum kawin.
  • Pakaian untuk ngulung dan kain putih.
  • Tikar
  • Samsan atau sekarura: beras kuning ditambah irisan daun temen diisi 33 pis bolong, ditempatkan dalam wakul yng dibungkus kain putih.
Beberapa jenis tirta:T

  • TirtaPenglukatan dan Pebersihan (untuk menghilangkan mala petaka atau pembersihan jenasah.
  • Tirta Aswapada Betara Hyang Guru
  • Tirta Pengresikan
  •  Tirta sesuhunan keluarga (pura2, kawitan, kemulan). Maksud: trita restu agar perjalana lancar.
  • Tirta Kahyangan: pakeling bahwa sang atma akan menghadap ke kahyangan
  • Tirta pengulung: diperecikkan pd waktu ngulung mayat.
  • Tirta penembak: memandikan jenasah membersihkan kotoran lahir bathin.
  • Tirta pengentas: tirta pemutus hubungan (memutuskan ikatan purusa. Tiuk pengentas adalah pisau untuk memutus hubungan.
  • Tirta manah toya ning: adalah petitis keneh (manah).
  • Tirta prelina atma: agar jiwatma yang meninggal pergi kealam asalnya, tideak ngrebeda. 
Pelaksanaan Ngelelet

Sama dengan Wiku, hanya ngambuhin bagian duur dapat dilakukan penglingsir.

Pebersihan 10 prana sebagai dosa manusia sebagai “dasa mala”. Sepuluh prana itu ialah:

  1. Prana (lubang mulut)
  2. Udana (lobang kepala/kening)
  3. Samana (lobang pepusuhan)
  4. Wyana (lobang persendian)
  5. Kurma (lobang mata)
  6. Krkara (lobang hidung)
  7. Dewa Data  (lobang bibir)
  8. Dhananya (lobang tenggorokan)
  9. Naga (lobang lambung)
  10. Apana (lobang dubur dan kelamin)
Itulah cara Niraman Layon, semoga bermanfaat.

Suasana Hati, 6 Pendekatan Seseorang Dalam Berelasi Kepada Tuhan

 

Suasana Hati, 5 Pendekatan Seseorang Dalam Berelasi Kepada Tuhan

Seorang anak dari sebuah keluarga Bule yang mengunjungi Pura Tirta Empul, Tampaksiring Gianyar, Bali untuk berlibur. Namun, setelah menuju ke area melukat anak ini justru Mencakupkan tangannya sejajar dengan kepalanya sambil berdoa/memohon kepada Ida Sesuhunan (Tuhan) yang beristana di Pura Tirta Empul, sungguh menakjubkan. 

Dalam bhakti-yoga (jalan pengabdian), ada berbagai bhāva (suasana hati) pendekatan seseorang dalam berelasi kepada Tuhan yang disebut svarūpa-siddhi, yaitu:⁣

  1. Vātsalya-bhāva = mencintai Tuhan sebagai orang tua;⁣
  2. Mādhurya-bhāva = mencintai Tuhan sebagai kekasih;⁣
  3. Dāsya-bhāva = mencintai Tuhan sebagai tuan / maha-kuasa;⁣
  4. Śiṣya‐bhāva = mencintai Tuhan sebagai guru;⁣
  5. Ātmā-bhāva = mencintai Tuhan sebagai diri sendiri;⁣
  6. Śākhya-bhāva = mencintai Tuhan sebagai kawan / sahabat.⁣

Terutama jika seseorang adalah penganut Āgama Śiva / Tantra, ia bisa mendekati Tuhan melalui pendekatan sebagai orang tua, guru, & tuan. Karena dalam fungsinya Ida Bhaṭāra Dalem (Tuhan) turun sebagai orang tua sekaligus guru dari alam semesta ini, bergelar Bhaṭāra Guru (Śiva).

Namun seseorang tidak dapat mendekati aspek Śakti sebagai kekasih karena Beliau adalah Ibu kita, Pativratā, yaitu Bhaṭārī Durgā hanya milik Śiva. Śiva-Śakti adalah Ādī-dampattī, pasangan terpurba di alam semesta. Dengan demikian satu-satunya pribadi yang dapat mendekati Bhāgavatī Umā sebagai kekasih adalah Mahādeva.

Sedangkan jika seseorang adalah penyembah Viṣṇu (vaiṣṇava-bhakti), ia bisa mendekati-Nya sebagai kekasih (seperti para gopī mencintai Kṛṣṇa), sebagai putra (seperti ibu Yaśodā mencintai Kṛṣṇa), sabahat (seperti Arjuna mencintai Kṛṣṇa), & tuan (seperti rakyat Dvārakā mencintai Kṛṣṇa).⁣

Jalan dharma yang sejati adalah totalitas kepada Tuhan melakukan pengabdian dengan diiringi kesadaran bahwa Dialah penguasa tertinggi, sehingga pelayanan yang dilakukan oleh praktisi bhakti bersifat spontan. ⁣

Banten Semakin Menjadi Ladang Bisnis, Bagi Sebagian Oknum! Yang Suka Bisnis Banten Coba Baca Ini!

 

Banten Semakin Menjadi Ladang Bisnis, Bagi Sebagian Oknum! Yang Suka Bisnis Banten Coba Baca Ini!

Teks Widhi Sastra Tapini menyuratkan :

Tingkah sang anukangin, aywa pangucap agangsul, wuwus menak juga kawedar, budhi dharma juga ginegenta, mwang aywa ngwangin anglewihin salwiring upakaraning tetandingan, muwah aywa maperih dana tan yogya, mwang ane tan wenang gawe, ujaring uji tinuten. Yan tan anut linging aji, ngurangin mwang ngalewihin, dahat nemu papa sang anukangin, matemahan dadi tiryak, sira alaku-laku dada, sumusup ring rat sira. Sebarinnya sira andadi jatma, yata dadi kekelingking jagat".

(Tingkah laku ia yang menjadi tukang banten, jangan berkata-kata keras dan kasar, kata-kata yang baik dan halus hendaknya diucapkan, pikiran selalu berpegang kepada kebenaran, dan lagi jangan mengurangi atau melebih-lebihi di dalam menatanya (metetandingan), dan juga jangan mementingkan pemberian (dana) yang tidak wajar, dan melaksanakan yang tidak patut dilaksanakan. Hendaknya tetap mengikuti petunjuk sastra agama. Bila tidak mengikuti sastra agama, mengurangi atau melebih-lebihi, akan berakibat menderita papa orang yang menjadi tukang banten itu, dan kelak akan menitis menjadi binatang tingkat rendah, yaitu berjalan dengan dada, berkeliaran di dunia. Seandainya menjelma menjadi manusia, tentu menjadi cemohan masyarakat).

Antara wiku tapini dan ia yang mempunyai pekerjaan yajña atau sang adruwe karya haruslah menjalin hubungan yang harmonis, bertanggung jawab, berdedikasi, berkesucian demi keberhasilan yajña yang mereka bangun. Ketiga unsur ini: yajamana, wiku tapini dan sang adruwe karya disebut "Trimanggalaning yajña". Tri Manggalaning Yajña dibantu oleh Mañcagra.

Wiku Tapini adalah wiku istri yang mempunyai tanggung jawab tertinggi atas segala upakara banten yang diperlukan di dalam yajña tersebut. Di dalam mempersiapkan upakara banten, beliau dibantu oleh lima jenis tukang disebut Mañcagra, yaitu tukang banten (serati banten), tukang olahan wewalungan, tukang wewagahan, tukang orten (sangging, meranggi), tukang gambel, dan pragina.

Pengertian Yadnya, kalau ditinjau secara ethimologinya, kata Yadnya berasal dari bahasa Sanskerta, yaitu dari kata "yaj" yang artinya memuja atau memberi penghormatan atau menjadikan suci. Kata itu juga diartikan mempersembahkan; bertindak sebagai perantara. Dari urat kata ini timbul kata yaja (kata-kata dalam pemujaan), yajata (layak memperoleh perhormatan), yajus (sakral, retus, agama) dan yajña (pemujaan, doa, persembahan) yang semuanya ini memiliki arti sama dengan Brahma.

Yadnya (yajña), dapat juga diartikan korban suci, yaitu korban yang didasarkan atas pengabdian dan cinta kasih. Pelaksanaan yadnya bagi umat Hindu adalah satu contoh perbuatan Hyang Widhi yang telah menciptakan alam semesta dengan segala isinya ini dengan yadnya-Nya. Yadnya adalah cara yang dilakukan untuk menghubungkan diri antara manusia dengan Hyang Widhi beserta semua manisfestasi-Nya untuk memperoleh kesucian jiwa dan persatuan Atman dengan Paramatman.

Yadnya juga merupakan kebaktian, penghormatan dan pengabdian atas dasar kesadaran dan cinta kasih yang keluar dari hati sanubari yang suci dan tulus ikhlas sebagai pengabdian yang sejati kepada Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa).

Dengan demikian jelaslah bahwa yadnya mempunyai arti sebagai suatu perbuatan suci yang didasarkan atas cinta kasih, pengabdian yang tulus ikhlas dengan tanpa pamrih. Kita beryadnya, karena kita sadar bahwa Yang Widhi menciptakan alam ini dengan segala isinya termasuk manusia dengan yadnya-Nya pula. Penciptaan Hyang Widhi ini didasarkan atas korban suci-Nya, cinta dan kasih-Nya sehingga alam semesta dengan segala isinya ini termasuk manusia dan makhluk-makhluk hidup lainnya menjadi ada, dapat hidup dan berkembang dengan baik. Hyang Widhilah yang mengatur peredaran alam semesta beserta segala isinya dengan hukum kodrat-Nya, serta perilaku kehidupan makhluk dengan menciptakan zat-zat hidup yang berguna bagi makhluk hidup tersebut sehingga teratur dan harmonis. Jadi untuk dapat hidup yang harmonis dan berkembang dengan baik, maka manusia hendaknya melaksanakan yadnya, baik kepada Hyang Widhi beserta semua manifestasi-Nya, maupun kepada sesama makhluk hidup. Semua yadnya yang dilakukan ini akan membawa manfaat yang amat besar bagi kelangsungan hidup makhluk di dunia.

Di dalam pelaksanaan upacara yadnya, hal-hal yang patut diperhatikan adalah Desa, Kala dan Patra. Desa adalah menyesuaikan diri dengan bahan-bahan yang tersedia di tempat bersangkutan, di tempat mana upakara yadnya itu dibuat dan dilaksanakan, karena biasanya antara tempat yang satu dengan yang lainnya mempunyai cara-cara yang berbeda. Kala adalah penyesuaian terhadap waktu untuk beryadnya, atau kesempatan di dalam pembuatan dan pelaksanaan yadnya tersebut. Sedangkan Patra adalah keadaan yang harus menjadi perhitungan di dalam melakukan yadnya. Orang tidak dapat dipaksa untuk membuat yadnya besar atau yang kecil. Yang penting di sini adalah upakara dan upacara yang dibuat tidak mengurangi tujuan yadnya itu dan berdasarkan atas bakti kepada Hyang Widhi, karena di dalam bakti inilah letak nilai daripada yadnya tersebut.

Source : andira.puspitasharma

OM Shanti, Shanti, Shanti Om

Makna Ngembak Geni, Sehari Sehabis Nyepi

 

Makna Ngembak Geni, Sehari Sehabis Nyepi
Rahajeng Rahina Ngembak Geni. 

Sehari sesudah Hari Raya Nyepi merupakan Ngembak Geni, dimana dalam Bahasa Bali memiliki arti Ngembak yaitu, Bebas dan Geni adalah Api. Jadi, Ngembak Geni jika dirangkai bermakna bebas menyalakan api (dalam pengertian luas terbebas dan kembali beraktifitas seperti biasanya). 

Ngembak Geni Merupakan salah satu tahapan pelaksanaan Hari Raya Nyepi yaitu sehari setelah Nyepi. 

Pada hari Ngembak Geni Setiap Umat Hindu melakukan persembahyangan memohon kepada Ida Sang Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa) untuk di dipermudah segala sesuatu di tahun saka berikutnya, kebaikan dan Kerahayuan. 

Saat Hari Ngembak Geni juga dilakukan Dharma Santhi (berkunjung ke sanak keluarga), saudara, teman dan masyarakat. 

Untuk saling menyapa dan saling maaf-memaafkan, untuk tahun baru saka yang damai dan Shanti. 

Bukan Untuk Pesta: Hanya Sehari! Lakukan Tujuan Nyepi yang Baik

Bukan Untuk Pesta: Hanya Sehari! Lakukan Tujuan Nyepi yang Baik

Menuju hari suci Nyepi banyak masyarakat Hindu di Bali mendatangi pasar, supermarket, mall untuk memenuhi kebutuhan mereka saat hari suci Nyepi. Sudah seperti Galungan atau Kuningan, dimana ada yang lebat (pesta). Mari lakukan dan laksanakan hari berata penyepian dengan baik.  

Hari Raya Nyepi adalah hari pergantian tahun Saka (Isakawarsa) yang dirayakan setiap satu tahun sekali yang jatuh pada sehari sesudah tileming kesanga pada penanggal 1 sasih Kedasa. Nyepi memiliki filosofi dimana umat Hindu memohon kepada Tuhan, Ida Sang Hyang Widhi Wasa, untuk melakukan penyucian Buana Alit (manusia) dan Buana Agung (alam dan seluruh isinya). Nyepi mengandung arti sepi atau sunyi, dan dirayakan setiap 1 tahun saka. 

Pada saat Nyepi tidak boleh melakukan aktifitas seperti pada umumnya, seperti keluar rumah (kecuali sakit dan perlu berobat), menyalakan lampu, bekerja dan sebagainya. Dan tujuannya adalah agar tercipta suasana sepi, sepi dari hiruk pikuknya kehidupan dan sepi dari semua nafsu atau keserakahan sifat manusia untuk menyucikan Bhuwana Agung (alam semesta) dan Bhuwana Alit (manusia). 

Sebelum hari raya Nyepi, dilaksanakan serangkaian upacara dan upakara yang bermaksud agar Penyucian Buana Alit dan Buana Agung berjalan dengan lancar. Rangkaian upacara tersebut berbeda-beda, tergantung dari Genius Local Wisdom dan urun rembug masing-masing daerah serta kebijaksanaan yang ditetapkan bersama. Hari Raya Nyepi khususnya di Bali memiliki beberapa tahapan. Dimulai dari Upacara Melasti, Mecaru, dan Pengerupukan. Kemudian diikuti oleh puncak Hari Raya Nyepi itu sendiri. Dan terakhir disebut dengan Ngembak Geni. 1.Melasti, Mecaru, dan Pengerupukan Melasti Upacara Melasti atau bisa disebut Melis diadakan beberapa hari sebelum Nyepi. Pada saat ini segala sesuatu atau sarana persembahyangan di Pura-pura di bawa kelaut untuk disucikan. Pada saat Melasti, berbagai pretima atau benda yang disakralkan atau dikeramatkan akan disucikan dengan cara dibawa ke laut, sungai atau segara. Pada jaman dahulu, berbagai benda ini diarak dengan diusung di atas kepala.

Melasti = melelasti = nganyudang malaning gumi ngamet Tirta Amerta. Menghanyutkan kekotoran alam menggunakan air kehidupan. Segara (laut) dianggap sebagai sumber Tirtha Amertha (Dewa Ruci, Pemuteran Mandaragiri). Namun kemudian, seiring dengan perkembangan jaman, kearifan akal budi manusia melakukan modifikasi dengan membuat Jempana. Jempana adalah sebuah tempat yang kemudian di beri roda agar mudah diarak menuju laut. Setelah pretima disucikan, kemudian akan disemayamkan di Pura Desa hingga sehari setelah hari raya Nyepi berlalu, untuk kemudian berbagai pretima ini kembali ditempatkan pada pura masing-masing. Selambat-lambatnya pada tilem sore, pelelastian harus sudah selesai secara keseluruhan, dan pratima yang disucikan sudah harus berada di bale agung.

Mecaru/Tawur Mecaru atau bisa disebut Tawur, dilaksanakan pada hari Tilem Sasih Kesange (Bulan mati ke 9) yaitu sehari sebelum Nyepi. Merupakan upacara yang dilaksanakan di setiap rumah atau keluarga, desa, kecamatan dan sebagainya. Dengan membuat sesajen yang ditujukan kepada para Bhuta Kala atau bisa disebut hal-hal negatif agar pada nantinya tidak mengganggu kehidupan manusia. 

Umat Hindu melaksanakan upacara ”Buta Yadnya” di perempatan jalan dan lingkungan rumah masing-masing, dengan mengambil salah satu dari jenis-jenis Caru (semacam sesajian). Buta Yadnya itu masing-masing bernama Pañca Sata (kecil), Pañca Sanak (sedang), dan Tawur Agung (besar). Tawur atau pecaruan sendiri merupakan penyucian/pemarisuda (Buta Kala), dan segala ”leteh” (kekotoran) diharapkan sirna semuanya. ”Caru” yang dilaksanakan di rumah masing-masing terdiri dari nasi manca (lima) warna berjumlah 9 tanding/paket beserta lauk pauknya, seperti Ayam Brumbun (berwarna-warni) disertai ”tetabuhan” arak/tuak. Buta Yadnya ini ditujukan kepada Sang Buta Raja, Buta Kala dan Batara Kala, dengan memohon supaya mereka tidak mengganggu umat.

Pengerupukan 

Upacara Pengerupukan dilaksanakan sesaat setelah Mecaru, yaitu dengan menyebar (nasi) tawur, yaitu dengan membuat api atau obor untuk mengobori lingkungan rumah, menyemburi rumah dan pekarangan dengan mesiu sejenis bahan makanan, serta membunyikan atau memukul benda-benda apa saja seperti kentongan untuk menghasilkan suara ramai dan kegaduhan. Tahapan ini dilakukan sehingga diharapkan untuk mengusir para Bhuta Kala dari lingkungan rumah, pekarangan, dan lingkungan sekitar. 

Pada tingkat desa diadakan arakan Ogoh-ogoh yang merupakan perwujudan dari Bhuta Kala yang memiliki sifat negatif. Diarak keliling desa kemudian di bakar, tujuannya agar hal-hal yang berbau negatif itu lenyap dan tidak mengganggu kehidupan manusia.

Nyepi 

Keesokan harinya, pada Tilem Kesanga, tibalah Hari Raya Nyepi, pada saat Nyepi khususnya di Bali, semua dalam keadaan sepi. Tidak ada aktifitas seperti biasanya, pada hari ini dilakukan puasa Nyepi, karena pada saat itu diadakan Catur Brata Penyepian yang terdiri dari: 

  1. Amati Geni, yaitu tidak boleh menggunakan atau menyalakan api serta tidak mengobarkan hawa nafsu. 
  2. Amati Karya, yaitu tidak melakukan kegiatan kerja jasmani melainkan meningkatkan kegiatan menyucikan rohani. 
  3. Amati Lelungan, yaitu tidak berpergian melainkan melakukan mawas diri. 
  4. Amati Lelanguan, yaitu tidak mengobarkan kesenangan/hiburan melainkan melakukan pemusatan pikiran terhadap Ida Sanghyang Widhi.. 

Brata ini mulai dilakukan pada saat matahari “Prabrata” fajar menyingsing sampai fajar menyingsing kembali keesokan harinya (24 jam). Menurut umat Hindu, segala hal yang bersifat peralihan, selalu didahului dengan perlambang gelap. Sehingga Hari Raya Nyepi dapat dikatakan mengandung makna hari penyucian diri (manusia) dan alam semesta. Membuang segala kotoran atau segala hal negatif yang telah lampau untuk menyongsong tahun baru (saka). Dan memulai tahun baru dengan sesuatu yang baru, sesuatu yang positif tentunya. Semangat yang baru untuk mengarungi kehidupan selanjutnya. 

Dalam kesenyapan hari suci Nyepi ini kita mengadakan mawas diri, menyatukan pikiran, serta menyatukan cipta, rasa, dan karsa, menuju penemuan hakikat keberadaan diri kita dan inti sari kehidupan semesta. Lakukan Berata penyepian upawasa (tidak makan dan minum), mona brata (tidak berkomunikasi), dan jagra (tidak tidur). 

Ngembak Geni 

Ngembak Geni yang jatuh sehari setelah Nyepi (Ngembak Api), sebagai rangkaian terakhir dari perayaan Tahun Baru Saka. Dilaksanakan dengan mengadakan kunjungan antar keluarga maupun para tetangga dan kenalan. Saling memaafkan satu sama lain dengan memegang prinsip Tattwam Asi yaitu “aku adalah kamu dan kamu adalah aku“. Posisi kita sama dihadapan Tuhan, walaupun kita berbeda agama atau keyakinan hendaknya kita hidup rukun dan damai selalu. 

Dengan suasana baru, kehidupan baru akan dimulai dengan hati putih bersih.

Ini yang Terjadi! Jika Upacara Taur Kesanga Tidak Dilakukan!

Ini yang Terjadi! Jika Upacara Taur Kesanga Tidak Dilakukan!

Dalam lontar Sundarigama, dijelaskan jika umat Hindu tidak melakukan upacara tawur beserta prosesi lainnya akan bisa menimbulkan kehancuran dan kerusakan di alam semesta ini.

Penyakit merajalela, manusia bertingkah laku aneh dan kejam akibat dirasuki roh-roh halus. Sehinggamenimbulkan huru-hara dimana-mana, tumbuh-tumbuhan meranggas dan mati, bencana alam dimana-mana serta pemerintah mengalami krisis.

Karena itu, umat Hindu perlu membuat upacara untuk menghadapi sekaligus menetralisasi kekuatan-kekuatan yang menyebabkan timbulnya hal aneh. Sehingga alam semesta kembali normal, manusia hidup selamat dan sempurna. Pasalnya pada Tilem Kesanga, yang jatuh pada Sabtu, 13 Maret 2021 nanti adalah hari sakral dan keramat (tenget). Umat Hindu meyakini, pada Tilem Kesanga bisa terjadi peristiwa atau hal yang aneh, serta ajaib akibat kegelapan pikiran manusia.

Tilem Kesanga dikatakan malam gelap yang keramat, karena disebabkan pandangan dan keyakinan akan Tilem sebagai simbol kegelapan dan angka 9 sebagai angka ganjil tertinggi dan bernilai keramat. Sehari setelah Tilem Kesanga, atau pada hari pertama (tahun baru Bali/Kalender Bali) paroh terang bulan kesepuluh disebut hari suci Nyepi.

Pada hari suci ini, umat Hindu dilarang mengambil pekerjaan, menyalakan api, tidak bepergian, atau membuat keributan. Sesuai Catur Brata Penyepian yang berarti sepi dan sunyi, guna mengetahui rahasia batin dengan melakukan yoga semadi saat Nyepi.

Makna Nyepi adalah penjernihan batin. Setelah umat Hindu berhasil menghadapi dan sekaligus mengatasi puncak keganjilan, dengan cara mengadakan upacara tawur serta melakukan yoga semadi pada Tilem Kesanga.

Selanjutnya dengan mengosongkan pikiran dari segala bentuk ikatan duniawi, terutama pengaruh tujuh lidah api di dalam diri.

Umat Hindu menuju keheningan dan kesucian (yoga ameneng). Dalam kekosongan untuk dapat bersatu atau manunggal dengan Tuhan (Ida Sang Hyang Widhi Wasa). Hal ini sesuai dengan lambang angka 10 (kadasa), yang mengindikasikan tunggal dalam kekosongan. Kata kadasa kerap dianalogikan sebagai sesuatu yang bersih, suci, atau kedas.

Sehingga saat Nyepi, umat Hindu merenungi serta mensyukuri kehidupan yang telah lampau. Lalu menatap masa depan yang lebih baik. Dengan pikiran, hati, dan batin yang suci dan bersih.

Umat Hindu mulai menapak hidup dan kehidupan baru, sehingga hari suci Nyepi juga disebut tahun baru Saka.

Guna mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan lahir batin (jagadhita dan moksa). Serta terbinanya kehidupan yang berlandaskan satyam (kebenaran). Kemudian siwam (kesucian) dan sundaram (keharmonisan/keindahan). Dimana Catur Brata Penyepian telah usai.

Dilanjutkan dengan Dharma Shanti yaitu mengunjungi sanak saudara untuk bersilaturahmi dan bersyukur atas apa yang telah diberikan oleh Ida Sang Hyang Widhi Wasa.

Di sinilah berlaku konsep ‘Tat Twam Asi’ yang bermakna, aku adalah kamu dan kamu adalah aku. Serta konsep ‘Waisudewa Khutumbhakam’ artinya kita adalah bersaudara.

Semuanya harus dilandasi dengan sradha atau keyakinan yang tinggi dalam memuja kekuatan Ida Sang Hyang Widhi Wasa.

Tuhan Yang Maha Esa, dalam upaya bersyukur dan mencapai keseimbangan alam semesta baik bhuana agung maupun bhuana alit.

Sehingga mencapai ‘Moksartham Jagadhita Ya Ca Iti Dharma.

Pura Melanting dan 5 Pura Tempat Memohon Rezeki di Bali

 

Pura Melanting dan 5 Pura Tempat Memohon Rezeki di Bali

Pura Melanting adalah salah satu pura Kahyangan Jagat di Bali, menempati posisi penting dalam deretan nama-nama pura yang ada di Bali yang terletak di kawasan Bali Utara, di Desa Banyupoh, Kec. Grokgak, Kab. Buleleng

Pura ini merupakan pura yang bersifat fungsional karena sebagai tempat untuk memuja Ida Bhatari Melanting atau Dewi Melanting untuk memohon kemakmuran, kesuburan, keselamatan dan agar dilancarkan dalam usaha dagang.

Biasanya orang yang kesini juga akan tangkil ke Pura Pulaki yang jaraknya tak jauh dari sini. Pura berstana ibundanya Danghyang Biyang Patni Keniten, istri dari Pendeta suci dari Jawa yang moksa di Pura Uluwatu. Dang Hyang Nirartha dikenal juga dengan gelar Dang Hyang Dwijendra dan Pedanda Sakti Wawu Rauh

Deretan 5 pura wajib dikunjungi menurut pewisik beserta makna yang tak banyak orang tau:

  1. Pura Melanting : Ijin dagang / usaha
  2. Pura Rambut Siwi : ijin / pemberkatan uangnya ( dari hasil usaha ) 
  3. 3lPura Petitenget: ijin peti / brangkas uang hasil usaha agar terkumpul
  4. Pura Uluwatu: ketenangan batin dan fikiran dalamm kehidupan 
  5. Pura Silayukti: setelah dpt ijin usaha, uang, peti, ketenangan dan hasil yg dirasa cukup / memuaskan baru bersila / mengucapkan rasa syukur berlebih kesini.

Urutan diatas tak wajib dilakukan dalam sehari penuh, mengingat jarak dan waktu. Biasanya dalam sehari / sekalian jalan, pemedak akan mengunjungi Pura Melanting ( + Pura Pulaki, Pura Pabean ), dan Pura Rambut Siwi. Barulah ke pura-pura berikutnya menurut waktu dan keikhlasan. 

Setelah semuanya merasa cukup, rezeki, usaha lancar, hati, fikiran tenang, barulah umat-umat Hindu melakukan persembahyangan ke pura-pura lain.