Fakta! Orang Bali, Jual Tanah Beli Bakso


Tentu kita sangat hafal dengan goyunan "orang Jawa jual bakso untuk beli tanah, orang Bali jual tanah untuk beli bakso". Banyak pewacana yang secara ekstrem mengkhawatirkan bahwa suatu saat nanti orang Bali tak lagi memiliki tempat berpijak di desanya sendiri, orang Bali hanya jadi penyewa, orang Bali tak lagi menjadi bos di negerinya sendiri.

Gede Toya menulis bahwa orang Bali telah mengalami perubahan orientasi terhadap keberadaan tanah. Tanah secara tradisional memiliki kompleksitas makna bagi orang Hindu Bali yang hidup dengan kebudayaan agraris. Tanah adalah penghidupan ekonomi sekaligus Dewi Sri yang sakral. Seiring pesatnya pembangunan modern, orientasi ini perlahan bergeser ke arah nilai ekonomi semata, yang mana dapat dilihat dari semakin banyaknya tanah yang dijual, terutama tanah sawah.


Dari dua kasus di atas bisa dijadikan sampel bagaimana gejolak orientasi pemikiran, kebutuhan serta juga pandangan orang Bali terhadap tanah. Di satu sisi orang Bali tengah berjuang untuk "merebut" tanah, dan seakan paradoks di sisi lain orang Bali tengah "menyerahkan" tanahnya.

Secara nilai, tanah dalam kedua kasus ini berbeda. Yang pertama adalah tanah sétra yang bisa dikatakan tidak memiliki nilai produksi secara ekonomi. Ia adalah tanah yang lebih memiliki nilai religi, sakral, spiritual, tanah pijakan terakhir bagi manusia di dunia minimal secara badaniah. Sedangkan tanah yang kedua mengandung hampir segala potensi, baik ekonomi, sosiokultural, politik maupun religi.

Berhubungan dengan orientasi – dan kemudian karakter sikap – orang Bali terhadap keberadaan tanah, barangkali memang ada perubahan, paling tidak jika dilihaat dari pengaruh modernisme. Namun ditilik dari pengaruh yang sama (modernisme) barangkali pula ada yang tidak berubah sama sekali, dari generasi ke generasi.

Dari dua fenomena yang seakan paradoks di atas, yaitu "menyerahkan" dan "merebut" tanah, ada hal yang sama yang ingin dicapai atau dicita-citakan. Keduanya ingin meraih "sesuatu". Fenomena "menyerahkan" tentu saja ingin meraih uang sebagai ganti dari bidang tanah yang diserahkannya. Dan "merebut" tidak lain ingin meraih tanah.

Uang bagi orang Bali sekarang adalah nilai ekonomi semata. Ia untuk dibelanjakan. Untuk memenuhi konsumsi berbagai kebutuhan hidup. Walaupun kemudian ada untuk kebutuhan ritual, ia tetap diperhitungkan secara ekonomi – inilah yang berbeda dengan orientasi orang Bali dulu terhadap uang. Modernisme memang telah "mendidik" orang Bali untuk konsumtif dengan ukuran nilai uang. Konsumsi tidak dipandang dari nilai atau esensi yang terkandung dalam sesuatu yang dikonsumsi. Nilai atau esensi itu telah diuangkan, ditakar dengan nilai uang.

Ketika nilai suatu konsumsi ditakar dengan nilai uang, maka kemudian yang lahir bukan esensi konsumsi, namun citra, gaya, prestise, gengsi. Bergeserlah kemudian pandangan terhadap esensi itu sehingga perlahan tapi pasti esensi yang sebenarnya terkesampingkan dan tergantikan oleh citra. Pendeknya, citra diamini sebagai esensi itu sendiri. Lihatlah misalnya, ketika bangunan pura yang megah dicitrakan sebagai kemegahan iman para panyungsung-nya.

Modernisme memang lihai dalam menanamkan iman tentang citra. Citra adalah produk andalan dari modernisme. Citra yang sebenarnya merupakan esensi dari gaya hidup kemudian mengantarkan orang Bali yang menganutnya – secara terang-terangan atau diam-diam – untuk mengamini bahwa gaya hidup adalah pemaknaan terhadap kehidupan. Gaya hidup adalah hidup itu sendiri.

Beralih pada fenomena "merebut", yang tidak lain ingin meraih tanah, pun sebenarnya bisa diusut sehingga menemukan muara yang sama dengan kasus "menyerahkan", yaitu gaya hidup.

Sebuah konstruksi organisasi sosial, banjar sebagai contoh dalam fenomena ini, memerlukan perangkat-perangkat pemenuhan kebutuhan lahir dan batin para anggotanya. Sétra misalnya, merupakan suatu kebutuhan dalam konstelasi kehidupan adat dan agama orang Bali. Sétra diadakan untuk memenuhi tuntutan siklus alamiah kehidupan manusia, dalam hal ini kematian, yang kemudian oleh agama Hindu Bali diberikan struktur dan cara tertentu untuk mencapai pemaknaan spiritual.

Namun orang Bali kemudian tidak hanya ingin memenuhi struktur tersebut dengan "polos" atau hanya "sedemikian adanya" atau sekadar untuk mencapai esensinya saja. Kembali di sini pengaruh modernisme, dengan citra sebagai produk andalannya, mempengaruhi generasi orang Bali untuk "berkreativitas" sehingga segala sesuatunya mesti di-payasin dengan citra. Barangkali pengaruh modernisme ini lumayan mudah masuk ke diri orang Bali karena konon orang Bali terkenal kreatif dalam memberi pernik terhadap segala sesuatu di lingkungannya sehingga tampak nyeni.

Maka sétra sebagai salah satu perangkat adat dan agama dari organisasi banjar pun tak lepas dari citra. Memiliki sétra sendiri adalah gengsi yang tinggi dibandingkan menumpang di sétra banjar atau desa lain. Apalagi sétra itu luas. Hal ini menumbuhkan kebanggaan tertentu, prestise tersendiri, bagi anggota organisasi terutama dalam hal berhubungan antar-banjar, dan terkhusus lagi adalah persaingan gengsi antar-banjar. Ini mirip dengan persaingan terselubung antardesa dalam hal saling memegahkan bangunan tiga pura dalam konsep Tri Murti.

Sejarah kepemilikan tanah di Bali, sebagaimana juga di wilayah geografis lainnya di dunia, sebagian besar adalah sejarah perebutan citra. Lihatlah bagaimana konflik perebutan wilayah perbatasan. Merebut tanah beserta keuntungan ekonomi yang terkandung di dalamnya adalah perebutan yang bermuara pada pencapaian citra atau gaya hidup yang tinggi dalam kontestasi kehidupan modern. Selalu ada semangat yang luar biasa menggebu dalam hal perebutan tanah.

Citra, gengsi, prestise sebagai bagian dari gaya hidup adalah salah satu akar masalah dari berbagai kasus polemik yang terjadi di Bali.

Ini Makna Hari Raya Kuningan dan Waktu yang Tepat Untuk Sembahyang



Payanadewa.com
Hari Raya Kuningan merupakan bagian dari rangkaian Hari Raya Galungan dalam Hindu, yang jatuh pada 10 hari setelah Galungan, yaitu pada Saniscara (Sabtu) Kliwon Wuku Kuningan. Kata Kuningan memiliki makna “kauningan” yang artinya mencapai peningkatan spiritual dengan cara introspeksi agar terhindar dari mara bahaya.

Dikutip dari Bhagawan Dwija mengatakan makna dari Kuningan adalah mengadakan janji/pemberitahuan/nguningang baik kepada diri sendiri, maupun kepada Ida Sanghyang Parama Kawi, bahwa dalam kehidupan kita akan selalu berusaha memenangkan dharma dan mengalahkan adharma (antara lain bhuta dungulan, bhuta galungan dan bhuta amangkurat).
Pada Hari Raya Kuningan banten atau sesajen pada setiap desa belum tentu sama, karena memang banten itu beraneka ragam versinya. Tapi umumnya pada hari Raya Kuningan menggunakan upakara sesajen yang berisi simbul tamiang dan endongan, di mana makna tamiang memiliki lambang perlindungan dan juga juga melambangkan perputaran roda alam.

Endongan maknanya adalah perbekalan. Bekal yang paling utama dalam mengarungi kehidupan adalah ilmu pengetahuan dan bhakti (jnana). Sementara senjata yang paling ampuh adalah ketenangan pikiran. Sarana lainnya, yakni ter dan sampian gantung. Ter adalah simbol panah (senjata) karena bentuknya memang menyerupai panah. Sementara sampian gantung sebagai simbol penolak bala.

Mengenai waktu persembahyangan pada Hari Raya Kuningan, Bhagawan Dwija menjelaskan pada Hari Raya Kuningan, Ida Sanghyang Widhi Wasa memberkahi dunia dan umat manusia sejak jam 00 sampai jam 12. Jadi di saat itu sangat tepat kita datang menyerahkan diri kepada-Nya mohon perlindungan. Kenapa batas waktu sampai jam 12 siang, dikarenakan energi alam semesta (panca mahabhuta : pertiwi, apah, bayu, teja, akasa) bangkit dari pagi hingga mencapai klimaksnya di bajeg surya (tengah hari) jika lewat dari jam 12 Dewa Berung telah lewat bajeg surya disebut masa pralina (pengembalian ke asalnya) atau juga dapat dikatakan pada masa itu energi alam semesta akan menurun dan pada saat sanghyang surya mesineb (malam hari) adalah saatnya beristirahat (tamasika kala).

Pada Hari Raya Kuningan juga dibuat nasi kuning sebagai lambang kemakmuran dan dihaturkan sesajen-sesajen sebagai tanda terimakasih dan suksmaning idep kita sebagai manusia  menerima anugerah dari Sang Hyang Widhi.

Dapat diambil kesimpulan melalui perayaan Hari Raya Kuningan inilah kita ingatkan untuk selalu ingat menyamabraya, meningkatkan persatuan dan solidaritas sosial, dan umat diharapkan selalu ingat kepada lingkungan sehingga tercipta harmonisasi alam semesta beserta isinya serta tidak lupa akan ingat mengucap syukur kepada Tuhan, Ida Sang Hyang Widhi Wasa atas segala karunia-Nya.

Semoga artikel ini dapat bermanfaat untuk semeton. Jika terdapat penjelasan yang kurang lengkat atau kurang tepat mohon dikoreksi bersama. Suksma…

(Sumber: Berbagai Sumber)

Virus Corona, Inilah Ramalan Tetua Bali Menjadi Kenyataan

Virus Corona, Inilah Ramalan Tetua Bali Menjadi Kenyataan


VIRUS CORONA dan BHUTA DASANGKARA BHUMI
(ramalan tetua Bali yang menjadi kenyataan)
..............................................................................

Awal tahun 2020 disambut oleh cuaca ekstrim, panas membara bahkan hujan banjir, belum lagi berbagai isu penyakit yang bersumber dari virus.

Menurut perhitungan WARIGA bahwa awal tahun 2020 bertepatan dengan sasih Ala (musim yang dianggap kurang baik) mulai dari sasih Ka enem, kapitu, kaulu, dan kasanga, belum lagi bertepatan dengan siklus rahinan jagat Galungan-kuningan dan Tawur, Nyepi. Kedua hari raya besar ini disertai oleh turunnya berbagai kekuatan Bhuta-Kala yang membawa berbagai efek buruk.

Perhatikan bagaimana siklus “rerahinan Galungan” jatuh pada tanggal 19 februari 2020 pada rentang ini kekuatan Bhuta berwujud TIGA BHUCARI akan memberi pengaruh tidak baik, selama “uncal balung”. Dan bukan kebetulan hari raya Nyepi yang diawali dengan TAWUR SASIH KESANGA sebagai puncak kekuatan Buta-kala dan Nyepi sebagai tahun baru Isaka jatuh pada hari yang disebut Pegat Wakan, budha kaliwon pahang (masih pada rentang batas waktu galungan kuningan).

Jadi menurut hitungan wariga berbagai  cuaca buruk, virus penyakit, “grubug”yang melanda awal tahun ini disebabkan oleh siklus alam “pamigrahaning sasih” kemudian  diperparah oleh perilaku manusia yang tidak bersahabat dengan alam bahkan malah merusak alam.

 Lontar Bhasundari Tattwa menyebut berbagai ketidak seimbangan alam adalah akibat buruk dari KALA yang melahirkan BHUTA yang disebut BHUTA-DASANGKARA-BHUMI, yaitu manifestasi kala yang berwujud 10 rupa:

1. BHUTA MASTAKA: merasuki segala binatang yang memiliki mulut, memakan segala jenis, bagian tumbuh-tumbuhan. Menyebabkan tumbuhan tidak bisa dijaga, dirawat.

2. BHUTA ANGGA: merasuki segala binatang yang berjalan dengan dada, tubuh, MERACUNI (wisya) segala jenis tumbuhan.

3. BHUTA TANGAN: merasuki segala jenis binatang yang memiliki tangan, mampu mengambil lalu memakan segala jenis biji-bijian (sarwa wija), umbi-umbian.

4. BHUTA PUPU: merasuki segala jenis binatang yang memiliki kaki, menyebabkan rusak daun segala jenis tumbuhan.

5. BHUTA AMATA: merusak segala jenis tumbuhan yang memiliki SOCA (mata tunas pada batang), misalnya bambu dll, sehingga mati buku (mati ruas).

6. BHUTA TUTUK: merasuki segala jenis cacing (kermi), memakan bagian daun segala macam tumbuhan, sehingga daunya busuk.

7. BHUTA LET: memunculkan sejenis ANTIGA (telor, bibit) yang dapat merusak akar dan daun, sehingga tumbuh-tumbuhan menjadi mati.

8. BHUTA IRUNG: merasuki segala jenis bintang yang menghisap sari, hingga dapat menghancurkan bunga berbagai jenis tumbuhan.

9. BHUTA PURUS: merasuki segala jenis binatang yang dapat melakukan hubungan senggama, kemudian menetaskan telor kemudian menjadi ulat yang dapat merusak tumbuh-tumbuhan.

10. BHUTA TALINGA: merasuki segala jenis binatang yang berada didalam rongga tanah, hingga merusak umbi, akar berbagai tumbuhan.

Ketika berbagai tumbuhan, binatang telah dirasuki oleh kesepuluh wujud Kala, hingga menghasilkan WISYA (racun, bakteri, virus, penyakit), maka tentunya akan menyebabkan seluruh manusia yang bergantung pada “sarwa Prani”, berbagai mahluk hidup lainnya akan sengsara, sakit bahkan meninggal secara mengerikan.

Semacam siklus berantai, tumbuhan dirasuki Wisya para Bhuta (kala), kemudian binatang yang memakan tumbuhan akan sakit bahkan binasa, lalu manusia yang mengkonsumi, berinterakasi dengan mereka pun sangat mudah tertular WISYA Bhuta Dasangkara Bhumi, tiada lain manifestasi KALA.

Bisa jadi VIRUS CORONA yang berkembang sedemikian pesat beberapa minggu ini adalah akibat dari salah satu manifestasi KALA berwujud BHUTA ANGGA (merasuki binatang yang berjalan dengan dada yaitu Ular). Mengingat kesimpulan para ahli pada kasus “grubug” di Wuhan china salah satu penyebabnya diperkirakan akibat mengkonsumsi daging ular (alaku dada). Bhuta Angga salah satunya berwujud ular, pada tubuhnya terdapat benih WISYA (racun, penyakit) yang mampu meracuni tumbuhan, tentunya berefek kepada manusia yang mengkonsumsi tumbuhan apalagi mengkonsumsi daging ular secara LANGSUNG.

Ritus “caruning sasih” adalah salah satu upaya NISKALA yang sangat penting dilakukan agar terhindar dari pengaruh KALA berwujud Bhuta Dasangkara Bhumi tentu dilengkapi dengan berbagai upaya SEKALA (bersifat nyata) dengan selalu menjaga kebersihan, hindari merusak alam.

"Rahajeng nyanggra Galungan Kuningan lan tahun baru Isaka 1942, mari jadikan momentum langka ini sebagai jalan introspeksi diri, agar lebih bisa menjaga keseimbangan alam, hentikan segala upaya pengerusakan alam agar terbebas dari berbagai pengaruh buruk “pamigrahaning sasih”.
..............................................................................

Paramsuksma
IBM. Bhaskara.

Wanita Bali Perkasa, Ini 4 Faktanya


Perempuan Bali layak disebut sebagai wanita perkasa. Sebab mereka tidak hanya mengerjakan tugas sebagai seorang perempuan namun pekerjaan laki-laki juga.

Saat berwisata ke Bali, Urbanreaders jangan kaget kalo melihat perempuan bekerja sebagai tukang parkir, buruh bangunan, buruh angkut pasir, hingga pekerjaan berat lainnya.

Selain mengerjakan pekerjaan kasar itu, mereka juga tetap mengurusi rumah tangga.

Kegiatan upacara adat juga tidak dilupakan selain melakukan segudang aktivitas kewajiban tersebut.

Lantas kalau perempuan di Bali bekerja keras seperti itu, ke mana para kaum laki-laki? Itu pertanyaaan yang sering muncul guys.

Baca Juga: Hargai Dewa Indra, Akhir Juni Masyarakat Bali Gelar Perang Pandan

Sebenarnya, tugas laki-laki dan perempuan di Bali cukup seimbang.

Bali sendiri menganut sistem patrilineal, yakni mengikuti garis keturunan pria. Ketika menikah, maka wanita akan mengikuti sang suami dan tinggal di rumahnya.

Banyak orang melihat praktik selama ini perempuan Bali mengerjakan pekerjaan berat sementara sang suami hanya hidup santai.

Laki-laki Bali biasa digambarkan dengan suka minum-minuman keras dan berjudi.

Padahal, tidak semua berlaku demikian. Walaupun kenyataannya, ada beberapa laki-laki yang memang gemar melakukan aktivitas berjudi dan mabuk-mabukan.

Tetapi, bukan itu yang menjadikan alasan perempuan di Bali bekerja keras.

Baca Juga: Nasi Jinggo khas Bali: Nasi Penyelamat Netizen Low-Budget

Perempuan di Bali memang secara budaya telah diajarkan sejak kecil untuk bekerja keras.

Sejak kecil di keluarganya, mereka telah dibebankan untuk bisa menghaturkan sesajen, memasak, hingga bekerja.

Nah untuk lebih mengenal perempuan Bali, berikut fakta-fakta yang harus kalian simak, guys.

1. Perempuan Bali Pekerja Keras

Seperti yang dijelaskan di atas, perempuan Bali sangatlah bekerja keras karena mampu melakukan banyak kegiatan dalam sehari.

Mulai dari urusan rumah tangga, melakukan upacara adat, hingga melakukan pekerjaan berat layaknya pria.

Semua hal itu dilakukan secara ikhlas, sebab memang telah menjadi budaya bahwa perempuan di bali diajarkan tidak boleh malas-malasan.

2. Perempuan Bali Itu Setia

Nah, satu lagi yang menjadikan perempuan Bali patut diancungi jempol yakni kesetiaan.

Sistem patrilineal yakni garis keturunan berada pada laki-laki menjadikan perempuan bali harus meninggalkan keluarganya dan tinggal di rumah sang suami.

Di rumah aslinya, perempuan bali sudah tidak memiliki hak maupun kewajiban. Ketika menikah, perempuan bali akan mengabdikan diri pada suaminya.

Baca Juga: Festival Layang-Layang Tradisional Bali: Rasa Syukur Pada Dewi Sri

3. Memiliki kesenian tinggi dan kreatif

Hampir semua perempuan di Bali diwajinkan belajar menari.

Belajar menari seperti sudah menjadi kewajiban di Bali karena dalam setiap upacara adat akan disuguhkan tari-tarian.

Kalaupu tidak belajar menari, mereka juga diajarkan seni lain seperti menggambar maupun mengukir.

Tidak heran, jika sebagaian besar perempuan di Bali punya darah seni.

4. Sangat Religius

Perempuan Bali sejak kecil sudah diajarkan untuk beryadnya seperti elakukan persembahyangan maupun menghaturkan sesajen.

Dalam rumah tangga, kewajiban menghaturkan sejaken biasanya dilakukan oleh perempuan.

Gimana, masih menganggap remeh perempuan Bali?

Tidak Pernah Otonan dan Mebayuh? Ini Dampaknya


Tidak Pernah Otonan dan Mebayuh? Ini Dampaknya

Dalam tradisi Hindu di Bali terdapat upacara Mebayuh Otonan. Mebayuh Otanan memiliki makna untuk menyeimbangkan dualitas dari pengaruh-pengaruh hari kelahiran seorang anak, karena kita menyadari setiap kelahiran membawa dualitasnya masing-masing.
Menurut buku wariga agung, Mebayuh bisa diketegorikan dalam dua klasifikasi ;

Mebayuh yang bersifat reguler atau berkelanjutan yang dilaksanakan setiap perubahan status, misalnya dari staus anak – anak menjadi remaja, dari status remaja menjadi dewasa (menikah), dari status dewasa menjadi orang tua, dan dari status menjadi orang tua menjadi kakek atau nenek.

Mebayuh yang dilaksanakan karena kondisi tertentu, misalnya kelainan jiwa, terkena kesakitan, sering menemui ala atau kecelakanaan dan hal – hal yang bersifat marabahaya lainnya.

Menurut sastra Lontar Jyotisha mebayuh atau metubah atau mebebangan untuk mengurangi keburukan dan menambah kebaikan maka upacara itu dilakukan pada saat otonan yang bersangkutan menurut perhitungan: wuku, sapta wara, dan panca wara.

Untuk pelaksaan otonan menurut Ida Pandita Mpu, kalau otonan disertai dengan mebayuh otonan dilaksanakan di Hyang Guru.Kalau otonan banten ayabannya boleh dikurangi pakai ayaban tumpeng li atau ayaban tumpeng pitu,kalau belum tanggal gigi banten sambutannya dan banten janganannya harus tetep ada.
Apakah dampaknya jika selama hindu tidak pernah melakukan Otonan Mebayuh?

Dikutip dari Bhagawan Dwija di gedetoya.blogspot.com menyebutkan
Si anak bisa sakit-sakitan, hidupnya sial, tidak punya teman, suka bingung, gelisah, bahkan bisa meninggal. Semua upacara manusa yadnya adalah kewajiban ortu agar anaknya sehat sejahtera lahir-bathin.

Jika ingin mengetahui jenis mebayuh yang cocok, menurut Ida Pedanda Made Gunung  disarankan agar berkonsultasi langsung dengan pedanda atupun sulinggih yang lain. Disamping itu, agar tidak membingungkan dan tidak mengurangi keyakinan akan banten mebayuh tersebut, maka saat menanyakan mengenai banten mebayuh kepada pemangku atupun sulinggih, maka umat berhak menanyakan darimana sumber sastra/ lontarnya. Jika banten mebayuh tersebut sudah sesuai dengan salah satu sastra/lontar maka itu wajib diyakini kebenaranya.

Semoga artikel ini dapat bermanfaat untuk semeton. Jika terdapat penjelasan yang kurang lengkap atau kurang tepat, mohon dikoreksi bersama. Suksma…


Dikutip dari beberapa sumber inputbali.com sejarahhindubali

Sejarah: Pasek Kayu Selem di Tanah Bali


Pasek Kayu Selem di tanah Bali

Berawal pada kisah perjalanan Mpu Semeru datang ke tanah Bali hendak menghadap Bhatara Hyang Putrajaya di Besakih. Beliau ke Bali seorang diri tanpa pengiring/pengikut , menyusuri pegunungan di tanah Bali. Pertama beliau tiba di Kuntulgading (Kedisan), dan meneruskan perjalanan hingga tiba di daerah Tampurhyang (Songan). Indah memang daerah itu, maka terpesonalah Mpu Semeru, udaranya sejuk menyegarkan.

Beristirahatlah Mpu Semeru di Tampurhyang, kebetulan ada mata air suci disana, sejuk nan bersih, beliau mandi disitu. Usai beliau mandi, pandangannya tertunbuk pada sebuah tonggak kayu asam (celagi) yang hitam lantaran bekas terbakar. Konon dengan kasidhi ajnanan dan kekuatan panca bhayunya, tonggak kayu itu diciptakan menjadi seorang manusia. Maka terjelmalah seorang manusia dari kayu celagi, memang demikian adanya. Selanjutnya sang manusia celagi di berikan aneka pengetahuan kesucian kebhatinan hingga akhirnya dapat dikatakan Sang Manusia Celagi berubah status menjadi seorang Mpu. Mpu Dryakah demikian namanya, Mpu Dryakah merupakan Bhujangga (pandhita) bagi orang Bali Aga.


Dikisahkan juga pada suatu ketika, dihari yang dianggap baik Mpu Semeru membisikkan sesuatu di telinga Mpu Dryakah, beliau mengucapkan Sanghyang Ongkaramantra. Sejak saat itu Mpu Dryakah diganti gelarnya menjadi Mpu Kamareka, guna menghadap Bhatara Hyang Putrajaya di Besakih dan Bhatara Hyang Gnijaya di Gunung Lempuyang. Entah berapa waktu berlalu Mpu Semeru telah dapat kembali ke pulau Jawa, dan pada hari Jum’at Keliwon wara Pujut, purnama sasih kawolu candra Sangkala Jadma Siratmaya Muka, 912 kembali datang ke tanah Bali langsung menuju Tampurhyang (Songan). Beliau disambut oleh Mpu Kamareka beserta istri. Saat itu ada lagi amanat Mpu Semeru pada Mpu Kamareka, agar Mpu Kamareka baik-baik memegang Sanghyang Ongkara Dyatmika, dan disuruh melanjutkan kepada semua keturunannya. Oleh karena kelak banyak keturunan Mpu Kamareka yang tersebar di tanah Bali agar juga diberitahu supaya taat dengan tugas dan kewajiban. Ditegaskan juga setelah lewat dari tiga keturunan Mpu Kamareka, mereka disebut Arya Pasek Kayu Selem, dan bila memiliki kemampuan boleh mujanggain (berhak menjadi pandhita).


Setelah sekian waktu berlalu, dikisahkan Mpu Kamareka meninggal dunia, pada saat pembakaran jenazahnya para putra Mpu Gnijaya yakni Sang Sapta Rsi (Mpu Ketek, Mpu Kananda, Mpu Wiradnyana, Mpu Withadharma, Mpu Ragarunting, Mpu Prateka, dan Mpu Dangka) yang berparahyangan di Kuntuliku, Jawa di mohon datang ke tanah Bali. Sang Sapta Rsi melakukan pemujaan pada upacara pembakaran jenazah Mpu Kamareka. Demikian seterusnya, setiap upacara yang digelar keturunan Mpu Kamareka selalu dipuja oleh keturunan Mpu Gnijaya. Mpu Kamarekalah yang menjadi cikal bakal dari warga Pasek Kayuselem (Ki Kayuselem, Ki Celagi, Ki Tarunyan, dan Ki Kayuan) di tanah Bali.

Penunggun Karang, Pembangunan dan Penempatannya yang Benar



Di Bali Penunggun Karang atau juga disebut sebagai Palinggih Pangijeng, merupakan salah satu tempat suci pekarangan rumah yang berfungsi sebagai sedahan penjaga karang atau palemahan beserta penghuninya agar senantiasa berada dalam lindunganNya, tentram, rahayu sekala niskala.

Penunggun Karang dalam Sastra Dresta disebut Sedahan Karang (di perumahan) untuk membedakan dengan Sedahan Sawah (di sawah) dan Sedahan Abian (di kebun/ tegalan/ abian).

Pembangunan Penunggun Karang

Dalam lontar Kala Tattwa disebutkan bahwa Ida Bethara Kala bermanifestasi dalam bentuk Sedahan Karang/ Sawah/ Abian dengan tugas sebagai Pecalang, sama seperti manifestasi beliau di Sanggah Pamerajan atau Pura dengan sebutan Pangerurah, Pengapit Lawang, atau Patih.

Di alam madyapada, bumi tidak hanya dihuni oleh mahluk-mahluk yang kasat mata, tetapi juga oleh mahluk-mahluk yang tidak kasat mata, atau roh.

Roh-roh yang gentayangan misalnya roh jasad manusia yang lama tidak di-aben, atau mati tidak wajar misalnya tertimbun belabur agung (abad ke 18) akan mencari tempat tinggal dan saling berebutan.Untuk melindungi diri dari gangguan roh-roh gentayangan, manusia membangun Palinggih Sedahan.

Penempatan Penunggun Karang

Penunggun Karang dapat ditempatkan dimana saja asal pada posisi “teben” jika yang dianggap “hulu” adalah Sanggah Kemulan.

Karena fungsinya sebagai Pecalang, sebaiknya berada dekat pintu gerbang rumah. Jika tidak memungkinkan boleh didirikan di tempat lain asal memenuhi aspek kesucian.

Yang perlu diperhatikan, bangunan Palinggih Sedahan harus memenuhi syarat:

Pondamennya batu dasar terdiri dari dua buah bata merah masing-masing merajah “Angkara” dan “Ongkara”

Sebuah batu bulitan merajah “Ang-Mang-Ung”; berisi akah berupa tiga buah batu: merah merajah “Ang”, putih merajah “Mang”,dan hitam merajah “Ung” dibungkus kain putih merajah Ang-Ung-Mang

Di madia berisi pedagingan: panca datu, perabot tukang, jarum, harum-haruman, buah pala, dan kwangen dengan uang 200, ditaruh di kendi kecil dibungkus kain merajah padma denganpanca aksara diikat benang tridatu

Di pucak berisi bagia, orti, palakerti, serta bungbung buluh yang berisi tirta wangsuhpada Pura Kahyangan Tiga.

Persyaratan ini ditulis dalam Lontar Widhi Papincatan dan Lontar Dewa Tattwa. Jika palinggih sedahan tidak memenuhi syarat itu, yang melinggih bukan Bhatara Kala, tetapi roh-roh gentayangan itu antara lain Sang Butacuil.

Jika melaspas atau ngelinggihan membutuhkan kepekaan dari seorang pinandita/pandita untuk tahu siapa yang menjadi penguasa tempat itu. Semua penguasa alam seperti Hyang Bahu Rekso, diketuai oleh Deva Ganesha, jadi Hyang Bahu Rekso dikelompokkan ke dalam GANA BHALA (pasukan Gana),

Jadi kalau di rumah menstanakan Ganesha itu sangat baik karena Ganesha meiliki multifungsi diantaranya adalah:

Sebagai VIGHNASVARA:
Penghalau segala rintangan (OM VAKTRA TUNDA MAHA KAYA SURYA KOTI SAMAPRABHA NIRVIGHNA KURUME DEVA SARVA KARYESU SARVADAM). makanya para Balian meuja Beliau agar dapat menghilangkan penyakit. Sebagai SIDDHI DATA: sebagai pemberi kesuksesan, (SARVA KARYESU SARVADAM).

Sebagai VINAYAKA:
Lambang kecerdasan (intelek), makanya dijadikan simbol pengetahuan, dan baik untuk anak-anak.

Sebagai BUDHIPRADAYAKA:
Memantapkan kebijaksanaan setiap Vaidika Dharma (pencari kebenaran),

Sebagai LAMBODARA:
Sumber kemakmuran. Akan lebih baik kalu di Penunggu Karang dilinggihkan Arca Ganesha (devanya para Bahu Rekso), daripada tidak tahu siap yang distanakan.

Penunggun Karang dalam Lontar Asta Kosala Kosali dan Asta Bhumi

Dalam perhitungan dasar Asta Bhumi, pekarangan rumah biasanya dibagi menjadi sembilan, yakni dari sisi kiri ke kanan; nista, madya dan utama serta dari sisi atas ke bawah; nista, madya dan utama. seperti gambar disamping. sehingga terdapat 9 bayangan kotak pembagian pekarangan rumah. adapun pembagian posisi tersebut antara lain:


  1. Posisi utamaning utama adalah tempat “Sanggah Pemerajan”
  2. Posisi madyaning utama adalah tempat “Bale Dangin”
  3. Posisi nistaning utama adalah tempat “Lumbung atau klumpu”
  4. Posisi madyaing utama adalah tempat “Bale Daje atau gedong”
  5. Posisi madyaning madya adalah tempat “halaman rumah”
  6. Posisi nistaning madya adalah tempat “dapur atau pawon / pasucian”
  7. Posisi nistaning Utama adalah tempat “Sedahan Karang"
  8. Posisi nistaning Madya adalah tempat “bale dauh, tempat tidur”
  9. Posisi nistaning Nista adalah tempat “cucian, kamar mandi dll” biasanya digunakan tempat garase sekaligus “angkul- angkul” gerbang rumah.


Setelah mengetahui posisi yang tepat sesuai dengan Asta Bhumi diatas untuk posisi sedahan karang, selanjutnya menentukan letak bangunan Sedan Karang tersebut. yaitu dengan mengunakan perhitungan Asta Kosala Kosali, dengan sepat atau hitungan tampak kaki atau jengkal tangan. perhitungannya dengan konsep Asta Wara (Sri, Indra, Guru, Yama, Rudra, Brahma, kala, Uma). adapun perhitungannya:

Untuk pekarangan yang luas ( sikut satak ), melebihi 4 are atau sudah masuk perhitungan “sikut satak”, posisi Sedahan Karang dihitung dengan: dari utara menujuKala ( 7 tapak ) dan dari sisi barat menuju Yama ( 4 tampak ).adapun alasannya adalah:sesuai dengan fungsi Sedahan karang yaitu sebagai pelindung dan penegak kebenaran yang merupakan dibawah naungan dewa Yama dipati (hakim Agung raja Neraka), serta tetap sebagai penguasa waktu dan semua kekuatan alam yang merupakan dibawah naungan Dewa kala. ini dimaksudkan agar Sedahan Karang berfungsi maksimal sesuai dengan yang telah diterangkan diatas tadi.

Untuk pekarangan sempit yaitu pekarangan yang kurang dari 4 are seperti BTN, posisi Sedahan Karang dihitung dengan: dari utara  dan barat cukup menuju Sri atau 1 tampak saja. dengan maksud agar bangunan tersebut tetap berguna walau tempatnya cukup sempit, tapi dari segi fungsi tetap sama.

Semoga informasi ini dapat bermanfaat untuk semeton. Ampura jika ada penjelasan yang kurang lengkap atau kurang tepat. Dan mohon dikoreksi bersama jika ada. Suksma..

9 Pura Di Bali Tempat Memohon (Nunas) Keturunan Atau Anak


9 Pura di Bali yang Diyakini Sebagai Tempat Memohon/Nunas Keturunan
9 Pura di Bali yang Diyakini Sebagai Tempat Memohon/Nunas Keturunan

Setelah upacara pernikahan, maka anak adalah anugerah terindah dalam hidup kita. Namun demikian tentu ada pula yang kurang beruntung, setelah sekian lama menikah belum juga dikaruniai keturunan ataupun anak. Jika sulit punya keturunan, menjadi masalah serius bagi mereka yang sudah lama menikah, tentunya anda tidak boleh berkecil hati karena hidup ini sudah diatur oleh yang teratas, apa yang kita punya dan apa yang kita dapatkan, mungkin itu adalah yang terbaik bagi anda saat ini.

Namun tentunya usaha tersebut wajib dicoba dan tidak boleh pasrah, karena setiap usaha pasti ada hasilnya, apalagi dibarengi dengan doa. Usaha pertama tentunya adalah konsultasinya dengan ahlinya yaitu team medis, apalagi sekarang ini dengan kemajuan teknologi, maka anda diberikan solusi yang lebih mudah dan asalkan ada biaya. Namun perlu diingat juga kekuatan doa kepada Tuhan atau Ida Sang Hyang Widi tentulah sangat penting untuk untuk mengantarkan usaha anda agar menjadi sukses.

9 Pura di Bali yang Diyakini Sebagai Tempat Memohon/Nunas Keturunan

Selain dengan cara-cara medis, banyak cara dan usaha manusia yang sulit memiliki keturunan ataupun anak, misalnya menempuh cara alternatif selain untuk membantu kelancaran usaha yang telah dilakukan. Bagi mereka yang tidak bisa menjalani pengobatan medis, karena terbentur biaya, mungkin salah satu alternatif yang dilakukan adalah memohon kepada Ida Sang Hyang Widi agar cepat dikaruniai momongan. Untuk itulah ada beberapa tempat suci atau pura di Bali sebagai tempat memohon keturunan (anak) atau “nunas sentana”.

Informasi ini mungkin saja bermanfaat bagi mereka yang memiliki kepercayaan kental dengan kerohanian, permohonan dan doa kepada Tuhan atau Ida Sang Hyang Widi harus didasari dengan keyakinan, keinginan yang tulus iklas dan jujur. Dalam halaman ini kami rangkum sejumlah pura di pulau Bali yang dipercaya sebagai tempat untuk memohon keturunan atau anak (nunas sentana). Sehingga mereka yang butuh informasi dan tentang tempat-tempat tersebut bisa terbantu, dan berikut informasi 9 buah tempat suci tersebut;

Selain dengan cara-cara medis, banyak cara dan usaha manusia yang sulit memiliki keturunan ataupun anak, misalnya menempuh cara alternatif selain untuk membantu kelancaran usaha yang telah dilakukan. Bagi mereka yang tidak bisa menjalani pengobatan medis, karena terbentur biaya, mungkin salah satu alternatif yang dilakukan adalah memohon kepada Ida Sang Hyang Widi agar cepat dikaruniai momongan. Untuk itulah ada beberapa tempat suci atau pura di Bali sebagai tempat memohon keturunan (anak) atau “nunas sentana”.
Pura Kereban Langit
Pura Kereban Langit
Pura ini terletak di desa Sading, Kecamatan, Mengwi, Badung. Jadi bagi warga kota akan mudah untuk menemukannya. Pura ini terbilang cukup unik, berada dalam sebuah goa yang mana langit-langit goa tersebut berlubang sekitar berdiameter 2 meter. Di dalam goa tersebut mengalir tirta atau air suci yang dipercaya untuk orang yang memohon atau nunas keturunan. Ada kisah unik mengenai Pura Kereban Langit tersebut, tentang kelahiran raja kembar buncing Sri Masula-Masuli, yang diceritakan Ibunda permaisuri bisa hamil setelah mendapatkan anugerah Tirtha Salaka yang berada dalam goa. Sampai sekarang pura ini populer untuk tempat nunas sentana atau memohon keturunan.

Selain dengan cara-cara medis, banyak cara dan usaha manusia yang sulit memiliki keturunan ataupun anak, misalnya menempuh cara alternatif selain untuk membantu kelancaran usaha yang telah dilakukan. Bagi mereka yang tidak bisa menjalani pengobatan medis, karena terbentur biaya, mungkin salah satu alternatif yang dilakukan adalah memohon kepada Ida Sang Hyang Widi agar cepat dikaruniai momongan. Untuk itulah ada beberapa tempat suci atau pura di Bali sebagai tempat memohon keturunan (anak) atau “nunas sentana”.
Pura Siwa
Pura Siwa
Tempat suci selanjutnya untuk memohon anak atau keturunan berikutnya adalah di Pura Siwa Budha, kawasan suci ini terdapat patung Dewa Siwa setinggi 10 meter ini, yang sekarang cukup populer di kalangan warga, tidak hanya bertujuan untuk memohon anak atau keturunan saja, tetapi untuk memohon anugerah lainnya seperti juga jabatan ataupun kedudukan, termasuk untuk melakukan meditasi. Di Pura Siwa Budha juga dipercaya untuk memohon kesembuhan atau pengobatan dengan membawa bungkak (kelapa muda) nyuh gading diisi 3 bunga berbeda, setelah melukat anda minum air kelapa tersebut termasuk makan bunga di dalamnya. Di Pelataran pura Siwa terdapat sebuah Lingga Yoni sebagai perlambang kesuburan, yang diyakini bisa untuk memohon berbagai anugerah, termasuk juga jika anda kesulitan mendapatkan keturunan, anda bisa mencoba anugerah dan keberuntungan di Pura Siwa.

9 Pura di Bali yang Diyakini Sebagai Tempat Memohon/Nunas Keturuna
Pura Erjeruk
Pura Erjeruk
Pura tempat memohon keturunan atau memohon anak berikutnya adalah Pura Erjeruk, lokasinya di Br. Glumpang, Desa Sukawati, Kabupaten Gianyar Bali. Pura ini dinyatakan bertuah untuk mereka yang kesulitan mendapatkan keturunan, di kawasan utamaning mandala pura terdapat sebuah pelinggih yang dinamakan Ratu Brayut, tempat inilah diyakini sebagai tempat untuk memohon anak atau keturunan, dan menurut penuturan warga sudah banyak yang terbukti, terbukti dengan orang-orang yang membayar kaul, karena keinginannya terpenuhi, sehingga pura Erjeruk ini juga banyak didatangi oleh pemedek di luar Sukawati.

9 Pura di Bali yang Diyakini Sebagai Tempat Memohon/Nunas Keturuna
Pura Pajinengan Agung Tap Sai
Nama pura ini sebenarnya adalah pura Pajinengan Agung, nama Tap Sai disematkan karena dulunya pura ini sebagai tempat untuk bertapa (metapa sai-sai), sehingga kemudian sampai sekarang dikenal sebagai Pura Pajinengan Agung Tap Sai. Lokasinya sendiri di desa Pempatan, Kecamatan Rendang, Karangasem, berada di tengah hutan pada kaki Gunung Agung, tempat dan lokasi pura ini sangat terpencil dan jauh dari pemukiman penduduk, alamnya sangat tenang dan damai, sehingga ideal untuk menyepi untuk menemukan kedamaian rohani. Di utama mandala Pura Tap Sai ada sebuah Lingga Yoni yang merupakan simbol Purasa (laki-laki) dan pradana (perempuan) di tempat inilan anda bisa sujud bhakti melakukan permohonan untuk memohon anak atau keturunan dan juga jodoh. Di Pura Tap Sai juga sebagai tempat melukat untuk menghilangkan pengaruh negatif dalam tubuh.

9 Pura di Bali yang Diyakini Sebagai Tempat Memohon/Nunas Keturuna
Pura Luhur Gonjeng
Pernah mendengar nama Pura Luhur Gonjeng ini, tentu namanya masih cukup asing, lokasinya di desa Kukuh, Marga, Tabanan, jadi tidak terlalu jauh dari pusat kota Denpasar dan Tabanan. Bahkan lokasinya berdekatan dengan objek wisata Alas Kedaton. Yang cukup menarik di Pura Luhur Gonjeng adalah letak lingga dan yoni terpisah dan keduanya dipercaya memiliki fungsi yang berbeda. Untuk Lingga sendiri dipercaya warga untuk memohon anak atau keturunan, Lingga di pura ini pemurah banyak pasangan suami istri yang permohonanya terkabul. Bahkan mereka yang ingin memiliki sentana lanang (anak laki-laki) maka datang dan memohonlah di sini. Lingga tersebut memiliki ketinggian 60 meter, konon awalnya pendek namun menurut penuturan warga, lingga tersebut tumbuh dan menjadi lebih tinggi. Sedangkan yoni yang terletak di Pura Luhur Gonjeng diyakini bisa untuk memohon obat untuk hewan ataupun ternak.

9 Pura di Bali yang Diyakini Sebagai Tempat Memohon/Nunas Keturuna
Pura Kepuh Kembar
Pura tersebut sebagai salah tempat yang dipercaya untuk memohon atau nunas keturunan. Lokasinya di Br. Belulang, desa Kapal, Kec. Mengwi, Badung. Pura Kepuh kembar seperti namanya terdapat dua pohon kepuh kembar, kawasan pura memiliki aura magis yang tinggi, konon banyak rencang Ida Bhatara di sini. Pura ini berkaitan dengan perjalanan ksatria yang bernama Ida Dalem Putih Jimbaran dan Ida Dalem Solo. Sehingga tempat ini dikenal juga sebagai Pura Dalem Solo. Pura Kepuh Kembar diyakini juga sebagai tempat untuk memohon keturunan, dikenal sangat pemurah (bares) terutamanya untuk pasangan suami istri yang belum dikaruniai anak, dan menurut warga banyak yang sudah membuktikanya.

9 Pura di Bali yang Diyakini Sebagai Tempat Memohon/Nunas Keturuna
Pura Pemade Batan Kepuh

Pura ini terletak di bawah pohon kepuh, yang merupakan wilayah dari Banjar Tandeg, desa Tibubeneng, Kecamatan Kuta Utara Bali. Pura tersebut merupakan pura warisan leluhur warga setempat. Di sini juga ada pura Batan Bingin yang letaknya di bawah pohon beringin. Tetapi pura yang diyakini sebagai tempat untuk memohon keturunan adalah Pura Batan Kepuh. Nah jika pasangan suami istri telah mencoba berbagai usaha dan belum dikaruniai anak atau keturunan, maka datang dan memohonlah dengan hati suci dan tulus di tempat ini, maka dipercaya permohonan anda akan terkabul.

9 Pura di Bali yang Diyakini Sebagai Tempat Memohon/Nunas Keturuna
Pura Geger Dalem Pemutih
Pura ini terletak di desa Peminge (Nusa Dua Selatan) kecamatan Kuta Selatan. Pura Geger Dalem Pemutih merupakan salah satu pura Dang Kahyangan, terletak di atas tebing karang, dari pura ini anda bisa menyaksikan keindahan alam laut dan pantai Geger. Di tempat inilah Dang Hyang Dwijendra dalam perjalanan sucinya sempat beristirahat. Di kawasan Pura Geger juga terdapat beji, beji tersebut terletak pantai Geger, tersembunyi diantara batu karang, tempat untuk melukat (meruwat), terdapat beberapa pelinggih termasuk Lingga-Yoni yang merupakan simbol dari Purusa Pradana, yang dipercaya juga sebagai tempat memohon atau nunas keturunan.

9 Pura di Bali yang Diyakini Sebagai Tempat Memohon/Nunas Keturuna Pura Lingga Yoni Di Ujung
Pura Lingga Yoni Di Ujung
Di kawasan pantai Ujung, Desa Tumbu, Kabupaten Karangasem, ditemukan sebuah Linggam atau patung yang berbetuk Lingga-Yoni. Dalam filosofi Ciwa Sidanta, Lingga Yoni adalah simbol dari purusa dan pradana dua hal yang berbeda (rwa bhineda). Jika dua purusa-pradana tersebut bertemu diyakini akan menimbulkan kemakmuran dan kesejahteraan bagi jagat raya. Situs dengan Lingga-Yoni tersebut juga dipercaya oleh warga dan juga menurut penekun spiritual, Linggam tersebut bisa sebagai tempat untuk memohon (nunas) keturunan atau memohon anak.

9 Pura di Bali yang Diyakini Sebagai Tempat Memohon/Nunas Keturuna
Pura Candidasa
Pura Candidasa
Pura tempat memohon keturunan atau memohon anak ini terletak di pinggir jalan raya utama Candidasa, jika dari arah Denpasar terletak di kiri jalan, tepat di seberang Lotus Lagoon (laguna dengan tanaman lotus). Pura Candidasa ini tergolong sudah cukup tua, dibangun pada tahun 1190 Masehi (isaka 1112). Pura ini juga merupakan lambang pemersatu dari paham Budha dan Siwa. Di sini juga terdapat Lingga-Yoni sebagai lambang kesuburan. Selain itu terdapat sebuah patung dengan menggendong 10 anak, yang diyakini sebagai tempat untuk memohon keturunan atau nunas sentana. kawasan Candidasa sendiri adalah destinasi wisata populer di pulau Bali.

Ke 9 tempat suci ataupun pura di pulau Bali tersebut, diyakini warga untuk memohon keturunan atau anak (momongan), namun demikian, tidaklah untuk tujuan tersebut saja, dengan keyakinan dan hati yang tulus, anda bisa memohon apa saja termasuk keturunan atau sentana, apalagi pada sejumlah tempat tersebut ada tempat untuk melukat (meruwat) membersihkan diri secara rohani.

Ciri-ciri Anak Melik dan Cara Merawatnya


Ciri-ciri Anak Melik dan Cara Merawatnya

Melik adalah suatu anugrah pada saat kelahiran anak yang teramat besar dari Ida Sang Hyang Widhi. Dalam Lontar Purwa Gama disebutkan bahwa Anak yang memiliki melik mempunyai rerajahan sejak lahir yang dapat menimbulkan kematian, sehingga diperlukan upacara pebayuhan otonan melik pada si anak untuk menetralisir kekuatan tersebut dan selalu ingat dalam melaksanakan suci laksana untuk mempertahankan dan meningkatkan kesucian diri.

Rerajahan yang terdapat pada orang melik biasanya terdapat di telapak tangan, dijidat atau di bagian tubuh tertentu selain itu juga bisa terdapat tanda senjata terkadang terdapat salah satu dari sembilan senjata pengider bhuwana tergantung tugas yang diemban sang anak lahir ke dunia, dengan rerajahan senjata para dewa seperti:

  1. Bajra
  2. Gada
  3. Nagapasa
  4. Cakra
  5. Dupa
  6. Angkus
  7. Trisula
  8. Moksala,
  9. Api dan Angin


Tentu jika ingin melihat tanda-tanda berupa sejata diatas pada orang melik tidak dapat dilihat dengan kasat mata/ mata orang biasa. Melik atau tidaknya seseorang biasanya diketahui setelah matetuun atau mepinunas pada sulinggih atau balian. Orang yang melik mempunyai kelebihan yang tidak dimiliki oleh orang biasa pada umumnya.

Ia disenangi semua golongan roh halus, baik itu roh yang bersifat negatif (butha) juga para dewa-dewi.

Ciri-ciri Anak Melik

Kelahiran “melik” terlihat dari tanda-tanda di tubuhnya, antara lain :

1. Ketika lahir, badannya dililit tali plasenta beberapa kali putaran. Kelahiran seperti ini sangat jarang terjadi, dan kalau ada, kebanyakan mati beberapa saat sebelum keluar dari rahim ibunya.

2. Ketika tumbuh berumur +/- 2 tahun, rambut di kepalanya kusut (sempuut). Walau digundul, tumbuhnya sempuut lagi.

3. Kepalanya mempunyai pusaran (usehan) 3 atau lebih

4. Lidahnya poleng (ada warna hitam/coklat)

5. Ada tahi lalat besar (maaf) di kemaluannya

Semakin cepat seseorang mengetahui dirinya memelik maka semakin bagus sehingga akan segera dibuatkan upacara penebusan untuk menghindari kemungkinan-kemungkinan buruk dari memelik.

Jika tidak mendapat banten penebusan maka biasanya orang yang memelik sesuai dengan kelahirannya ada yang diambil pada saat baru bisa berjalan, ketika baru menikah dalam upacara pawiwahan, dan ada juga pada saat baru mempunyai anak. Dengan pebayuhan melik akan dinetralisir kekurangan yang ada dalam dirinya (menghilangkan apes pengaruh melik). Supaya semua kekuatan bersinergi, agar dapat keseimbangan antara Bhuana Agung dan Bhuana Alit.

Sesungguhnya orang Melik itu adalah berkah bagi keluarganya karena dia ibarat lokomitif atau pesawat terbang yang akan mengantarkan keluarganya ke alam kebahagiaan sekala-niskala. Maka tolong bantu dan bimbing orang-orang Melik itu karena dia akan berguna tidak hanya bagi keluarga yang memiliki tetapi juga bagi masyarakat luar, bahkan bangsa.

Dalam sejarah Bali, ada contoh kelahiran melik yang sangat heboh, yakni kelahiran bayi tahun 1599 M, hasil perkawinan (tidak resmi) Dalem Seganing dengan Si Luh Pasek Panji. Ketika lahir, tubuh bayi itu seluruhnya berwarna merah darah, dan di malam hari dari ubun-ubunnya keluar sinar terang berwarna biru. Oleh karena itu bayi itu dinamakan Ki Barak Panji. Ternyata setelah besar beliau sangat sakti sehingga berhasil menjadi Raja Buleleng I dengan gelar I Gusti Anglurah Panji Sakti.

Bahkan ada pula yang mengatakan entah benar atau tidaknya kami sendiri belum berani memberi kepastian, dikutip dari blog I Gede Junidwaja menyebutkan “Jangan lupa Presiden RI Pertama Soekarno pun orang memelik, saya tahu dan pernah bertemu dengan saksi yang masih hidup dan memang mampu mengenali orang memelik.”

Merawat Anak Melik

Anak melik biasanya “kerinyi” (bahasa Indonesia : sensitif, mudah tersinggung, mudah marah, dll). Jadi ia perlu diperlakukan beda, misalnya kamar tidurnya harus selalu bersih dan suci, ada pelangkiran diatas hulu tidurnya. Ia perlu sering-sering melukat ke Gerya, makanannya di jaga agar selalu memakan makanan yang satwika (lihat tt hal ini di website ini). Banyak bergaul dengan orang-orang suci, karena dia merasa dekat dengannya. Kalau makin dewasa, berikan pelajaran agama yang intensif, panggilkan guru agama kerumah untuk les, dan berikan pelajaran spiritual secara bertahap. Nanti ia akan berumur panjang dan menjadi orang suci, karena atman (roh) nya sudah dalam kondisi siap menerima lanjutan kemampuan supranatural.

Bagaimana caranya agar orang Memelik tidak pendek umur?
Syarat pertama adalah jaga makanannya, jangan sampai makan makanan kotor sekala niskala.

Makanan jenis: darah, tulang dan jeroan hindari; Kalau bisa pantang daging hewan berkali empat. Minumuan jenis: beralkohol, arak, tuak, berem jauhi. Idealnya adalah makan makanan organik dan vegetarian.

Lalu yang terpenting berikutnya adalah jangan melakukan hubungan sex di luar pernikahan.

Jangan menginap dan tidur di sembarang tempat. Kalau terpaksa maka sebelum tidur harus dilakukan pemberisihan dan pengamanan terlebih dahulu. Sebenarnya jika sudah punya Guru maka Guru itu pasti mengajarkan tata cara ini.

Semoga artikel ini dapat bermanfaat untuk semeton. Jika terdapat penjelasan yang kurang lengkap dan kurang tepat. Mohon dikoreksi bersama. Suksma…

Anak Melik Jelek atau Bagus?


Anak Melik Jelek atau Bagus?

Masyarakat Bali mengenal istilah anak melik, yaitu seseorang yang memiliki kelebihan seperti pada umumnya. Ketika lahir, anak melik memiliki tanda-tanda seperti dililit tali pusar, rambut kusut serta adanya tanda lahir tertentu seperti yang tertulis dalam Lontar Purwa Gama. Orang Melik diyakini memiliki kelebihan mental dan tingkat spiritual tinggi, dan konon merupakan suatu anugerah energi ketuhanan atau energi kesidhian yang dibawa seseorang karena karma yang dibawanya ke kehidupan saat ini. Lalu, adakah kekurangannya?

Pendek Umur

Berbicara tentang tanda lahir orang melik, salah satunya terlilit tali pusar tentu dapat dijelaskan secara medis bayi yang terlilit tali pusar adalah fenomena yang wajar saat ini. Lalu, apa kelahiran seperti itu dikategorikan kelahiran ‘khusus’? tentu tidak! Gejala ini dapat disebabkan karena gerakan bayi yang aktif dalam kandungan, memiliki cairan ketuban yang berlebihan, serta kondisi tali pusar yang panjang. Apa hubungannya dengan usia? lilitan tali pusat yang semakin kencang yang membuat pembuluh darahnya tertekan, sehingga mengancam keselamatan bayi jika tidak ditanggulangi dengan tepat. Nutrisi akan terhambat apabila tali pusar yang terlalu panjang melilit dan menekan saluran makanan bayi sehingga gizi tidak terpenuhi secara maksimal.

Anggapan orang Bali masih melekat bahwa anak melik mempunyai tanda lahir yang tidak wajar, seperti tanda merah pada wajah, kadengan, kulit putih dll. Konon memiliki umur yang pendek, mudah terkena penyakit  atau gangguan niskala lainnya. Padahal dari sisi medis anak yang memiliki tanda lahir disebabkan oleh pembuluh darah yang terkumpul atau tidak tumbuh normal sehingga dapat mengancam kesehatannya dikemudian hari.

Kesamaan Dengan Indigo

Anak Melik dan Orang Indigo diyakini mampu melihat gejala niskala serta berinteraksi dengan dimensi lain. Anak Melik memiliki watak ‘kerinyi’ atau sensitif sejak lahir, sedangkan orang indigo memiliki emosi yang labil dengan kata lain keduanya memiliki kesamaan jika dilihat dari sisi psikologi. Lalu, apakah benar anak melik dan indigo bisa melihat hal mistis? Dalam dunia kedokteran tidak ada istilah Indigo. Indigo masih dimasukan dalam kategori "pseudoscience" karena tidak adanya alat medis yang dapat membuktikan kebenaran mengenai kondisi yang mereka alami.

Kesimpulannya, Anak melik maupun orang Indigo memang memiliki bakat, namun mereka juga punya kekurangan. Sama seperti anak pada umumnya. Semua anak yang terlahir ke dunia adalah anugerah, memiliki kemampuan, bakat dan kelebihan masing-masing beserta kekurangan dalam dirinya.

Benarkah Anak Usuan 2 Punya Sifat Nakal? Inilah 5 Fakta Tentang Usuan di Kepala


Setiap orang memiliki Usuan/puser dikepalanya. Biasanya usuan ini menjadi sorotan saat masih anak-anak.

Khususnya bagi anak-anak yang memiliki Usuan dua di kepalanya. Banyak orang yang menyakini bahwa anak yang memiliki Usuan dua cenderung bersifat nakal.
Apakah anggapan tersebut benar?

Berikut adalah fakta tentang bagian kepala yang dikenal dengan cowlicks atau hair whorls dalam bahasa Inggris tersebut atau kerap disebut pusar rambut atau pusar kepala:

1. Telah muncul sejak lahir

Dilansir oleh ranker.com, Usuan ini sudah dimiliki manusia sejak ia lahir.
Sebuah penelitian yang dilakukan pada tahun 1972 menunjukkan, 94 persen bayi yang baru lahir di AS sudah memiliki pusar rambut.

Untuk anak yang memiliki rambut panjang, cowlicks sulit untuk diketahui dimana letaknya.

Umumnya, usuan ini sulit dihilangkan, hanya bisa hilang dengan waxing, elektrolisis dan bedah plastik.

2. Jumlah usuan menentukan karakter seseorang

Tak dipungkiri, jumlah hair whorls ditengarai bisa menentukan seperti apa sifat seseorang.

Jika si kecil punya pusar rambut hanya satu, maka ia akan memiliki kepribadian yang kuat dan tumbuh menjadi sosok baik ketika dewasa.

3. Jika seseorang memiliki dua buah pusar rambut, berarti...

Anak yang memiliki dua buah usuan  jumlahnya sedikit.

Mereka dikenal pintar dan andal dalam melakukan segala sesuatunya.

Selain itu, anak dengan dua cowlicks dapat melihat suatu masalah dari sudut pandang berbeda.

Nah, orangtua sering salah kaprah dengan menganggap jika anaknya memiliki dua pusar kepala akan jadi anak nakal.

4. Ada juga orang yang mempunyai tiga hair whorls atau lebih

Walaupun, orang dengan tiga usuan amat jarang ditemui.

Kalaupun ada, berarti orang itu adalah pribadi ulet dan berkemauan keras.
Bagaimana jika lebih dari tiga? Ternyata bisa saja mengindikasikan sesuatu yang buruk pada anak.

Kemungkinan terdapat perkembangan otak yang tidak normal.

5. Bentuk pusar kepala juga beragam jenisnya

Ada orang yang memiliki bentuk pusar kepala searah, dan berlawanan arah dengan jarum jam.

Dr Amar J S Klar, Kepala Bagian Genetika dan Laboratorium Biologi Kroosom di National Cancer Institute di Maryland menyebutkan, terdapat hal unik mengenai bentuk pusar rambut.

Orang yang pusar rambutnya mengikuti arah jarum jam akan menggunakan tangan kanan dalam aktivitas harian.

Berbeda dengan yang memilki usuan berlawanan arah jarum jam, maka buah hati Anda akan kidal.

Makna Pelinggih Taksu di Merajan


Pelinggih Taksu merupakan salah satu pelinggih yang ada di Sanggah Pemerajan . Sanggah Pemerajan dapat diartikan sebagai tempat suci bagi suatu keluarga tertentu. Secara umum kebanyakan orang menyebutnya dengan lebih singkat seperti Sanggah atau Merajan.

Pelinggih Taksu berbentuk Gedong, tetapi ada dua macam, yang pertama yaitu Gedong bertiang empat (saka pat) beruang dua (Rong dua). Dan yang kedua Gedong juga hanya memiliki tiang pendek (saka pandak) didepannya, ruangnya satu (Rong Tunggal), namun saka pandak itu sudah memberikan arti dua ruangan (Rong dua).

Pengertian Taksu

Mengenai kata Taksu, masyarakat Hindu sebagian besar masih belum memahami akan pengertian dan persepsinya. Tidak sedikit yang berpendapat kalau di anggota keluarga tidak ada yang menjadi penari, pedalangan, dukun dan sebagainya, dianggap tidak perlu memiliki pelinggih Taksu. Menurut sumber ajaran Agama Hindu sesungguhnya tidak demikian, melainkan taksu tersebut bersifat Universal dan merupakan kekuatan profesi masing-masing umat. Setiap manusia memiliki profesionality (wiguna). Menurut ajaran Hindu guna (profesi) tersebut ada sepuluh yaitu:


  1. Guna Rsi Profesi profesi sebagai pendeta
  2. Guna Wibawa profesi sebagai pegawai, pejabat.
  3. Guna Tukang profesi sebagai pertukangan
  4. Guna Sangging profesi sebagai sangging (tukang Patung)
  5. Guna Pragina profesi sebagai penari, penyanyi, pemusik.
  6. Guna Balian profesi sebagai pengarang (pujangga), penulis, wartawan.
  7. Guna Sastra profesi sebagai pedagang, pengusaha.
  8. Guna Sonteng profesi sebagai pemangku, pemuka agama.
  9. Guna Dagang profesi sebagai pedagang, pengusaha.
  10. Guna Tani profesi sebagai petani.


Dalam ajaran Tantrayana, taksu itu bisa diartikan sama dengan “sakti” atau “Wisesa”. Dan yang dimaksud dengan sakti itu adalah simbul dari pada “bala” atau kekuatan. Dalam sisi lain sakti juga disamakan dengan energi atau “kala”.

Dalam Tatwa, daya atau sakti itu tergolong Maya Tatwa. Energi dalam bahasa sanskrit disebut prana, yang adalah bentuk ciptaan pertama dari Brahman. Dengan mempergunakan prana barulah muncul ciptaan berikutnya yaitu panca mahabhuta. Dengan digerakkan oleh prana kemudian terciptalah alam semesta beserta isinya. Tuhan dalam Nirguna Brahma / Paramasiva dalam Siva Tatwa, memanfaatkan energi atau sakti itu, sehingga ia menjadi Maha Kuasa, memiliki Cadu Sakti dengan Asta Aiswarya-Nya. Dalam keadaan seperti itu Ia adalah Maha Pencipta, Pemelihara dan Pelebur. Dalam Wraspati Tatwa disebut Sadasiva dan dalam pustaka Weda disebut Saguna Brahma.

Sakti atau energi maya dari Tuhan itu dipuja dalam bentuk pelinggih yang disebut Taksu. Sedangkan Tuhan dalam wujudnya sebagai Sang Hyang Tri Purusa dan Sang Hyang Tri Atma dipuja dalam pelinggih kamulan. Dalam upacara nyekah, selain sekah sebagai perwujudan atma yang telah disucikan , kita juga mengenal adanya sangge. Sangge adalah perwujudan atau simbul dari Dewi Mayasih. Beliau mewakili unsur Maya Tatwa (pradana / sakti). Yang juga dalam upacara nyekah bersama-sama Atma ikut disucikan.

Dalam ajaran Kanda Pat, dikenal adanya nyama papat / saudara empat yang ikut lahir saat manusia dilahirkan. Setelah melalui proses penyucian, saudara empat itu menjadi Ratu Wayan Tangkeb Langit, Ratu Ngurah Teba, Ratu Gede Jelawung dan Ratu Nyoman Sakti Pengadangan. Kempatnya itulah disebut sebagai dewanya taksu. Tidak lain adalah saudara kita lahir yang nantinya menemani manusia dalam kehidupannya.

Fungsi Taksu

Taksu berfungsi untuk memohon kesidhian atau keberhasilan untuk semua jenis profesi baik sebagai seniman, petani, pedagang, pemimpin masyarakat dll.  Yang dipuja ialah Dewi Saraswati, sakti (kekuatan) Dewa Brahma dengan Bhiseka Hyang Taksu yang memberikan daya magis agar semua pekerjaan berhasil baik.

Semoga artikel ini dapat bermanfaat untuk semeton. Jika terdapat penjelasan yang kurang tepat atau kurang jelas, mohon dikoreksi bersama. Suksma…

Turus Lumbung, Kayu Sakti, Hindu Itu Fleksibel Tidak Memaksa

Turus Lumbung, Kayu Sakti, Hindu Itu Fleksibel Tidak Memaksa
Ilustrasi photo via sapoiha.com

Turus Lumbung adalah Sanggah Kemulan darurat,karena satu dan lain hal belum mampu membuat yang permanen. Turus lumbung dibuat dari batang (turus) kayu dap-dap banyak umat yang menggunakan pepohonan ini yang dipercayai sebagai taru sakti. Selain kayu dap-dap juga ada bambu, serta atapnya dari daun lalang. Di bagian bawah dekat ke tanah di setiap batang dap-dap agar diikatkan kwangen dengan jinah 11 keteng.


Makna Sanggah Turus Lumbung

Turus lumbung mengandung arti kias “melindungi dan menghidupi pemujanya”. Turus dapdap merupakan tameng atau perisai, yakni alat untuk melindungi diri , dan lumbung, yakni tempat untuk menyimpan padi untuk penghidupan. Bangunan ini sifatnya sementara yang nantinya akan diganti dengan bangunan yang agak permanen menurut kemampuan penghuninya. Batas waktu penggunaannya adalah 6 (enam) bulan, namun bila lewat 6 bulan belum juga bisa membangun yang permanen maka kwangennya agar diganti dengan yang baru.

Setelah penghuninya agak mampu, barulah mereka membuat bangunan untuk mengganti turus lumbung itu. Bangunan pelinggih ini dibuat dari kayu dan bambu serta memakai satu ruangan (rong tunggal) yang digunakan untuk tempat sajian. Bangunan rong tunggal inilah yang disebut kemulan atau sanggah kemulan.Peninggalan-peninggalan bangunan ini dijumpai di desa­-desa Bali Kuno, seperti di Julah, Sembiran, Lateng, Dausa, dan tempat kuno lainnya

Seiring berkembangnya jaman dari masa ke masa bangunan rong tunggal berkembang menjadi dua ruangan (me-rong kalih). Lantas berkembang lagi menjadi tiga ruangan (rong telu), untuk menghormati atau memuja para leluhur yang telah disucikan. Perkembangan Rong Tunggal hingga akhirnya menjadi rong telu disesuaikan dengan konsep Tri Murti yaitu Dewa Bhrama (Pencipta),  Dewa Wisnu (Pemelihara,) dan Dewa Siwa (Pelebur). Sehingga Rong Telu selain untuk memuja  leluhur juga untuk memuja Sang Hyang Tri Murti.

Membuat Sanggah Kemulan memang memerlukan biaya yang tidak sedikit akan tetapi jika dana belum mencukupi bisa membuat Turus Lumbung. Jadi dapat disimpulkan dalam tradisi agama Hindu khususnya di Bali. Tidaklah sebuah tradisi yang membuat miskin umatnya. Karena agama Hindu sangatlah fleksibel, yang selalu menyarankan umatnya untuk melakukan Yadnya tidak melebihi kemampuannya. Karena dalam Yadnya tidak mengutamakan kemewahan tapi ketulusan hati.

Semoga artikel ini dapat bermanfaat untuk semeton. Jika terdapat penjelasan yang kurang lengkap atau kurang tepat. Mohon dikoreksi bersama. Suksma…