Isu referendum di Nanggroe Aceh Darussalam kembali bergema. Kehendak itu dicetuskan oleh Muzakir Manaf (Mualem), mantan Panglima Gerekan Aceh Merdeka (GAM) yang saat ini menjabat sebagai ketua umum Komite Peralihan Aceh (KPA) dan sekaligus ketua umum Partai Aceh (PA), di depan Pangdam Iskandar Muda, Kapolda Aceh dan sejumlah pejabat di Provinsi paling barat itu.
Seriuskah gagasan referendum yang digagas Muzakir alias Mualem? Tentu tidak. Seruan mantan Wakil Gubernur Aceh tak lebih "ocehan" orang-orang kalah seperti halnya seruan merdeka yang pernah dilontarkan beberapa daerah usai jagoan mereka kalah dalam kontestasi elektoral atau pun ketika ada persoalan yang dirasa merugikan segelintir orang di daerah tersebut.
Seperti diketahui, pada Pilpres 2019, Partai Aceh mengusung pasangan Prabowo Subianto -- Sandiaga Salahudin Uno. Perolehan pasangan nomor urut 02 di Aceh cukup fantastis yakni 2.400.746 suara atau setara 85,59 persen. Sedangkan pasangan Joko Widodo -- Ma'ruf Amin hanya mengumpulkan 404.188 suara atau 14,41 persen suara. Namun Aceh tidak cukup untuk mendudukkan Prabowo sebagai Presiden. Secara nasional, Prabowo -- Sandiaga kalah telak dari Jokowi -- Ma'ruf dengan selisih sekitar 16,9 juta suara.
Tetapi suara untuk Prabowo belum tentu suara yang menghendaki pemisahan Aceh dari Indonesia. Terlebih di antara petinggi Partai Aceh lainnya seperti Sekjen Partai Aceh Kamaruddin Abubakar, menolak seruan tersebut. Jika pun Kamaruddin dianggap pro Jokowi, masih ada politisi Partai Aceh seperti Cut Meutia yang menyayangkan pernyataan Mualem karena dilakukan setelah Prabowo kalah.
Seruan referendum juga didasari tuduhan sumir. Mualem menyebut Indonesia, akan dijajah oleh asing. Pertanyaannya, negara mana yang akan menjajah Indonesia? Tiongkok, atau Amerika Serikat? Bagaimana jika Indonesia dijajah Arab, masihkah seruan referendum disuarakan? Ungkapan ini hanya untuk mempertegas bahwa isu yang dibangun tidak cukup serius sebagaimana seruan serupa, bahkan merdeka, yang pernah dilontarkan sejumlah daerah seperti Riau, Minahasa, Makasar, Maluku, Kalimantan dan lain-lain.
Beda halnya dengan Papua yang tidak mengenal penguasa di Jakarta, apalagi sekedar kekalahan dalam kontestasi daerah. Sekelompok orang Papua tetap menyuarakan pemisahan sejak era Soekarno, Soeharto hingga SBY dan Jokowi.
Namun demikian ada beberapa hal yang perlu menjadi catatan. Pertama, upaya rekonsiliasi harus lebih konkret, bukan sekedar pernyataan politis. Sebagai bukti keseriusannya, pemenang harus berani membuka tawaran politik yang bisa diterima semua pihak.
Kedua, pendekatan hukum yang terkesan hanya menekan salah satu pihak, terlebih dengan pasal karet, perlu dievaluasi. Jika semua saluran disumbat atas nama hukum, ruang demokrasi menjadi sangat sempit. Sejarah membuktikan, kondisi demikian menjadi ruang tunggu bagi terjadinya ledakan sosial-politik yang sulit diprediksi.
Ketiga, kemungkinan isu referendum disusupi kepentingan lain, harus juga menjadi sandaran kubu Prabowo dalam memutus sikap politik. Negoisasi politik harus tetap mengesampingkan opsi-opsi yang bisa memicu hal tersebut. Kubu Prabowo harus menjamin pihaknya mampu menangkal masuknya pengaruh yang tidak memiliki komitmen untuk menjaga keutuhan NKRI.
Kita sudah jenuh melihat pertikaian elit politik dan tebaran cacian dari pendukung kedua kubu. Polarisasi politik saat ini sudah melenceng karena bukan berangkat dari perbedaan cara mewujudkan cita-cita kemerdekaan menuju kesejahteraan rakyat, tetapi murni kebencian atas nama ras dan golongan.
Salam 🙏
No comments:
Post a Comment
Bagaimana Menurut Anda Tulisan Ini, Membantu atau Tidak? Tuliskan Masukan Anda di Kolom Komentar, dibawah!