Arjuna, Pemeran Utama Bhagavad Gita“Sang Kala atau Waktu, menurut Gita, adalah Pemusnah yang tak-tertandingi. Ia juga tak terhindari. Ia memusnahkan segalanya, kebaikan maupun keburukan, dan Ia melakukannya di saat yang sama. Ketika Ia memusnahkan keburukan/kejahatan, Ia juga sekaligus mengakhiri penderitaan mereka yang baik dan bijak. Rodanya berputar terus. Adakah cara untuk melepaskan diri dari cengkeramannya? Gita menjawab, ‘ya’. Dengan cara menjadi alat Sang Kala. Kemudian apa pun yang terjadi tidak lagi menimpa dirimu. Apa pun yang terjadi atas kehendak-Nya. Kamu hanyalah agen, penyalur. Saat ini, kata Krishna kepada Arjuna, adalah saat untuk mengakhiri kebatilan. Janganlah berpikir bahwa mereka yang melakukan kejahatan itu adalah kawan atau kerabat, pernah dekat denganmu. Itu dulu ketika kau berada di alam yang sama dengan mereka. Sekarang alammu lain. Kau berada di alam-Ku, menjadi alat-Ku. Maka, jadilah alat yang baik. Jadilah alat yang tajam, tidak tumpul. Akhiri mereka, karena itulah kehendak-Ku.” (Kutipan dari Bapak Anand Krishna dalam materi Neo Interfaith Studies pada program online One Earth College of Higher Learning.)
Arjuna bukan hanya berhasil sebagai pahlawan penegak dharma pada saat perang Bharatayuda, akan tetapi dia masih tetap diingat sebagai manusia utama yang mencerahkan banyak manusia sampai akhir jaman. Kesiapan dirinya sebagai "alat" Keberadaan dan perubahan dirinya dari manusia yang cemas menghadapi saling bunuh antar keluarga Bharata, sampai munculnya keyakinan diri bahwa dia berperang bukan untuk merebut kekuasaan akan tetapi sebagai alat untuk menegakkan dharma telah memberikan semangat manusia untuk mencapai kebebasan. Dua Pemeran Utama Bhagavad Gita, Sri Krishna, yang sekaligus merangkap sebagai Sutradara dan Arjuna, telah memberikan inspirasi bagi jutaan manusia untuk menjalani kehidupan yang lebih bahagia.
Pertemuan Pertama Arjuna dengan KrishnaDalam Bhagavata Vahini disampaikan percakapan Parikshit cucu Arjuna dengan Vyasa kakek Arjuna tentang hubungan antara Pandawa, leluhur Parikshit dengan Sri Krishna. Vyasa berkata bahwa keingintahuan Parikshit yang sangat besar tersebut dapat menjadi bekal untuk memperoleh Kesadaran.
Raja Draupada ingin memperoleh menantu bagi putrinya Draupadi yang luhur budi dan cantik jelita melalui sayembara. Para Raja dan Pangeran dikumpulkan untuk mengadu keahlian memanah, membidik sasaran yang diletakkan pada roda yang berputar. Ketika para Raja dan Pangeran gagal menunjukkan kemampuannya, masuklah pemuda tampan berpakaian Brahmana ikut bertanding. Sang Brahmana berhasil memanah sasaran dan tentu saja berhak memperoleh sang Putri. Balarama memperhatikan Krishna yang terfokus pada pemuda tampan yang sebenarnya Arjuna, seakan-akan melihat masa lalu dan masa depan sang Brahmana dan berkata, “memang pemuda kualitas unggul!” perkataan Balarama disambut senyuman oleh Krishna. Para Raja dan Pangeran protes mengapa Brahmana dimenangkan dalam sayembara, akan tetapi seorang Brahmana tinggi besar menghalangi mereka dan mereka kalah kuat dibandingkan Brahmana tinggi besar tersebut dan segera membubarkan diri. Krishna segera mendatangi Raja Draupada dan memberitahu bahwa pemenangnya adalah Arjuna dari Pandawa dan ksatria yang mengusir mereka yang protes adalah Bhima, kakak kedua. Draupada senang mengetahui bahwa calon menantunya adalah Pandawa yang terkenal kesaktiannya yang diharapkan bisa membalaskan sakit hatinya atas tindakan sewenang-wenang Rsi Drona terhadap dirinya. Draupadi diserahkan kepada Arjuna untuk diajak menemui Kunti ibu Pandawa.
Krishna dan Balarama menemui Kunti di kediamannya dan memperkenalkan diri sebagai putra Basudewa, kakak kandung Kunti. Kunti adalah adik kandung Basudewa yang sejak kecil diambil sebagai Putri angkat Raja Kuntibhoja. Kunti sangat senang bertemu dengan Krishna, dalam hatinya dia begitu yakin pada kebijaksanaan sang keponakan tersebut. Krishna kemudian memperkenalkan diri dengan Pandawa dan kemudian asyik berbincang dengan Arjuna. Sejak saat itu dimulailah persahabatan Arjuna dengan Krishna. Mereka seakan-akan menjadi satu seperti dua bersaudara.
Rasa Takut Arjuna Pada Awal Bhagavad Gita
“Krishna akan berusaha untuk lebih dulu membebaskan Arjuna dari rasa takut. Rasa takut bagi Krishna adalah penyakit lama, penyakit yang kita warisi dari evolusi panjang kita sebagai binatang. Rasa takut adalah naluri dalam setiap makhluk hidup. Manusia semestinya mampu melampaui nalurinya, sehingga dapat meningkatkan lapisan-lapisan lain kesadarannya. Krishna juga tahu bahwa rasa takut disebabkan oleh:
1. Ketidak tahuan tentang potensi diri, potensi manusia, dan
2. Kemalasan atau keengganan untuk mengembangkan potensi itu.
3. Hilangnya rasa percaya diri.
Berarti rasa takut mempengaruhi tiga lapisan utama dalam diri manusia. Pertama: Lapisan Intelegensi, akal sehat atau pikiran jernih yang sesungguhnya tahu persis tentang potensi diri. Kedua: Lapisan Fisik yang malas dan enggan untuk mengembangkan potensi itu. Ketiga: Lapisan Rasa, yaitu induk dari percaya diri.” (Krishna, Anand. (2007). The Gita Of Management, Panduan bagi eksekutif muda berwawasan modern. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama)
Dengan indahnya, Bhagavad Gita memulai percakapan dengan rasa takut Arjuna. Rasa takut yang dipunyai oleh semua orang, yang juga dipunyai Arjuna walaupun dia adalah manusia unggul yang sudah waktunya meninggalkan rasa takut. Dengan demikian Bhagavad Gita dapat memandu orang yang masih mempunyai rasa takut, untuk melakukan transformasi, sehingga bisa melampaui rasa takut tersebut.
Arjuna menguasai ilmu bela diri dan ilmu peperangan yang handal. Arjuna telah menunjukkan ketabahan dalam menghadapi penderitaan selama masa pengasingan Pandawa. Arjuna juga menunjukkan kepatuhan terhadap ibundanya yang meminta Draupadi sebagai istri kelima Pandawa. Arjuna juga mendapat anugerah Dewa Siwa, senjata Pashupati, Raja Hewan, yang melambangkan pemiliknya sudah menguasai sifat hewani dalam diri. Toh Arjuna masih merasa takut menghadapi keperkasaan Kakek Agung Bhisma, Guru Drona dan takut membunuh saudara-saudaranya sendiri.
Takut Karena Salah Menentukan Identitas Diri“Dalam keadaan gelisah itu, Arjuna tidak sadar bahwa sesungguhnya ia sudah berhadapan dengan jawaban dari setiap pertanyaan yang ada dalam benaknya. Dirinya mewakili seribu satu macam pertanyaan dan persoalan yang dihadapi oleh manusia. Sementara itu, Krishna mewakili jawaban tunggal yang dapat menyelesaikan segala macam persoalan, yaitu dengan kembali pada diri sendiri.” (Krishna, Anand. (2007). The Gita Of Management, Panduan bagi eksekutif muda berwawasan modern. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama)
Semua orang mengalami delusi sehingga ia terkena kesedihan, yang bertindak sebagai rem terhadap tindakannya. Arjuna, seorang pahlawan besar, yang sudah mampu melepaskan diri terhadap keterikatan, dan memiliki berbagai kebijaksanaan, toh ia masih juga diperdaya oleh rasa takut dan kesedihan yang menghambat perannya untuk menegakkan kebenaran. Pada awal Bhagavad Gita, Arjuna masih bingung akan identitas dirinya. Arjuna mencampur-adukkan sifat atma yang abadi dengan tubuh duniawi yang bersifat fana. Ini adalah tragedi yang bukan saja dialami oleh Arjuna, akan tetapi oleh seluruh umat manusia. Arjuna menjadi ‘murid’, patuh terhadap Sang Guru, dan itu adalah langkah awal menuju ‘Manusia Universal’ yang sudah bebas dari conditioning kotak-kotak identitas suku, ras, agama, profesi, genetika bawaan dan sebagainya. Sebagai manusia universal Arjuna bebas dari penghakiman terhadap tindakan orang lain, terhadap kepercayaan yang diyakini masing-masing orang. Walaupun tidak menghakimi, karena Arjuna masih hidup di dunia, maka dia tetap memilah mana yang dharma mana yang adharma. Dia tetap menilai apakah tindakan bala Kurawa itu dharma atau adharma. Dan Arjuna tetap pro penegakan dharma.
Dalam Geeta Vahini disampaikan bahwa Bhagavad Gita adalah perahu yang membawa seseorang menyeberang dari pantai perbudakan yang penuh ketakutan menuju pantai kebebasan yang alami. Orang dibawa dari kegelapan menuju penerangan, dari redup tanpa kilau menuju cerah gemerlap. Bhagavad Gita membuat manusia berdisiplin berkarya yang bebas dari noda-noda yang mengikatnya pada siklus kelahiran dan kematian tanpa henti. Singkatnya, manusia datang ke medan kerja dunia hanya untuk berkarya, bukan untuk memperoleh hasil dari kegiatan tersebut. Berkarya tanpa pamrih. Sepi ing pamrih rame ing gawe. Itulah pelajaran mendasar Bhagavad Gita. Bhagavad Gita adalah intisari dari semua Weda. Bhagavad Gita bernilai universal. Bhagavad Gita digunakan untuk berenang melintasi samudera ilusi.
Jadilah Arjuna
“Arjuna baru tersadarkan bila perang yang dihadapinya bukanlah untuk meraih kerajaan (pikiran itu berada dalam lingkupan waktu), tapi perang untuk menegakkan kebajikan dan keadilan, atau dharma. Kesadaran seperti itulah yang membebaskan kita dari cengkeraman Sang Kala dan menjadi bagian dari Sang Kala Hyang Maha Menyengkerami. Apa itu dharma, dan apa kewajiban alat, atau saya ingin tahu job-description alat baru mau jadi alat. Saya mau bereskan pikiran dan emosi dulu baru menjadi alat. Semua keraguan itu muncul karena kita belum yakin. Bukan saja belum yakin pada seorang, sesuatu atau Tuhan, tapi belum ‘punya keyakinan’. Orang yang punya keyakinan tidak bersikap seperti itu. Dia tahu persis bila Sang Kala bahkan tidak perlu diyakini. Ia bekerja terus, mau diyakini baik tidak pun baik. Maka menjadi alat Sang Kala sesungguhnya adalah demi kebaikannya. Supaya ia bebas dari cengkeraman Sang Kala. Jadilah alat yang baik.” (Kutipan dari Bapak Anand Krishna dalam materi Neo Interfaith Studies pada program online One Earth College of Higher Learning.)
Bapak Anand Krishna menekankan bahwa: Tuhan mempercayai kita, maka dilahirkanlah kita semua sebagai agen, (penyalur) duta besar penuh kuasa untuk ikut mengurusi dunia ini. Mari kita hormati kepercayaan-Nya. Kemudian ketika kita lupa akan peran kita, maka Ia pula yang mempertemukan kita dengan seseorang yang ahli dalam spiritual supaya cepat-cepat ingat kembali.