Sepenggal Kisah Dari Belanda Negeri Surga

Sepenggal Kisah Dari Belanda Negeri Surga


Bagi Para Pesepeda Angin dingin menyerbu saat saya keluar dari Sloterdijk Station untuk mencari bus yang akan membawa saya ke pusat kota Amsterdam. Summer baru saja berlalu, tapi aura winter sudah begitu terasa.

Jalur kereta ke Amsterdam sedang ditutup waktu itu karena ada perbaikan di salah satu terowongan, sehingga saya harus naik bus menuju Amsterdam Arena, stasiun yang dekat dengan hostel tempat saya menginap.

Tak masalah, sebab saat itu juga saya langsung melihat bagaimana pemerintah Belanda sangat serius menjadikan bersepeda sebagai budaya masyarakat. Jalur sepeda yang rapi, rambu-rambu yang jelas dan menghormati pengendara sepeda, hingga tempat parkir sepeda gratis. Amsterdam, yang dijuluki ibukota sepeda di Eropa, hampir 60% perjalanan penduduknya dilakukan dengan mengendarai sepeda. Dengan penduduk sekitar 820-an ribu, ada lebih dari 900 ribu sepeda yang dimiliki penduduk Amsterdam.

Ibukota Belanda ini memiliki jalur sepeda sepanjang 400 kilometer. Tak jauh dari Amsterdam Central, stasiun sentral yang juga menjadi tempat persilangan beragam moda transportasi, terdapat penyewaan sepeda. Para pesepeda berlalu lalang di depan stasiun bergaya Renaissance yang mulai digunakan pada tahun 1889 itu. Tak perlu bersaing dengan moda transportasi lain, dan para pesepeda bukanlah warga kelas dua. Bukan hanya di Amsterdam, di dekat terminal, stasiun, serta pusat keramaian di setiap kota bahkan pelosok sekali pun, pasti terdapat penyewaan sepeda.

Diperkirakan terdapat 18 juta unit sepeda di Belanda untuk penduduknya yang kurang dari 17 juta jiwa. Sementara jalur khusus sepeda di Belanda tercatat sepanjang 35.000 Km. Di Leiden, persis di depan stasiun keretanya, saya terperangah melihat ribuan sepeda yang terparkir rapi bertingkat-tingkat. Kota cantik ini merupakan rumah bagi universitas tertua di Belanda, Universitas Leiden. Sebagian besar mahasiswa, dari jumlah keseluruhan sekitar 18 ribu orang, bersepeda menuju kampus. Kanal-kanal cantik mengepung kota tua yang berjarak 40 kilometer dari Amsterdam ini.

Taman-taman publik seperti terserak di sekitar Universitas Leiden. Banyak mahasiswa belajar di taman-taman yang terletak di pinggir kanal, ada juga yang sambil piknik. Lelah berjalan, saya dan teman pun berniat meluruskan kaki di sebuah taman. Angin semilir membuat kami terbuai, dan tahu-tahu saja kami berdua sudah tertidur selama satu jam! Keseriusan pemerintah Belanda dalam mempromosikan budaya bersepeda memang patut diacungkan jempol.

Dengan bersepeda tentu saja masyarakat mengurangi penggunaan kendaraan motor dan tingkat polusi dapat ditekan. Pemerintah juga mematok harga parkir kendaraan bermotor yang mahal. Parkir mobil misalnya, dikenakan biaya hingga 7 Euro per jam. Sedangkan parkir sepeda? Gratis tis.

Saking istimewanya pengendara sepeda di Belanda, ada rambu uitgezonderd, yang berarti “kecuali”. Maksud dari rambu tersebut adalah hanya sepeda yang dikecualikan dari peraturan lalu lintas. Mantap kan? Memberikan kenyaman bersepeda juga menjadi prioritas bagi pemerintah Belanda.

Baru-baru ini kota-kota di Belanda sedang memikirkan cara untuk menghangatkan jalur khusus sepeda. Hal ini dilakukan untuk mengurangi kecelakaan para pesepeda dan meningkatkan minat warga agar tetap bersepeda di musim dingin. Dalam perjalanan dari Paris menuju Amsterdam, bus yang saya tumpangi melewati kota Eindhoven dan Utrecht. Hujan mengiringi hampir sepanjang perjalanan.

Saya melihat usaha keras para pesepeda melawan angin yang bertiup kencang. Sesekali saya melihat pesepeda yang oleng saat mengayuh. Tentu kondisi ini lebih berat di musim salju. Sehingga lahirlah ide tersebut. Ide menghangatkan jalur sepeda ini datang dari Marcel Boerefijn. Menurut Borefijn, meski teknologi penghangat tersebut amat mahal, tapi pemerintah tetap dapat melakukan penghematan karena dapat menekan angka kecelakaan dan jumlah garam yang digunakan untuk mengurangi kelicinan jalan.

Cara menghangatkan jalur sepeda adalah dengan menggunakan teknologi panas bumi untuk mencegah pembentukan es. Biaya untuk teknologi berkisar antara Rp. 600 hingga Rp. 750 juta per kilometer. Mahal tentu saja, tapi banyak dukungan untuk usulan ini.

Bahkan kota Zutphen yang terletak di bagian timur Belanda, sudah ditunjuk untuk menjadi kota pertama yang menjalani penilaian sebelum studi kelayakan ide ini dilakukan tahun depan. Kota Utrecht juga sedang mempertimbangkan untuk mencoba ide tersebut.

Ah, makin iri deh saya. Kapan ya Indonesia meniru Belanda, negeri penjajahnya, untuk hal sepeda ini? Benar sekali yang dikatakan oleh Enrique Penalosa, Gubernur Bogota, ibukota Kolombia, periode 1998-2001.

No comments:

Post a Comment

Bagaimana Menurut Anda Tulisan Ini, Membantu atau Tidak? Tuliskan Masukan Anda di Kolom Komentar, dibawah!