Kekuatan dan Keajaiban Doa

Kekuatan dan Keajaiban Doa
ilustrasi photo via kb.alitmd.com

Doa tidak selalu mampu mengubah keadaan, tapi Doa mampu mengubah cara pandang kita.

Doa tidak selalu mampu mengembalikan mereka yang kita cintai, tapi Doa mampu memberikan kebahagiaan bagi mereka.

Doa tidak selalu mampu memperbaiki hati yang hancur, tapi Doa mampu mengubahnya menjadi sumber kekuatan dan penghiburan.

Doa tidak selalu mampu mengubah penyesalan masa lalu, tapi Doa mampu mengubahnya menjadi harapan.

Doa tidak selalu mampu memenuhi kebutuhan dan keinginan kita, tapi Doa mampu memberi jalan untuk kita mencapai keinginan dan kebutuhan.

Doa tidak selalu akan langsung harus dijawab, tapi Doa mampu untuk menguji kesabaran dan ketekunan kita.

Doa tidak mampu mengulang waktu, tapi Doa akan mampu membuat kesempatan datang kembali.

Belajarlah Dari Bali


Belajarlah Dari Bali

Bali identik dengan Pura dan umat Hindunya. Sekitar 97% penduduk Bali memeluk agama Hindu. Sisanya penganut agama selain Hindu, salah satunya adalah Islam. Ya, jumlah penganut agama Islam adalah yang terbesar kedua setelah Hindu di Bali. Menjelang puasa seperti saat ini, tidak terlalu banyak yang berubah. Hanya para pedagang makanan yang sebagian besar merupakan umat Islam mulai berkurang di siang hari.

Mungkin banyak tantangan bagi umat Islam yang menjalankan ibadah puasa di Bali. Tidak banyak rutinitas yang berubah, dimana aktivitas pasar dan toko tetap berjalan dan orang-orang yang tidak berpuasa tetap makan dan minum di depan umum.Tidak hanya itu, tantangan juga datang dari para wisatawan asing. Di tempat wisata, khususnya daerah pantai, selalu saja ada wisatawan asing yang berpakaian terbuka. Belum lagi kafe dan diskotik yang buka siang malam. Kaum Muslim harus benar-benar menahan diri agar puasanya tidak batal.

Tidak seperti di Jawa umumnya, di Bali tidak ada libur bagi pegawai dan sekolah pada hari pertama puasa. Ini dikarenakan jumlah pegawai dan siswa Muslim di Bali masih menjadi minoritas. Kalaupun ada, mereka dapat meminta ijin untuk libur hari pertama puasa di tempat kerja dan sekolah masing-masing.

Untuk penjual Takjil (makanan berbuka puasa), bisa ditemukan di pinggir-pinggir jalan raya, terutama di daerah Kampung Jawa, Denpasar. Sebagian besar masyarakatnya beragama Islam dan selama bulan puasa banyak yang berjualan takjil dengan harga yang relatif terjangkau.

Toleransi Beragama? Ya!

Dalam ajaran Hindu ada asas "Tat Twam Asi" yang berarti aku adalah kamu dan kamu adalah aku. Masyarakat Hindu tetap menghormati umat Muslim yang sedang berpuasa. Tidak hanya umat Hindu, masyarakat Bali yang beragama Kristen, Katolik, maupun Budha juga menghormati umat Muslim yang berpuasa. Begitupun sebaliknya, masyarakat Muslim juga menghormati pemeluk agama lain yang tidak berpuasa dengan tidak memprotes pemeluk agama lain yang makan dan minum.

Tidak sedikit Masjid yang letaknya berdampingan dengan Pura, Gereja, ataupun Wihara. Walaupun demikian, kerukunan antar umat beragama tetap terjalin baik di Bali. Terlebih lagi saat puasa seperti sekarang.

Contoh lainnya adalah perayaan Hari Raya Nyepi pada Maret lalu yang bertepatan pada hari Kamis-Jumat, dimana umat Muslim wajib menunaikan ibadah Sholat Jumat. Umat Muslim tetap diijinkan menjalankan kewajibannya ke Masjid, bahkan dikawal oleh para Pecalang Adat. Umat Muslim pun juga menghormati umat Hindu yang sedang menjalankan Catur Brata Penyepian dengan tidak menggunakan pengeras suara di Masjid.

Toleransi antar umat beragama di Bali tergolong tinggi. Sangat jarang terdengar adanya bentrok antar agama di Pulau Dewata ini. Semua masyarakatnya hidup dengan damai walaupun memiliki adat daerah yang berbeda-beda. Seandainya toleransi ini tercipta di seluruh daerah di Indonesia, bisa dibayangkan kedamaian bangsa kita. Bali dengan mayoritas umat Hindunya akan tetap menjaga kerukunan dan toleransi antar umat beragama.

Salam Damai 🙏🏻

Lakukanlah Segala Sesuatu Dengan Ikhlas


Lakukanlah Segala Sesuatu Dengan Ikhlas

Melakukan sesuatu pekerjaan dengan rasa keterpaksaan membuat energi kita terkuras habis dan ada perasaan tertekan dalam hati kita. Karena sesungguhnya kita enggan melakukannya, tapi apa boleh buat, entah karena segan ataupun karena ada hal-hal yang membuat kita terpaksa melakukannya.

Ternyata apa yang dilakukan dengan rasa keterpaksaan, walaupun hanya hal-hal kecil, hasilnya jauh dari yang diharapkan. Coba saja menulis karena terpaksa atau diburu waktu dan kemudian bandingkan dengan hasil tulisan yang ditulis ketika hati sedang gembira, kita sendiri dapat membuktikan, bahwa hasilnya beda jauh.

Begitu juga ketika kita berinteraksi dengan lingkungan dimana kita hidup, keikhlasan hati akan terbayang di wajah serta sinar mata kita. Membantu tetangga atau memberikan tempat kepada orang tua dengan senang hati di kendaraan umum, hanyalah masalah kecil.

Tapi bila dilakukan dengan hati, maka akan tercipta dua kegembiraan, yakni kegembiraan dalam hati kita dan kegembiraan bagi yang dibantu. Melalui hal-hal yang tampaknya kecil dan sepele, sesungguhnya kita sudah dapat mengaplikasikan hidup berbagi.

Hidup Adalah Kesempatan Untuk Berbagi

Hidup adalah untuk saling berbagi. Tidak harus berbagi dalam bentuk uang dan materi, tapi bisa dalam bentuk apa saja. Bahkan dengan berbagi tulisan yang meneduhkan hati serta memberikan semangat hidup bagi orang lain, berarti kita sudah mengaplikasikan hidup berbagi.

Kita tidak harus melakukan hal-hal yang spektakuler setiap hari dalam hidup ini, tapi kita dapat melakukan hal-hal kecil dengan penuh keikhlasan setiap saat. Begitu juga, kalau tidak mungkin bagi kita menyayangi semua orang, tapi setidaknya kita bisa tidak membenci.

Hal yang tampak sangat kecil dan jauh dari kesan hebat, tapi setidaknya dari hari ke hari kita sudah mengisi hidup kita dengan sesuatu yang berarti, tidak hanya bagi diri sendiri dan keluarga, tapi juga untuk orang banyak. Seperti kata peribahasa: "The beauty of life, not depend on how happy my life, but how happy the others because of me."

Keindahan hidup tidak tergantung pada seberapa berbahagianya hidup kita, melainkan seberapa banyak orang lain yang dapat berbahagia karena kehadiran kita. Tanpa hal ini, maka apalah artinya usia panjang dan materi yang menumpuk?

Tulisan ini bukan khotbah, juga bukan untuk menggurui, melainkan hanya sekedar renungan di sore yang mendung dan dingin, sambil menunggu pesanan secangkir Cappucino hangat yang saya pesan di salah satu cafe ini. Semoga tulisan kecil saya ini mampu menghangatkan hati setiap orang yang membacanya.

Kakak Perempuanmu Adalah Anugerah Terindah yang Engkau Miliki, Ia Perempuan Hebat Seteleh Ibu


Kakak Perempuanmu Adalah Anugerah Terindah yang Engkau Miliki, Ia Perempuan Hebat Seteleh Ibu
Ilustrasi photo via intisari.grid.id

Punya kakak perempuan itu adalah sebuah anugrah yang juga patut kita syukuri keberadaannya. Karena darinya kita bisa belajar banyak hal dan kakak perempuan itu juga bisa menjadi teman dan kadang bisa menggantikan peran ibu.

Bukankah kakak perempuan itu hebat dan luar biasa? Dia punya tanggung jawab, Anak Perempuan Pertama bahunya harus sekuat baja untuk diri sendiri dan kadang harus bertanggung jawab untuk hidup adik-adiknya. 

Kakak Perempuan Juga Termasuk Anugrah, Kalau Ibu Tak Ada Dialah Yang Akan Menggantikan Peran Ibu Untuk Adik-Adiknya

Punya kakak perempuan itu termasuk anugrah, bagaimana tidak padahal dia juga seorang anak sama seperti kita tapi kadang harus menggantikan peran ibu untuk adik-adiknya.

Entah urusan menjaga kita atau mengurus hidup kita, saat sudah dewasa atau hidup masing-masing perannya memang sudah tak lagi terasa, tapi ketika masih sama-sama masih anak-anak perannya sangat terasa.
Kakak Yang Baik Pasti Akan Menjadi Teladan Yang Baik Untuk Adik-Adiknya, Bersyukurlah Dan Jagalah Hubungan Persaudaraanmu Kakak yang baik pasti akan selalu berusaha menjadi contoh yang baik untuk adik-adiknya, pasti punya naluri untuk selalu melindungi dan bertanggung jawab pada adik-adiknya.

Terkadang dia harus menggambil peran seorang ibu, menjadi sahabat demi adik-adiknya, jagalah persaudaraanmu dengan kakak perempuanmu, maafkan salahnya karena bukan tidak mungkin dia tidak menyakitimu.

Kakak Perempuan Itu Dituntut Untuk Meberikan Teladan Yang Baik Untuk Adik-Adiknya, Padahal Itu Tidaklah Mudah
Menjadi kakak perempuan itu berat, tidak mudah, maka sayangilah kakak perempuanmu. Sedari kecil dia dituintut untuk menjadi tleadan yang baik untuk adik-adiknya padahal itu bukanlah perkara mudah.

Sedari kecil kakak perempuanmu sudah belajar untuk bertanggung jawab menjaga dan melindungi adik-adiknya dari hal-hal yang buruk, dari hal-hal yang dapat menyakiti atau menjerumuskan adik-adiknya pada sesuatu yang dapat menyakiti atau merugikan adik-adiknya.

Tak Jarang Kakak Perempuanmu Harus Bersabar Dan Mengalah Demi Adik-Adiknya

Yang paling menyakitkan bagi seorang kakak perempuan itu adalah ketika mereka harus mengalah hanya demi kebahagiaan adik-adiknya. Harus bersabar demi membimbing adiknya agar dapat hidup yang lebih baik dari dirinya.

Padahal mereka juga sebenarnya ingin bahagia, ingin memikirkan hidupnya sendiri, tapi mereka harus mengalah dan besabar demi kebahagiaan adik-adiknya, yang mungkin saja bakalan melupakan dirinya saat sudah sukses.

Beban Pikiran Kakak Perempuan Itu Berat, Dia Harus Bertanggung Jawab Atas Dirinya Sendiri Dan Juga Adik-Adiknya

Beban pikiran seorang kakak perempuan itu berat, tak jauh berbeda dengan beban pikiran seorang ibu, apalagi kalau kakka perempuan harus menggantikan peran ibu yang tiada.

Ia bertanggung jawab untuk hidupnya sendiri dan hidup adik-adiknya, dimana dia dituntut untuk tidak egois atau bahkan dituntut untuk mengutamakan kepentingan adik-adik-adiknya ketimbang dirinya.

Sumber : Humairoh.com

Nasi Jinggo Bali, Penyelamat Masyarakat


Setiap kota-kota besar di Indonesia selalu menyimpan kisah tersendiri. Satu hal paling dikenang biasanya adalah momen-momen 'kritis' menyantap sajian kuliner khas kota.

Tentu saja semua orang mendambakan makanan enak. Namun kadang ekspektasi tak berbanding lurus dengan kenyataan, terutama bagi para perantau dan anak-anak kos.

Sehingga perlu adanya pemetaan dimana warung-warung dan makanan apa saja yang bisa dibeli.

Tentu saja tetap dengan kualitas dan rasa yang gak kalah ciamik dengan makanan kelas restoran. .

Namanya Nasi Jinggo. Harganya sangat murah, sebungkus hanya Rp 5 ribu saja.

Bicara soal nasi jinggo, sama saja dengan halnya nasi kucing. Sama-sama dibungkus dengan daun pisang dan memiliki porsi mini.

Bedanya, nasi jinggo ini asli makanan khas Bali. Isinya nasi putih sekepalan tangan, lengkap dengan lauk pauk dan sambal khas Bali.

Lauk yang digunakan pun cukup lengkap, biasanya ayam suwir, sambel goreng tempe, srundeng, mie hingga telur.

Kadang juga ada yang menyajikan varian lauk daging sapi dan nasi kuning, dengan harga tetap sama.

Untuk Anda yang lagi lapar saat liburan di Bali jangan khawatir, Nasi Jinggo atau nasi bungkus yang akan sering kamu temui dimana-mana. Di jalan, di toko eceran dan lain-lain.

Usut punya usut, di Gianyar ada salah satu keluarga yang menjual nasi jinggo dan yang sangat legendaris dan terenak. Konak dan Kabe adalah keluarga yang menekuni jualan nasi Jinggo. Tempat Konak jualan di Barat Polres Gianyar dan Kabe di Sebelah Timur Rumah Sakit Sanjiwani  Kota Gianyar.

Dikedua warung tersebut sama-sama ramai dan selain nasi Jinggo ada beberapa yang spesial dari kedua warung tersebut yaitu Galuh mica (telur ayam Bali setengah Mateng dengan campuran bubuk merica) yang menjadi incaran remaja.

Konon, kedua pedagang nasi Jinggo ini dulunya sering jualan di Badung, Denpasar dan ramai juga, mereka pindah mungkin karena adat dan keagamaan.

Hingga kemudian lidah para pembeli merasa cocok dengan masakan mereka. Tak heran jika antrean pembeli selalu panjang.

Bahkan hingga kini mulai berjualan menetap, masih banyak para langganannya yang memesan nasi jinggo dalam jumlah banyak. Entah untuk kegiatan acara bahkan untuk dijual lagi.

Untuk Memesan Nasi Jinggo berjumlah banyak cukup mudah. Anda bisa datang ke rumah mereka di Desa Beng, Gianyar sebelah Timur Pura Desa.

Meski legendaris, harga per porsi nasi jinggo disini tetap dijual seharga Rp 5 ribu.

Doa Pemujaan Batara Hyang Guru di Sanggah Kamulan


Ring Kamulan ngaran Ida Sang Hyang Atma,ring Kamulan tengen bapa ngaran paratma,ring Kamulan kiwa ibu ngaran Sang Hyang Siwatma,ring Kamulan tengah ngaran raganta, metu Brahmadadi meme bapa meraga Sang Hyang Tuduh. (Dipetik dari Lontar Usana Dewa) 

Maksudnya:

Di Kamulan disebutkan Sang Hyang Atma, di ruang kanan Pelinggih Kamulan adalah bapa disebut Sang Hyang Paratma, di ruang kiri Kamulan adalah ibu disebut Sang Hyang Siwatma, di ruang tengah Kamulan raganta menjadi Brahma sebagai ibu dan bapa menjadi Sang Hyang Tuduh.

Di hulu pekarangan di setiap rumah umat Hindu di Bali umumnya ada tempat pemujaan keluarga yang disebut Sanggah atau Merajan Kamulan, baca juga Mengenal Lebih Dalam Sanggah Kemulan . Dalam Lontar Siwagama dinyatakan bahwa:

"Bhagawan Manohari dari Siwapaksa atas penugasan Sri Gondarapati agar membangun pemujaan yang disebut Kamulan di setiap hulu pakarangan rumah tempat tinggal. Sepuluh pekarangan rumah tinggal memiliki tempat pemujaan yang disebut Pelinggih Pretiwi. Dua puluh pekarangan rumah tinggal memiliki tempat pemujaan yang disebut Pelinggih Ibu. Empat puluh pekarangan rumah tinggal memiliki tempat pemujaan yang disebut Panti."

Hal inilah menyebabkan setiap pekarangan umat Hindu di Bali ada tempat pemujaan Kamulan yang umumnya dibangun di hulu pekarangan rumah tinggal. Menurut beberapa sumber pustaka Hindu di Bali, yang dipuja di Pelinggih Kamulan itu adalah Sang Hyang Atma. Di samping dinyatakan dalam Lontar Usana Dewa yang dikutip di atas juga dinyatakan dalam Lontar Gong Wesi sbb:

ngarania Sang Hyang Atma, ring Kamulan Tengen bapanta ngaran Sang Paratma, ring Kamulan kiwa ibunta ngaran Sang Siwatma, ring Kamulan madia raganta, atma dadi meme bapa ragane mantuk ring dalem dadi Sang Hyang Tunggal nunggalin raga..."

Demikian pula dalam Lontar Siwagama Sargah sepuluh menyatakan sba:

kramania Sang Pitara mulihing batur Kamulania nguni..." 

Karena itulah sang Pitara Sang Pitpara pulang ke asal Kamulannya dulu. Hal yang menyatakan lebih tegas lagi bahwa Pelinggih Kamulan sebagai tempat pemujaan Sang Hyang Atma adalah Lontar Purwa Bumi Kamulan. Lontar ini menguraikan tata cara upacara Nuntun Dewa Hyang di Kamulan. Lontar ini menguraikan amat rinci tentang tata cara menstanakan roh suci leluhur yang disebut Dewa Pitara di Kamulan.


Dalam Lontar Gayatri dinyatakan saat orang meninggal rohnya disebut Preta. Setelah melalui prosesi upacara ngaben roh tersebut disebut Pitra. Setelah melalui upacara Atma Wedana dengan Nyekah atau Mamukur roh itu disebut Dewa Pitara. Upacara ngaben dan upacara Atma Wedana digolongkan upacara Pitra Yadnya. Sedangkan upacara Ngalinggihang atau Nuntun Dewa Hyang dengan menstanakan Dewa Pitara di Pelinggih Kamulan sudah tergolong Dewa Yadnya. Roh yang disebut Dewa Pitara itu adalah roh yang telah mencapai alam Dewa. Karena Sang Hyang Atma yang sudah mencapai tingkatan Dewa Pitara diyakini setara dengan Dewa. Menstanakan Dewa Pitara di Kamulan juga dinyatakan dengan sangat jelas dalam Lontar Pitutur Lebur Gangsa dan Lontar Sang Hyang Lebur Gangsa dinyatakan sbb:

muwang ngunggahang dewa pitara ring ibu dengen ring kamulan.."

Sedangkan dalam Lontar Sang Hyang Lebur Gangsa dinyatakan sbb:

muwah banten penyuda mala karahaken pitra ngarania angunggahaken Dewa Pitara ring ibu dengen muang ring Kamulan ngaran..." 

Kedua lontar tersebut menyatakan bahwa menstanakan roh suci leluhur yang disebut Dewa Pitara di Kamulan dengan istilah muwang ngunggahaken Dewa Pitara ring ibu dengan ring Kamulan. Dalam tradisi Hindu di Bali Dewa Pitara yang distanakan di Pelinggih Kamulan itu disebut Batara Hyang Guru.


Dalam Vana Parwa 27.214 dinyatakan ada lima macam Guru yaitu:

  1. Agni, yaitu sinar suci Hyang Widhi
  2. Atman yaitu unsur yang tersuci dalam diri manusia yang berasal dari Brahman
  3. Mata yaitu ibu yang melahirkan kita
  4. Pita yaitu ayah menyebabkan kita lahir
  5.  Acarya yaitu guru yang memberikan ilmu pengetahuan. 


Hal inilah yang nampaknya di Bali menjadi ajaran Catur Guru yaitu Guru Swadyaya, Guru Rupaka, Guru Pengajian dan Guru Wesesa. Karena Atman sebagai salah satu Guru yang dinyatakan dalam Vana Parwa itulah nampaknya menjadi dasar pendirian Kamulan sebagai tempat memuja Dewa Pitara sebagai Batara Hyang Guru.

Atman dalam Upanisad adalah Brahman yang ada dalam diri makhluk hidup yang diselubungi oleh Panca Maya Kosa. Untuk menjadikan Atman itu Guru adalah melalui proses upacara ngaben, mamukur dan Nuntun Dewa Pitara. Proses upacara tersebut sebagai simbol untuk melepaskan Atman dari selubung Atman yang disebut Panca Maya Kosa itu. Dengan demikian Atman yang pada hakikatnya Brahman itu langsung tanpa halangan Panca Maya Kosa dapat menjadi Guru dan umat sekeluarga. Upacara tersebut bagaikan menghilangkan selubung mendung di langit biru yang menutupi sinar matahari sehingga sinar matahari tersebut dapat langsung memberikan penerangan pada bumi ini. Demikianlah proses upacara ngaben untuk melepaskan Atman dari selubung Stula Sarira. Upacara Atma Wedana melepaskan Atman dari selubung Suksma Sarira. Sedangkan upacara Danda Kalepasan adalah upacara untuk mengambil dosa-dosa leluhur oleh keturunannya. Dengan demikian Sang Hyang Atma tanpa selubung lagi sehingga disebut Dewa Pitara.


Upacara Danda Kalepasan di Bali ada yang menyebutnya upacara Maperas yang artinya keturunan orang yang diupacarai itu mengadopsi utang-utang karma leluhur yang diupacarai tersebut. Yang diwarisi oleh keturunan itu bukanlah berupa kekayaan materi saja. Berbagai utang karma dari leluhur itu juga harus diwarisi juga. Ini artinya pemujaan pada leluhur dalam tradisi Hindu di Bali, baik buruk, lebih kurang dari leluhur itu harus diterima sebagai warisan. Baiknya harus diupayakan untuk terus dipertahankan bahkan dikembangkan eksistensinya supaya lebih berguna bagi kehidupan selanjutnya. Sedangkan buruk dari berbagai kekurangan dari leluhur itu harus direduksi agar tidak berkembang merusak kehidupan selanjutnya.

Pengalaman adalah guru terbaik, demikian orang menyebutkan. Pengalaman yang baik dan buruk dari leluhur itu dijadikan guru dalam hidup ini. Itulah pentingnya doa pemujaan Batara Hyang Guru di Kamulan.

Bangga Menjadi Hindu dan Bangga Menjadi Orang Bali

Bangga Menjadi Hindu dan Bangga Menjadi Orang Bali

ilustrasi photo via thehoneycombers.com


Ada perasaan kagum terhadap pulau kecil yang bernama Bali ini. Sebuah tempat yang sedemikian memikatnya sehingga jutaan orang dari mancanegara rela mengeluarkan banyak uang untuk bisa datang ke tempat ini. Kehidupan masyarakat Bali secara ekonomi jika dibandingkan dengan 20 tahun lalu sangatlah jauh berkembang. Jutaan dolar telah mengalir membasahi tanah Bali dan memberi penghidupan yang sangat baik kepada sebagian besar masyarakat Bali. Tak dapat dipungkiri memang bahwa pariwisata telah menjadi tumpuan hidup masyarakat.

Jika kita mau berfikir sejenak, kenapa Bali bisa seperti sekarang ini? Kenapa pulau Bali yang kecil ini bisa sedemikian terkenalnya? Semua itu tidak lain karena jasa para leluhur kita yang telah mampu menjaga dan memelihara ke–Hinduanya dan ke Balianya. Alam yang indah, adat dan tradisi yang unik, seni budaya yang memukau dan kultur masyarakat yang ramah merupakan bentukan para leluhur kita melalui konsep – konsep yang bernafaskan Hindu dan Bali.

Namun setelah Bali menjadi terkenal seperti sekarang ini, setelah taraf kehidupan ekonomi masyarakat Bali meningkat, justru yang terjadi adalah orang Bali yang terbuai dan hanyut dalam gelimangan materi. Mereka lupa akan jati dirinya sebagai orang Bali, mereka lupa akan asal darimana semua ini bermula. Contoh kecil saja, sekarang ini banyak sekali para ibu – ibu yang sudah mengikuti gaya busana model barat. Dalam tradisi dan keyakinan masyarakat Bali, jika ada orang yang ngaben maka tempat pembakaran (petulangan) atau lembu dibersihkan dahulu dengan ujung rambut. Namun apa jadinya jika sekarang para ibu – ibu lebih suka berambut buntut? Tradisi unik ini teramcam punah. Contoh yang lain adalah seni etika berbusana, dalam budaya bali ada yang disebut dengan pusuk lukluk, pusung tagel, pusung tegeh juga sudah mulai punah. Disinilah letak permasalahannya. Kita tidak sadar bahwa pondasi – pondasi  yang menunjang mencuatnya nama bali ke dunia internasional telah kita rusak dan musnahkan sendiri.

Contoh lain adalah sekarang ini masyarakat bali seolah olah sudah anti dengan bahasa ibu yaitu bahasa Bali dan juga tulisan serta sastra Bali. Sehingga anak – anak sekarang sangat sedikit yang bisa berbahasa Bali, apalagi tulisan Bali. Namun ironisnya para orang tua justru bangga dengan hal tersebut. Jika seorang anak berbicara seperti ini “ pa, adik minta uangnya pa, mau belanja?” maka orang tuanya akan bangga, seolah olah derajat hidup mereka telah meningkat dengan gaya bahasa tadi. Sebaliknya jika ada anak yang bicara “Nang, tyang ngidih pis anggo meblanja” justru dianggap kampungan. Padahal kaliamat “Nang, tyang ngidih pis anggo meblanja” itulah yang merupakan pondasi Bali sehingga pipis itu ada untuk dibelanjakan. Dan masih banyak contoh lagi yang menunjukkan bahwa orang bali telah mengalami degradasi moral dan kepribadian sebagai orang Bali.

Dengan latar belakang itulah, pedanda ingin kembali mengingatkan kita semua, pedanda ingin mengetuk hati masyarakat Bali agar kembali ingat akan jati diri kita. Kembali ingat sumber dari segala kehidupan ekonomi ini berasal. Jangan sampai warisan yang adiluhung ini hilang begitu saja karena kebodohan kita semua.  Pedanda ingin mengajak semua lapisan masyarakat Bali untuk bangga menjadi orang Hindu dan Bangga menjadi orang Bali

Kenapa harus bangga menjadi Hindu?




Hindu adalah agama Weda, dan Weda adalah sebuah wahyu, bukan produk budaya manusia. Ciri Weda adalah wahyu salah satunya adalah Weda itu mampu mengayomi, mengangkat dan  memaknai budaya lokal. Wahyu adalah sesuatu yang bisa diterapkan dimana saja dan bisa meresap dan menjalin satu kesatuan dengan budaya, geografis dan masyarakat lokal. Jadi bukan satu budaya untuk kepentingan pelaksanaan Agama itu. Merupakan anggapan yang sangat keliru jika misalnya dikatakan bahwa budaya Bali harus digunakan untuk pelaksanaan Agama Hindu di Indonesia. Agama Hindu bisa dilaksanakan dengan budaya Jawa, Kalimantan, Papua atau budaya mana saja. Walaupun dilaksanakan dengan budaya yang berbeda namun intinya tetap mengacu pada ajaran Weda. Disitulah letak keindahan Hindu. Hal lain adalah agama Hindu sangat menghargai umat manusia dan tidak mengintervensi atau mempengaruhi orang untuk masuk ke agama Hindu. Hal berikutnya yang membuat pedanda bangga adalah Agama Hindu adalah agama yang mampu mengantarkan bangsa Indonesia untuk memasuki jaman sejarah. Buktinya adalah adanya Tujuh Yupa di kerajaan Kutai yang menjadi bukti sejarah bahwa pada masa itu bangsa Indonesia telah meninggalkan jaman pra-sejarah dengan mulai dikenalnya huruf. Agama Hindu juga pernah mengantarkan bangsa Indonesia kejaman keemasanya dengan berkibarnya Majapahit hingga ke wilayah Malaka. Itu adalah contoh kecil dari berjuta – juta hal mulia dan indah tentang Hindu yang pedanda jumpai di dalam Weda, sehingga pedanda sangat bangga menjadi orang Hindu

Kenapa harus bangga jadi orang Bali?




Bangga karena pulau yang kecil ini begitu luar biasa. Bangga karena pulau bali mempunya potensi yang sangat berlimpah. Bali memiliki bahasa sendiri, tulisan sendiri, budaya sendiri, kesenian yang kaya, sistem pemerintan tersendiri dari tingkat subak, banjar, desa pakraman hingga ke tingkat provinsi, aparat pemerintahan sendiri, dan itu sudah ada sejak beratus – ratus tahun yang lalu. Dan semua itulah yang membuat Bali menjadi terkenal seperti sekarang ini.

Bercermin dari keadaan sekarang ini, arah pembangunan masrayakat bali baik pembangunan secara fisk, mental dan spiritual sudah kian jauh melenceng. Jika dulu ada himbauan dari gubernur agar semua bangunan mempunyai cirri khas bangunan Bali sudah sangat banyak di langgar. Yang ada justru pembangunan fisik Bali sudah tidak mencerminkan Bali itu sendiri. Jika kita baru keluar dari bandara Ngurah Rai atau baru turun dari pelabuhan gilimanuk, maka kita akan merasa bahwa kita tidak berada di Bali. Bali telah mulai kehilangan muka di tanah sendiri.

Orang Hindu harus bangga menjadi orang Hindu, jangan menjadi umat Hindu hanya sekedar tulisan di KTP. Orang Bali harus bangga menjadi orang bali, dengan cara mempertahankan budaya adat istiadat dan tanah Bali itu sendiri. Bangga menjadi orang Hindu tidak cukup sekedar hafal mantram Tri Sandhya, tapi bagaimana kita mewujud nyatakan ajaran Hindu dalam kehidupan sehari – hari. Walaupun kita hidup di jaman modern, tapi hendaknya kita tidak hanyut dan kehilangan jati diri. Sadarilah darimanana semua kehidupan masyarakat ini berasal. Mungkin kita bisa bercermin kepada negeri Jepang. Walaupun mereka Negara maju tapi masih sangat menghormati budaya lokal, seperti kaisar dan sumo. Dengan ini pedanda ingin menyentuh hati masyarakat Bali untuk tetap berjuang dan berusaha manjaga dan melestarikan jati diri kita, karena inilah kebanggan kita. Manusia dan bangsa yang utama adalah merekan yang memiliki jati diri

Pedanda juga sangat berharap agar orang Bali bangga menjadi orang Bali, orang jawa bangga menjadi orang Jawa, orang papua bangga menjadi orang papua dan semua daerah di Indonesia juga bangga telah memiliki Budaya mereka sendiri. Budaya – budaya itulah yang merupakan budaya nusantara yang sungguh adiluhung dan utama. Tidak perlu kiranya kita mambawa budaya – budaya luar untuk dipaksakan di Nusantara ini.

Dikutip dari tulisan Ida Pedanda Made Gunung, Sugra Ratu.

Bali: Pulau Seribu Pura, Seribu Hotel, dan Seribu Judi?


Bali: Pulau Seribu Pura, Seribu Hotel, dan Seribu Judi?

Tanyalah pada lelaki Bali, apakah mereka bisa memainkan salah satu permainan judi ala Bali? Mungkin delapan dari sepuluh orang lelaki Bali akan mengatakan mereka pernah dan bisa bermain judi. Bali bukan Las Vegas atau Taiwan yang penuh dengan kasino-kasino kelas dunia. Menjadi pulau wisata kelas dunia, tak serta merta menjadikan Bali sebagai destinasi dengan tawaran kasino kelas dunia atau wisata prostitusi. Bali tetaplah Bali, yang sampai saat ini masih bisa bertahan dengan tradisi yang turun temurun dianggap sebagai bagian dari perjalanan hidup manusia Bali. Tapi, percayalah di Bali judi itu ada, dan sangat besar. Bahkan mungkin mengalahkan perputaran arus uang kasino-kasino itu jika semua judi di Bali dilokalisasi dijadikan semacam kasino layaknya Las Vegas dan Taiwan.

Di Bali, judi bukan sesuatu yang baru, bukan pula hal yang dianggap tabu apalagi haram. Sebagian besar lelaki Bali pernah bermain judi meski tidak selalu taruhannya uang. Di kalangan anak-anak pedesaan di Bali pegunungan, mereka sudah akrab dengan judi. Mereka taruhan bermain kelereng, atau main karet gelang dengan aneka model permainan. Yang menang berhak mendapatkan karet atau kelereng lawannya. Atau, ketika mereka menyabit rumput untuk sapi-sapi mereka, rumput sebagai taruhannya. Ada judi “gacokan” menggunakan batang jagung sebagai sarana pertandingan judi mereka. Batang jagung yang hancur dianggap kalah, dan pemiliknya wajib membayar pemenang sebanyak rumput yang disepakati. Bagi yang pintar megacok, bisa jadi keranjangnya sudah penuh rumput karena selalu menang, sedangkan keranjang lawan mainnya masih kosong.

Saat pemilihan gubernur dan wakil gubernur, yang lebih heboh adalah para bebotoh yang bertaruh pada jagoan masing-masing. Bisa jadi bebotoh bersorak lebih girang dibandingkan dengan pemenang pemilihan gubernur dan wakil gubernur karena jagoannya menang. Euforia pemilihan kepala daerah atau pemilihan presiden tidak sebatas menjagokan calon andalan, para bebotoh melihatnya sebagai ajang taruhan.

Bagi sebagian besar lelaki, judi bukan saja sekadar pertaruhan uang atau barang. Judi adalah adu ketangkasan atau adu strategi. Ini berkaitan dengan kebanggan sebagai orang yang lebih pintar berstrategi atau lebih tangkas dalam konteks perjudian ini. Dan sebagai imbalan, pemenang boleh mengambil hak atas apa yang mereka pertaruhkan. Dari sekian model perjudian lelaki Bali, sebagian besar memang mengandung unsur strategi dan ketangkasan bukan hanya mengandalkan faktor keberuntungan. Lihatlah model judi ceki, permainan dengan kartu cina yang biasanya dilakukan oleh lima orang penuh dengan perhitungan dan strategi. Kapan harus “ngejuk” misalnya perlu perhitungan yang cermat. Atau permainan gaplek yang sering disebut permainan domino yang menggunakan kartu domino. Sebelum pemain memutuskan menurunkan kartu, dia akan berhitung dan mengira-ngira beberapa saat untuk menentukan strategi. Mereka harus yakin, apakah kartu yang mereka turunkan akan menguntungkan atau merugikan mereka. Atau contoh lain: permainan metembing, sebuah permainan dengan menggunakan koin. Biasanya dimainkan oleh 2-5 orang. Pemain akan membuat semacam lubang dangkal di tanah, dan koin akan dilemparkan ke dalam lubang. Mereka akan membidik koin-koin yang tercecer di dalam lubang itu. Permainan metembing ini mengandalkan ketangkasan. Pemain harus sangat cermat melempar koin dan begitu pula ketika melakukan bidikan pada koin yang ditunjuk.

Judi bagi masyarakat Bali bukan sebatas berapa uang pemenang yang akan dibawa pulang. Tidak jarang lelaki Bali bahkan mempersiapkan diri untuk kalah. Tanyalah pada mereka yang akan “megebagan”, semacam acara melayat dan menginap di rumah orang yang meninggal. Mereka, para penjudi akan menyiapkan sejumlah uang sebagai bekal begadang sambil menjaga almarhum sebelum dimakamkan di kuburan. “Anggo ngibur” dipakai hiburan atau “Anggo bekel megadang”, dipakai berkal begadang kata mereka. Meski ada pula yang memang berjudi dengan tujuan mencari kemenangan.

Sehari sebelum Nyepi, lelaki Bali akan mencari lawan untuk diajak bermain menghabiskan waktu pada saat penyepian. Mereka bersepakat, di rumah siapa akan bermain. Pada saat Nyepi, mereka berkumpul dan bersosialisasi yang mereka jarang dapatkan kesempatan itu ketika hari-hari kerja yang sibuk. Judi menjadi media untuk mengakrabkan diri. Permainan judi juga adalah ajang pergaulan. Dialog tanpa sekat mengalir di antara peserta permainan dari hal remeh temeh sampai hal-hal politik keluarga, wanita dan pekerjaan. Gurauan yang lucu sampai saling sindir mengalir tanpa sekat-sekat formal. Jika mereka sudah duduk bersila dan memegang kartu ceki tak ada yang dianggap lebih tinggi atau lebih terhormat. Mereka punya kedudukan sama pada saat itu, sama-sama sebagai pemain.

Dalam permainan yang lebih serius dan lebih besar, arena judi adalah arena perputaran arus ekonomi masyarakat. Dalam arena tajen, masyarakat yang datang bukan karena semata mau berjudi. Ada yang ingin mencari makanan yang dijual di arena tajen atau mencari pakaian yang dijual di arena itu. Bagi pedagang, arena tajen adalah pasar, mereka menggelar dagangan dari makanan sampai peralatan pertanian. Transaksi kecil-kecilan terjadi di sini, sama seperti di pasar.

Di Bali, judi adalah pergaulan masyarakat. Di sana bukan saja terjadi pertaruhan uang atau barang, tetapi kredibilitas dan kepercayaan. Seseorang yang dianggap curang dalam berjudi akan dikucilkan dari pergaulan judi. Mereka akan kehilangan kesempatan untuk bergaul dalam arena sederhana perjudian kecil. Bagi lelaki Bali, judi dalam skala kecil adalah hiburan dan tempat anjangsana masyarakat.

Itulah, kenapa judi yang jelas-jelas melanggar peraturan perundang-undangan tetap eksis di Bali. Secara sosiologis, permainan judi adalah media sosialnya masyarakat Bali. Karena judi adalah gaya hidup lelaki Bali. Namun ketika kita berbicara tentang judi dalam skala besar, itu adalah judi yang sebenar-benarnya. Dan itu patut dipertimbangkan sebagai sebuah pelanggaran terhadap regulasi republik ini.

Bali Dengan Nama Seribu Made


Bali Dengan Nama Seribu Made

Kenapa di Bali cukup banyak yang memilih nama Made, karena Made adalah nama paling populer dalam jajaran nama depan masyarakat Bali. Meski masyarakat luar Bali seringkali salah panggil dengan menyebut kata Madé, tetap saja Made menjadi nama depan paling beken. Mungkin karena dikaitkan dengan kata "made" (English).

Selalu terdengar lucu ketika sinetron atau FTV dengan mengambil setting di Bali. Tokohnya pasti bernama Made, dan tokoh dalam FTV biasanya tidak fasih memanggilnya. Terjadilah panggilan Madé, bukan Made.

Di Bali, ada ratusan ribu orang dengan nama depan Made. Made adalah nama depan untuk anak kelahiran kedua atau kelima. Berlaku baik untuk pria maupun wanita. Jika ada ratusan ribu orang dengan nama Made, ada ratusan ribu juga dengan nama depan lainnya: Wayan, Nyoman dan Ketut. Biar tidak penasaran, berikut ini saya tulis sedikit mengenai asal-usul kata depan yang dipakai nama warga Bali.

1. Wayan, digunakan untuk anak pertama baik untuk pria maupun wanita. Wayan berasal dari kata "wayah", "wayahan" yang artinya tua atau lebih tua. Selain Wayan, anak pertama biasa diberi nama Gede atau Putu. Kata Gede artinya besar. Mengacu kepada anak paling besar atau paling tua. Sedangkan Putu, bahasa Bali halus dari cucu.

2. Made, digunakan untuk anak kedua. Berasal dari kata 'madia', yang artinya tengah. Selain Made, biasa juga dipakai kata Nengah, yang memiliki arti sama yaitu tengah. Ada juga yang memakai nama Kadek.

3. Nyoman, untuk anak ketiga. Berasal dari kata uman, yang artinya sisa atau akhir. Sebenarnya masyarakat Bali mengenal KB jauh sebelum KB menjadi program pemerintah. Jika nama Nyoman ini berarti paling akhir atau sisa, sebenarnya itu adalah model pembatasan kelahiran dari keluarga Bali. Sayangnya, karena keterbatasan alat-alat medis, banyak juga yang kebobolan hingga melahirkan anak ke-empat atau kelima dan seterusnya. Masalah lain karena masyarakat Bali menganut sistem patrilineal, mengikuti garis keturunan si Bapak. Masalah ini menimbulkan masyarakat Bali berusaha mendapatkan anak laki-laki. Dan ketika belum tercapai, tentu saja orang tua akan berusaha semaksimal mungkin mendapatkannya. Program KB ala Bali bobol. Lahirlah anak ke-empat.

4. Ketut, yang berasal dari kata Kitut. Artinya tidak diharapkan. Nah, ini adalah anak yang tidak diharapkan sekaligus paling diharapkan. Jika 3 kakaknya wanita dan anak ke-empat ini adalah laki-laki, anak ini adalah anak yang paling diharapkan dalam sebuah keluarga.

Selain 4 nama di atas, ada gelar atau sandang yang dipakai di depan nama tadi. Untuk pria biasanya diawali dengan sandangan I. Dan wanita dengan kata sandang Ni.

Nah, sekarang jika kalian menemukan nama Ni Wayan Pria, kalian tidak perlu tanya apakah dia anak laki-laki atau perempuan. Dia memakai nama Ni, artinya dia perempuan. Dan Wayan artinya anak pertama. Dan Pria adalah real name.

Jadi begitulah, kenapa ada ratusan ribu warga Bali dengan nama yang sama. Mari berkenalan dengan lebih mudah dengan anak-anak Bali.

Salam 🙏🏻

Dampak Virus Corona, Bali Dikabarkan Jadi Kota Hantu, Benarkah?



Dampak virus corona bagi pariwisata Bali sangat membuat masyarakat terutama yang bekerja di bidang pariwisata Bali sedih karena wabah virus yang terjadi di Wuhan, Hubei, Cina, memukul aktivitas wisata di sejumlah negara. Pemerintah memberlakukan seleksi ketat dan deteksi terhadap setiap orang yang masuk ke negara mereka, baik melalui jalur udara, darat, maupun laut.

Dikutip dari travel.co.id Bali yang menjadi destinasi wisata populer di Indonesia sampai dikabarkan seperti kota hantu gara-gara wabah virus corona. Atas informasi tersebut, Gubernur Bali Wayan Koster mengklarifikasi kabar tersebut tidak benar.
Jangan percaya pada pemberitaan di beberapa media yang menyatakan Bali sebagai kota hantu. Itu tidak benar karena pariwisata Bali masih hidup," kata Wayan Koster saat peluncuran Calendar of Event Tahun 2020 Kota Banjarmasin di Kuta, Kabupaten Badung, Sabtu malam, 22 Februari 2020.

Gubernur Bali I Wayan Koster




 Baca juga: Virus Corona, Ramalan Tetua Bali yang Menjadi Kenyataan
Dia menjelaskan, puluhan ribu wisatawan domestik maupun mancanegara masih berdatangan ke Pulau Dewata. "Ini menunjukkan bahwa Bali masih menjadi destinasi wisata terbaik dunia. Bali masih nyaman, dan menarik dikunjungi," ucapnya.

Wayan Koster menambahkan, wisatawan tak perlu khawatir datang ke Bali karena masih aman dari virus corona. Sektor pariwisata, menurut dia, menjadi bidang unggulan yang paling cepat memberikan manfaat bagi masyarakat dalam meningkatkan ekonomi.

Pariwisata, kata dia, menempati peringkat kedua setelah minyak dan gas sebagai penghasil devisa negara. "Pariwisata yang dikelola dan dipelihara dengan baik tidak akan pernah habis, tidak seperti sumber daya alam yang lain," ujarnya.

Jajan Laklak Bali Paling Pas Teman Ngopi


Jika kamu Orang Bali Jajan (jaje) Laklak pasti nggak asing lagi buat kamu.

Saat orangtuamu ke pasar membeli bahan untuk masakan pasti dia membelikan anak-anaknya jajan Bali, nah,, jaje Laklak inilah menjadi favorit anak-anak Bali dari dulu sampai sekarang.

Jajan Laklak berbentuk lingkaran seperti serambi, namun bentuknya lebih kecil dan mungil.

Selain menjadi favorit anak-anak, jaje Laklak inipun sangat pas untuk teman ngopi di pagi hari.

Cukup hanya membeli 3.000 rupiah kalian sudah bisa menikmati jajan Laklak ini. Yang bikin ketagihan dengan jajan laklak ini ialah taburi parutan kelapa muda dengan dengan saus gula merah yang semakin menggoda.

Umumnya jajan laklak ini berwarna putih dan hijau, warna hijau dibuat dari pewarna alami yakni dari daun pandan yang dicampuri adonan.

Keunikan jajan laklak ini dibuat dari tepung beras dan dicetak dari cetakan tanah liat, terus dibakar dengan kayu.

Pembuatannya masih sangat tradisional, untuk Anda yang berlibur di Bali dan ingin merasakan jajan laklak ini Anda bisa pergi kepasar tradisional, disana saya pastikan pasti ada yang jual jajan (jaje) laklak ini.

Sangat pas banget ditemani ngopi.

Iri dan Dengki Merupakan Sosok Sengkuni


Sangkuni


Sangkuni (Sengkuni) dalam tokoh pewayangan yang wataknya mungkin di sekitar kita, bahkan dalam diri kita sendiri.

Sengkuni adalah potret manusia yang picik penuh intrik dimana ia selalu mencari celah untuk keuntungan diri sendiri dengan mengorbankan orang lain. Ia lihai menyamar menjadi pribadi yang santun, religius, dan ramah namun menyembunyikan watak aslinya yang munafik, penuh dengki dan berlumur ambisi. Sengkuni yang asli tentu dapat kita jumpai dalam serial pewayangan, namun anak didik dan duplikatnya berseliweran di sekitar kita hari ini.

Tokoh Sengkuni sering dikambinghitamkan menjadi biang keladi, provokator, penjahat, terlicik, terbengis, tokoh buruk dalam pewayangan maupun di kehidupan nyata.

Kebanyakan dari kita menunjuk pribadi liyan tanpa mengetahui seperti apa sejarah hidup Sengkuni yang amat tragis dan serba dilematis. Sengkuni menjadi role model yang pas menjadi kambing hitam atas segala keburukan dan kebobrokan yang terjadi di dunia, dengan begitu naifnya mereka yang menyalahkan orang lain menjadi Sengkuni dan mendaku diri menjadi Pandawa.

Hampir di setiap jengkal kerusakan adalah ulah perilaku kita sendiri dan dengan entengnya kita mencari pembenaran diri. Tidak hanya iblis yang menjadi biang keladi, Sengkuni sekalipun dijadikan objek menyalahkan perilaku manusia jika ada perilaku buruk yang dilakukan oleh manusia lainnya. Kita sering melupakan motif penyebab mengapa Sengkuni dianggap menjadi biang kerok Perang Baratayudha. Masihkah kita sibuk menyingkap lembar demi lembar sejarah kehidupan dan bagaimana perjalanan hidup Sengkuni di masa dahulu.

Sengkuni menjadi tokoh yang terdzolimi atas ketidakcakapan kekuasaan kerajaan Astina yang memenjarakan Raja Gandhara yang merupakan seorang ayah, Ibu dan 100 saudaranya dalam penjara kerajaan. Mereka dipenjara hanya diberi sebulir nasi sehari, tentu lama kelamaan mereka akan mati satu demi satu karena kelaparan.

Oleh karena itu di dalam penjara Raja Gandhara harus mengambil keputusan siapa diantara anaknya yang layak untuk bertahan dan meneruskan pertalian darah keluarga. Keputusan tersebut diambil dengan ujian memasukkan benang ke dalam tulang dan yang lolos adalah Sengkuni. Oleh karena itu, Bapak dan ibu beserta semua saudaranya meyediakan diri untuk dikorbankan dimakan oleh Sengkuni berharap ia dapat meneruskan tampuk kepemimpinan dan kehidupan generasi kerajaan Gandhara.

Sengkuni dalam kisah ini bisa dikategorikan sebagai representasi salah satu aspirator dari sebuah prinsip dalam membangun keluarga yang memiliki daya juang yang tangguh untuk menomorsatukan martabat, kesejahteraan, dan keseimbangan sebuah keluarga. Begitu menderita dan tangguh lika-liku kehidupan yang dilakoni oleh Sengkuni.

Begitu tragis kepedihan yang harus ditanggung oleh Sengkuni, sebuah kepedihan yang tidak seorangpun sanggup untuk merasakannya dalam posisi tersebut. Maka tak heran mengapa Sengkuni memiliki alasan yang kuat untuk menjadi provokator Perang Baratayudha, sampai Pandawa dan Kurawa saling bunuh-membunuh.

Kisah heroik Mahabarata terfokus pada konflik antara Pandawa melawan Kurawa, mereka dua kubu yang saliang bersaudara. Cerita lampau ini seolah-olah sudah mengiyakan tokoh Pandawa sebagai kutub protagonis dan Kurawa kutub antagonis, padahal lebih dari itu. Peran Sengkuni dalam memantik perang tersebut begitu krusial, ia selalu dituduhkan berada pada kubu lawan yang penuh dengan kelicikan.

Perang Barathayuda mirip dengan polarisasi masyarakat Indonesia kini yang sewaktu-waktu bisa memantik konflik berdarah karena keterbelahan sikap sendiri. Setiap pendukung memosisikan diri sebagai mana baiknya Pandawa dan tentu menghindari klaim di belakang barisan Sengkuni. Setiap pendukung berambisi dan menghendaki diri menjadi sosok Pandawa, yang akan memenangi dalam perang Baratayuda nanti. Kedua pendukung sedang dipermainkan oleh siasat politik Sengkuni tanpa mereka sadari sebelumnya.

Jika masyarakat paham apa dan siapakah Sengkuni, serta kenapa Sengkuni menjadi begitu provokatif ingin melahirkan konflik berdarah terjadi di masyarakat. Dimana letak dalam diri kita sendiri yang tidak menjadi Sengkuni? Kita gagal paham mengidentifikasinya sejak awal. Merasa jadi Pandawa dengan gampangnya dan enggan menunjuk diri sendiri sebagai Kurawa. Walaupun perilaku kita juga tidak kalah buruknya dengan Kurawa, sementara kedengkian dan iri Sengkuni adalah sajian kehidupan kita sehari-hari dan menyesaki isi dada kita sendiri. Sengkunikah diri kita hari ini?

Arjuna, Pemeran Utama Bhagavad Gita


Arjuna, Pemeran Utama Bhagavad Gita

“Sang Kala atau Waktu, menurut Gita, adalah Pemusnah yang tak-tertandingi. Ia juga tak terhindari. Ia memusnahkan segalanya, kebaikan maupun keburukan, dan Ia melakukannya di saat yang sama. Ketika Ia memusnahkan keburukan/kejahatan, Ia juga sekaligus mengakhiri penderitaan mereka yang baik dan bijak. Rodanya berputar terus. Adakah cara untuk melepaskan diri dari cengkeramannya? Gita menjawab, ‘ya’. Dengan cara menjadi alat Sang Kala. Kemudian apa pun yang terjadi tidak lagi menimpa dirimu. Apa pun yang terjadi atas kehendak-Nya. Kamu hanyalah agen, penyalur. Saat ini, kata Krishna kepada Arjuna, adalah saat untuk mengakhiri kebatilan. Janganlah berpikir bahwa mereka yang melakukan kejahatan itu adalah kawan atau kerabat, pernah dekat denganmu. Itu dulu ketika kau berada di alam yang sama dengan mereka. Sekarang alammu lain. Kau berada di alam-Ku, menjadi alat-Ku. Maka, jadilah alat yang baik. Jadilah alat yang tajam, tidak tumpul. Akhiri mereka, karena itulah kehendak-Ku.” (Kutipan dari Bapak Anand Krishna dalam materi Neo Interfaith Studies pada program online One Earth College of Higher Learning.)

Arjuna bukan hanya berhasil sebagai pahlawan penegak dharma pada saat perang Bharatayuda, akan tetapi dia masih tetap diingat sebagai manusia utama yang mencerahkan banyak manusia sampai akhir jaman. Kesiapan dirinya sebagai "alat" Keberadaan dan perubahan dirinya dari manusia yang cemas menghadapi saling bunuh antar keluarga Bharata, sampai munculnya keyakinan diri bahwa dia berperang bukan untuk merebut kekuasaan akan tetapi sebagai alat untuk menegakkan dharma telah memberikan semangat manusia untuk mencapai kebebasan. Dua Pemeran Utama Bhagavad Gita, Sri Krishna, yang sekaligus merangkap sebagai Sutradara dan Arjuna, telah memberikan inspirasi bagi jutaan manusia untuk menjalani kehidupan yang lebih bahagia.

Pertemuan Pertama Arjuna dengan Krishna

Dalam Bhagavata Vahini disampaikan percakapan Parikshit cucu Arjuna dengan Vyasa kakek Arjuna tentang hubungan antara Pandawa, leluhur Parikshit dengan Sri Krishna. Vyasa berkata bahwa keingintahuan Parikshit yang sangat besar tersebut dapat menjadi bekal untuk memperoleh Kesadaran.

Raja Draupada ingin memperoleh menantu bagi putrinya Draupadi yang luhur budi dan cantik jelita melalui sayembara. Para Raja dan Pangeran dikumpulkan untuk mengadu keahlian memanah, membidik sasaran yang diletakkan pada roda yang berputar. Ketika para Raja dan Pangeran gagal menunjukkan kemampuannya, masuklah pemuda tampan berpakaian Brahmana ikut bertanding. Sang Brahmana berhasil memanah sasaran dan tentu saja berhak memperoleh sang Putri. Balarama memperhatikan Krishna yang terfokus pada pemuda tampan yang sebenarnya Arjuna, seakan-akan melihat masa lalu dan masa depan sang Brahmana dan berkata, “memang pemuda kualitas unggul!” perkataan Balarama disambut senyuman oleh Krishna. Para Raja dan Pangeran protes mengapa Brahmana dimenangkan dalam sayembara, akan tetapi seorang Brahmana tinggi besar menghalangi mereka dan mereka kalah kuat dibandingkan Brahmana tinggi besar tersebut dan segera membubarkan diri. Krishna segera mendatangi Raja Draupada dan memberitahu bahwa pemenangnya adalah Arjuna dari Pandawa dan ksatria yang mengusir mereka yang protes adalah Bhima, kakak kedua. Draupada senang mengetahui bahwa calon menantunya adalah Pandawa yang terkenal kesaktiannya yang diharapkan bisa membalaskan sakit hatinya atas tindakan sewenang-wenang Rsi Drona terhadap dirinya. Draupadi diserahkan kepada Arjuna untuk diajak menemui Kunti ibu Pandawa.

Krishna dan Balarama menemui Kunti di kediamannya dan memperkenalkan diri sebagai putra Basudewa, kakak kandung Kunti. Kunti adalah adik kandung Basudewa yang sejak kecil diambil sebagai Putri angkat Raja Kuntibhoja. Kunti sangat senang bertemu dengan Krishna, dalam hatinya dia begitu yakin pada kebijaksanaan sang keponakan tersebut. Krishna kemudian memperkenalkan diri dengan Pandawa dan kemudian asyik berbincang dengan Arjuna. Sejak saat itu dimulailah persahabatan Arjuna dengan Krishna. Mereka seakan-akan menjadi satu seperti dua bersaudara.

Rasa Takut Arjuna Pada Awal Bhagavad Gita

“Krishna akan berusaha untuk lebih dulu membebaskan Arjuna dari rasa takut. Rasa takut bagi Krishna adalah penyakit lama, penyakit yang kita warisi dari evolusi panjang kita sebagai binatang. Rasa takut adalah naluri dalam setiap makhluk hidup. Manusia semestinya mampu melampaui nalurinya, sehingga dapat meningkatkan lapisan-lapisan lain kesadarannya. Krishna juga tahu bahwa rasa takut disebabkan oleh:

1. Ketidak tahuan tentang potensi diri, potensi manusia, dan

2. Kemalasan atau keengganan untuk mengembangkan potensi itu.

3. Hilangnya rasa percaya diri.

Berarti rasa takut mempengaruhi tiga lapisan utama dalam diri manusia. Pertama: Lapisan Intelegensi, akal sehat atau pikiran jernih yang sesungguhnya tahu persis tentang potensi diri. Kedua: Lapisan Fisik yang malas dan enggan untuk mengembangkan potensi itu. Ketiga: Lapisan Rasa, yaitu induk dari percaya diri.” (Krishna, Anand. (2007). The Gita Of Management, Panduan bagi eksekutif muda berwawasan modern. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama)

Dengan indahnya, Bhagavad Gita memulai percakapan dengan rasa takut Arjuna. Rasa takut yang dipunyai oleh semua orang, yang juga dipunyai Arjuna walaupun dia adalah manusia unggul yang sudah waktunya meninggalkan rasa takut. Dengan demikian Bhagavad Gita dapat memandu orang yang masih mempunyai rasa takut, untuk melakukan transformasi, sehingga bisa melampaui rasa takut tersebut.

Arjuna menguasai ilmu bela diri dan ilmu peperangan yang handal. Arjuna telah menunjukkan ketabahan dalam menghadapi penderitaan selama masa pengasingan Pandawa. Arjuna juga menunjukkan kepatuhan terhadap ibundanya yang meminta Draupadi sebagai istri kelima Pandawa. Arjuna juga mendapat anugerah Dewa Siwa, senjata Pashupati, Raja Hewan, yang melambangkan pemiliknya sudah menguasai sifat hewani dalam diri. Toh Arjuna masih merasa takut menghadapi keperkasaan Kakek Agung Bhisma, Guru Drona dan takut membunuh saudara-saudaranya sendiri.

Takut Karena Salah Menentukan Identitas Diri

“Dalam keadaan gelisah itu, Arjuna tidak sadar bahwa sesungguhnya ia sudah berhadapan dengan jawaban dari setiap pertanyaan yang ada dalam benaknya. Dirinya mewakili seribu satu macam pertanyaan dan persoalan yang dihadapi oleh manusia. Sementara itu, Krishna mewakili jawaban tunggal yang dapat menyelesaikan segala macam persoalan, yaitu dengan kembali pada diri sendiri.” (Krishna, Anand. (2007). The Gita Of Management, Panduan bagi eksekutif muda berwawasan modern. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama)

Semua orang mengalami delusi sehingga ia terkena kesedihan, yang bertindak sebagai rem terhadap tindakannya. Arjuna, seorang pahlawan besar, yang sudah mampu melepaskan diri terhadap keterikatan, dan memiliki berbagai kebijaksanaan, toh ia masih juga diperdaya oleh rasa takut dan kesedihan yang menghambat perannya untuk menegakkan kebenaran. Pada awal Bhagavad Gita, Arjuna masih bingung akan identitas dirinya. Arjuna mencampur-adukkan sifat atma yang abadi dengan tubuh duniawi yang bersifat fana. Ini adalah tragedi yang bukan saja dialami oleh Arjuna, akan tetapi oleh seluruh umat manusia. Arjuna menjadi ‘murid’, patuh terhadap Sang Guru, dan itu adalah langkah awal menuju ‘Manusia Universal’ yang sudah bebas dari conditioning kotak-kotak identitas suku, ras, agama, profesi, genetika bawaan dan sebagainya. Sebagai manusia universal Arjuna bebas dari penghakiman terhadap tindakan orang lain, terhadap kepercayaan yang diyakini masing-masing orang. Walaupun tidak menghakimi, karena Arjuna masih hidup di dunia, maka dia tetap memilah mana yang dharma mana yang adharma. Dia tetap menilai apakah tindakan bala Kurawa itu dharma atau adharma. Dan Arjuna tetap pro penegakan dharma.

Dalam Geeta Vahini disampaikan bahwa Bhagavad Gita adalah perahu yang membawa seseorang menyeberang dari pantai perbudakan yang penuh ketakutan menuju pantai kebebasan yang alami. Orang dibawa dari kegelapan menuju penerangan, dari redup tanpa kilau menuju cerah gemerlap. Bhagavad Gita membuat manusia berdisiplin berkarya yang bebas dari noda-noda yang mengikatnya pada siklus kelahiran dan kematian tanpa henti. Singkatnya, manusia datang ke medan kerja dunia hanya untuk berkarya, bukan untuk memperoleh hasil dari kegiatan tersebut. Berkarya tanpa pamrih. Sepi ing pamrih rame ing gawe. Itulah pelajaran mendasar Bhagavad Gita. Bhagavad Gita adalah intisari dari semua Weda. Bhagavad Gita bernilai universal. Bhagavad Gita digunakan untuk berenang melintasi samudera ilusi.

Jadilah Arjuna

“Arjuna baru tersadarkan bila perang yang dihadapinya bukanlah untuk meraih kerajaan (pikiran itu berada dalam lingkupan waktu), tapi perang untuk menegakkan kebajikan dan keadilan, atau dharma. Kesadaran seperti itulah yang membebaskan kita dari cengkeraman Sang Kala dan menjadi bagian dari Sang Kala Hyang Maha Menyengkerami. Apa itu dharma, dan apa kewajiban alat, atau saya ingin tahu job-description alat baru mau jadi alat. Saya mau bereskan pikiran dan emosi dulu baru menjadi alat. Semua keraguan itu muncul karena kita belum yakin. Bukan saja belum yakin pada seorang, sesuatu atau Tuhan, tapi belum ‘punya keyakinan’. Orang yang punya keyakinan tidak bersikap seperti itu. Dia tahu persis bila Sang Kala bahkan tidak perlu diyakini. Ia bekerja terus, mau diyakini baik tidak pun baik. Maka menjadi alat Sang Kala sesungguhnya adalah demi kebaikannya. Supaya ia bebas dari cengkeraman Sang Kala. Jadilah alat yang baik.” (Kutipan dari Bapak Anand Krishna dalam materi Neo Interfaith Studies pada program online One Earth College of Higher Learning.)

Bapak Anand Krishna menekankan bahwa: Tuhan mempercayai kita, maka dilahirkanlah kita semua sebagai agen, (penyalur) duta besar penuh kuasa untuk ikut mengurusi dunia ini. Mari kita hormati kepercayaan-Nya. Kemudian ketika kita lupa akan peran kita, maka Ia pula yang mempertemukan kita dengan seseorang yang ahli dalam spiritual supaya cepat-cepat ingat kembali.