Jika kalian jalan-jalan dan shopping di Singapura, kalian jangan buru-buru dulu memuji-muji kemajuan negeri Singa itu. Kalian tentu saja akan memuji Singapura yang bersih, tertib, teratur, dan disiplin.
Singapura tentu beda dengan Jakarta misalnya. Di Jakarta setiap orang bisa membuang sampah di sembarang tempat. Salah satunya yaitu merokok dimana pun dan membuang puntung rokok di mana saja, termasuk sambil merokok saat menyetir dan menjentikkan abu rokok ke atas aspal.
Kalian pun akan biasa melihat para penumpang taksi yang rela antri menunggu taksi dan tak ada seorang pun yang berani menyerobot antrian. Kalian takkan melihat motor yang berjalan di atas trotoar. Di Singapura trotoar khusus diperuntukkan bagi pejalan kaki yang disebut "Pedestrian".
Di Singapura tidak akan terlihat pula mobil-mobil, taksi atau bus yang ngetem parkir di sembarang tempat mencari penumpang. Tetapi kalian coba lebih jeli sedikit. Saat kalian masuk ke mall ingin shopping atau kalian sedang di Changi Airport dan kalian masuk ke toilet sekedar untuk "Passing Water", maka kalian bisa melihat petugas kebersihan yang bertugas adalah pria berusia di atas 50 tahun.
Tak ada anak muda berusia di bawah 40 tahun yang bekerja sebagai petugas kebersihan toilet.
Pemandangan seperti itu juga akan kalian lihat saat makan di tempat-tempat makan baik yang berada di Changi Airport maupun di tempat-tempat lain di Singapura. Sebut saja misalnya di kawasan China Town tepatnya di People Park disana banyak terdapat tempat makan yang menyediakan Chinese Food.
Hampir semua petugas kebersihan, waiter atau waitress adalah orang-orang berusia di atas 40-50 tahun. Petugas-petugas hotel tempat saya menginap di kawasan Orchad Road yang bertugas mengatur keluar masuk mobil dan taksi juga adalah pria-pria berusia di atas 50 tahun. Coba lagi amati saat kalian shopping di mall di kawasan Orchad Road.
Kalian akan melihat para pramuniaga yang di Jakarta disebut SPG (Sales Promotion Girl) sebagian adalah ibu-ibu, wanita-wanita berusia di atas 40 tahun. Di Indonesia rasanya sulit menemukan SPG yang berusia di atas 40 tahun, bukan?
Saya sempat naik taksi yang drivernya seorang pria berusia 70-an tahun. Tetapi, driver itu masih tampak sehat dan gesit menyetir. Dia mengeluh katanya hidup di Singapura cukup berat. Biaya hidup di Singapura tinggi.
Bagi yang berpenghasilan per bulan 1.000 - 3.000 dolar Singapura masih terasa berat, katanya. Dia memberi contoh bahwa makan mie semangkok paling murah 3 dolar. Itupun jika makannya di tempat biasa. Nsh, jika mau makan mie di mall, maka harga semangkuk bisa sampai 7 - 9 dolar. Dan yang terberat katanya adalah biaya sewa tempat tinggal atau menyicil apartemen. Di Singapura harga tanah sangat super duper mahal.
Makanya, jika tidak kaya beneran rasanya sulit bisa membeli rumah yang menempel di tanah (Landed House). Oleh karena itu, di Singapura banyak dibangun rumah vertikal yakni rumah susun atau apartemen. Para anak muda di Singapura mana mau bekerja menjadi petugas kebersihan (Cleaning Service), SPG, atau supir taksi. Saya tak tahu apa penyebabnya.
Apa mungkin karena ada faktor gengsi atau barangkali karena para pemuda di Singapura rata-rata teredukasi sehingga mereka tidak mau lagi bekerja kasar?
Di tambah pula di Singapura masih ada wajib militer. Makanya, para pekerja seperti penjaga toko, SPG, asisten rumah tangga banyak diimpor dari negara kita Indonesia dan Philipina. Sementara, karena biaya hidup yang tinggi, mau tak mau, orang-orang berusia tua masih harus bekerja.
Minimal mereka tidak membebani anak-anak mereka yang juga berat dalam mencari nafkah. Setelah kita tahu sedikit cerita tentang Singapura, maka kita mestinya bersyukur hidup sebagai warga negara Indonesia. Yang belum serumit hidup di Singapura.
Singapura memang terlihat indah, cantik, dan glamor dari brosur-brosur promosi bagi para turis dan indah bagi para "Shopaholic". Yang harus kita pelajari dari Singapura adalah bagaimana menerapkan aturan hukum yang tegas sehingga membuang puntung rokok pun bisa bikin orang jera dan takut.
Sementara, di Indonesia memukul orang laksana samsak bagai tindakan biasa dan tidak membuat efek jera. Kemudian, kita bangsa Indonesia, memang harus belajar dari Singapura dalam hal hidup bertoleransi.
Di Singapura antar etnis hidup berdampingan, rukun, dan damai.
No comments:
Post a Comment
Bagaimana Menurut Anda Tulisan Ini, Membantu atau Tidak? Tuliskan Masukan Anda di Kolom Komentar, dibawah!