Dosa Yang Nggak Akan Bisa Diampuni Yaitu Selingkuh Atau Memitra Menurut Hindu

 
Om Swastyastu...

Kali ini saya payanadewa.com menulis perkataan menurut Almarhum Ida Pedande Made Gunung tentang dosa yang nggak pernah akan di ampunkan menurut ajaran Agama Hindu.

Siapapun, jika sudah terjerumus dalam perselingkuhan sampai akhir hayatnya yang tidak ada perbaikan moral, dalam renkarnasinya ia akan menjelma menjadi makhluk rendah.

Sangat sulit akan menjelma menjadi manusia kembali. Kata Ida, ia sudah membaca lontar segala macam mantram pengelukatan dari 125 lontar mantram pengelukatan yang ada, tetapi tidak ada satupun yang ada mengenai tirta dan mantram pengelukatan untuk dosa selingkuh.

Dari sebab itu, "bersiap-siaplah bagi yang doyan selingkuh untuk menyambut kehidupan mendatang sebagaia binatang yang kelas rendah, seperti, Lintah misalnya, tutur Ida".

Tidak Perlu Malu Mengaku Tidak Tahu

Tidak Perlu Malu Mengaku Tidak Tahu
Foto by @Kefin Fairley

Sejak tempo dulu, kesalahan yang paling sering dilakukan oleh orang yang ditokohkan dalam masyarakat ataupun orang yang menganggap dirinya: "Tokoh" penting dalam sebuah komunitas, tidak pernah mau mengaku: "Maaf, saya tidak tahu". Karena merasa dirinya dihormati oleh masyarakat sekitarnya, karena menganggap dirinya orang pintar tempat bertanya, sehingga merasa bahwa ia harus tahu, apapun yang ditanyakan oleh orang.

Akibatnya, lahirlah jawaban yang melantur bahkan berpotensi membodohi bahkan sampai melukai perasaan masyarakat. Saya masih ingat, ketika masih duduk di bangku SD, kakak saya yang paling tua, entah karena apa tiba-tiba muntah-muntah dan demam tinggi. Pada waktu itu, berobat ke dokter atau rumah sakit hanyalah untuk orang kaya, sedangkan ajik (ayah) saya hanyalah seorang kuli bangunan di Jembrana. Walaupun kakak kami sakit cukup parah, tapi ajik tetap berangkat bekerja membawa cangkul, pukul, sekop seperti biasa, karena hanya itulah satu-satunya penghasilan yang diharapkan dapat menutupi biaya dapur bagi kami anak-anak.

Segala usaha sudah dicoba. Antara lain, menempelkan daun mengkudu yang dihangatkan ke perut kakak kami dan pisang ditumbuk hingga lumat dan ditempelkan ke kepalanya sebagai pengganti kompres. Tapi sakitnya tetap berlanjut. Mau pinjam uang kepada siapa? Tetangga kami rata-rata hidupnya 11-12 dengan keluarga kami.

Maka dipanggillah orang pintar, (sebut saja dukun). Dukun datang dan kemudian mulutnya komat-kamit. Ketika komat-kamitnya berhenti sejenak, maka ibu saya bertanya: "Ajik, sakit apa anak saya?"
Ajik Dukun, menarik nafas panjang dan menjawab : "Ubun-ubun anak ini dihisap oleh "Bojog Selem" (semacam kera/monyet hitam). Kera/monyet hitam ini merupakan sosok jadi-jadian yang memiliki taring panjang seperti gajah namun berwajah kera.

Siapa yang sering singgah di rumah ini?" Tanya Ajik Dukun dan saya langsung menjawab: "Tukang Kacang Goreng langganan kami." Nah, itu dia Bojog Selem nya."

Berhenti Langganan Kacang Goreng

Sejak saat itu, anak-anak dilarang beli kacang goreng, Tentu saja saya ikut sedih. Tapi apa boleh buat, daripada dihisap oleh Bojog Selem. Walaupun sudah dijampi-jampi dan dikasih kunyit yang sudah diberi mantra, kakak saya akhirnya meninggal.
Selang sekitar sebulan kemudian, ketika saya sedang bermain sambil berlari-lari, tiba-tiba kaki saya tertancap paku. Saya coba mencabut, tapi tidak bisa. Saya duduk di tanah dan tak tampak seorangpun yang bisa diminta tolong.

Tiba-tiba entah dari mana datangnya, Tukang Kacang langganan kami dulu sudah berjongkok di samping saya. Keringat dingin keluar karena terbayang saya akan dihisap oleh Bojog Selem yang berwajah Tukang Kacang. Tapi Tukang Kacang tersebut dengan suara lembut membujuk saya dan membantu mencabut besi paku yang tertancap dalam di telapak kaki saya. Bahkan ia menyobek baju kaos dalamnya untuk membalut luka saya.

Saya jadi terheran heran, ternyata "Bojog Selem" ini sangat baik. Kemudian masih dengan suara ramah bertanya, mengapa saya menjerit menengoknya dan mengapa ia tidak boleh lagi datang kerumah kami? Maka saya jelaskan kepadanya bahwa menurut Ajik Dukun, dirinya adalah "Bojog Selem".

Wajahnya tampak sedih dan tampak air mata mengalir dari matanya. Kemudian, ia memegang tangan saya untuk diantarkan pulang kerumah. Tentu saja keluarga saya sangat kaget melihat saya dituntun oleh "Bojog Selem". Sebelum sempat keluarga saya salah sangka maka saya langsung berteriak: "Ajik ini orang baik, bukan Bojog Selem. Tadi kaki saya terinjak besi paku, Ajik inilah yang menolong saya."

Tukang Kacang Bercerita

"Maaf, ibu dan bapak, saya bukan seperti yang disangkakan. Saya senang pada anak-anak, bukan untuk mencelakakan mereka tapi karena saya rindu pada anak saya satu-satunya yang meninggal karena kecelakaan. Ketika menjual kacang goreng di sini sungguh saya sama sekali tidak mengambil keuntungan apapun. Semata-mata, hanya pelepas kangen pada anak-anak." Dan hingga di sini, Tukang Kacang ini tak kuasa menahan pecahnya tangis.

Kami semua terdiam dan sejak saat itu, Tukang Kacang ini kembali menjadi langganan tetap kami. Sering kali kalau ia datang dan memandang wajah saya, terus bergumam dalam bahasa Bali: "Kalau anak saya masih hidup, ia juga sudah sekolah..." Dan kemudian ia menggelengkan kepala dengan sangat sedih.

Sejak kejadian itu, kami seisi rumah tidak percaya lagi akan yang namanya Dukun atau Orang Pintar. Karena jawabannya: "Asmong". Kami sampai melukai hati Penjual Kacang goreng yang baik hati tersebut. Karena ternyata Penjual Kacang goreng yang dikatakan "Bojog Selem" tersebut hatinya jauh lebih mulia ketimbang Ajik Dukun.

Refleksi Diri

Kisah ini ditulis berdasarkan kejadian yang sudah lama sekali. Tapi masih membekas dalam di hati serta menjadi pelajaran berharga kalau ada yang bertanya sesuatu dan kita tidak tahu jawabannya, maka jawablah sejujurnya: "Maaf, saya tidak tahu."

Hal ini sama sekali tidak akan menurunkan derajat dan level kita di mata orang, malahan akan semakin dihargai. Ketimbang: "Asmong" atau "Asbun" yang dapat menimbulkan petaka bagi orang lain.
Karena di dunia ini, sepintar apapun seseorang bahkan seorang professor, tidak mungkin mengetahui segala sesuatu. Hanya Tuhan Yang Maha Tahu.

Belajar Dari Keteguhan Dan Peran Perempuan Bali

Belajar Dari Keteguhan Dan Peran Perempuan Bali


Karakter perempuan Bali sering digambarkan sebagai figur manusia ber-etos kerja tinggi, ulet, mandiri dan memiliki bakti yang tinggi pada keluarga, baik itu ketika ia sebagai seorang istri ataupun ketika ia sebagai normalnya "perempuan bali". Baca juga: Tak Ada Yang Sekuat Wanita Bali

Sebagai seorang istri seorang „perempuan bali" terkadang ia tidak hanya mengurus dirinya sendiri tapi juga harus mengabdikan dirinya untuk orang lain, seperti mengurus dan menyenangkan suami, mengurus dan mendidik anak, bahkan merawat orang tua serta mertuanya dan juga harus menjaga mereka semua agar tetap senang dan berhubungan dengan baik satu sama lainnya. Sebagai „perempuan bali“, terkadang ia juga harus bisa mebanten, bisa mejejahitan, bisa ngigel atau menari, hingga harus mampu ikut membantu menopang perekonomian keluarga.

Multi peran yang dijalani wanita selama hidupnya ini juga menuntut kemampuan untuk mengerahkan rasa sabar dan pertahanan mental yang luar biasa. Oleh karena itu adalah tanggung jawab laki-laki untuk selalu melindungi perempuan dengan selalu menjaga dan tidak menyakitinya, selalu menyusun kata-kata dengan baik sebelum berbicara kepadanya.


Karena sesungguhnya wanita itu sudah merasa bahagia cukup dengan ditinggikan derajatnya, dipuji, atau dijaga perasaannya. Bukankah demikian teman-teman ?

Makna Tumpek Krulut Hari Valentinennya Umat Hindu Bali

Makna Tumpek Krulut Hari Valentinennya Umat Hindu Bali 
Makna Tumpek Krulut Hari Valentinennya Umat Hindu Bali

Hari Tumpek Krulut jatuh pada hari Sabtu kliwon, wuku Krulut, yaitu setiap 6 bulan atau 210 hari kalender. Pada hari Tumpek Krulut masyarakat hindu mengadakan pemujaan puji syukur kepada Tuhan dalam manisfestasinya sebagai Dewa Iswara, yang telah terciptanya suara-suara suci dalam bentuk Tabuh atau Gamelan. 

Istilah dari Tumpek Krulut diambil dari nama wuku (penanggalan jawa dan bali) berdasarkan kalender Bali, yaitu “lulut” yang memiliki makna jalinan atau rangkaian. Jadi Hari Tumpek Krulut merupakan wujud dari kasih sayang terhadap alat-alat seni berupa gamelan atau tetabuhan. 

Hari Tumpek Krulut jika dicermati secara mendalam sesungguhnya sebagai sarana memunculkan rasa saling asih, asah dan asuh di antara sesama manusia melalui sarana seni tetabuhan, hasil dari karya cipta Hyang Widhi yang membuat rasa tertarik, senang, dan terpesona dalam kehidupan. Menurut Cendekiawan Hindu, Drs. I Ketut Wiana, M.Ag., Dosen dari IHDN (Institut Hindu Dharma Negeri) Denpasar Tumpek Krulut diambil dari Kata krulut berasal dari kata lulut yang artinya ‘senang’ atau ‘cinta’ yang bisa disejajarkan dengan makna sayang cinta dan welas asih. Krama Hindu di Bali selama ini merayakan hari Tumpek Krulut sebagai hari piodalan di pelinggih penyarikan di banjar - banjar. 

Di Hari Tumpek Krulut krama banjar mengupacarai perangkat Gamelan atau Tetabuhan. Oleh sebab itu Hari Tumpek Krulut juga sering disebut dengan Odalan Gong atau Otonan Gong yang bertujuan agar perangkat suara untuk kelengkapan upacara tersebut memiliki suara yang indah dan bertaksu. Sesajen yang dihaturkan pada hari Hari Tumpek Krulut yaitu peras pengambean, ajuman, tigasan, beserta tipat/ketupat gong. Hari kasih sayang di Bali sudah ada sejak zaman dulu seperti hal nya hari valentine Hanya saja, banyak orang yang belum memahami kalau Hari Tumpek Krulut merupakan hari kasih sayang. 

Moment Hari Tumpek Krulut adalah salah satu implementasi dari Tri Hita Karana yang melibatkan yadnya atau korban suci. Korban suci adalah bagian dari cinta yang tulus.

Bahan Bahan Banten Pejati

Om Swastyastu
Bahan bahan Banten Daksina


Kali ini saya akan membagikan bahan bahan untuk membuat Banten Pejati yang terdiri dari:

1. Peras
2. Ajuman
3. Daksina

Peras:

  • Tumpeng
  • Kulit Peras
  • Pisang
  • Buah
  • Jaje
  • Sampian Pusung
Ajuman :

  • Pendek
  • Buah
  • Pisang
  • Jaje
  • Kepetan Ajuman

Daksina :

  • Beras
  • Kelapa
  • Telor Bebek
  • Kojong Lima
  • Biu
  • Enteban
  • Gantusan
  • Base Tampel
  • Benang


Itulah bahan bahan untuk Membuat Banten Daksina.

Silakan tonton Video Cara Membuat Banten Upakara Bali di Bawah.

Upacara Untuk Yang Menggugurkan Kandungan (Warak Keruron atau Pengepah Ayu)

Upacara Untuk Yang Menggugurkan Kandungan (Warak Keruron atau Pengepah Ayu)
Upacara Warak Keruron atau Pengepah Ayu (Keguguran) ini mungkin sangat jarang kita dengar dan jarang pernah kita lihat implementasinya karena berbagai alasan. Tetapi, sebagai umat Hindu yang percaya dengan keberadaan Sang Hyang Atma hingga sangatlah penting untuk melaksanakan upacara terhadap si cabang bayi yang mengalami keguguran (keruron), meskipun belum berwujud, agar tidak menyebabkan kekacauan (ngrubeda) dalam keluarga, melalui upacara yang disebut dengan upacara "Pengepah Ayu" akibat keguguran (Warak Keruron) atau mengugurkan kandungan (Dhanda Bharunana). 

Silakan baca: Cara Agar Cepat Hamil

Adapun pelaksanaan upakara ini berdasarkan Lontar Tutur Lebur Gangsa dan Sunari Gama, sebagai berikut : 

1. Proses pelaksanaan upakara ini dilaksanakan di laut/segara. Akan tetapi, sebelum pelaksanaan upacara di laut, pertama kali wajib mengadakan upacara Pakeling dan Upacara Guru Piduka di Kemulan, kemudian nunas tirta untuk dibawa ke laut, dengan upakara : Upakara Meguru Piduka di Kemulan : Daksina Pejati, Ketipat, Pras dan runtutannya.

2. Persembahan Banten Guru yaitu: Mealed Taledan, raka-raka sarwa galahan, tumpeng guru, kojong rangkadan dan sampian jeet guak.

3. Sesayut Guru Piduka/Bendu Piduka : taledan kulit sesayut, raka-raka jangkep, tumpeng putih meklongkang plekir, kojong rangkadan, limang tebih jaja bendu, suci, kwangen 1 buah, sampyan naga sari, penyeneng, wadah uyah, pebersihan dan runtutannya. Upakara di tempat keguguran dilakukan pecaruan Sapuh Awu. 

4. Berikut, upakara di pinggir laut/di pasir pantai, dilakukan dengan prosesi : 

  • Membuat pempatan agung menggunakan kain (kasa) putih.
  • Nanceb sanggah cucuk : upasaksi ke Surya munggah banten daksina, katipat pras, punjung serta runtutannya dan ring sor sanggah : segehan gede asoroh


Untuk di Natar Segara, Bantenya Sebagai Beeikut:

1) Banten yang dipakai untuk roh bayi : bunga pudak, bangsah pisang, kereb sari, punjung dan banten bajang. 

2) Banten untuk ngulapin roh bayi : sorohan, pengulapan-pengambeyan, peras, daksina, ketipat, kelungah nyuh gading disurat ong kara (genah ngadegan roh bayi), kemudian dilakukan pemujaan (mengembalikan kepada sanghyang sankan paraning pemadi) ruh bayi tersebut, dan kemudian bangtiangcruh bayi tersebut untuk mendapatkan tempat yang baik.

Setelah itu klungah nyuh gading dan semua banten yang digunakan dihanyutkan ke laut.

Yang terakhir pemuput Upacara pengepah ayu ini bisa dilakukan oleh pemangku yang di yakini atau khususnya pemangku kayangan tiga atau Dalem lan Mrajapati. 

Semoga Bermanfaat, silakan simak artikel payanadewa.com untuk tulisan lainnya. 
Om Santhi, Santhi, Santhi Om

Kuningan Kesempurnaan Karma dan Kebenaran


AUM AWIGHNAM ASTU NAMO SIDHAM KUNINGAN KESEMPURNAAN DHARMA KEBENARAN 


Perjalanan umat manusia tak pernah henti berjalan terus menyusuri Sang waktu pekat kelam muncul timbul tenggelam ... Sarat penuh makna mengarungi hamparan suka dan duka menghitung lambaian tangan memukau menyambut Sang waktu. Entah disadari atau tidak klimaks perjuangan hidup ini bagaikan putaran CAKRA SUDARSANA KRISHNA menggelinding merecord benar salah baik buruk menjadi Kharma dari hukum sebab akibat yg didalilkan.


Diakui atau tidak Kebenaran tetap ditegakkan bukan perkara siap atau tidak kita haruslah mengakui tiba saatnya keabsahanya mewakili kata hati dari sekumpulan insan manusia bahwa harus diakui siapapun dia Tirani kehidupan adalah suatu yg mutlak dan patut diakui saatnya akan memberikan bayangan hasil yg sudah pasti  adakah waktu dan kesempatan berkelit walau kemampuan kita merasa tak kan pernah usang? Patut diakui dimanapun kita berpijak tak ada sejengkal pun luput dari kekuasaanNya . ibarat kita bisa melewatinya disaat semua sudah tiba Sang waktu akan menutup semua cita dan perjuangan kita. Sungguh tiada alasan kita hanya kepadaNya lah proses ini berlangsung dan kita tak pernah tau karena lilitan Sang cakra sudarsana menghabiskan tali kuncinya sampai habis hambanya tak berkutik . 


Ajaran yg paling dibenarkan atas Nya adalah perjalanan fase waktu yg menghantarkan kita yg mengerti sementara waktu. Dimanakah sesungguhnya dia yg paling benar diakui kebenaranya? Berbagai kemampuaNya belum mampu kita menolaknya hanya karena kasihNya semuanya bisa ditawar untuk mengurangi kesalahan yg perlu pengampunan. Kepastian yang didapat memerlukan pengakuan yang abadi bilamana belum dianggap sempurna. Sungguh mulianya perjuangan ini yg tak pernah henti mengais memilah dari kepribadian seorang anak Tuhan yang berakhlak mulia. Perlu waktu sangat panjang untuk meniti ibarat secangkir gula dan kopi bila telat mengaduknya ibarat ampas yang akan membuat hidup ini sia dan sia. 


Manusia dapat kesempatan paling longgar diantara makhluk lainya. Adakah waktu tanpa berharga yang harus sia-sia lewat begitu saja? Mungkin kita perlu banyak cara yang mampu dan jitu meretas bayangan kelam akhir dari sebuah karma yang tentu membuahkan hasil yang baik walau belum sempurna. Diyakini atau tidak sisa sang waktu ini tetap akan mencatat SANCITHA KARMA WASANA yang akan berbuah manis bila waktu yang masih tersisa kita menimbun segumpal ke arah perbaikan. Sungguh mulianya dilahirkan sebagai manusia tanpa cela tanpa cacat yang lebih leluasa berbuat untuk berlomba atas nama kebaikan. 


Ada satu ajakan mulia bila kita mengakui hidup ini tidaklah berasa apa-apa, kosong bagaikan kentongan suara kental bergema saatnya menjauh suara nyaring kosong ditelan waktu. Sungguh mulianya harapan ini kita lalui tanpa batas yang akhirnya menghantarkan konsekuensi kehidupan ini yg membawa berkah terekam dari puncaknya volume kharma yang tidak pernah lepas ..... Satu perwujudan kata suci dan mulia berakhir untuk menatap proses sesungguhnya kita tidak pernah sadar untuk apa sesungguhnya jalan hidup yang kita cari semuanya memiliki Rekaman pasti yang akan menghantarkan puncak karma wasana yang kita torehkan .... 


Dumogi tujuan kesempurnaan hidup lahir mencapai MOKSARTHAM JAGADHITA YA CA ITI DHARMAH benar memberi inspirasi dari semua jalan terjal yg sdh kita lewati ..... AWIGHNAM ASTU.

Makna Hari Raya Kuningan dan Mengapa Upakara Harus Dihaturkan Sebelum Jam 12 Siang

Makna Hari Raya Kuningan dan Mengapa Upakara Harus  Dihaturkan Sebelum Jam 12 Siang

Apa Sesungguhnya Hari Raya Kuningan? Dan apa simbol Upakara yang harus dihaturkan sebelum jam 12 siang? silahkan simak tulisan payanadewa.com dimana Anda akan menemukan jawabannya.


Kuningan merupakan rangkaian Hari Raya Galungan yang jatuh pada hari Saniscara Kliwon Wuku Kuningan, yang memiliki makna Keuningan dengan arti tercapainya tingkatan spiritual dengan cara intropeksi diri agar terhindar dari mara bahaya. Dan juga mengandung makna Jani, Pemberitahuan, Nguningayang, baik pada diri sendiri maupun kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan yang Maha Esa.


Simbol Upakara/Banten:


  1. Tamiang, simbol perlindungan dan perputaran roda alam semesta
  2. Endongan/Selagi, simbol dari perbekalan, bekal terutama ilmu pengetahuan (jnana) untuk mengarungi kehidupan
  3. Ter, simbol panah atau 
  4. Sampian Gantung, simbol penolak bala
  5. Nasi Kuning/Penek Kuning, simbol kemakmuran



Pada hari raya Kuningan Ida Sanghyang Widi Wasa memberkahi umatnya darivjam 00pagi sampai jam 12.00siang, karena energivalam semesta. Pertiwi, Apah, Bayu, Teja dan Akasa  (Panca Maha Butha) bangkit pada puncaknya sampai jam 12.00 siang, lewat pada waktu itu disebut Pralina/kembali le asal/ngeluur kealam ara Dewa/Dewa Loka.


Kesimpulan


Kita harus ingat menyama braya, persatuan, solidaritas sosial, selalu ingat dengan lingkungan, sehingga terciptanya keharmonisan alam beserta isinya, serta tidak lupa mengucapkan rasa syukur kehadapan Ida,Sang Hyang ParamaKawi  atas karunianya. 

Kuningan dan “Dewa Berung”

Kuningan dan “Dewa Berung”
Ilustrasi photo via prempuanbali.asia

Kuningan sejatinya adalah hari tumpek (Tumpek Kuningan) yang jatuh pada saniscara kliwon wara kuningan. Kuningan secara filosofi terlepas dari rangkaian Galungan. Tapi karena harinya berdekatan sehingga tampak sebagai sebuah rangkaian dan dirayakan sebagai Galungan - Kuningan. 

Tumpek Kuningan sebagai hari pemujaan khusus kehadapan Dewa (Betara) dan Leluhur (Pitara). Sebagaimana juga kekhususan tumpek yang lain seperti tumpek kandang untuk binatang, tumpek wariga untuk tumbuhan, tumpek landep untuk senjata, tumpek wayang untuk kekuatan supranatural / pasupati / taksu, tumpek krulut untuk suara. Sebagai tonggak pemujaan khusus, Tumpek Kuningan bahkan lebih “rumit” dan “rimit” dibandingkan dengan Galungan. Seperti sarana tebog, selangi, ceniga dengan daun kayu sedikitnya lima macam, tamiang, ter, endongan, sampian gantung dengan bentuk khusus, tumpeng kuning, nasi kuning, sodan, segehan, dll. 


Dan semua sarana tersebut sebelum dihaturkan mesti dikuningkan dan disucikan dengan sarana gerusan / tumbukan daun intaran dan kunyit yang diisi air. Dalam cakepan Sunar Igama, pada hari Saniscara Kliwon wara Kuningan Ida Hyang Siwa Mahadewa diikuti oleh para Dewa dan Pitara (leluhur) turun dari “kayangan” menuju “mercapada” untuk “mesuci” dan “amukti sarining banten”. Oleh karena itu, sang gama tirtha di mercapada menyambut kehadiran “Betara” dan “Pitara” dengan persembahan pesucian, canang wangi, disertai “selangi”, “tebog”, haturan sesaji, dan segehan, sebagai simbol tapa dan ketulusan memuja Hyang Maha Suci untuk memohon amerta, kemakmuran, kepradnyanan / kebijaksanaan. Pada hari Kuningan bangunan agar “mesawen” dipasangi “tamiang” (tameng / pelindung) sebagai tanda kemeriahan dan keindahan menyambut kehadiran Betara dan Pitara di mercapada.


Kuningan  selalu menautkan Tamiang, yang mana sebagai simbol memohon perlindungan dan keselamaran kehadapan Ida Bethara dan Pitara. 
Sang Gama Tirtha juga melaksanakan “prayascita” memohon penyucian diri kehadapan Betara dan Pitara dengan sesayut prayascita disertai hening “adnyana” / bhatin. Ditetapkan bahwa pada hari Kuningan, Ida Betara dan Pitara turun ke dunia pada pagi hari. Setelah memberkati anugrah semua haturan, maka pada tengah hari Ida Betara dan Pitara kembali ke kayangan. 

Oleh karena itu pemujaan Kuningan dilakukan pada pagi hari. Tidak boleh “kelangkaran surya” (dilangkahi matahari / lewat tengah hari). Apabila pemujaan Kuningan lewat tengah hari, maka yang akan dihaturkan pemujaan adalah “Dewa Berung” yakni sosok dewa yang kotor, borok, dan bau. Mitologi Dewa Berung ini dinarasikan oleh para leluhur agar pemujaan Kuningan sesuai dengan ketentuan, agar tidak sia-sia. Demikian leluhur mewariskan. 

Mengenal Banten Santun Dalam Agama Hindu

Mengenal Banten Santun Dalam Agama Hindu

Tak bisa dipungkiri agama Hindu memiliki berbagai tradisi yang unik dan bermakna. Selain itu, agama Hindu juga mempunyai beragam simbol yang begitu indah serta menarik bagi siapa saja yang melihatnya. Tentunya bagi umat Hindu, simbol-simbol tersebut begitu menggetarkan hati dan memiliki makna yang begitu mendalam. Ternyata simbol-simbol tersebut adalah media bagi umat Hindu sebagai upaya untuk mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Selain itu simbol tersebut adalah dialog manusia dengan Yang Maha Kuasa sekaligus memohon perlindungan dan maupun wara nugraha-Nya. 
Salah satu simbol yang ada di dalam agama Hindu yaitu memakai banten untuk berbagai ritual upacara. Di dalam agama Hindu, Banten merupakan bahasa agama. Sedangkan banten di dalam lontar Yajna Praktrti mempunyai tiga arti yaitu sebagai simbol ritual yang sakral. Banten juga mempunyai banyak jenis yang masing-masing memiliki konsep hidup yang sifatnya universal. Secara lebih jelasnya, banten adalah sesajen yang rumit dan kompleks namun juga sangatlah indah. Dibalik keindahan banten tersebut tersimpan makna filsafat atau tattwa yang menyertainya. 
Dalam kitab suci Weda, Banten juga disebut Wedya yaitu sebuah istilah yang juga ditemui di Bali. Dalam sebuah tulisan karya Ida Perdana Made Sidemen disebutkan bahwa hilanglah puja tanpa menengakkan wedya seperti manusia yang akan hilang jika tanpa makanan. Hal inilah yang membuat antara Weda Puja dan Banten tak bisa terpisahkan. Di dalam ajaran Tantra disebutkan sebagai mantra serta yantra. Dimana dalam hal ini yantra menjadikan mantra sebagai jiwanya. Sehingga yantra tidak bisa terpisahkan dengan mantra. 
Di dalam kakawin Ramayana telah disebutkan bahwa sesajen untuk yadnya sudah disiapkan seperti kayu cendana, bunga, kayu bakar dan harum-haruman. Selain itu sesajen tersebut juga disertai buah, santan dan susu, madu dan biji hitam. Tak lupa juga priuk dan ujung alang-alang yang disertai bertih dan tepung. Berbagai benda yang dibutuhkan dalam upacara tersebut sampai saat ini masih terus dipergunakan. Maka jelas bahwa upakara banten memang dibutuhkan dalam upacara yadnya sehingga weda, puja dan mantra memperoleh tempat yang sebagaimana mestinya. 
Selama ini Bali disebut juga sebagai Pulau Banten karena pulau di Bali Banten mempunyai tempat yang baik serta bersatu bersama Weda, Puja, Sruti, Mantra dan Sthawa. Banten lahir dengan melewati jari jemari lalu memusatkan pikiran dalam proses yiga pada Hyang Maha Suci mengolah isi laut, isi bumi dan lain sebagainya. 
Di dalam setiap upacara yadnya di bagian tengah banten dihadirkan santun. Dimana santun ini merupakan bentuk upakara yang hadir dalam bentuk bulat. Selain itu isinya juga serba bulat seperti telur, kelapa dan lain sebagainya. Bila dilihat secara fisik, Banten santun memang terlihat seperti miniatur alam semester yang dibangun oleh planet-planet berbentuk bulat. Untuk itulah santun dijadikan untuk Sthana Hyang Maha Suci namun juga dijadikan punyai pada para pendeta ataupun orang-orang suci. 
Untuk itulah Bali membangun simbol dengan penuh makna kesucian maupun kesemestaan. Hal ini membuktikan bahwa Bali sudah melestarikan pemikiran Hindu serta dituangkan di dalam kitab-kitab sucinya. Kecuain Bali memang harus selalu dijaga karena Bali dibangun atas dasar konsep kesucian padma bhuana yaitu bunga suci yang dijadikan Sthana Hyang Maha Suci. 
Demikianlah penjelasan mengenai Banten Santun yang bisa menambah wawasan anda. Melalui informasi di atas kini anda bisa memahami bahwa dalam agama Hindu Bali terdapat berbagai jenis Banten yang masing-masing memiliki makna dan komponen yang penting dalam upacara. 

Cara Membuat Banten Pekideh



Pada zaman dahulu belum dikenal adanya sebutan banten melainkan masih dalam bentuk upakara yang dipakai sebagai saranan upacara yang awalnya hanya terbatas bagi para pengikut saja namun lama kelamaan semakin berkembang hingga ke penduduk wilayah lainnya. Jenis upakara yang dipakai tersebut memakai bahan baku berupa bunga, daun, air, buah serta api yang kemudian disebut Bali. Hal inilah yang membuat para pendudukan yang melakukan pemujaan memakai sarana upakara disebut dengan orang-orang Bali. Sehingga bisa dikatakan bahwa orang-orang Bali asal mulanya merupakan penduduk Taro. 
Lama kelamaan ajaran tersebut berkembang hingga ke seluruh pulau hingga pulau tersebut dinamakan Pulau Bali yang kala itu artinya pulau yang dihuni oleh orang-orang Bali. Namun secara lebih jelasnya, penduduk di pulau tersebut melaksanakan pemujaan memakai sarana upakara Bali. Kemudian sarana upakara tersebut berubah nama menjadi Banten yang berasal dari kata wanten yang berarti wantu atau bantu. Sehingga bisa disimpulkan bahwa banten merupakan alat bantu di dalam pemujaan atau simbol keagamaan. 
Dalam melaksanakan ajaran agamanya, agama Hindu menggunakan empat jalan antara lain Bhakti Marga, Jnana Marga, Karma Marga dan Raja Marga. Untuk tahap apara bhakti pemujaan memang menggunakan berbagai alat bantu seperti banten dan jenis upakara lainnya. Biasanya di Bali keempat marga tersebut dilaksanakan sekaligus ke dalam bentuk upacara agama memakai sarana banten yang memakai bahan pokok seperti bunga, daun, air dan api. Dimana masing-masing sarana tersebut mempunyai makna yang begitu penting bagi upacara agama Hindu di Bali. 
Karena begitu sakralnya makna banten sehingga Yadnya Prakerti menyebutkan bahwa mereka yang membuat banten harus bisa berkonsentrasi untuk siapa banten tersebut akan dipersembahkan. Selain itu pembuat banten harus sudah mensucikan diri melalui upacara pawitenan. Tujuannya supaya pembuat banten tahu tata cara serta aturan dalam pembuatan banten tersebut. 
Saat membuat banten dengan kesucian maupun kedamaian hati yang selalu terjaga. Misalnya dengan memakai pakaian yang sopan, tidak mengeluarkan kata yang kasar, tidak sedang cuntaka, tidak sedih, tidak menggaruk-garuk badan dan lain sebagainya. Sehingga bisa disimpulkan bahwa saat membuat banten maka kondisikan dalam situasi yang sakral, suci, penuh konsentrasi, kasih sayang dan rasa bhakti pada Hyang Widhi. 
Berkaitan dengan pembuatan banten yang harus benar-benar diperhatikan situasinya maka hal tersebut berlaku untuk pembuatan berbagai jenis banten termasuk salah satunya adalah banten pekideh. Dimana jenis banten ini ternyata setiap daerah menyebutnya dengan istilah yang berbeda yaitu banten danan atau banten nasi. Meskipun berbeda tetapi cara pembuatan dan bahan banten ini tetaplah sama. Pembuatan banten ini dimulai dengan mempersiapkan ceper yang terbuat dari janur muda ataupun janur tua tetapi biasanya masyarakat sering menggunakan janur tua. 
Selanjutnya persiapkan isi banten yang terdiri dari uyang. Adapun bahan uyang tersebut adalah tape, jaja uli, bantal, pisang disisir, jaja gina, tebu dipotong kecil, kacang yang diwadahi celemik, dua tumpeng kecil dan saur. Kemudian letakkan semua bahan di dalam ceper dan siapkan plaus yang dipakai adalah jenis plaus sederhana. Letakkanlah plaus tersebut di atas banten maka banten kini sudah siap dihaturkan untuk persembahyangan. 
Itulah tadi penjelasan mengenai cara membuat banten pekideh yang bisa menambah wawasan anda. Melalui informasi di atas tentu kini anda bisa tahu pembuatan pekideh dan bahan-bahan yang dipergunakan. Jangan sampai ada bahan yang ketinggalan sebab masing-masing bahan mempunyai makna dan fungsi tersendiri. 

Belajar Makna Banten Saiban dalam Hindu Bali


Bali merupakan sebuah pulau yang memiliki berbagai tradisi yang hingga saat ini masih begitu kental dan terus dilaksanakan oleh hampir seluruh masyarakat Bali terutama yang menganut agama Hindu. Salah satu tradisi di Bali yang cukup populer adalah Banten Saiban. Dimana banten ini juga sering disebut dengan ngejot yang merupakan sebuah tradisi Hindu di Bali yang dilakukan sesudah selesai memasak di pagi hari setiap harinya. Mesaiban atau Mejotan disebut juga dengan Yadnya Sesa yang tak lain adalah yadnya yang paling sederhana serta realitas Panca Yadnya yang dilakukan umat Hindu di kehidupan sehari-hari. 

Pelaksanaan saiban ini memang seharusnya dilakukan setelah selesai memasak atau sebelum menikmati hidangan makanan. Dalam tradisi ini tersimpan makna banten saiban yang begitu mendalam bagi kehidupan umat Hindu di Bali. Dimana banten saiban ini adalah penerapan dari ajaran kesusialaan Hindu yang mengharuskan umat agar senantiasa bersikap anersangsa dengan tidak mementingkan diri sendiri serta ambeg para mertha yang berarti mendahulukan kepentingan di luar diri. Pelaksanaan banten saiban ini bermakna bahwa manusia sesuai selesai memasak memang harus memberikan persembahan berupa makanan sebab makanan tersebut adalah sumber kehidupan di dunia. 

Tujuan dilakukannya banten saiban ini adalah sebagai wujud syukur dari yang diberikan oleh Sang Hyang Widhi pada manusia. Seperti yang telah diketahui bahwa yadnya merupakan sarana dalam menghubungkan manusia dengan Sang Hyang Widhi Wasa agar memperoleh kesucian jiwa. Selain itu saiban juga merupakan manifestasi-Nya serta makhluk ciptaan-nya termasuk juga alam serta isinya. 

Dalam melaksanakan banten saiban juga terdapat sarana yang sederhan karena banten ini merupakan yang paling sederhana. Biasanya banten saiban ini dihaturkan memakai daun pisang yang diisi nasi, lauk pauk dan garam lalu disajikan sesuai yang sedang di masak hari ini. Tetapi tidak ada keharusan untuk menghaturkan lauk pauk tersebut. Saiban yang sempurna merupakan yang dihaturkan lalu dipercikkan air bersih serta dupa menyala sebagai saksi persembahan tersebut. Tetapi yang sederhana dapat dilakukan tanpa memercikkan air maupun menyalakan dupa. Sebab wujud saiban itu sendiri memang begitu sederhana. 

Setelah mengetahui sarana dan makna banten saiban, hal penting yang perlu anda pahami juga adalah tempat untuk menghaturkan saiban. Ternyata terdapat 5 tempat yang dihaturkan dalam saiban sebagai simbol Panca Maha Bhuta. Lima tempat tersebut antara lain sebagai berikut : 

  1. Pertiwi atau tanah yang biasanya ditempatkan di bagian pintu keluar rumah maupun pintu halaman. 
  2. Air atau Apah yang ditempatkan di sumur ataupun tempat air. 
  3. Api atau Teja yang ditempatkan di dapur pada tempat memasak atau tungku maupun kompor. 
  4. Bayu ditempatkan di berasa maupun nasi. 
  5. Akasa ditempatkan di tempat sembahyang baik itu pelinggih, pelangkiran dan lain sebagainya. 


Tempat untuk meletakkan saiban bila menurut Manawa Dharmasastra yaitu Sanggah Pamerajan, tempat air minum di dapur, dapur, lesung, batu asahan dan sapu. Kelima tempat terakhir yang sudah disebutkan di atas merupakan tempat dimana keluarga dapat melakukan Himsa Karma setiap hari. Sebab secara tidak sengaja sudah melakukan pembunuhan binatang maupun tumbuhan di tempat tersebut. 

Melalui penjelasan di atas bisa disimpulkan bahwa banten saiban merupakan sebuah tradisi Hindu Bali yang mempersembahkan apa yang dimasak di pagi hari kepada Tuhan sekaligus manifestai-nya terlebih dahulu lalu barulah sisanya dimakan. Semua itu dilakukan sebagai wujud syukur kepada Tuhan serta menebus dosa atas pembunuhan pada binatang dan tumbuhan yang diolah menjadi hidangan makanan pada hari itu.

Upacara Meseh Lawang Dalam Upacara Ngaben

Upacara Meseh Lawang Dalam Upacara Ngaben

Pulau Bali merupakan sebuah pulau yang memiliki banyak kekayaan tradisi maupun adat istiadat, keunikan budaya, kerajinan maupun keindahan alam. Masyarakat Bali juga begitu menjaga keramahan sehingga bisa membuat wisatawan yang berkunjung ke Bali merasa nyaman. Tetapi di balik kekayaan yang dimiliki oleh Bali terdapat sebuah tradisi upacara yang menarik yaitu upacara meseh lawang. Dimana meseh lawang merupakan kelengkapan dari upacara pitra yadnya yang dilakukan jika orang yang meninggal dunia sejak kelahirannya cacat tubuh atau mental ataupun mati salah pati maupun mati ngulah pati, dilakukan di catus pata ataupun perempatan jalan yang bertujuan secara simbolis agar memulihkan cacat maupun kerusakan jasad. 

Dalam pelaksanannnya, Meseh Lawang mempunyai urutan yang harus dilakukan mulai dari awal hingga akhir. Adapun urutan meseh lawang tersebut antara lain sebagai berikut. 

  1. Mereresik 
  2. Mapiuning ring Sang Hyang Catur Loka Pala 
  3. Mecaru 
  4. Mabeyaka dan Maprayascita
  5.  Malukat 
  6. Natab Banten Mesel Lawang
  7.  Sembahyangkan Sang Atma keempat penjuru angin dengan iringan preti sentana, mebija, methirta. Kemudian meprasawija mengelilingi area upacara tiga putaran, kemudian menginjak bantan meseh lawang lalu terus mungkah lawang. Dimana mungkah lawang ini terbuat dari 2 buah kelabang pintu masuk yang diapit sanggah cucuk sekaligus mapepegat dengan benang tridatu kemudian diikat di carang dapdap, lalu keluar melalui sela-sela sanggah cucuk sehingga akan ada tiga sanggah cucuk. 
  8. Lalu mapegat dan benang tridatu yang diikat di carang dapdap
  9. Kembali ke rumah kemudiah sekah jernek dilinggihkan di Bale Sawa. Kemudian diberi panyembrama atau pisuguh jika perlu ada banten pengulapan. 

Perlu anda ketahui bahwa meseh lawang ini merupakan bagian dari upacara ngaben. Dimana upacara ngaben sendiri merupakan upacara pembakaran mayat meskipun secara dari asal usul etimologi hal tersebut memang kurang tepat. Sebab terdapat tradisi ngaben yang tidak melalui proses pembakaran mayat. Ngaben adalah upacara yang sudah menjadi tradisi bagi masyarakat Bali terkecuali bagi masyarakat Desa Tenganan yang hanya meletakkan mayat di atas tanah. 

Tidak semua masyarakat Hindu di Bali bisa melaksanakan upacara Ngaben karena memang upacara ini membutuhkan biaya yang sangat besar. Untuk masyarakat Bali yang tidak bisa melaksanakan ngaben maka bisa tidak langsung membakar jasad anggota keluarga yang sudah meninggal tersebut. Adapula yang dikubur selama 5-10 tahun dan akan diikutkan upacara ngaben secara bersama-sama atau ngaben masal. Biasanya ngaben masal tersebut dilakukan setidaknya 1-2 tahun sekali. 

Upacara ngaben di Bali memang memiliki beberapa tahapan termasuk salah satu tahapannya adalah upacara meseh lawang. Berikut akan dijelaskan tahapan upacara ngaben yang perlu anda ketahui. 

  1. Ngulapin adalah pihak keluarga melakukan ritual mohon ijin dan restu pada Dewi Durga sebagai sakti dari Dewa Siwa dan upacara ini dilakukan di Pura Dalem.
  2.  Kemudian dilakukan upacara memungkah dimana pihak keluarga mempersiapkan simbolis raga dari kayu namun upacara ini tidak dilakukan untuk jasad yang masih baru. 
  3. Lalu dilanjutkan upacara meseh lawang yang bertujuan untuk memulihkan kerusakan atau cacat pada jasad secara simbolis.
  4.  Upacara Mabersih bertujuan untuk memandikan jasad yang terkadang sudah berupa tulang belulang. 
  5. Dilanjutkan dengan Ngaskara merupakan upacara penyucian jiwa di tahap awal. 
  6. Kemudian Narpana merupakan upacara persembahan sesajen atau bebanten pada jiwa yang sudah meninggal. 
  7. Ngeseng sawa merupakan upacara unti pembakaran jasad dimana jasad tersebut diletakkan didalam replika lembu. 
  8. Ngayut merupakan upacara terakhir yaitu menghanyutkan abu jasad ke laut sebagai simbolis mengembalikan ke unsur air dan bersatunya jiwa dengan alam. 


Itulah tadi penjelasan mengenai meseh lawang yang juga merupakan bagian dari ngaben. Melalui penjelasan di atas kini anda semakin paham mengenai meseh lawang dan upacara ngaben yang menjadi bagian dari tradisi rutin umat Hindu di Bali.