Melihat Keseluruhan Bangunan Pura Terbuat Dari Batu, Terasa di Bali Tapi Tidak! Ini di Belgia

Melihat Keseluruhan Bangunan Pura Terbuat Dari Batu, Terasa di Bali Tapi Tidak! Ini di Belgia

Artikel lama yang sudah saya tulis beberapa kali saat saya mengunjungi Pura agung Shanti Buana ini, Bisa baca disini

Melihat keseluruhan bangunan, Puranya terbuat dari Batu, secara sekilas orang mungkin akan mengatakan bahwa pura diatas adalah pura yang berlokasi di Bali ataupun berlokasi di Indonesia. Namun kalau di amati lebih detail, Pura diatas tidaklah berlokasi di Bali atau di daerah Indonesia lainnya melainkan berlokasi di daratan Eropa yaitu di negeri Belgia. Pura diatas bernama Pura Agung Santi Bhuwana dang berlokasi di taman wisata Parc Paradisio di kota Brugelete yang diresmikan pada hari Senin 18 mei 2009.

Melihat Keseluruhan Bangunan Pura Terbuat Dari Batu, Terasa di Bali Tapi Tidak! Ini di Belgia
Saat Hari Raya Galungan

Sungguh anugrah luar biasa dari Ida Sang Hyang Widi Wasa (Tuhan Yang maha Esa) yang di berikan kepada umat Hindu yang merantau di Eropa. Sebuah Pura yang di bangun di tengah lokasi wisata taman burung yang luasnya 55 hektar, di dirikan oleh orang belgia yang bernama ERIC DOMB. Adapun alasan beliau mendirikan Pura tersebut dikarenakan kecintaannya yang sangat luar biasa akan bali. Proses pembuatan Pura tersebut memang dilakukan secara bertahap dimana tahun lalu 30 orang Bali secara khusus didatangkan dari Bali ke Belgia untuk membangun Pura tersebut. Mereka datang bulan agustus sampai januari, dan melanjutkan pekerjaannya dari april 2008 hingga agustus 2008! Bahan-bahan khusus seperti paras batu , kayu jati, raab duk, yang diperlukan untuk pembangunan Pura didatangkan langsung dari Bali sampai 300 Container ! sungguh luar biasa dan sangat mengharukan melihat perjuangan orang-orang yang terlibat berkontribusi “ngayah” atau saling bantu membantu dalam penegakan Sanatana Dharma di bumi Eropa.

Bhuwana di Parc Paradisio 

Melihat Keseluruhan Bangunan Pura Terbuat Dari Batu, Terasa di Bali Tapi Tidak! Ini di Belgia
Saat musim panas 2018

Menurut penuturan petinggi Taman Wisata Parc Paradisio ini, mengatakan idea pertama dari pendirian Pura Hindu yang mirip atau sama persis dengan Pura yang ada di Bali ini adalah bermula dari kunjungan Mr. Eric Domb, CEO dan President yang juga pemilik dari Parc Paradisio ke Bali 30 tahun yang lalu bersama orang tuanya. Kemudian setelah memimpin Parc Paradisio, muncul keinginan untuk membuat Parc Paradisio tidak hanya menjadi sebuah Taman wisata Flora dan dan Fauna, yang menawarkan keakraban alam, tumbuhan, binatang, dan manusia tapi juga menawarkan informasi kebudayaan dunia yang memiliki karakter serta peradaban yang kuat yang masih ada di bumi ini serta bisa mendukung promosi permanen bagi pariwisata.

Melihat Keseluruhan Bangunan Pura Terbuat Dari Batu, Terasa di Bali Tapi Tidak! Ini di Belgia
Musim dingin berselimut salju

Teringat akan kunjungan ke Bali yang pernah dilakukan Mr. Eric Domb bersama orang tuanya ke Bali, Mr. Eric Domb kemudian mengunjungi Bali lagi untuk “Brain Storming” dengan mengelilingi seluruh pelosok Bali untuk mencari idea lebih lanjut. Kolaborasi antara agama, adat istiadat, budaya dan masyarakat balinya yang mendukung pariwisata di Bali serta bisa diterima oleh masyarakat dunia (universal), membuat Mr. Eric Domb jatuh cinta akan Bali pada khususnya dan Indonesia pada umumnya.

Sekembali Mr. Eric Domb dari Bali, beliau kemudian menceritakannya kepada jajaran direktur dan team yang ia pimpin. Ibarat Pucuk di cinta ulam tiba, dimana para direktur dari Parc Paradisio yang juga sering mengunjungi Bali, akhirnya seia sekata, dan gayung pun bersambut dengan melakukan kunjungan bersama ke Bali untuk merealisasikan idea membuat Indonesian Garden dengan bangunan utamanya Pura yang sama persis seperti di Bali. Sepulang dari Bali, proyek inipun di mulai pembangunannya di tahun 2006.

Pembangunan Kompleks Taman Indonesia yang di mulai dari pembangunan Pura ini, bukannya tanpa hambatan dari masyarakat Belgia ataupun pemerintah Belgia. Karena di lokasi Parc Paradisio terdapat kastil tua, yang di Belgia sendiri sungguh sangat di hormati keberadaannya. Pemerintah maupun masyarakat pun khawatir dengan berdirinya bangunan baru akan mengurangi makna dari keberadaan Kastil tua yang menjadi kebanggaan masyarakat Belgia ini. Mr. Eric Domb dengan ketulus hatiannya serta kecintaannya yang mendalam akan Bali dan tentunya dengan pengetahuannya yang luas akan segala seluk beluk tentang Bali dan Hindu, kemudian bisa meyakinkan Pemerintah Belgia beserta masyarakat Belgia sehingga pembangunan Pura Agung Santi Bhuwana ini bisa di wujudkan di taman Parc Paradisio.

Demikian juga ketika mendatangkan para pekerja langsung dari Bali, juga bukannya tanpa hambatan dari masyarakat Belgia ataupun departement tenaga kerja Belgia. Lagi-lagi Mr. Eric Domb, yang sepertinya memang sudah mendapatkan restu dari Tuhan Yang Maha Esa (Ida Sang Hyang Widi Wasa), tidak hanya bisa meyakinkan masyarakat Belgia , tapi juga bisa membuktikan kepada mereka bahwa keahlian para pemahat dan tukang ukir dari Bali dan Jawa tengah memang tidak tergantikan oleh masyarakat Belgia. Ketika tukang ukir dari Bali sedang bekerja memahat dan mengukir batu menjadi sebuah patung, masyarakat belgia memang di buatnya terkagum-kagum, mereka seolah-olah tidak percaya karena mereka terbiasa bekerja dengan mesin, sementara Tukang ukir dari Bali bisa merubah sebuah batu balok dengan pahat dan alat ukir lainnya yang berukuran kecil-kecil menjadi sebuah patung dengan nilai seni yang tinggi.

Proyek pembangunan Pura Agung Santi Bhuwana dimulai tahun 2006 dengan mendatangkan arsitek dari Bali. Selama dua tahun lebih bekerja siang dan malam dalam suasana berkabut dan bersalju. Untuk menjaga keaslian dan aroma magis ke-Indonesiaan, batu-batu untuk membangun pura besar dan seluruh lapisan tempat berjalan berasal dari Indonesia. Sekitar 320 kontainer batubatu candi diimpor dari lereng gunung Merapi, Jawa Tengah. bagi pengunjung yang mengunjungi kompleks Taman Indonesia ini, seperti terhipnotis dan merasakan seperti memang sedang berada di Indonesia di kompleks candi Prambanan dan candi Boroobudur di Jawa tengah, ataupun berada di kompleks Pura Besakih di Bali yang puranya juga terbuat dari Batu alam, walaupun sesungguhnya mereka sedang berada di Brugelette Belgia di Pura Agung Santi Bhuwana.

Peresmian Pura Hindu dan Taman Indonesia

Peresmian Pura tersebut merupakan bagian dari satu rangkaian acara Peresmian Taman Indonesia (The Kingdom of Ganesha ), yaitu sebuah Kompleks Taman Indonesia seluas 5 hektar di dalam area Taman Wisata Parc Paradisio yang berukuran 55 hektar. Peresmian acara itu di hadiri lebih dari 800 undangan, serta lebih dari 200 umat Hindu yang datang tidak hanya dari Belgia melainkan juga dari negara tetangga juga seperti Belanda, Jerman, dan Perancis. Setelah berakhirnya rangkaian upacara peresmian yang di langsungkan pada hari Senin 18 May 2009, Selanjutnya adalah giliran masyarakat bali yang berdomisili di belgia pada khususnya atau yang berdomisili di eropa untuk terus melestarikan keberadaan Pura ini melalui persembahyangan rutin sehingga spirit dan aura dari Pura Agung Santi Bhuwana ini terus bersinar. Walaupun sesungguhnya Pura ini adalah milik dari Mr. Eric Domb, namun di akhir proses upacara peresmian Mr. Eric Domb sempat berbincang-bincang dengan pemimpin agama yang meminpin jalannya upacara saat itu dan mengatakan “This (Temple) is for you” (Pura ini adalah untuk anda umat hindu di belgia / eropa). Oleh karenanya adalah kewajiban masyarakat bali ataupun umat hindu yang bermukim di Belgia atau di Eropa untuk melaksanakan ritual upacara setiap 6 bulan sekali, atau melakukan persembahyangan di bulan Purname setiap bulannya, sehingga spirit dan aura Pura tersebut terus terpancarkan.

Harapan

Akhir kata, Keberadaan Pura di Eropa ini sungguh sangat membantu mengobati kerinduan masyarakat Bali yang merantau di Eropa akan tempat kelahiran, tanah leluhur serta sanak saudara nun jauh di Bali. Seperti memang sudah suratan dan takdir bahwa masyarakat bali memang tidak bisa di pisahkan dari berkesenian, setiap kali melaksanakan ritual persembahyangan di Pura Belgia ini, tari tarian bali yang di iringi dengan irama gamelan bali selalu dipentaskannya, sehingga selalu menarik perhatian pengunjung Taman Wisata Parc Paradisio untuk berdesak desakan menonton tarian bali ini. Ibarat pepatan sambil menyelam minum air, buat masyarakat bali yang ada di Belgia, selain bisa melakukan persembahyangan mereka secara bersamaan bisa selalu berkontribusi mempromosikan Kesenian serta kebudayaan asli Indonesia kepada masyarakat Belgia atau masyarakat Eropa.

Ini 3 Jenis Ketu, Sesuai Tingkatan Sulinggih

Ini 3 Jenis Ketu, Sesuai Tingkatan Sulinggih

Siwa Karana /Budha Paksa Pakarana adalah  syarat mutlak yang harus dimiliki Sulinggih  dalam melakukan tugasnya memimpin dan mengantarkan umat Hindu didalam melaksanakan upacara. 

Dalam perangkat pemujaan , terdiri dari : rarapan, wanci kembang ura, wanci bhija, wanci samsam, wanci ghanda, pamandyangan, sesirat, pengasepan, pedamaran, patarana atau lungka-lungka, saab/kereb/tudung, genta (genta padma), bajra, canting, penastan.

Juga pada saat seorang Pandita sedang muput sebuah upacara, memakai atribut dan busana kepanditaan seperti : wastra, kampuh, kawaca, pepetet/petet, santog, sinjang, slimpet/sampet/paragi, kekasang, astha bharana/guduita, gondola, karna bharana, kanta bharana, rudrakacatan aksamala, gelangkana, angustha bharana, dan sebuah #amakuta atau yang lebih dikenal dengan nama Bhawa atau KETU.

Ketu ini ada 3 Warna sesuai dengan Tingkatan Sulinggih!

  1. Ketu Merah ,untuk Sulinggih sane wawu embas .
  2. Ketu Hitam , untuk Nabe .
  3. Ketu Putih , untuk Nabenya Nabe ( Sinuhun).

Semuanya ada tatanannya, tidak mau sendiri, ngancogin Tatanan.

Siap Jadi Sulinggih? Harus Siap Menjauhi Nafsu dan Duniawi

Siap Jadi Sulinggih? Harus Siap Menjauhi Nafsu dan Duniawi

Setiap agama pasti memiliki orang suci sebagai penuntun dan pencerah dalam pendakian spiritual masing-masing umat. Tidak terkecuali umat Hindu, yang juga memiliki orang suci dan biasa disebut sebagai sulinggih. Seseorang yang menjadi sulinggih telah melewati proses dwijati atau diksa yakni lahir untuk kedua kalinya. Lahir pertama secara biologis, dan lahir kedua secara spiritual.

Meski semua orang berhak menjadi seorang sulinggih, namun ternyata itu tidak mudah seperti yang dibayangkan. Mereka yang ditempatkan mulia di antara umat itu, memiliki tanggung jawab berat sebagai orang suci. Banyak pantangan yang harus diikuti, serta harus menjauhkan diri dari ikatan, nafsu dan duniawi.

Siap menjadi Sulinggih, harus siap menjauhi nafsu duniawi seperti penjelasan berikut ini;

1. Sulinggih adalah orang yang diberikan kedudukan mulia karena kesucian diri dan perilaku luhurnya

Sulinggih merupakan orang suci yang kedudukannya dimuliakan oleh umat Hindu. Jika ditilik berdasarkan arti katanya, Su berarti baik, mulia atau utama. Sedangkan linggih berarti tempat atau kedudukan. Sehingga sulinggih bermakna mendapat kedudukan mulia di masyarakat.

Mereka dimuliakan karena telah melalui proses upacara diksa atau dwijati, yakni lahir sebanyak dua kali. Lahir pertama adalah lahir secara biologis dari rahim ibu. Sedangkan lahir kedua adalah lahir dari proses spiritual. Lahir kedua ini dianggap sebagai penyucian lahir bathin, agar sulinggih disebut sebagai orang suci.

“Sulinggih sebenarnya seorang Brahmana (Salah satu golongan dari Catur Warna yang memiliki kecerdasan ilmu pengetahuan maupun pengetahuan Ketuhanan untuk mencerahkan spiritual umat Hindu). Nama sulinggih ada banyak. Seperti Ida Pedanda, Ida Pandita, Ida Dukuh, Ida Sri Mpu, Ida Rsi, Ida Bhagawan, dan sebagainya. Nama kesulinggihannya biasanya berkaitan dengan nama keluarga besarnya.

2. Sulinggih memiliki kewajiban dan tanggung jawab yang berat

Apabila seorang walaka (Manusia biasa) ingin meningkatkan diri menjadi sulinggih, harus menyadari betul tahap yang akan ditempuh dan kewajiban-kewajibannya setelah dikukuhkan menjadi seorang Brahmana. Hanya dengan kesadaran dan kedisiplinan yang tinggi pada dirinya, maka sulinggih bisa menjadi seorang Brahmana sejati.

Adapun beberapa kewajiban sulinggih, mengutip dari buku berjudul “Pedoman Calon Pandita dan Dharmaning Sulinggih (Wiku Sesana)” karya Gede Sara Sastra, yaitu:

  • Arcana: memuja Tuhan atau Ida Sang Hyang Widhi Wasa setiap hari, seperti Surya Sewana (Pemujaan setiap pagi saat matahari terbit)
  • Adhyaya: tekun belajar, mendalami Kitab Suci Weda, Tattwa, tutur-tutur dan sebagainya
  • Adhyapaka: mengajarkan tentang kesucian, kerohanian, keagamaan, kesusastraan, serta bimbingan rohani lainnya
  • Swadhyaya: rajin belajar sendiri mengulangi pelajaran-pelajaran terutama yang diberikan oleh Nabe-nya
  • Dhyana: merenungkan Brahman (Tuhan) dan hakikat yang dipuja.
Sulinggih memiliki beberapa tugas, di antaranya:

  • Surya Sewana, yaitu pemujaan kepada Sang Hyang Widhi setiap pagi (Saat matahari terbit)
  • Memimpin upacara Yadnya
  • Ngelokapalaraya, yakni membina dan menuntun umat di bidang agama dan spiritual
  • Melayani umat yang memerlukan tuntunan
  • Menerima punia dari umat
  • Memberi teladan dan contoh kepada umat.

3. Sebagaimana orang suci, sulinggih memiliki banyak pantangan. Mulai dari tidak boleh memamerkan kepandaian, mengadakan hubungan seks apabila bukan istrinya, hingga tidak boleh makan daging babi peliharaan

Masih mengutip dari buku yang sama karya Gede Sara Sastra, sulinggih memiliki banyak pantangan atau larangan perilaku dalam kehidupan sehari-harinya. Yaitu:

  1. Tidak membunuh
  2. Tidak berdusta dan memfitnah
  3. Tidak bertengkar
  4. Tidak memamerkan kepandaian
  5. Tidak mencuri atau memperkosa hak milik orang lain bila tidak mendapat persetujuann dari kedua belah pihak
  6. Tidak berkata-kata yang tidak selayaknya, kotor, dan pedas hingga menyakiti telinga
  7. Tidak boleh berkata-kata sambil memaki sumpah serapah
  8. Tidak boleh berhasrat jahat pada orang lain
  9. Tidak boleh mengadakan hubungan seks apabila bukan istrinya
  10. Tidak boleh mengadakan pertemuan dengan istrinya pada hari-hari terlarang
  11. Tidak boleh melakukan jual beli atau berdagang
  12. Tidak boleh terlibat hutang piutang
  13. Tidak boleh segala usaha mencari keuntungan
  14. Tidak boleh mengambil hak milik orang lain dengan memaksa
  15. Tidak boleh mementingkan diri sendiri
  16. Tidak boleh marah atau bersifat pemarah
  17. Tidak boleh ingkar dan mengabaikan kewajiban
  18. Tidak berzina (Selingkuh)
  19. Tidak boleh memerintahkan mencuri
  20. Tidak bersahabat dengan pencuri, tidak memberikan tempat pada pencuri, termasuk tidak memberikan makan dan minum, memberi pertolongan dan tidak menerima hasil pencurian
  21. Tidak boleh mengendarai sepeda motor atau mobil (Pegang setir sendiri)
  22. Tidak boleh makan daging babi peliharaan (Celengwanwa)
  23. Tidak boleh makan ayam di desa (Ayamwanwa)
  24. Tidak boleh makan daging binatang buas, binatang berkuku satu, dan binatang berjari lima
  25. Tidak boleh makan ikan yang terlalu besar dan ikan yang buas
  26. Tidak boleh makan sisa-sisa makanan yang telah dimakan, makanan yang disentuh atau diletakkan di bawah benda-benda yang tidak suci
  27. Tidak boleh minum minuman keras, semua jenis susu dari binatang buas, serta susu kental sisa sapi yang habis menyusui
  28. Dilarang menempati tempat atau tanah terlarang
  29. Tidak boleh mengadakan perjudian
  30. Tidak boleh mengunjungi tempat perjudian, rumah tukang potong, tempat pelacuran, dan tempat sejenis,
  31. Serta pantangan lainnya yang jauh dari kebenaran dan kesucian.

4. Berikut ini syarat-syarat menjadi sulinggih berdasarkan Ketetapan Sabha Parisadha Hindu Dharma Indonesia II Nomor V/Kep/PHDIP/68, dan Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-aspek Agama Hindu ke-14 Tahun 1986/1987 Tentang Pedoman Pelaksanaan Diksa:

Seseorang yang ingin menjadi sulinggih harus melalui proses berguru (Aguron-guron) lebih dulu. Ia berguru pada seorang nabe (Guru) yang sudah berstatus sulinggih. Biasanya sulinggih yang dijadikan nabe adalah sulinggih senior, pengetahuan agama dan Ketuhanannya sudah dalam, paham Weda, serta teguh melaksanakan Dharma Sadhana (Jasa, amal, dan kebajikan).

Namun nabe juga tidak akan sembarangan dalam menerima murid, karena tanggung jawabnya juga berat. Dalam Ketetapan Sabha Parisadha Hindu Dharma Indonesia II Nomor V/Kep/PHDIP/68, dan Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-aspek Agama Hindu ke-14 Tahun 1986/1987 Tentang Pedoman Pelaksanaan Diksa, adapun syarat-syarat mediksa yang diputuskan oleh PHDI, sekaligus juga berdasarkan Lontar Siwa Sasana adalah umat Hindu yang telah memenuhi syarat-syarat seperti di bawah ini:

  • Laki-laki yang sudah menikah dan yang tidak menikah (Sukla Bramhacari)
  • Perempuan yang sudah menikah dan yang tidak menikah (Kanya)
  • Pasangan suami istri
  • Minimal usia 40 tahun
  • Paham dengan Bahasa Kawi, Sansekerta, Indonesia, memiliki pengetahuan umum, dan pendalaman intisari ajaran-ajaran agama
  • Sehat lahir bathin dan berbudi luhur
  • Berkelakuan baik, tidak tersangkut perkara pidana
  • Tidak terikat pekerjaan sebagai pegawai negeri maupun swasta, kecuali bertugas untuk hal keagamaan
  • Mendapat tanda kesediaan dari calon nabenya yang akan menyucikan.

5. Dalam beberapa kasus ada juga sulinggih yang didiksa di usia muda

Meskipun dalam syarat-syarat tersebut menyebutkan minimal berusia 40 tahun, namun pada beberapa kasus ada juga sulinggih yang didiksa di usia muda.

“Itu tergantung keberanian nabenya. Apabila nabe memandang bahwa itu sudah cukup, maka siswa akan dilahirkan melalui upacara diksa atau dwijati. Kalau belum, akan sampai lama. Di sini nabe yang punya kewenangan.

Menurutnya, dalam Kitab Manawa Dharmasastra, proses siswa berguru pada nabenya paling lama 10 tahun. Namun paling cepat ada yang setahun atau dua tahun. Di sini, faktor nabe juga sangat menentukan. Itu sebabnya peran dan tanggung jawab nabe juga sangatlah berat.

“Nabe tidak mau menerima sembarang murid karena tanggung jawabnya berat. Apa yang menjadi kesalahan murid, kemudian berbagai hal yang berkaitan dengan tanggung jawabnya sebagai murid, nabe yang paling pertama bertanggung jawab bila murid melakukan kesalahan. Tanggung jawabnya adalah dengan membina atau mencabut kesulinggihannya. Itu nabe yang punya wewenang,” ungkapnya.

6. Jika dirasa sudah cukup, maka sang guru akan mengajukan muridnya untuk dilakukan upacara diksa menjadi sulinggih, dengan persetujuan dari keluarganya

Setelah proses bergurunya dianggap layak menjadi sulinggih, maka calon diksa mengajukan permohonan untuk melakukan upacara diksa. Prosedur administrasi untuk melakukan diksa ini ditujukan kepada PHDI setempat. Selambatnya tiga bulan sebelum melakukan upacara diksa. Syarat yang perlu dilengkapi harus sesuai dengan pedoman yang dikeluarkan oleh PHDI.

“Pertama harus ada persetujuan keluarga. Keluarga kecil dulu, setelah itu keluarga besar. Lalu syarat lainnya ada kelakuan baik, tidak pernah dihukum, tidak cacat. Tidak dalam status perkara atau masih ada status perkara. Paham tentang sastra, kitab suci dan teknologi. Wajib bisa baca tulis karena beliau nantinya harus nyastra,” kata Sudiana.

Setelah mendaftar, calon sulinggih wajib memiliki tiga nabe. Yakni Nabe Napak, Nabe Waktra, dan Nabe Saksi. Nabe Napak sebagai nabe yang melahirkan, Nabe Waktra yang memberi wejangan, dan Nabe Saksi yang mengamati serta menyaksikan proses kelahiran siswanya menjadi seorang sulinggih.

“Waktu mendaftar ke PHDI, calon diksa baru memiliki Nabe Napak saja. Setelah mengajukan permohonan ke PHDI, Nabe Napak selanjutnya menentukan dua nabe lainnya yang dikehendaki. Setelah permohonan diterima PHDI, kemudian PHDI yang koordinasi ke panitia untuk melaksanakan diksa pariksa. Semacam uji lisan baik dari sisi integritas, komitmen, kesungguhan, kesucian, perilaku, psikologi, semuanya dites,” papar Sudiana yang juga Rektor Universitas Hindu Negeri (UHN) I Gusti Bagus Sugriwa ini.

Dari proses diksa pariksa dan jawaban yang diberikan oleh calon diksa, ketiga nabe kemudian rembug untuk memutuskan apakah calon diksa layak didiksa atau ditunda karena kemampuannya dipandang belum cukup. Jika nabe memutuskan calon diksa layak untuk dilakukan upacara diksa, maka selanjutnya proses madiksa bisa dilakukan pada hari baik yang telah ditentukan.

“Jika misalnya calon diksa masih dinilai belum layak, maka untuk sementara ditunda sampai beliau bisa memenuhi syarat kembali. Berikutnya laksanakan lagi ulang diksa pariksa. Bila nabe berani memutuskan, maka hasilnya diumumkan kepada umat yang menyaksikan bahwa calon sulinggih sekarang ini bisa dilanjutkan untuk pelaksanaan upacara madiksa,” terangnya.

7. Setelah didiksa, akan diberikan SK oleh PHDI. Namanya kemudian diganti (abhiseka) dengan nama kesulinggihan yang diberikan oleh sang nabe

Setelah lulus diksa pariksa, kemudian calon diksa menjalani upacara pada hari baik yang telah ditentukan. Secara umum, pelaksanaannya dimulai dari berkunjung ke rumah nabe (Mapinton) dengan membawa upakara-upakara sebagaimana mestinya. Dilanjutkan dengan pamitan pada keluarga, serta melakukan pembersihan diri.

Pada upacara puncak, calon diksa akan menjalani proses seda raga (Mati raga) yang berlangsung sehari sebelum upacara diksa. Pada dinihari setelah menjalani amati raga, calon diksa kemudian dimandikan dan diberikan pakaian serba putih. Selanjutnya melakukan pemujaan yang dipimpin oleh nabe.

Begitu upacara diksa selesai, barulah diberikan Surat Keputusan (SK) bahwa benar yang bersangkutan telah menjalani proses diksa atau dwijati dan namanya terdaftar di PHDI. Sejak saat didiksa, namanya sudah berubah dari nama walaka (Nama sewaktu menjadi manusia biasa) menjadi nama sulinggih yang diberikan oleh nabenya.

“SK ini dibacakan oleh PHDI sekaligus memberikan dharma wacana. Setelah dibacakan keputusan itu, ada tembusannya kepada PHDI Kabupaten/Kota, Bali, dan Pusat, Kanwil Agama, Gubernur Bali, dan Bupati/Walikota se-Bali. SK itu dikirim dan nanti tercatat di bagian Kesra Kabupaten/Kota dan ditembuskan ke Provinsi,” kata Sudiana.

8. Sulinggih melakukan diksa wajib diketahui oleh PHDI.

Secara pasti apakah status kesulinggihannya dianggap sah atau tidak. Sebab menurutnya, PHDI bukan lembaga justice (Hukum). Tetapi berdasarkan penilaiannya, yang bersangkutan bisa saja disebut sulinggih namun tidak melalui mekanisme yang formal dan tidak tercatat di PHDI.

“Secara formal, lembaga yang berwenang hanya PHDI. Bila ada lembaga lain yang melakukan, ya tidak formal itu. Proses diksa wajib melalui PHDI. Apabila tidak melalui PHDI, ketika melakukan proses kesulinggihan itu bagaimana? Jika dijawab dengan sah dan tidak sah, agak berat. Tapi yang jelas, belum melalui mekanisme yang lengkap. PHDI tidak bertanggung jawab karena tidak tahu dan tidak dicatatkan di pemerintahan.”

9. Jika melakukan pelanggaran hukum dan pantangan, sang nabe berwenang untuk mencabut status kesulinggihannya

Seperti pernyataan di awal, menjadi sulinggih sangatlah berat. Karena sulinggih dianggap mewakili Tuhan dalam wujud sebagai orang suci. Sulinggih sudah menjauhi ikatan, nafsu, dan duniawi. Apabila tidak memiliki jiwa seperti itu, mungkin akan sangat berat.

Bagaimana jika sulinggih melakukan kesalahan atau melanggar pantangan-pantangan akibat ketidakmampuannya mengendalikan diri? Menurut Sudiana, status kesulinggihannya bisa dicabut oleh sang nabe.

“Dicabut kesulinggihannya karena ingin menikah lagi, berkaitan dengan hukum dan diputus di pengadilan. Misalnya sulinggih tersandung masalah hukum, kesalahannya sudah jelas, maka nabelah yang berwenang mencabut dan menyusul surat dari PHDI berdasarkan atas izin nabe. Pencabutan disaksikan oleh semuanya. Termasuk keluarga juga. Kalau belum siap, lebih baik jangan (Menjadi sulinggih), karena sangat berat.”

Namun nabe kemungkinan tidak melakukan pencabutan gelar kesulinggihan, tergantung dari besar kecilnya kesalahan siswanya.

“Bila tidak terlalu, mungkin akan dibina. Biasanya nabe pasti akan tegas dan mencabut. Belum sampai ada informasi ke kami kalau ada kasus pidana seperti pemerkosaan atau pelecehan. Yang ada baru masalah perkawinan, karena sulinggih memang tidak boleh menikah lagi,” katanya.

Bila setelah dilepaskan status kesulinggihannya, kemudian yang bersangkutan ingin menjadi sulinggih lagi, bisa saja diulang jika nabenya memang mau. Namun jika perbuatannya mengarah ke perbuatan pidana, dikhawatirkan masyarakat tidak respect lagi dengan sulinggih sebagai rohaniawan Hindu.

“Bila ada kasus yang melibatkan sulinggih, itu sangat sensitif. Apalagi kasusnya berat, kita khawatir nanti masyarakat tidak respect kepada sulinggih. Beliau adalah rohaniawan yang sangat dihormati. Jika masyarakatnya cerdas, tentu bisa memilah, tidak menggeneralisir (Menggeneralisasi).” Rahayu Baliku.

Wajib! Wanita Hindu Rambut Harus Diikat Saat ke Pura, Ini Alasannya!

Wajib! Wanita Hindu Rambut Harus Diikat Saat ke Pura, Ini Alasannya!Cerita tentang wanita dan rambut yang tergerai, dalam Hindu, sebetulnya punya sejarah yang panjang, mengingat kisah ini bermula dari satu dari dua epos mahakarya yang terus abadi hingga saat ini yaitu Mahabharata. Lebih tepatnya, pada kejadian di balairung istana, ketika Drupadi diseret oleh Dursasana dengan menjambak rambutnya, berusaha ditelanjangi olehnya sebagai budak taruhan yang baru saja mereka menangkan. Bab Sabha Parwa, sub bab Dyuta Parwa.

Potret Drupadi yang diambil hak-haknya, oleh iblis di depan suaminya sendiri yang (diam saja) ia anggap titisan dewa, adalah bentuk pemasungan perempuan yang paling terkenal di dalam sejarah. Kejadian ini pun sudah berulang kali dikupas dalam berbagai ulasan, kritik, dan karya sastra, dari sudut pandang yang berbeda. Dari sudut pandang perempuan yang pasrah, sampai perempuan yang menggugat.

Namun, satu hal dari cerita mahabarata tersebut yang sangat membekas di benak masyarakat Hindu adalah sumpah dari Drupadi.

Yang menyatakan bahwa ia tak akan menyisir, memotong, dan mengikat rambutnya sebelum rambut itu dibasuh dengan darah Dursasana.

Meskipun pada akhirnya sumpah itu terlaksana, tetapi wanita dengan rambut tergerai, dalam masyarakat Hindu, dipandang sebagai simbol kemarahan, kebencian, dan dendam. Inilah sebab mengapa seorang wanita yang berkunjung ke pura tidak diperkenankan untuk menggerai rambutnya. Siapa pun yang datang ke rumah Tuhan hendaknya berada dalam ketenangan dan kesucian. Bukan dengan dendam apalagi kemarahan, karena kemarahan seorang wanita itu kadang sampai tak terkatakan.

Contoh paling terkenal dalam sastra Hindu soal ini adalah ketika Parvati berubah menjadi Kali (bentuk Durga yang paling menyeramkan) dan membuat dunia kocar-kacir.Bahkan suaminya, Siwa, tak bisa menghentikannya, tak bisa membuat ia sadar. Tak ada kekuatan Siwa yang bisa menandingi seorang Parvati yang marah.

Tapi akhirnya Kali sadar dan kembali tenang, ketika ia menginjak suaminya sendiri. Siwa mengorbankan dirinya sendiri untuk diinjak, Syukurlah setelah itu amarah Kali mereda. Dan, di sinilah ada bentuk  yang paling sering muncul dalam arca-arca di Pura Dalem: Durga yang menjulurkan lidahnya yang merah, menggigitnya dengan gigi yang putih bersih. Maksudnya, sifat-sifat marah dan ganas (rajas) cuma bisa dihentikan dengan sifat-sifat yang putih, bersih, dan suci (satwam).

Apa kaitannya dengan rambut?

Ini terlihat dalam wujudnya sebagai Kali, rambutnya hampir selalu tergerai. Dan dalam beberapa sumber, Drupadi dianggap sebagai titisan Kali, sehingga bisalah kita simpulkan kalau dalam cerita-cerita itu, mereka berdua punya hubungan yang tak bisa kita abaikan.

Cuma memang sekarang imbauan ini jarang orang yang tahu, soal adab untuk tidak menggerai rambut di pura, jarang terlihat aturan itu terpampang di papan-papan petunjuk pura yang pernah saya datangi. Bagaimanapun, dari kebiasaan kecil ini sebenarnya panduannya ke sastra dan nilai agama itu besar sekali. Pelajaran yang sangat berharga dalam banyak hal . Pertama untuk memuliakan dan menghormati wanita. Kedua untuk tidak mengabaikan hal-hal kecil, apalagi ketika itu menyangkut adat dan kebiasaan yang baik. Karena sesungguhnya kitalah yang mestinya melestarikan adat itu, bukan menjadikannya musnah.

Semoga tulisan ini bermanfaat.

Pura Dalem Puri; Sedikit Cerita Tentang Sorga dan Neraka Hindu Bali

Letak Pura Dalem Puri ini kurang lebih satu kilometer di barat Pura Penataran Agung Besakih. Di pura ini divisualisasikan keberadaan sorga dan neraka sesuai dengan konsep ajaran Hindu Siwa Sidhanta.

Di areal Pura Dalem Puri di samping ada pelinggih atau bangunan suci tempat memuja Tuhan sebagai Batari Uma Dewi ada juga areal yang letaknya di luar pembatas pura yang disebut Tegal Penangsaran simbol Neraka Loka. Pura Dalemnya yang ada di jeroan atau dalam tembok pembatas pura simbol Sorga.

Neraka. Roh orang yang dalam kehidupannya di dunia ini lebih banyak berbuat sharma daripada adharma akan diterima di Pura Dalem Puri. Sedangkan roh orang yang selama hidupnya di dunia lebih banyak adharmanya akan masuk neraka yang disimbolkan atau divisualisasikan dengan Tegal Penangsaran. Roh atau Atman yang berada di Tegal Penangsaran dapat berpindah ke areal di dalam Pura Dalem Puri apabila keturunannya melakukan perbuatan-perbuatan baik untuk menebus dosa-dosa leluhur, keturunan dan diri sendiri haruslah dengan perbuatan dharma yang berguna bagi semua pihak.

Pura Dalem Puri ini adalah hulunya Pura Dalem Kahyangan Tiga di setiap desa pakraman di Bali. Kalau melangsungkan upacara Nuntun Dewa Pitara ke pura pemujaan keluarga yang disebut Merajan itu sesungguhnya tidak mutlak harus ke Pura Dalem Puri. Hal itu dapat dilakukan di Pura Dalem di Kahyangan Tiga di desa pakraman. Tetapi tidak salah juga kalau memang ada yang Nuntun Dewa Pitara-nya ke Pura Dalem Puri di Besakih.

Dewa Pitara yang distanakan di Merajan Kamulan itu dapat disembah sebagai Batara Hyang Guru oleh pratisentana-nya. Kata ”Batara” dalam bahasa Sansekerta artinya pelindung. Kata ”Batara” ini telah mewarga ke dalam bahasa Jawa Kuno dan bahasa Bali. Sedangkan kata ”Hyang” dalam bahasa Jawa Kuna artinya suci. Jadinya roh yang telah suci itulah yang dapat disembah sebagai Batara Hyang Guru.

Etika Menanam Ari-ari - Ini Makna dan Artinya, Kita Wajib Tahu!

Etika Menanam Ari-ari - Ini Makna dan Artinya, Kita Wajib Tahu!

Dalam tatwa Kanda Pat disebutkan bahwa Ari-ari adalah salah satu dari 4 saudara gaib manusia, atau disebut Catur Sanak dalam ajaran Bali, yaitu air ketuban, darah, selaput ari, dan ari-ari. Merekalah yang menemani manusia dari lahir hingga akhir hayat. Saat bayi lahir maka ada upacara khusus yang harus dilakukan untuk menanam ari-ari si bayi.

Saat menanam pun memiliki etika, kalau bayi laki-laki ditanam dibagian kanan pintu rumah dari kita menghadap ke halaman rumah, sedangkan bagi bayi perempun dibagian kiri. Kemudian diatasnya ditanami pohon pandan dan batang kantawali, sebatang buluh guna memasukkan air nantinya ke ari-ari tersebut kemudian diletakkan sebuah batu kali. Diatas batu diletakkan sebuah lampu Bali dan dibiarkan tetap menyala sampai bayi kepus pusar, kemudian ditutup dengan sangkar ayam. Dibagian hulu dari ari-ari ditancapkan sanggah tutuan.

Makna dan tujuan yang terkandung pada upacara saat bayi baru lahir yaitu :

  • Sang Anta Preta, sebutan dari air ketuban sebagai personifikasi saudara tertua dari sang bayi sebagai pengantar bayi lahir ke dunia. 
  • Sang Kala, sebutan darah yang saat melahirkan yang membantu bayi keluar. Sang Bhuta, sebutan untuk selaput ari yang membungkus tubuh bayi, sebagai penetralisir suhu udara sebelum maupun saat lahir. 
  • Sang Dengen sebutan untuk ari-ari yang ikut lahir sebagai sumber kehidupan bayi dalam kandungan.

Batu Kali

Bermakna sebagai permohonan kehadapan Sang Hyang Widhi agar sang bayi dianugrahi panjang umur.

Tanaman Pandan

Menyimbolkan buaya putih sebagai penjaga bayi terhadap gangguan ilmu hitam.

Lampu Bali

lampu ini berbahan bakar minyak kelapa (nyuh surya) yang dicampur dengan minyak lampu wayang. Melambangkan Sanghyang Surya Candra, simbol penerang kehidupan sang bayi.

Sangkar Ayam

Lambang kekuatan maya Sang Hyang Widhi dan sebagai Cakra Wala (batas pandang alam semesta) yang menjadi pelindung bayi.

Sanggah Tutuan

Merupakan simbul dari stananya Sang Hyang Maha Yoni sebagai Dewa pengasuh sang bayi.

Itulah etika Menanam Ari-ari dan maknanya, semoga sang anak menjadi anak yang sudarhma, astungkara.

Ulang Tahun Boleh, Otonan Wajib. Waktu Otonan, Banten Otonan, Doa Meotonan, Lengkap!!!

Ulang Tahun Boleh, Otonan Wajib. Waktu Otonan, Banten Otonan, Doa   Meotonan, Lengkap!!!

Apakah Anda sering merayakan Ulang tahun dibandingkan Otonan? Atau jarang meotonan, hanya ulang tahun saja?! Tapi yang jelas  Otonan dan ulang tahun beda ulang tahun 1 tahun sekali dan Otonan 6 bulan sekali. Sebagai orang Hindu wajib ya meotonan, walaupun sarananya kecil. 

Bagaimanakah tata cara yang benar saat ‘meotonan? Pertanyaan seperti itu sering muncul dari orang tua terutama sang ibu yang akan mengotonin anaknya. Seperti, apa saja bantennya, bagaimana langkah-langkahnya, dan apa saja bantennya? Silakan simak dibawah ini!

Waktu yang baik melaksanakan Otonan jam 6,7,8, malam. Persiapan penggunaan Banten sebenarnya fleksibel, namun beberapa masyarakat menggunakan banten seperti tumpeng lima dan tumpeng telu.Pada banten tumpeng lima berisi banten :
  • Pengambean
  •  Dapetan 
  •  Peras 
  •  Pejati
  •  Sesayut
  •  Segehan 
Sarana-sarana lain seperti, Bija, Dupa, Toya Anyar, Tirta Pelukatan, dan Tirta Hyang Guru.

Tahapan-tahapan Sebelum memulai, sang ibu wajib ngayab (menghaturkan) banten kehadapan Sang Hyang Atma. sebagai pertanda bahwa inilah hari dimana beliau manumadi (menjelma). Dilanjutkan menghaturkan Segehan ring sor ( bawah ) bale atau tempat anaknya me’oton’.

Memohon kepada Sang Hyang Butha Kala agar prosesi berjalan lancar, terbebas dari mara bahaya. Selanjutnya ritual otonan dapat dimulai. Pertama adalah mesapuh-sapuh, yaitu mengusap telapak kanan anak dengan Buu, dimulai dari tangan kanan kemudian tangan kiri, diiringi dengan sesontengan ‘Ne cening, jani cening mesapuh-sapuh, apang ilang dakin liman ceninge, apang kedas cening ngisiang urip’ dilanjutkan mengusap dengan toya anyar.

Mesapuh-sapuh bertujuan untuk menghilangkan mala atau leteh pada badan kasar yang bersangkutan. Dilanjutkan dengan masegau atau matepung tawar, yaitu mengusap kedua tangan yang bersangkutan dengan don dapdap. ‘Niki cening, jani cening masegau, suba leh liman ceninge melah-melah ngembel rahayu’.

Selanjutnya yang bersangkutan diberi tirta pelukatan. Maknanya adalah, menyucikan, menetralisir kembali Sang Hyang Atma. Agar jiwa yang bersangkutan senantiasa suci, melah (baik), ngembel (dalam genggaman) dan rahayu (keselamatan).

Dilanjutkan dengan Matetebus. Ambil dua helai benang, pertama diletakan di atas kepala sisanya dililit dipergelangan tangan kanan yang bersangkutan, diiringi sesontengan.

‘’Nah cening-cening ne magelang benang, apang ma uwat kawat ma balung besi.

Setelah itu yang bersangkutan diberi tirta Hyang Guru. Ini memiliki makna agar yang bersangkutan memperoleh kesehatan dan keselamatan lahir batin, selalu diberi perlindungan oleh sang pencipta. Yang terakhir adalah Ngayab Sesayut diputar 3 kali searah jarum jam diiringi sesontengan ‘’Ne cening ngilehang sampan, ngilehang perahu, batu mokocok, tungked bungbungan, teked dipasisi napetang perahu bencah” . Sebagai pengenteg bayu, bermakna untuk memohonkan agar yang bersangkutan tetap pendirian serta berkepribadian stabil (tidak labil) didalam menjalani kehidupannya.
Dari meotonan filosofi yang dapat diperoleh antara lain, diawali Masesapuh, yakni pembersihan badan kasar dari segala leteh atau mala.

Kemudian Matepung tawar/Masegau, sebagai sarana untuk menyucikan kembali jiwa atau Sang Hyang Atma, lalu menghubungkan serta menguatkan kembali badan kasar dengan Sang Hyang Atma melalui benang tebus, dan diakhiri dengan mestabilkan pikiran (Ngayab sesayut pengenteg bayu).


Ada sedikit varian prosesi Otonan di beberapa daerah, Nah Bagaikamana Proses Otonan di Tempat Kamu?

Campah! Ini Tempat Mebanten Saiban dan Doa-Maknanya! Bukan Sesuka Hati dan Sembarang Tempat

Campah! Ini Tempat Mebanten Saiban dan Doa-Maknanya! Bukan Sesuka Hati dan Sembarang Tempat
Rahajeng seneng/selamat pagi Semeton-saudara Hindu Dharma dimanapun Kalian berada, masak apa hari ini? Hehe... Sampun membuat Banten saiban? Menjadi seorang Umat yang patuh dalam menjalankan Upakara akan selalu mendapat lindungan dan keselamatan, Kerahayuan.

Mungkin ada Umat yang belum tahu menaruh Banten Saiban dan mungkin jaga hanya menaruhnya sesuka hati atau di sembarang tempat?! Jangan campah... Mari perbaiki mulai sekarang... Dan mungkin belum tau doa mesaiban? Maka dari itu izinkan blog payanadewa.com ini membagikan hal yang berguna untuk kerahayuan jagat.

Nah, jika sudah kami lanjutan tempat dan doa mesaiban mulai dari:

Di Dapur
a. Tempat Beras
  •  Doa : Om Sri Dewya Namah Swaha
  •  Arti     :  Ya Tuhan, dalam wujud-Mu sebagai penguasa Amertha, hamba bersujud pada-Mu.
b.    Kompor / Tungku
  • Doa  :   Om Sang Hyang Tri Agni Ya Namah Swaha
  • Arti  : Ya Tuhan, dalam wujud-Mu sebagai Agni, sebagai penguasa penerang dalam kegelapan, sebagai sumber energi bagi kehidupan, hamba bersujud pada-Mu.
c. Tempat Air
  • Doa  : Om Gangga Dewya Namah Swaha
  • Arti : Ya Tuhan, dalam wujud-Mu sebagai Dewi Gangga, hamba bersujud pada-Mu.
d. Pelangkiran
  • Doa : Om Dewa Datta Ya Namah Swaha
  • Arti :  Ya Tuhan, dalam wujud-Mu sebagai Purusa Predana, sebagai sumber dari kehidupan, hamba bersujud pada-Mu.
2.  Di Sumur
  • Doa  : Om Ung Wisnu Ya Namah Swaha
  • Arti  :  Ya Tuhan, dalam wujud-Mu sebagai Wisnu, penguasa Air kehidupan, hamba bersujud pada-Mu.
3.  Lubang Saluran Air Limbah
  • Doa  :  Ih Sang Kala Sumungsang Ya Namah
  • Arti  :  Ya Tuhan, dalam wujud-Mu sebagai Kala Sumungsang, hambaa bersujud pada-Mu.
4. Di Merajan

a.    Kemulan
  • Doa : Om Ang, Ung, Mang Paduka Guru Ya Namah Swaha
  • Arti  :  Ya Tuhan, dalam wujud Wijaksara Ang-Ung-Mang atau Tri Guru, hamba bersujud pada-Mu.
b.    Taksu
  • Doa  : Om Ang, Ung, Mang Paduka Guru Ya Namah Swaha
  • Arti : Ya Tuhan, dalam wujud Wijaksara Ang-Ung-Mang atau Tri Guru, hamba bersujud pada-Mu.
c.   Sri Sedana
  • Doa : Om Kuwera Dewa Ya Namah Swaha
  • Arti  : Ya Tuhan, dalam wujud-Mu sebagai Sang Hyang Kuwera, sebagai penguasa kekayaan, hamba bersujud pada-Mu.
d.  Tugu Capah
  • Doa :Om Sang Hyang Durga Maya Ya Namah
  • Arti : Ya Tuhan, dalam wujud Durgamaya sebagai saktinya Siwa, penguasa atau dari Butha Kala, hamba bersujud kepada-Mu.
e.    Penglurah
  • Doa : Om Anglurah Agung Bhagawan Penyarikan Ya Namah Swaha
  • Arti :  Ya Tuhan, dalam wujud-Mu sebagai Anglurah sebagai perantara bagi Sang Anembah dengan Sang Kasembah, hamba bersujud kepada-Mu.
5.  Tugu Penunggun Karang
  • Doa :  Om Ang, Ung, Mang Paduka Guru Ya Namah Swaha
  • Arti :  Ya Tuhan, dalam wujud Wijaksara Ang-Ung-Mang atau Tri Guru, hamba bersujud pada-Mu.
6.  Pengijeng
  • Doa : Om Sang Hyang Indra Blaka Ya Namah Swaha
  • Arti  : Ya Tuhan, dalam wujud sebagai penguasa alam, hamba bersujud pada-Mu.
7.   Pengadang-adang
  • Doa : Om Sang Maha Kala, Nandikala Boktya Namah
  • Arti : Ya Tuhan, Nandi Kala sebagai penjaga pintu masuk, hamba menghaturkan persembahan semoga berkenan.
8. Pintu Masuk
  • Doa :  Om Sang Hana Dora Kala Ya Namah
  • Arti : Ya Tuhan, dalam wujud-Mu sebagai Dorakala, hamba bersujud kepada-Mu.
9. Tempat Ari-Ari
  • Doa : Ih, Anta, Preta, Bhuta, Kala Dengen, Ya Namah
  • Arti : Ya Anta, Preta. Butha, Kala Dengen hamba bersujud pada-Mu.
Berikut adalah Mantra tambahan untuk keluarga yang memiliki Pelinggih yang lengkap.

Panglurah Telenging Segara:
  • Doa : Ih, Ah Ing Panglurah Telengin Segara ya namah swaha.
  • Arti  : Ya Tuhan, dalam wujud Penglurah Telenging Segara, hamba memuja Mu.
  • Tugu Penyarikan:
  • Doa  : Ih, Ah Ing Panglurah Agung ya namah swaha.
  • Arti   : Ya Tuhan, dalam wujud Panglurah Agung, hamba memuja Mu.
Gedong Hyang:
  • Doa :  Om Ung Prajapatya namah, Om Mang Mataya namah, Om Tang Prapita ya namah, Om Ing Paramataya ya namah.
  • Arti : Ya Tuhan, dalam wujud Mu sebagai Prajapati, Mataya, Prapita, Paramataya, hamba bersujud dihadapan Mu.
Pelinggih Menjangan Saluwang:
  • Doa  : Om Ah Sukla Dewi Maha Laksmi Sri Giri Pati Sukla Pawitrani swaha.
  • Arti  : Ya Tuhan, dalam wujud Dewi Maha Laksmi Sri Giri Pati, hamba menghaturkan sembah sujud kehadapan Mu.
Gedong Agung:
  • Doa  : Om Giripati ya namah swaha
  • Arti  : Ya Tuhan, dalam wujud Giripati, hamba bersujud dihadapan Mu.
Gedong Sari:
  • Doa : Om Sri Laksmi Dewi ya namah swaha.
  • Arti : Ya Tuhan, dalam wujud Dewi Sri Laksmi, hamba bersujud dihadapan Mu.
Itulah Tempat Mebanten Saiban atau Ngejot, Beserta Doanya, semoga Bermanfaat...

Om Santih, Santih, Santih Om

Genah/Tempat Pengijeng Karang Yang Benar. Ini Deritanya Jika Salah Tempat!

Genah/Tempat Pengijeng Karang Yang Benar. Ini Deritanya Jika Salah Tempat!
Berbeda daerah berbeda lagi adat dan budayanya, dan juga mungkin karena pekarangan rumah yang sempit dan mungkin juga di tambah dengan petunjuk yang keliru. Namun, jika sudah salah menempatkan pengijeng karang kesakitan yang akan didapat.

Pelinggih Pengijeng Karang atau juga disebut dengan Penunggun Karang yang merupakan salah satu bangunan suci, dan Stana Ratu Made Kalang Kajeng. Beliau berada dibawah perintah Dewa Mahadewa, dan sebisa mungkin Pelinggih Pengijeng Karang berada di posisi Kaja Kauh (barat laut) dalam pekarangan rumah.

Kesalahan Meletakan/Melinggihkan Pengijeng Karang, Maka Kesakitan yang Akan Didapat Antara Lain Sebagai Berikut; 

  1. Jika Penunggun Karang berada didalam merajan/sanggah kemulan, akibatnya akan Medah selisih paham, dan penghuni rumah akan sering bertengkar, mudah sakit kepala, tidak betah di rumah, gampang dimasuki orang yang mempunyai niat tidak baik.
  2. Penunggun Karang Berada diposisi Kaja Kangin, penghuni rumah mudah selisih paham, sering diganggu oleh manusia sakti, kios boros.
  3. Penunggun Karang yang posisinya menghadap ke barat, menyebabkan penghuni rumah sering sakit kepala bagian belakang, sering mendapat serangan magic/ilmu hitam.
  4. Penunggun Karang yang tidak memiliki penyengker (sengker tembok), menyebabkan penghuni rumah kios boros, inguh.
  5. Penunggun Karang Tabrak Lebih, menyebabkan penghuni rumah sering sakit pinggang dan punggung.

Pelinggih Pengijeng Karang tidak perlu mewah. Jika posisinya memang benar dan mengetahui siapa yang berstana dan mengerti cara berdoa sebagai Umat yang benar, maka pasti akan mendapatkan panugrahan dari beliau. 

Ingat, para Umat Hindu Tuhan bukanlah preman yang bisa disogok dengan upakara besar, dan Tuhan bukan pula artis yang senang dipuji-puji.

Jika kesalahan menempatkan Penunggun Karang maka kesakitan lah yang akan didapat, dan jika benar menempatkannya maka akan kebahagiaan lah yang akan didapat. 

Semoga tulisan sederhana ini membuat kita lebih dekat dengannya. Rahayu, Rahajeng jagatgita.

Makna dan Tempat Untuk Nunas Tirta Penembak (Budaya Bali) Patut Kita Ketahui

Makna dan Tempat Untuk Nunas Tirta Penembak (Budaya Bali) Patut Kita Ketahui

Tirta penembak atau pemanah adalah air campuhan yang hening diperoleh pada tengah malam yang diambil pertama dari hilir ke hulu di sebuah sungai atau sumber air yang nantinya digunakan saat memandikan sawa dalam upacara pengabenan. Jenis dan makna tirta pengabenan ini mengandung makna membersihkan jasad orang yang meninggal dunia dari kotoran-kotoran lahir dan batin.

Dalam sebuah kisah gugurnya Rsi Bhisma, diceritakan bahwa awalnya air untuk membersihkan badan diminta kepada Duryudana, diberikan menggunakan tempayan emas, tapi ditolak, sebagai simbul penolakan segala gemerlap duniawi.

Namun Arjuna menggunakan dua panah dipanahkan keatas kemudian panah pertama jatuh diatas kepala Resi Bisma, dan panah yang satunya lagi jatuh di kaki. 

Oleh karena itu pembersihan harus dimulai dari kepala. 

Dari sini diambil filosofi Toya Penembak yang diambil dari Campuhan pada tengah malam tanpa lampu (gelap) dan diambil oleh sanak keluarga. 

Maknanya sebagai sarana pemrelina mantuk maring Sangkan Paran (Ah … Ang) dan untuk menetralisir awidyanya sang lampus. 

Toya Penembak: pe = pemutus; nembak = pembuka jalan. 

Tirta Penembak: untuk memutuskan agar terbentuk jalan ke Sunya Mertha. Semoga bermanfaat.



Umat Hindu Wajib Tahu Makna Janur di Setiap Upakara Yadnya, Simak Yuk

Umat Hindu Wajib Tahu Makna Janur di Setiap Upakara Yadnya, Simak Yuk

Umat se-dharma, dalam setiap kegiatan keagamaan umat Hindu tidak pernah lepas dari penggunaan Janur sebagai sarana pokoknya terutama dalam majejahitan  membuat sarana banten / upakara yadnya oleh sang sarati banten.

Janur sesuai warnanya berwarna kuning melambangkan kemakmuran dan kesemarakan serta  mengandung Vibrasi dan kesucian, serta berbagai macam bentuk tetuasan melambangkan kelanggengan dan kesungguhan hati sang Yajamana, di samping itu membuang bagian tepi dari janur sebagai perlambang  membuang keangkuhan, keserakahan dan kesombongan dalam meyadnya.

Oleh karena itu, sebagai umat Hindu sudah menjadi kewajiban setiap pelaksanaan upacara yadnya menggunakan janur dari daun Kelapa, mengingat kelapa mengandung makna filosopi yang sangat dalam bagi umat Hindu di mana  buah kelapa yang menunjukan kematangan ternyata di dalamnya mengandung air yang selalu dijaga kemurniannya dan memberikan kehidupan. Batang dari pohon kelapa mencerminkan kedewasaan sebagai  inspirasi ketika dewasa baru akan diberikan buah untuk di jaga sampai buahnya matang, dan ini juga sebagai cermin bagi umat  Hindu selalu menjalankan proses kehidupan sesuai dengan Tahapan tahapan hidup sesuai  Catur Asrama. (usana Bali)

Datang Bulan Boleh Kok Sembahyang, Simak Penjelasannya Disini

Datang Bulan Boleh Kok Sembahyang, Simak Penjelasannya Disini

Pertanyaan di atas acap kali terlontar dari para remaja putri Hindu, yang sudah akil balik alias sudah mengalami pancaroba dalam jasmaninya yaitu dalam bentuk menstruasi atau yang lasim disebut datang bulan. Artikel ini di kutip dari tulisan I Gede Sudarsana (Warta Hindu Dharma).

Pada kondisi ini para ABG (anak baru gede) biasa menyebut dirinya dengan ungkapan "duh ! lagi dapet nih", tersirat jelas dari ungkapan tersebut bernada keluhan, bahwa tidak dapat dipungkiri pada kondisi demikian sedikit tidaknya menganggu aktivitas mereka, sekurang-kurangnya mereka tidak beraktivitas sebebas pada kondisi normal.

Sebagaimana nilai-nilai etika yang berlaku pada umumnnya, bahwa segala sesuatu yang sudah terlepas atau keluar dari badan/jasmani manusia, maka sesuatu tersebut dipandang kotor, seperti misalnya rambut, jika masih melekat di kepala ia akan menjadi mahkota seseorang tetapi jika sudah terlepas dari kepala dan berada pada bukan tempatnya misalnya berada pada makanan maka itu dipandang kotor. Contoh lain, air liur/ludah/ jika masih di mulut tidak seorangpun memandang itu kotor, tapi jika sudah diludahkan/dikeluarkan dari mulut maka siapapun akan jijik olehnya dan memandang itu kotor.

Demikian pula orang yang mengalami datang bulan, dipandang kotor karena memang sejatinya ada darah kotor keluar dari salah satu organ tubuhnya, pada kondisi ini dalam bahasa agama Hindu orang tersebut disebut dalam keadaan cuntaka.

Karena paradigma inilah, kemudian sebagian kaum hawa berasumsi bahwa pada kondisi ini mereka tidak boleh sembahyang (Tri Sandhya) karena menganggap dirinya kotor sebab sedang dalam keadaan cuntaka, dan memandang dirinya tak layak untuk memuja/menghubungkan diri dengan yang maha suci Hyang Widhi. Terhadap fenomena tersebut di atas, lantas timbul pertanyaan, benarkah orang yang sedang datang bulan tidak boleh sembahyang?

Menurut theologi Hindu, Tuhan/Hyang Widhi itu bersifat "Wyapi wayapaka nirwikara", yang artinya Tuhan ada dimana-mana, namun tidak terpengaruh oleh yang ada. Hal senada pun dinyatakan dalam kitab Svetra Upanisad VI.II, menguraikan sebagai berikut:

Eko dam saroa bhutesu gudas

Sarva vyapi saiva bhintantar-atma

Karmadhyaksas sarva bhuta drivassas

Saksi ceta kevalo nirgunasca.

Artinya:

Tuhan yang tunggal bersemayam pada semua makhluk,

Menyusupi segala inti hidupnya semua mahluk,

Hakim semua perbuatan yang berada pada semua makhluk,

Saksi yang mengetahui, yang tunggal, bebas dari kualitas apapun.

Merujuk pada sumber kitab suci di atas, jelaslah bahwa Tuhan itu tidak akan terpengaruh oleh yang ada di dunia ini (termasuk ciptaan-Nya), Tuhan terbebas dari kualitas apapun. Jadi demikian bagaimanpun kondisi kita, suci ataupun cuntaka, datang bulan ataupun tidak, itu tidak akan berdampak apapun terhadap keberadaan Tuhan yang maha suci. Tuhan tidak akan terpengaruh oleh unsur-unsur duniawi. Jika demikian jelaslah terjawab bahwa bagaimanapun kondisi kita, aktivitas sembahyang (Tri Sandhya) itu tetap dapat dan wajib dilakukan, dan jika dalam keadaan cuntaka tentu dengan tidak mengunjungi tempat suci (Pura). Mengapa demikian?, Oleh karena justru pada saat cuntakalah kita lebih intensif bersembahyang/ mendekatkan diri pada Tuhan, sebab saat itu tentunya membutuhkan tuntunan dan pertolongan Tuhan agar kita bisa mengendalikan ketidaksetabilan tersebut.

Dalam agmama Hindu ada dua cara memuja Tuhan yaitu Niwerti Marga dan Prawerti Marga. Pada kondisi cuntaka seyogyanya aktivitas sembahyang (Tri Sandhya) dilakukan dengan cara Niwerti Marga adalah memuja Tuhan dengan jalan ke dalam diri, yaitu melakukan pemujaan dengan manasa japa, mengulang-ulang mantra suci dalam hati.

Pada konteks ini memuja Tuhan dengan jalan ke dalam diri, dapat diinterpretasikan yaitu memuja Tuhan dengan jalan tidak melakukan rutinitas kita keseharian, artinya tidak menuju ke tempat-tempat suci seperti : sanggah/ merajan, apalagi ke Pura umum. Aktivitas sembahyang (Tri Sandhya) dapat dilakukan dalam kamar sendiri jika di rumah dan di kelas jika di sekolah serta di kantor jika sedang bekerja.

Sedangkan pada kondisi normal atau tidak dalam keadaan cuntaka dapat melakukan kedua cara memuja Tuhan yaitu Niwerti Marga dan Prawerti Marga, yang dimaksud dengan Prawerti Marga adalah memuja Tuhan dengan maju keluar dari dirinya. Bergerak kedepan di luar diri itu berarti mengarahkan pemujaan kepada Tuhan dengan media bhuana agung/alam semesta raya di luar diri kita, ini berarti melakukan pemujaan dengan menggunakan media tempat suci yang sejatinya merupakan simbol alam semesta itu sendiri yang merupakan sthana dari Tuhan, yaitu dengan cara memuja Tuhan ke tempat-tempat suci, (pura).

Mengapa jika dalam keadaan cuntaka tidak boleh ke tempat suci?, hal ini disebabkan yaitu oleh karena orang yang cuntaka adalah orang yang dalam keadaan tidak seimbang dalam dirinya. Ketidak seimbangan diri itu dapat menimbulkan vibrasi buruk. Vibrasi buruk ini dapat merusak vibrasi orang lain yang sedang berada di tempat suci untuk mengupayakan memunculkan vibrasi suci dalam dirinya guna dapat menghubungkan diri dengan Tuhan yang maha suci, dan dikhawatirkan pula nantinya dapat berpengaruh vibrasi kesucian dari tempat suci yang dikunjungi oleh orang yang sedang dalam keadaan cuntaka tersebut.

Karena itu ke tempat-tempat suci pemujaan umum tidak dibolehkan guna menghindarkan vibrasi buruk tersebut mempengaruhi orang lain dan mempengaruhi vibrasi kesucian tempat suci, sebab kedua hal ini merupakan unsur duniawi sehingga masih dapat dipengaruhi, sedangkan Tuhan tidak akan pernah terpengaruh oleh apapun dan siapapun, Beliau tetap suci walau apapun yang terjadi.

Konsep; Tujuan Hidup Dalam Hindu... Mari Kita Renungkan Tujuan Hidup Kita Ini Untuk Apa!

Konsep; Tujuan Hidup Dalam Hindu... Mari Kita Renungkan Tujuan Hidup Kita Ini Untuk Apa!

Sesungguhnya setiap kelahiran, seorang manusia membawa perannya masing-masing. Manusia yang telah melakukan perenungan secara mendalam dengan pikiran yang jernih akan bertanya, apa sesungguhnya yang menjadi tujuan hidupnya. Ada dua macam tujuan hidup manusia yaitu tujuan duniawi dan tujuan spiritual. Tujuan duniawi berupa harta benda sebagai penopang kehidupan ini, sedangkan tujuan spiritual, yaitu keinginan untuk bersatu kepada yang hakekat dan asal yang sesungguhnya.

Dalam Hindu, tujuan hidup manusia dikemas dalam konsep Catur Purusartha, yaitu: Dharma, Artha, Kama dan Moksa. Konsep Dharma merupakan ajaran kebenaran, sebagai pandangan hidup, tuntunan hidup manusia. Artha yaitu yang berupa materi sebagai penopang kehidupan. Kama merupakan keinginan dan Moksa yaitu bersatunya sang diri atau Jiwatman dengan Paramaatman. Jadi jelas dalam hidup manusia selalu memerlukan artha, kama dan moksa.

Namun, kecenderungan manusia yang lupa terhadap tujuannya karena pengaruh kenikmatan duniawi telah mengubah prilaku manusia untuk menyimpang dari ajaran kebenaran. Kenikmatan duniawi tiada berkesudahan ini mempengaruhi perilaku manusia sehingga jalan apapun terkadang dihalalkan. Sesuai dengan tujuan yang mesti dicapai manusia yaitu suatu penyatuan kepada yang tertinggi, maka ini dibarengi dengan tindakan yang searah dengan tujuan tersebut.

Tujuan tersebut mustahil akan tercapai jika arah dan jalan yang ditempuh itu salah. Maka hal pertama yang menjadi tugas manusia adalah menjalankan Dharma dan menjalankan etika serta ajaran-ajaran yang mulai dilupakan maka keseimbangan dunia akan terganggu. Manusia memiliki tanggungjawab untuk menjaga keseimbangan tersebut. Dengan pikiran yang dimiliki, manusia mampu membuat kehidupan ini menjadi baik maupun hancur. Untuk itulah, tugas dan kewajiban utama manusia adalah mengamalkan dan melaksanakan ajaran Dharma (kebajikan yang utama), dengan melaksanakan berbagai yadnya demi terjaganya keseimbangan alam semesta.

Nah, dalam mewujudkan yadnya itu, manusia mengenal apa yang dikenal dengan istilah ekonomi, yang berasal dari bahasa Yunani, yaitu e6eio (oikos) yang berarti "keluarga, rumah tangga" dan uiio (nomos) yang berarti "peraturan, aturan, hukum". Secara garis besar, ekonomi diartikan sebagai "aturan rumah tangga" atau "manajemen rumah tangga." Secara lebih makro, konsep ekonomi tak bisa dipisahkan dengan barisan kata kesejahteraan dan kemakmuran. Dalam Kitab Sarasamuscaya, ekonomi itu sendiri adalah Artha, yang tentunya telah diketahui menjadi bagian dalam catur purusa artha bersama Dharma sebagai dasar, Kama sebagai motivasi, dan Moksa sebagai tujuan Akhir.

Sejak era Adam smith dalam menumbuhkan kata Kapitalisme sebagai keberlanjutan serta dekontruksi sosial atas mazhab Merkantilisme, maka hal terpenting dari ajaran Adam Smith, yaitu paham Kapital itu dengan perlakuan yang sesuai adalah akan memberikan pemerataan yang sesuai dari lapisan atas sampai pula ke lapisan terbawah. Jadi bahwa dengan pemerataan itu maka roda perekonomian dengan cara meningkatkan produksi di saat memiliki kapasitas produksi, kemudian akan berlanjut menuju kesejahteraan yang diusahakan secara merata baik diri sendiri, atau dengan berkelompok. Adam Smith juga mengajarkan moralitas dalam bentuk "kasih" yang dilaksanakan untuk menuju suatu perbaikan sampai pada kesejahteraan itu sendiri.

Kembali pada kata ekonomi sendiri, maka harus diingat prinsip ekonomi yang paling tua, yaitu 'keinginan manusia itu tida' terbatas, sementara sumber daya yang ada terbatas. Sepertinya hal itu sedikit kontradiksi jika dihadapkan pada dunia adalah sebuah persinggahan dan kemelekatan akan dunia menghambat 'santhi' atau menuju ke arah 'sunya' dalam kemoksaan. Lalu jika tanpa moralitas, maka apa yang terjadi adalah kelicikan, dan lobha (greed), yaitu sifat serakah atau keingin yang tidak terbatas.

Lobha artinya kerakusan. Artinya suatu sifat yang selalu menginginkan lebih melebihi kapasitas yang dimilikinya. Untuk mendapatkan kenikmatan dunia dengan merasa selalu kekurangan, walaupun ia sudah mendapatnya secara cukup. Seperti misal lobha dalam mendapatkan kekayaan seperti disebutkan dalam Sarasamuscaya 267, yang mengatakan:

Jatasya hi kule mukhye paravittesu grhdyatah lobhasca prajnamahanti prajna hanta hasa sriyam

(Yadyapin kulaja ikang wwang, yan engine ring pradrya-baharana, hilang kaprajnan ika dening kalobhanya, hilangning kaprajnanya, ya ta humilangken srinya, halep nya salwirning wibhawanya)

Artinya:

Biarpun orang berketurunan mulia, jika berkeinginan merampas kepunyaan orang lain;

Maka hilanglah kearifannya karena kelobhaanya; apabila telah hilang kearifannya itu itulah yang menghilangkan kemuliaannya dan seluruh kemegahannya.

Dalam ajaran Susila Dharma itu menjelma menjadi Trikaya Parisudha, yakni Manacika, Wacika, dan Kayika. Manacika adalah pikiran, secara umum kita dituntut untuk bisa berpikir yang baik dan benar. Dalam kajian yang lebih luas berpikir yang baik dan benar adalah berpikir positif, berpikir bersih, berpikir jernih, berpikir obyektif, dan berpikir yang bermanfaat.

Wacika adalah perkataan. Secara umum kita dituntut untuk bisa berkata atau berwacana yang baik dan benar. Dalam penjabaran yang lebih luas, yang dimaksudkan berkata yang baik dan benar adalah mengandung makna yang baik dan mulia, menggunakan kata dan kalimat yang sopan, diucapkan secara baik dan jelas, menggunakan suara yang dapat didengar secara jelas dan enak, terbatas pada hal-hal yang perlu saja, tidak menimbulkan kesalah pahaman dan kemarahan orang lain.

Kayika adalah perbuatan. Secara umum kita dituntut untuk bisa berbuat atau melakukan aktifitas yang baik dan benar. Dalam kajian yang lebih luas yang dimaksud dengan berbuat yang baik dan benar seperti melakukan sesuatu untuk keperluan memenuhi kewajiban, memberi manfaat, memperoleh kebajikan, mencapai kesejahteraan dan untuk keselamatan, mengacu pada nilai nilai agama, budaya, hukum dan alat istiadat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan nilai nilai lainnya, kepentingan diri sendiri dan orang lain diletakkan secara proporsional, adil dan bermartabat, dilakukan secara tertib, teratur dan sopan, serta dapat mencapai tujuan, tanpa melanggar aturan dan tidak menimbulkan gangguan dan kerugian.

Dalam masyarakat Hindu juga dikenal konsep Tat Twam Asi, yang artinya "Dia adalah kamu, saya adalah kamu, dan semua makhluk adalah sama, sehingga bila kita menolong orang lain berarti juga menolong diri kita sendiri". Dari konsep tersebut mengandung makna dan hakekat ekonomi Hindu yang ada dalam kearifan lokal di Bali, seperti Menyame Braye (saling menolong atau membantu, misalnya dalam permodalan), De memirat Dana (tidak mengemplang utang atau mengemplang kewajiban atas pinjaman), Pang Pade Payu (saling menguntungkan dan saling memberdayakan).

Secara detail praktek ekonomi dalam Hindu, tidaklah banyak. Berbeda dengan ajaran Islam yang sangat rinci mengaturnya, baik dalam tataran filosophi, maupun dalam tataran praktek. Namun ada beberapa konsep yang tampaknya bisa diterapkan dalam situasi merajalelanya paham kapitalisme seperti sekarang ini, diantaranya adalah tentang konsep bunga uang, yaitu vrdhim atau wrddhi grhiyad. Makna dari istilah vrdhim/wrddhi grhiyad adalah bunga uang yang boleh diambil kalau uang itu sudah berkembang. Konsep bunga uang ini termuat dalam kitab Manawa Dharma-sastra VIII. 142. Konsep wrddhi grhiyad cukup masuk akal dan sangat bisa diterima.

Bunga yang ditetapkan oleh si pemberi pinjaman (kreditor) itu baru dapat diambil bila uang yang dipinjamkan telah menghasilkan atau menguntungkan bagi pihak peminjam (debitor). Dengan demikiam, berarti konsep bunga uang dalam Hindu dibenarkan sepanjang sebagai suatu usaha produktif yang sama-sama menguntungkan bagi kedua belah pihak. Pengenaan bunga tersebut mesti disesuaikan dengan perjanjian antara pemilik uang atau lembaga keuangan dan peminjam. Pemberian pinjaman uang bertujuan untuk mengembangkan kesejahteraan ekonomi maupun untuk pengembangan suatu usaha. Perjanjian itu tentunya didasarkan atas perhitungan yang sangat cermat dan rasional sehingga tidak merugikan, baik bagi pihak pemberi pinjaman maupun pihak peminjam. Saat ini, konsep wrddhi grhiyad ini memang belum ada diterapkan dalam operasional bank atau pun lembaga keuangan Hindu.

Demikian juga dalam konsep pemanfaatan keuntungan, dalam Hindu ditemukan pengaturannya dalam Sarasamuscaya 262. Dalam sloka 262 ini, diatur bagaimana hendaknya keuntungan itu digunakan dalam menjalani sebuah lakon kehidupan:

Nuhan kramanyan pinatelu, ikang sabhaga, sadhana rikasiddhaning dharma,

ikang kaping rwaning bhaga sadhanari kasiddhaning artha ika, wrddhyakena muwah,

mangkana kramanya pinatiga, denika sang mahyun, manggihakenang hayu"

Artinya:

Demikian duduknya makan dibagi tiga (hasil usaha itu), satu bagian guna mencapai dharma, bagian yang kedua adalah untuk memenuhi kama, dan yang ketiga diuntukkan bagi melakukan kegiatan usaha di dalam bidang artha, agar ekonomi berkembang kembali, oleh karena ingin beroleh kebahagiaan.

Itulah beberapa bagian kecil gagasan konsep Hindukonomi. Masih banyak yang belum terungkap dan bisa dipraktekkan dalam kondisi kekinian, seperti bentuk kelembagaan perekonomian, pengawasan, penjaminan dan berbagai tata aturan lainnya. Namun secara makro, konsep Hindukonomi seperti roda, pusat atau porosnya adalah ajaran Hindu itu sendiri, sedangkan bagian luar atau rodanya adalah ekonomi. Vedanta dapat menjadi pedoman dalam mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran. Jika kita melakukan sesuatu yang terbaik untuk kebahagian orang lain maka kebahagian juga menjadi milik kita.

Kerja sebagai praktik karma yoga juga mencakup aspek ekonomi. Dalam berkerja pun kita mempunyai motif, namun dalam ajaran Hindu motif bekerja hanya untuk kekayaan, kedudukan, dan nama baik, akan tetapi untuk membantu pertumbuhan spiritual seseorang.  

Source: Wartam, Prof. I B Raka Suardana